Geguritan Jayaprana

36605Geguritan Jayaprana — prev1978Ketut Ginarsa

[ 2 ]PPS/8113

GEGURITAN JAYAPRANA


Alih Aksara, Alih Bahasa dan Ilustrasi
KETUT GINARSA





Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah
Jakarta 1978
[ 3 ]
Naskah asli:
Lontar dari Gedung Kirtya di Singaraja
Ciri No. Kirtya/IV d/202/3
Hak pengarang dilindungi Undang-Undang
[ 4 ]
Kata Pengantar

Bahagialah kita, Bangsa Indonesia, bahwa hampir di setiap daerah di seluruh tanah air hingga kini masih tersimpan karya-karya sastra lama, yang pada hakekatnya adalah cagar budaya nasional kita. Kesemuanya itu merupakan tuangan pengalaman jiwa bangsa yang dapat dijadikan sumber penelitian bagi pembinaan dan pengembangan kebudayaan dan tlmu, di segala bidang.

Karya sastra lama akan dapat memberikan khasanah ilmu pengetahuan yang beraneka macam ragamnnya. Dan penggalian karya sastra lama, yang tersebar di daerah-daerah ini, akan menghasilkan ciri-ciri khas kebudayaan daerah, yang meliputi pula pandangan hidup serta landasan falsafah yang mulia dan tinggi nilainya. Modal semacam ini, yang tersimpan dalam karyakarya sastra daerah, akhirnya akan dapat juga menunjang kekayaan sastra Indonesia pada umumnya. Pemeliharaan, pembinaan dan penggalian sastra daerah jelas akan besar ali bantuannya dalam usaha kita untuk membina kebudayaan nasional pada umumnya, dan pengarahan pendidikan pada khususnya.

Saling pengertian antar daerah, yang sangat besar artinya bagi pemeliharaan kerukunan hidup antar suku dan agama, akan dapat tercipta pula, bila sastra-sastra daerah, yang termuat dalam karya-karya ·sastra lama itu, diterjemahkan atau diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Dalam taraf pembangunan bangsa dewasa ·ini manusia-manusia Indonesia sungguh memerlukan sekali warisan rohaniah yang terkandung dalam sastra-sastra daerah tersebut. Kita yakin bahwa segala sesuatunya yang dapat tergali dari dalamnya tidak hanya akan berguna bagi daerah yang bersangkutan saja, melainkan juga akan dapat menjelma menjadi sumbangan yang khas sifatnya bagi pengemba- ngan sastra Dunia.

Sejalan dan seirama.dengan pertimbangan tersebut di atas, kami sajikan pada kesempatan ini suatu karya sastra daerah Bali, yang berasal dari Fakul- tas Sastra, Universitas Udayana, dengan harapan semoga dapat menjadi. Pengisi dan pelengkap dalam usaha menciptakan minat baca dan apresiasi masyarakat kita terhadap karya sastra, yang masih dirasa sangat terbatas.

Jakarta, 1978.

Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra

Indonesia dan Daerah [ 5 ]

Cerita Singkat I Jayaprana

Sebuah nisan yang letaknya terpencil di tengah hutan belukar, sangat indah tampaknya dan sangat dikeramatkan orang. Di sekitar tempat itu · selalu kelihatan adanya taburan bunga yang beraneka ragam warnanya, di samping lidi-lidi bekas dupa harum yang masih terpancang di atas sesajen.

Keadaan alam sekelilingnya sangat sunyi, lengang, hanya kedengaran suara burung kecil-kecil yang rupanya sebagai penjaga nisan, untuk menyapa orang-orang yang sungguh-sungguh berziarah ke tempat keramat itu.

Nisan yang bentuknya sederhana itu, adalah tempat kuburan I Jayaprana , seorang laki-laki yang sedang berbulan madu, dibunuh oleh kekejaman rajanya sendiri. Tempat itu bernama Celuk Terima. Di situlah I Jayaprana ditikam dengan kejam oleh seorang utusan raja, dan kemudian oleh penduduk dibuatkan sebuah nisan.

Cerita yang sungguh-sungguh terjadi di Bali Utara itu, merupakan sebuah cerita "duka-carita" sebagai protes terhadap kesewenang-wenangan raja yang memerintah pada waktu itu. Adapun cerita singkatnya demikian :

JAYAPRANA DAN LAYONSARI

Dua orang suami-isteri bertempat tinggal di desa Kalianget mempunyai tiga orang anak, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Oleh karena ada wabah yang menimpa masyarakat desa itu maka empat orang dari keluarga yang miskin ini meninggal dunia bersamaan. Tinggallah seorang laki-laki yang paling bungsu, bernama I Jayaprana. Oleh karena orang yang terakhir ini keadaannya yatim-piatu. maka ia pun memberanikan diri mengabdi di istana raja. Di istana laki-laki itu sangat rajin; raja pun amat kasih sayang kepadanya.

Kini I Jayaprana baru berusia duabelas tahun. Ia sangat ganteng, paras muka tampan dan senyumnya pun sangat manis menarik


7

[ 6 ]Beberapa tahun kemudian.

Pada suatu hari, raja menitahkan I Jayaprana, supaya memilih salah seorang dayang-dayang yang ada di dalam istana atau gadis-gadis yang ada di luar istana. Mula-mula I Jayaprana menolak titah baginda, dengan alasan, bahwa dirinya masih kanak-kanak. Tetapi karena dipaksa oleh raja, akhirnya I Jayaprana menurutinya.

Ia pun melancong ke pasar yang ada di depan istana hendak melihatlihat gadis yang lalu-lalang pergi ke pasar. Tiba-tiba ia melihat seorang gadis yang sangat cantik jelita. Gadis itu bernama Ni Layonsari, putra Jero Bendesa, berasal dari Banjar Sekar.

Melihat gadis yang elok itu, I Jayaprana sangat terpikat hatinya. dan pandangan matanya terus membuntuti lenggang gadis itu ke pasar. Sebaliknya Ni Layonsari pun sangat hancur hatinya, baru memandang pemuda ganteng, yang sedang duduk-duduk di depan istana.

