Kaca:Geguritan Calonarang.pdf/80

Kaca puniki kavalidasi

sinaria nucul,
angadu asta musti,
tinuting sasmerti,
amutar gangga tumungkul,
sineranging patanganan,
riwus sira asuci,
nendal kampuh,
aningset punang basahan.

279. Sampun sira wus anginang,
andawut payung lumaris,
katon tang pancaka wiyar,
kueh kayu agung atitib,
bage lan kamalagi,
rangra kalawan taru unut,
meh parek lakunira,
kumedap hana wong istri,
hayu-hayu,
mederan ri tengahing setra.


280. Ngungsi anur pamanggahan,
akidupu nunggar weni,
angigel amungkas wastra,
sukunia nginggang sasilih,
wawu mayat amusti,
tumingkahing sang maha biksu,
kagiat maleni polah,
sang dwija mangke inungsi,
sigra matur,
hendi paran sang pandita,

281. Mandeg sira sang sinantuan,
sumawur duh nini kalih,
manira lunga haneng Jirah,


lalu membuka pakaian,
mencakupkan tangan,
diikuti mentra,
memutar sir (beliau) merunduk,
disertai mengusap-usap,
setelah beliau mandi,
memakai kampuh,
serta melilitkan kain.

Sesudah beliau selesai makan sirih,
mengambil payung serta berjalan,
kelihatan kuburan luas,
banyak kayu besar tumbuh rapat,
pohon bage serta pohon anam,
rangdu serta pohon bunut,
setelah kiranya makin dekat perjalanan beliau,
tahu-tahu lewat seseorang perempuan,
cantik sekali,
berkeliling di tengah tanah kuburan.


Menuju tempat pembakaran mayat,
bersimpuh menguraikan rambut,
menari menaikkan kain,
kakinya nengkleng (dinaikkan) satu,
baru akan mencakupkan tangan,
terlihat sang pendeta agung,
cepat berobah tingkah,
sang pendeta sekarang dicari,
segera menyembah,
hendak ke mana (ratu) sang pendeta.

Berhenti (berjalan) sang pendeta,
berkatalah (beliau), hai anakku berdua,
aku menuju ke (desa) Jirah,


81