CATATAN.
11
1). Lihat, Sedikit Tjatatan tentang kepertjajaan tjetjak dan sebuah tjeritanya dalam dongeng Bali, dalam Naur Bakti, Denpasar, 1968 hal. 1-9.
2). Lihat Sir William Reginald Halliday, Folklore, Eneyelopadia
Britannian, Vo. 9, 1958, hal. 447; Kuth Benediet, Folkore,
Encyclopedia of the Social Sciences, Vol, 1937, hal. 290.
3). Lihat 2 artikel Dr. I. Goris tentang kuil Besakih Bali, Further
Studies in Life, Thought, and Ritual, 1969, The Hague, hal.77
10
4). Hal ini kami lihat sendiri baik dari dosa Bali Aga seperti di
Tenganan maupun di Daerah Bali lainnya.
5). Lihat W. Spios on K. Goris, Overzieht van dans en toonool in Ba-
li, Jawa, af1, 5 on 6, 17 do jaargang, hal. 207. Lihat Juga Be-
ryl do zoete and Waltor Spins, Danco and drama in Bali, Bhrata-
ra, 1973, hal. 59-60.
6). Sepanjang pengetahuan kami yang diperkuat juga oleh penelitian
Drs. Wayan Widia nyatanya tari-tarian tersebut tidak ada di
kompleks kuil Besakih. Jelas tujuan mito ini yang mengaitkan
Betara Mahadewa di Besakih hanya untuk memproleh pengukuhan
atau pengesahan yang lebih tinggi, sehingga mempunyai kekuatan
tradisi yang lebih besar.
7). Di Bali terdapat suatu pandangan bahwa orang yang lebih tinggi
kedudukannya tidak dapat disamai oleh orang yang lebih rendah
baik mengenai bahasa yang dipergunakan, tempat tinggal, upacara
dan lain-lainnya. Maka dari itu Betara Mahadewa yang menjadi
dewa tertinggi yang mendiami gunung Agung tidak dapat disamai
oleh dewa atau orang lainnya.
8). Lihat J.L Swellangrebel, Balische Zegwyzen, T.B.G, deelLXXV,
1952, hal. 153. Dalam karangan ini J.L. Swellengrebel memberi
varian lain, yaitu Cingkrong pindo, buntar apisan.