Setelah gadis itu menyelinap di balik orang-orang yang ada di dalam pasar, maka I Jayaprana cepat-cepat kembali ke istana, hendak melapor ke hadapan Sri Baginda Raja.

Laporan I Jayaprana diterima oleh baginda, dan kemudian raja menulis sepucuk surat.

I Jayaprana dititahkan membawa sepucuk surat ke rumahnya Jero Bendesa. Tiada diceritakan di tengah jalan, maka I Jayaprana tiba di rumahnya Jero Bendesa. Ia menyerahkan surat yang dibawanya itu kepada Jero Bendesa dengan hormatnya. Jero Bendesa menerima terus langsung dibacanya dalam hati. Jero Bendesa sangat setuju apabila putranya yaitu Ni Layonsari dikawinkan dengan I Jayaprana. Setelah ia menyampaikan isi hatinya 'setuju' kepada I Jayaprana, lalu I Jayaprana memohon diri pulang kembali.

Di istana.

Raja sedang mengadakan sidang di pendopo. Tiba-tiba datanglah I Jayaprana menghadap melaporkan pesanan Jero Bendesa ke hadapan Sri Baginda Raja. Kemudian raja mengumumkan pada sidang yang isinya antara lain : Bahwa nanti pada hari Selasa Legi wuku Kuningan, raja akan membuat upacara perkawinannya I Jayaprana dengan Ni Layonsari. Dari itu raja memerintahkan kepada segenap Perbekel, supaya mulai mendirikan bangunan-bangunan rumah, balai-balai selengkapnya untuk I Jayaprana.

Menjelang hari upacara perkawinannya, semua bangunan-bangunan sudah selesai dikerjakan dengan secara gotong-royong. Semuanya serba indah.


8 [ 7 ]Kini tiba hari upacara perkawinan itu.

I Jayaprana diiring oleh masyarakat desanya, pergi ke rumahnya Jero Bendesa, hendak memohon Ni Layonsari, dengan alat upacara selengkapnya.

Sri Baginda Raja sedang duduk di atas singgasana, dihadap oleh para pegawai raja dan para perbekel baginda. Kemudian datanglah rombongan I Jayaprana di depan istana. Kedua mempelai itu lalu turun dari atas joli, terus langsung menyembah ke hadapan Sri Baginda Raja dengan hormat- nya.

Melihat wajah Ni Layonsari, raja pun membisu tak dapat bersabda. Setelah senja, kedua mempelai itu lalu memohon diri akan kembali ke rumahnya, meninggalkan sidang di paseban.

Sepeninggal mereka itu, Sri Baginda lalu bersabda kepada para perbekel semuanya, untuk meminta pertimbangan caranya memperdayakan I Jayaprana, supaya ia mati. Istrinya, yaitu Ni Layonsari, supaya masuk ke istana, dijadikan permaisuri baginda. Dikatakan, apabila Ni Layonsari tidak dapat diperisteri, maka baginda akan mangkat, karena kesedihan.

Mendengar sabda itu salah seorang perbekel lalu tampil ke depan, hendak mengetengahkan pertimbangan, yang isinya antara lain : Agar Sri Paduka Raja menitahkan I Jayaprana bersama rombongan pergi ke Celuk Terima, untuk menyelidiki perahu yang hancur, dan orang-orang Bajo menembak binatang yang ada di kawasan Pengulon. Demikian isi pertimbangan salah seorang perbekel, yang bemama I Saunggaling, yang telah disepakati oleh Sang Raja.

Sekarang tersebutlah I Jayaprana yang sangat berbahagia hidupnya bersarma istrinya. Tetapi baru tujuh hari lamanya mereka berbulan madu, datanglah seorang utusan raja ke rumahnya, yang maksudnya memanggil I Jayapana supaya menghadap ke paseban.

I Jayaprana segera pergi ke paseban menghadap Sri Paduka Raja bersama perbekel sekalian. Di paseban mereka dititahkan supaya besuk pagi-pagi pergi ke Celuk Terima, untuk menyelidiki adanya perahu kandas dan kekacauan-kekacauan lainnya. Setelah senja, sidang pun bubar.

I Jayaprana pulang kembali. Ia disambut oleh istrinya yang sangat dicintainya itu. I Jayaprana menerangkan hasil-hasil rapat di paseban kepada istrinya.

Hari sudah malam.

I Layonsari bermimpi, rumahnya dihanyutkan banjir besar. Ia pun bangkit dari tempat tidurnya seraya menerangkan isi impiannya yang sangat mengerikan itu kepada I Jayaprana. Ia meminta agar keberangkatan­ nya besuk dibatalkan berdasarkan alamat-alamat impiannya. Tetapi I Jaya-


9

[ 8 ]prana tidak berani menolak perintah raja. Dikatakan, bahwa kematian itu

terletak di tangan Tuhan Yang Maha Esa.

Pagi-pagi I Jayaprana bersama rombongan berangkat ke Celuk Terima, meninggalkan Ni Layonsari di rumahnya dalam kesedihan.


Dalam perjalanan rombohgan itu, I Jayaprana seringkali mendapat alamat yang buruk-buruk. Akhirnya mereka tiba di hutan Celuk Terima. I Jayaprana sudah merasa dirinya akan dibinasakan. Kemudian I Saunggaling berkata kepada I Jayaprana sambil menyerahkan sepucuk surat. I Jayaprana menerima surat itu terus langsung dibaca di dalam hati, isinya :

"Hai engkau Jayaprana

Manusia tiada berguna

Berjalan, berjalanlah engkau

Akulah menyuruh membunuh kau.


Dosamu sangat besar

Kau melampaui tingkah raja

Istrimu sungguh milik orang besar

Kuambil kujadikan istri raja.

Serahkanlah jiwamu sekarang

Jangan engkau melawan

Layonsari jangan kaukenang

Kuperistri hingga akhir jaman."


