Kaca:Cerita Panji Dalam Sastra Klasik Di Bali.pdf/20

Kaca puniki kavalidasi

8


nya tidak begitu akrab. Hal ini terbukti adanya golongan menak dan golongan sudra (bait 173). Di samping itu, terdapat pula golongan masiwa raga, yakni orang yang dapat mengepalai suatu upacara keagamaan tanpa memperoleh bantuan dari seorang pendeta (bait 274).

Upacara keagamaan ddaksanakan oleh pendeta Siwa dan Buda. Upacara ini mengingatkan kepada kita seperti situasi upacara agama Hindu di Bali pada masa kini (bait 456-460).

Selain itu, ada pelaksanaan upacara perkawinan raja juga mengingatkan kepada kita seperti yang dilakukan pada waktu upacara perkawinan para bangsawan Bali pada zaman sekarang (bait 487, 503, 504, 526, dan 528); sebagai contoh dapat kita lihat, yaitu pada waktu upacara perkawinan antara Raden Mantri dengan Raden Galuh dimeriahkan dengan keramaian tradisional serta dimeriahkan juga dengan upacara pada zaman Hindia Belanda (bait 583 - 611).

Dengan uraian di atas, dapat diketahui bahwa latar belakang sosial budaya yang tercermin dalam cerita Pakang Raras benar-benar bercorak Bali.


2.3 Kedudukan dan Fungsi Cerita Panji

Kedudukan dan fungsi cerita panji dalam masyarakat Bali, kita akan melihat cerita panji dalam sastra Bali dalam pengertian luas dan sempit.

Cerita panji yang tertulis dalam bentuk kidung masih memperlihatkan kedudukan yang penting dalam kaitannya dengan pelaksanaan upacara ke agamaan dalam masyarakat Bali. Petikan "Kidung Malat Kung" biasanya dinyanyikan untuk mengiringi suatu rangkaian upacara siklus hidup, khususnya upacara potong gigi (Ketut Ginarsa, 1961 dan Ida Bagus Kemenuh, 1969).

Selain itu, cerita panji juga cukup terkenal dalam masyarakat Bali, terutama masyarakat yang memelihara tradisi kuna. Cerita panji antara lain menjiwai seni lukis, khususnya seni lukis gaya kamasan pada zaman dahulu dan dalam seni pentas (legong kraton, gambuh, arja, dan drama gong) serta dalam pertunjukan wayang (Ida Bagus Raka, 1978).

Melalui pertunjukan arja (kesenian opera), drama, dan gong dapat diketahui bahwa pokok cerita itu diambil dari cerita panji yang berbentuk geguritan, misalnya "Geguritan Megantaka" dan "Geguritan Pakang Raras"(Beryl de Zoete and Walter Spies, 1973: 311—312). Melalui pertunjukan itu dapat diketahui pula bahwa struktur cerita disesuaikan dengan kepentingan masyarakat agar dirasakan tetap menarik. Dengan demikian, cerita panji mempunyai kedudukan dan fungsi yang cukup penting dalam masyarakat Bali, baik di bi-