Demikianlah isi surat Sri Baginda Raja kepada I Jayaprana. Setelah I Jayaprana membaca surat itu, lalu ia pun menangis tersedu-sedu sambil meratap : "Yah, oleh karena sudah dari titah baginda, hamba tiada menolak. Sungguh semula baginda menanam dari memelihara hamba, tetapi kini baginda ingin mencabutnya, yah silakan. Hamba rela dibunuh demi kepentingan baginda, meskipun hamba tiada berdosa." Demikian ratapnya I Jayaprana seraya mencucurkan air mata. Selanjutnya I Jayaprana meminta kepada I Saunggaling supaya segera bersiap-siap menikamnya.

Setelah I Saunggaling mempermaklumkan kepada I Jayaprana bahwa ia menuruti apa yang dititahkan oleh raja, dengan hati yang berat dan sedih ia menancapkan kerisnya pada lambung kirinya I Jayaprana. Darah menyembur harum semerbak baunya, bersamaan dengan alamat yang aneh-aneh di angkasa dan di bumi, seperti : gempa bumi, angin topan, hujan bunga, teja membangun dan sebagainya.


10
[ 9 ]Setelah mayat I Jayaprana itu dikubur, maka seluruh perbekel kembali pulang dengan perasaan sangat sedih. Di tengah jalan mereka sering mendapat bahaya maut. Di antara perbekel itu banyak yang mati. Ada yang mati karena diterkam harimau, ada juga yang dipagut ular.

Berita tentang terbunuhnya I Jayaprana itu telah didengar oleh istrinya yaitu Ni Layonsari. Dari itu ia segera menghunus keris dan menikam dirinya.

Demikianlah isi singkat cerita dua orang muda-mudi itu yang baru saja berbulan madu atas cinta murninya, akan tetapi mendapat halangan dari seorang raja dan akhirnya bersama-sama meninggal dunia.


•••



11

[ 11 ]

Geguritan Jayaprana


Om awignam astu sidam

Semoga sukses tak terhalang


puh ginada


1. Ada geguritan anyar,

Ginada anggonnya gending,

di Gumreg Buda Kelion,

tanggal pisan sedek dalu,

Sasih Kalima rahina,

duk mangurit,

Sri Puspa Jiwa Kawarna.


Ada nyanyian baru,

memakai tembang Ginada,

disusun hari Rebo Kelion Gumbreg,

tanggal satu waktu malam,

pada bulan Kelima,

waktu menyusun nyanyian,

tahun Saka satu enam empat.


2. Ne manulis anak papa,

bau melajah manulis,

iseng kangen di paturon,

saparipolahe ganggu,

anging sawetu ban titiang,

ngawe gurit,

manyamar mungguh di lontar.


Yang menulis orang hina,

baru belajar menulis,

rindu dendam di tempat tidur,

pikiran serba iseng,

tetapi dapatlah olehku,

menyusun nyanyian,

memetik dari isi-isi lontar.


3. Tui goak mamata barak,

tuhu titiang wantah jati,

beloge mangonyang arsa,

ririhe tong dadi pesu,

anging sawetu ban titiang,

ngawe gurit,

mangawe kidung panyapa.


Sungguh bagai gagak bermata merah,

memang demikian sebenarnya,

bodohku tak terbatas,

kepintaran tak mau timbul,

tetapi dapat juga saya,

menyusun nyanyian,

membuat nyanyian penyuluhan.


4. Ne kocap mungguh di lontar,

wong sudra mungguh di gurit,

bau mara mapumahan,

mangelah pianak tatelu,

muaninnyane dadua,

luh adiri,

ne paling wayaha pejah.


Yang tersebut di dalam lontar

peranan orang sudra yang dikarang,

ia baru berkeluarga,

mempunyai putra tiga orang,

laki-laki dua orang,

wanita seorang,

yang tertua sudah meninggal.


13

[ 12 ]5. Ne nengahan milu pejah,

matinnyane gebug gering,
daweg gerubuge reko,
irika ya pada lampus,
mati patpat sibarengan,
luh-muani,
memennya lan bapannya.


Yang kedua juga meninggal,
matinya ditimpa penyakit,
konon waktu ada wabah,
di sana mereka meninggal,
mati berempat bersamaan,
laki-wanita,
ibu dan ayahnya.


6. Kantun ne paling nyomanan,
dadianya raris manjing,
mareng dalem pura reko,
ring Ida Anake Agung,
wayah wau roras temuang,
kari alit,
jemete mangonyang-onyang.

Kini tinggal yang ketiga,
lalu ia mengabdi,
konon di dalam istana,
kepada Tuanku Raja,
usia baru duabelas tahun,
masih kecil,
rajinnya bukan kepalang.


7. Carita sampun di pura,
Sang Prabu lintang asih,
maparab I Jayaprana,
tuhu gobannyane bagus,
baguse mangayang-ayang,
soring langit,
baguse tuara 'da pada.

Diceritakan ia sudah di istana,
Raja sangat sayang kepadanya,
bernama I Jayaprana,
sungguh rupanya sangat elok,
tampannya tak terbatas,
di bawah langit,
eloknya tak ada bandingnya.


8. Ragane naraju emas,
pamulune nyandat gading,
tegak wadanane melok,
rambute mekmek sumekul,
alise medon intaran,
kenyung manis,
isite ngembang rijasa.

Tubuhnya sebagai neraca emas,
warna kulitnya putih gading,.
bentuk mukanya bundar,
rambutnya lebat mengombak,
keningnya sebagai daun intaran,
senyum manis,
gusinya sebagai bunga rejasa.


9. Anake Agung ngandika,
Jayaprana makekawin,
Arjuna-wiwane paca,
duk Arjunane kaigum,
matapa di Indrakila,
lintang becik,
jalan dedarine ngoda.


Sri Baginda Raja bersabda,
"Bernyanyilah kau Jayaprana,
bacalah Kekawin Arjunawiwaha i
pada waktu Arjuna digoda,
bertapa di Gunung Indrakila,
sangat baik,
perbuatan bidadari itu menggoda." [ 13 ]10. Makidung laut nyatuaang, buka tuara ada ngajahin, suaranyane manis alon, Anake Agung ngarungu, I Jayaprana masaang, ririh manis, tuhu maniru ka rupa.

11. Wang jero jani kocapan, pabisik ia pada nabing, mapeta teken roanga, ento anak tuhu bagus, dumadak titiang padika, nene mangkin, baan I Jayaprana.

12. Ada len malih angucap, ada nyuangang sesangi, yan sih titiang kapaica, ngaturang guling pepitu, ngarepin sanggah kemulan, pesu-mulih, majekjekan pitawala.

13. Tan kawarna sapunika, sampun usan makekawin Anake Agung lingnialon, pangandikanida alus, tekening I Jayaprana, ne te nani, suba kelih enot kola.

14. Engken te wang jeron kola, ne melah-melah pilihin, di jaba miwah di jero, sekalan kola nu idup, wang jron kola tigangatak, to pilihin, sedeng labuhin dikarma.

Ia bernyanyi sambil membahas, bagai tak ada orang mengajar, suaranya merdu nyaring, Raja asik mendengarkan, I Jayaprana menerangkan, pintar, manis, sungguh serasi dengan eloknya.

Tersebutlah para dayang di istana, berbisik-bisik mereka berkata, berkata sama temannya, "Sungguh itu orang elok, mudah-mudahan aku dicintai, saat ini, oleh I Jayaprana."

Ada yang lain berkata, ada yang berkaul, "Jika aku dicintai, kupersembahkan tujuh babi guling, di hadapan 'sanggar kemulan' keluar masuk, beralaskan kain cindai."

Tak diceritakan hal itu, kini sudah selesai menyanyi, Raja bersabda pelahan, sabda baginda alus, kepada I Jayaprana, "Wahai kau Jayaprana, kupandang kau sudah dewasa.

Yang mana dayang-dayangku, yang cantik-cantik itu pilih, di luar istana maupun di dalam, mumpung aku masih hidup, dayang-dayangku enamratus orang, pilihlah itu, yang layak pakai isteri."

15

I Jayaprana berpandangan mata dengan Ni Layonsari yang sedang kepanasan[ 15 ]15. I Jayaprana manyumbah,

titiang pamit ne ne mangkin,
mapan dereng manah titiang,
kadi ayame makurung,
yuakti titiang dereng binal,
kari wanci,
galak baan kakelegan.


I Jayaprana menyembah,
"Saat ini hamba menolak,
karena belum ada maksud hamba,
sebagai ayam di dalam sangkar,
sungguh hamba belum bernafsu,
masih takut,
berani karena didorong-dorong."


16. Anake Agung semu ica,
nguda keto baan nani,
sok tencebin sawen dogen,
kema iba pesu nganggur,
di pekene di bancingah,
ditu lingling,
anake luas ka pasar.


Raja lalu tersenyum,
"Mengapa kau demikian,
baiklah beri pancang saja, .
pergilah kau melancong,
di pasar depan istana,
di sana lihat-lihat,
orang-orang yang pergi ke pasar."


17. Dewa Ratu Gustin titiang,
titiange rauh sairing,
tumuli mapadu lima,
manyumbah mapamit pesu,
ka pekene di bancingah,
ia nglingling,
anake luas ka pasar.


"Baiklah, Paduka Tuanku,
hamba menuruti."
Lalu mencakupkan tangan,
menyembah berpamitan keluar,
ke pasar di depan istana,
ia melihat-lihat,
orang-orang yang ke pasar.


18. Kaget teka uli kaja,
makelap maanteng kuning,
mapusung lunggah suahan,
maledped teked ka tundun,
bangkiang lengkiang adeg lanjar,
susu nyangkih,
kadi nyuh gadinge kembar.


Tiba-tiba datang dari selatan,
tampak gadis berkemban kuning,
rambut bersanggul mengurai,
menjulur hingga ke pinggang,
pinggang ramping badan tinggi,
susu montok,
bagai putik kelapa kuning kembar.


19. Kukune panjang kumredap,
tayungane membat miring,
tan pendah padapa layon,
wadanane melok lumlum,
alise medon intaran,
kenyung manis,
isite ngembang rijasa.


Kukunya panjang gemerlapan,
lenggangnya lemah gemulai,
tak ubahnya daun muda layu,
wajah mukanya bundar halus,
kening seperti daun intaran,
senyum manis,
gusinya sebagai kembang rejasa.


[ 16 ]20. Tan pendah deling kencana,

mawasta I Layonsari,

I Jayaprana kaleson,

ngatonang daane ayu,

kocap pianak Jero Bandesa,

uli kangin,

magenah di Banjar Sekar.


Tak ubahnya patung mas,

bernama I Layonsari,

I Jayaprana berasa lesu,

memandang gadis jelita,

dikatakan puteri Jero Bendesa,

dari Timur,

tinggal di Banjar Sekar.


21. I Jayaprana tuminggal,

liate ngamaling-maling,

I Layorisari kocapan,

usan mabelanja mantuk,

sareng roange di jalan,

ia pabisik,

nakonang I Jayaprana.


I Jayaprana memandang,

pandangan matanya mencuri-curi,

diceritakan I Layonsari,

selesai berbelanja lalu pulang,

bersama temannya di tengah jalan,

mereka berbisik-bisik,

menanyakan I Jayaprana.


22. Wang apa anake busan,

tarunane bajang cerik,

I Ketut sumaur alon,

makrempiang munyine alus,

tan wenten titiang manawang,

rupa becik,

baguse ngenyudang manah.


"Siapa orang yang tadi itu,

teruna yang kecil itu?"

I Ketut menjawab pelahan,

nyaring suaranya halus,

"Sungguh aku belum tahu,

wajah tampan,

eloknya menggiurkan hati.


23. I Jayaprana ka pura,

satindak manolih-nolih,

Anake Agung di jero,

mijil ping ro ida alungguh,

Anake Agung ngandika,

ia te nani,

suba ke nani ka jaba.


I Jayaprana ke istana,

setiap langkah menoleh,

Raja di dalam istana,

duakali baginda keluar terus duduk,

Raja bersabda,

"Hai kau.

sudahkah kau keluar?


24. I Jayaprana manyumbah,

sampun ko titiang ngalingling,

wenten asiki kemaon,

rupan ipun tuhu ayu,

kocap pianak Jero Bandesa,

uli kangin,

magenah di Banjar Sekar.


I Jayaprana menghormat,

"Hamba sudah melihat,

ada hanya seorang,

rupanya sangat cantik,

dikatakan putri Jero Bendesa,

dari Timur,

tinggal di Banjar Sekar.



18 [ 17 ]25. Anake Agung ngandika ,
bin pidan melah mangambil ,
De Sengguhu matur alon,
kocap malih ululikur ,
Anggara Manis Kuningan,
lintang becik,
Sasih Kapitu irika.


26. Prebekele matur sembah,
wiakti punika ne becik,
salinging Jero Sengguhu reko ,
dina sasih pada ayu,
Anake Agung manyurat,
linging tulis,
Maman Bandesa kanginan,


27. Aku peta teken Maman ,
apang suka Maman nampi,
pianak Mamane I Nyoman,
ia pacang idih aku,
apang suka Maman nanggap,
luih I Bibi,
teken I Jayaprana.


28 . Di Kapitune kajuang,
buin ululikur mangkin,
apang Maman da kemengan,
cecirenan sampun mungguh,
sampun usan ida nyurat,
linging tulis,
kaicen I Jayaprana.


29. Anake Agung ngandika,
Jayaprana luas kangin ,
ne tulis kolane aba,
kangin ka Banjaran Santun ,
kumah dane Jero Bandesa,
apang gati,
I Jayaprana mananggap.


Raja bersabda,
"Kapan hari baiknya kawin ,
De Sengguhu mcnyembah pelahan ,
"Kira-kira lagi duapuluhdelapan ,
hari Selasa Umanis Kuningan ,
sangat baik,
bulan Ketujuh di sana."


Perbekel itu mcnyembah,
" Sungguh itu yang baik,
seperti keterangan Jero Sengguhu ,
hari dan bulan scmuanya baik."
Raja lalu membuat surat,
isi surat itu ,
"Paman Bendesa scbclah timur.


Aku berkata sama Paman ,
sukalah Paman menerimanya,
anak Paman itu I Nyoman,
ia akan kupinta,
agar sukalah Pam an menerima,
demikian juga isterimu,
kukawinkan sama I Jayaprana.


Bulan Ketujuh akan kuambil,
lagi duapuluh delapan hari,
agar Paman tidak terkejut,
perjanjian sudah terdaftar ,"
Selesai baginda menulis surat ,
isi surat itu,
lalu diberi I Jayaprana.


Seri Baginda bersabda,
"Jayaprana, kau pergi ke timur,
bawalah suratku ini,
ke timur di Banjar Sekar,
ke rumahnya Jero Bendesa,
Iekas-lekas."
I Jayaprana menerima.

19

[ 18 ]30. Dewa Ratu Gustin titiang,

titiange rauh sairing,
tumuli majalan reko,
mangetan lampahe sampun,
tan kocapan ia di jalan,
kaget prapti,
kocapan di Banjar Sekar .


31. Kocap Jero Bandesa lanang ,
madampiak sareng malinggih,
I Layonsari di tengah,
maderek sareng alungguh,
sarwi ia mareraosan,
kaget prapti,
parekan I Jayaprana.


32. Dane Jero Bandesa lanang,
tengkejut laut nyapatin,
cai ke uli di jero,
tumbenan meriki nganggur,
punapi sih wenten karya,
ulat gati,
meriki raris menekan.


33. I Layonsari semu jengah,
ulate sawang kebilbil,
tumuli tuun maserod,
yeh matane deres pesu,
mulihan ngubet jelanan,
laut nangis,
I Jayaprana menekan.

34. I Jayaprana angucap,
titiang kautus ne mangkin,
mamakta surate reko,
antuk Ida anake Agung,
puniki surat paica,
ring I Gusti,
dane Jero Bandesa nanggap.


"Tuanku, junjungan hamba,
hamba bersedia,"
Kemudian ia berjalan ,
perjalanannya ke timur,
tak diceritakan di jalan,
lalu ia tiba,
tiba di Banjar Sekar .


Diceritakan Jero Bendesa laki-laki,
berkembaran mereka duduk,
I Layonsari di tengah-tengah ,
mereka duduk berjejer,
sambil bercakap-cakap,
lalu datang ,
orang abdi I Jayaprana.


Jero Bendesa laki-laki,
terkejut lalu menyapa,
"Anda dari istana,
tumben kau melancong kemari,
apakah keperluan anda,
rupanya penting,
mari silakan naik!"


I Layonsari tersipu-sipu,
rupanya seperti kemalu-maluan,
lalu turun keburu-buru,
air matanya deres keluar,
lalu ke kamar menutup pintu,
lalu menangis,
I Jayaprana naik ke serambi.


I Jayaprana berkata,
kini hamba diutus ,
membawa surat,
oleh Tuanku Raja ,
inilah surat yang diberikan,
kepada Paman ,"
Jero Bendesa menerimanya.




20
[ 19 ]35. Punapi daginging surat,

icen Maman mamalihin,
kapaca di ati reko,
antuk Jero Bandesa kakung,
sampun tatas ya winaca,
linging tulis,
kadi arep ya kocapan.

36. Dane Jero Bandesa ngucap,
Mamane rauh sairing,
yan cai kaicen reko,
bagian Bapane manerus,
mamantu pada di jaba,
tunden sai,
cucu bakat sangkol diman.

37. Anging adin cai nista,
tong ada mangidep munyi,
mangandelang lemet basang,
yan glemekin ia mangambul,
daar cai canang Bapa,
saur aris,
titiang nunas canang Bapa.

38. I Jayaprana angucap,
titiang mapamit ne mangkin,
Jero Bandesa lingnialon,
mamargi I Mirah Ratu,
mai-mai kumah Bapa,
ya malali,
I Jayaprana angucap.

39. Titiang sandikan I Bapa,
ne mangkin titiang mapamit,
tumuli majalan reko,
enggal lampahe andarung,
tan kocapan ia di jalan,
laut manjing,
I Jayaprana ka pura.

"Bagaimana isi surat itu,
bolehkah Paman membaca?"
lalu dibacanya dalam hati,
oleh Jero Bendesa laki-laki,
sudah semuanya dibaca,
bunyi surat itu,
seperti yang tersebut di depan.

Jero Bendesa berkata,
"Paman tidak keberatan,
kalau dipertemukan sama engkau,
kebahagiaan Bapak terus,
bermenantukan orang biasa,
selalu dapat disuruh,
cucu dapat cium dan pangku.

Tetapi adikmu itu sangat hina,
tidak mau menuruti perintah,
hanya bermalas-malas saja,
jika hardik, ia ngambek,
silakan makan sirih ayah!"
I Jayaprana hormat menjawab,
"Hamba mohon sirih Bapak."

I Jayaprana berkata,
"Hamba mohon permisi sekarang."
Jero Bendesa berkata pelahan,
"Silakan Jayaprana,
sering-sering ke rumah Bapak,
melancong,"
I Jayaprana menjawab.

"Hamba menjunjung Bapak,
sekarang hamba permisi."
lalu ia berjalan,
perjalanannya cepat-cepat,
tak diceritakan di tengah jalan,
lalu masuk,
I Jayaprana ke istana.

21

[ 20 ]40. Anake Agung di odal,

pepek prebekele nangkil,
I Jayaprana teka reko,
manyogjog negak di pungkur,
mamepes ngelenang mata,
luir ditulis,
kadi Hyang Semara ngindarat.

41. Anake Agung ngandika,
suba ke nani katampi,
antuk dane Jero Bandesa,
I Jayaprana umatur,
inggih sampun ko katanggap,
dane ngiring,
parekan Cokor I Dewa.

42. Anake Agung ngandika,
teken prebekele sami,
Maman pada kena karya,
ngawe umah apang luung,
gawenang I Jayaprana,
apang gati,
apang pragat dasa dina.

43. Bale singasari dadua,
mancagina bandungsari,
pacang pasarene reko,
bale gajah makekipu,
sios ne ne di jabaan,
ngapit kori,
sakaulu makembaran.

44. Sampun sanja surup surya,
prebekele sami mapamit,
Anake Agung ka jero,
I Jayaprana kawuwus,
sampun kaicen lungsuran,
luih I Gusti,
sampunida wus manadah.

Raja berada di pendopo,
lengkap perbekelnya menghadap,
lalu I Jayaprana datang,
langsung duduk di belakang,
pandangan matanya jauh-jauh,
bagai lukisan,
sebagai Hyang Asmara di bumi.

Raja bersabda,
"Sudahkah kau diterima,
oleh Jero Bendesa,"
I Jayaprana menyembah,
"Benar, sudah diterima,
beliau setuju,
Jero Bendesa itu."

Raja bersabda,
kepada perbekel sekalian,
"Paman-paman harus bekerja,
membangun rumah yang baik,
untuk I Jayaprana,
supaya giat,
agar selesai sepuluh hari lagi.

Balai singasari dua buah,
balai mancagina, bandungsari,
untuk tempat tidurnya,
balai gajah berkubang,
lain lagi yang di muka,
mengapit pintu,
balai bertiang delapan kembar."

Sudah sore, matahari terbenam,
sekalian perbekel mohon diri,
Seri Baginda masuk ke istana,
diceritakan I Jayaprana,
sudah dijamu makan,
terutama Sri Baginda,
Baginda sudah selesai bersantap.

22

[ 21 ]45. Tan kocapan sapunika ,

kocap De Bandesa kangin ,
manari pianake reko,
pamunyin danene alus,
aduh Dewa nyai Nyoman,
ne i tuni .
ada ya parekan teka .


46. Mawasta I Jayaprana,
mamakta surat I Gusti .
pamunyin surate reko ,
apang Bapa suka mupu,
tekneing I Jayaprana ,
ne ne jani ,
nyai pacang kapaica .


47. Di Kapitune kajuang,
buin ululikur mangkin ,
Bapa wantah mangaturang ,
nanging yen sih nyai kayun ,
I Layonsari angucap,
titiang ngiring,
lamun pangandikan Bapa.


48. Raina tatas semengan,
Anake Agung katangkil,
prebekele kumaotok,
ngawe umah apang luung,
ada janma kalih laksa,
sampun tragi,
manatal ada manyitak.


49. Ada mangawe adegan,
ada ngimbal ada ngukir,
ada nabas bakal parba,
gopalane agung-agung,
maukir mapinda gruda,
ngapit kori,
togoge manganggar pedang.


Tiada diceritakan hal itu ,
diceritakan Jero Bendesa di timur,
mendesak kepada putrinya,
katanya lemah-lembut,
"Duhai, anakku Nyoman,
yang tadi,
ada seorang abdi datang.


Bernama I Jayaprana,
membawa surat dari Raja,
adapun isi surat itu ,
agar ayah suka menerimanya,
mengajak I Jayaprana,
kini,
kau akan diserahi I Jayaprana.


Dalam bulan Ketujuh akan diambil,
lagi dua puluh delapan hari,
ayah hanya menyerahkan,
tetapi jika engkau suka."
I Layonsari menjawab,
"Hamba menuruti,
asal ayah yang menyuruh."


Esok hari pagi-pagi,
Raja dihadap di pendopo,
sekalian perbekel sibuk,
membangun rumah supaya indah,
pekerja semua dua laksa,
sudah siap,
ada membuat 'tatal' batu merah.


Ada yang membuat tiang,
ada melukis, ada mengukir,
ada menyerut untuk parba,
patungnya besar-besar,
berukir berbentuk garuda,
mengapit pintu,
arcanya memegang pedang.


23

[ 22 ]50. Pasarene suba pragat,

makejang pad a maukir, pradane pakencorong, magegenteng mirah murub, kasure tinunda-tunda, kasur sari, kotak tabla maturutan.

Tempat tidurnya sudah-selesai, semuanya serba berukir , peradanya berkilauan, gentingnya mirah bersinar, kasurnya bertumpuk-tumpuk, kasur sari, peti kotak berurutan .

51. Parbane malelampahan, Malate di Gunung Kawi , papedek matutub emas, lelangse manyeti terus, mabelat malelampahan , Wargasari , duke matemu di taman .

Gambar parbanya memakai cerita, cerita Malat di Gunung Kawi, bantalnya bertutup dengan mas, kelambunya kain sutra dari Manycti, bidai bergambar memakai cerita, cerita Wargasari , waktu bertemu di taman.

52. Panganggone sarwa emas, ngendih tong ada nyuluhin, kumaredep pakencorong, magegandan mrebuk arum , sios bale mancagina, pada mukir, ukiran patra ulanda.

Perhiasannya serba mas, menyala tak ada menyinari , gemerlapan bercahaya, baunya semerbak .harum, lain lagi balai 'pancagina', semua berukir, ukiran model 'patra-ulanda'.

53. Ulon-ulone magambar, lampahan prang Wedasari , sios nene di jabaan, wen ten bale kapatsasur, drasaksat kadi suarga, murub endih, karya buin pitung dina.

Dindingnya di ulu bergambar, dengan cerita perang Wedasari , lain lagi yang di luar, balai-balai tiga puluh lima buah, sebagai Sorgaloka , asri bersinar, upacara kawin lagi tujuh hari.

54. Gustine ngicen carikan, teken kaulane sami, ngejuk kebo ka Pangulon, kucite sampun mabugbug, pacang gulinge punika, sampun tragi, bebek siape cumandang.

Raja telah menjamu, kepada rakyat baginda semua, menangkap kerbau ke Pangulon, babi sudah terkumpul, untuk babi-gulingnya, sudah siap, itik dan ayam sudah tersedia.

24 [ 23 ]55. Prebekele nunas carikan ,
di jaba pada malinggih,
ideran tan pegat-pegat,
arak bererne lumintu,
ada ne negak di luan ,
semu raspati ,
suba pada wus madaar.

56. Anake Agung kajaba ,
kari kaulane sami,
Maman pada lamun apa ,
magusti tekening aku ,
singnya Maman mangadoang ,
ngutang Gusti,
singa ada musuh teka.


57. Makemplung kulkul majalan,
eda ngalih bekel mulih,
yan Maman teked di pondok,
masa Maman pacang nglentuk,
nira maang Maman teda,
eda imbih,
pipise pada madasa.


58. Prebekele saur sembah,
sandikan Cokor I Gusti,
sampunang sing panjang raos,
yan titiang kari majujuk,
tong gingsir Cokor I Dewa,
lamun mati,
titiang ngiring pangandika .


59. Rempek bau tangan kiwa,
tendas titiange mleketik,
tiba ka tanahe reko,
menawi gingsir I Ratu,
sampunang Cokor I Dewa,
walang ati ,
mangkin ngaulaang titiang.


Sekalian perbekel sedang makan,
semuanya duduk di luar,
minuman tak henti-hentinya,
arak dan berem membanjir,
ada yang duduk di udik,
wajah gembira,
kini sudah selesai makan .


Raja lalu ke luar,
rakyat baginda masih di luar,
"Paman sekalian, sampai di mana,
kesetiaanmu kepadaku,
tidakkah Paman mengecewakan,
meninggalkan daku,
jika ada musuh menyerang.


Kentongan berbunyi, bergeraklah,
tak usah mencari bekal pulang,
jika Paman sampai di rumah,
masak Paman akan lapar,
aku bersedia memberi makanan,
jangan kuatir,
ini uang seorang sepuluh kepeng."


Sekalian perbekel itu menyembah,
"Kami menjunjung titah Paduka,
jangan diperpanjang lagi,
selagi hamba masih berdiri,
tak kalah Paduka Tuanku,
biar harnba mati,
demi melakukan titah Paduka.


Biar pundak hama remuk,
kepala hamba terpenggal,
hingga jatuh ke tanah,
di sana barulah Paduka kalah,
janganlah Paduka Tuanku,
ragu-ragu,
memperhambakan hamba sekarang ."


25

[ 24 ]60. Ada len malih angucap,

manyengking nyeedang keris,
yadian mapeluk majambak,
tuara manah titiang kengguh,
tong kado Cokor I Dewa,
tong ngesemin,
titiang ngiring pakayunan.

61. Sadina magegambuhan,
peteng wayange tan kari,
tekan panemaya reko,
wang bajone sampun rauh,
makekober bulun warak,
bedil kumritig,
kadi glagah katunuan.

62. Pareret lan kendang Cina,
cumangkirang angrerengih,
dadap lan paresi reko,
panah cendeke lumintu,
baris macane maningklak,
madedingkling,
solahe ngeresang manah.

63. Wayang wonge tumandang,
jangkang jojor pada prapti,
len baris katekok jago,
lengare mapradu malu,
sakatahe unen-unian,
pada prapti,
sakatah desane teka.

64. Kocapan I Jayaprana,
sampun ngrangsuk busana luih,
madestar sutra masimbar,
patitis garuda mungkur,
masekar mas mandalika,
manting-anting,
kalacakra mamanisan.

Ada yang lain berkata,
bercekak pinggang mengacu keris,
meski bergumal saling renggut,
hamba tak akan gentar,
Paduka Tuanku tiada sia-sia,
tak mengecewakan,
hamba melaksanakan titah."

Setiap hari ada tontonan gambuh,
juga malamnya tontonan wayang,
selang tiba hari upacaranya,
orang-orang Bajo semua datang,
membawa panji-panji bulu badak,
suara bedil mendencing,
seperti tumbuhan gelagah terbakar.

Trompet dan gendang Cina,
gong cumangkirang nyaring,
baris tameng dan parisai,
baris panah dan tombak menari,
baris harimau melenggok,
berjingkrak-jingkrak,
sikapnya menakutkan hati.

Wayang orang menari-nari,
baris jangkang, jojor datang,
dan juga baris ketekok jago,
dahinya berisi perada,
segala bunyi-bunyian,
semuanya datang,
rakyat desa berdatangan.

Diceritakan I Jayaprana,
sudah mengenakan pakaian indah,
berdestar sutra bergambar,
bergelung garuda-mungkur,
berbunga mandalika mas,
beranting-anting,
berbentuk kalacakra sangat manis.

26

[ 26 ]65. Pinggel agung masesocan,

mas ijo kencana ngrawit,
mawastra ya bot sakalor,
makampuh sutra jingga alus ,
lelancingan gringsing wayang ,
nyungklit keris,
danganan mas nawaratna.

66. Tan pendah Sanghyang Asmara ,
sam pun nunggang jaran asri ,
kekapanc permas ijo ,
kal awan permas ungu.
jarane tan katon jaran,
murub endih ,
tan pindah Giri Kancana.

67.Bebaktane tan kawarna,
kumah De Bandesa kangin ,
sabikas anak makarma,
nyai Nyoman sampun pesu ,
mungguh ring joli kencana,
pada prapti,
para daa mangiringang .

68. Ne mangaba kepet Cina ,
ne ngepetin bajang cerik,
len mangaba pacanangan ,
panganggone abra murub,
sami ia mapusung ngandang,
susup sari ,
masekar cempaka janar.

69. Joli emase maluang,
jarane majalan kori ,
pangapit joline tamiang,
bedil cendeke di malu ,
pangawin mapontang emas,
ne mangapit ,
prebekel lawan teruna .

Gelang besar memakai permata,
mas ijau sangat indah ,
berkain buatan luar negeri ,
berkampuh sutra jingga halus,
berseluar geringsing wayang,
menyisipkan keris,
berhulu mas permata.

Tak ubahnya Sanghyang Asmara,
menunggangi kuda indah ,
berpelana berlapis mas hijau,
dan berlapis mas ungu ,
kudanya tak seperti kuda,
menyala bercahaya ,
sebagai Gunung Kencana.

Tak terbilang barang yang dibawa,
ke rurnahnya Jero Bendesa di timur ,
sesuai dengan adat pcrkawinan,
I Layonsari sudah keluar ,
naik ke joli emas,
kemudian semua datang,
para gadis mengantarnya .

Yang membawa kipas Cina,
yang mengipasi gadis cilik,
ada membawa tempat sirih ,
pakaiannya serba indah ,
semuunya bersanggul melintang,
bersunting kembang,
berbunga cempaka gading.

Joli mas paling depan ,
kudanya di belakang,
pengapit joli barisan tameng,
barisan bedil , tombak di depan ,
kampil bergelang emas ,
yang mengapit,
perbekel dan para pemuda

28
[ 27 ]70. Pangrentebe petangdasa,

parekane alit-alit,

maudeng batik maprada,

masekar tengguli ketur,

urangkane sesampiran,

sada ngiring,

manyote neen danganan.


Pengiringnya empat puluh orang,

para-abdi kecil-kecil,

berdestar batik perada,

berbunga tengguli ketur,

sarung keris memakai sampir,

agak miring,

tangan menekan hulu keris.


71. Rauh maring pangawangan,

buncinge ngaturang bakti,

sampun ia pada manyumbah,

raris ia ka jero agung,

tan kocapan di bancingah,

raris manjing,

Anake Agung di odal.


Sampai di depan pintu-gerbang,

mempelai itu menyembah,

setelah mereka menyembah,

lalu terus masuk ke istana,

tak diceritakan di pendopo,

lalu masuk,

Raja sudah di pendopo.


72. Anake Agung ngandika,

pangandikan ida aris,

mai dini ya manegak,

eda ngejoh teken aku,

buncinge raris manyumbah,

luh muani,

Gustine tan kena ngucap.


Sri Baginda bersabda,

sabda baginda pelahan,

"Mari di sini duduk,

jangan jauh dariku."

mempelai itu lalu menyembah,

laki-isteri,

Raja diam membisu.


73. Sampun sanja surup surya,

buncinge raris mapamit,

Dewa Ratu Gustin titiang,

titiang pamit ring I Ratu,

raris nyumbah sibarengan,

tur mamargi,

buncinge raris ka jaba.


Sudah sore matahari terbenam,

mempelai itu mohon diri,

"Paduka Tuanku Raja,

hamba permisi Paduka Tuan,"

lalu menyembah bersama,

terus berjalan,

mempelai itu lalu ke luar.


74. Anake Agung kedapan,

tumon ring I Layonsari,

wekasan ngandika alon,

Nyai Nyoman Dewa Ratu,

tan meling ida ring raga,

buduh paling,

edan ring I Layonsari,


Baginda lalu kegila-gilaan,

memandang I Layonsari,

kemudian baginda bersabda,

"Kau Nyoman mustikaku."

baginda tak sadar akan diri,

gila asmara,

cinta kepada I Layonsari,


29

[ 28 ]75. Anake Agung ngandika,

teken prebekele sami ,
kenken ban Maman ngraos ,
edengin jua kuda aku,
merentah I Jayaprana.
panga mati,
gawenang daya-upaya


76. Mangde yennya suba pejah.
I Nyoman apanga manjing,
yan kai tuara mabaan.
Nyai Nyoman Dewa Ratu.
tan urungan kai pejah.
mati sedih ,
yan tan polih Nyai Nyoman.


77. Perbekel saur sembah,
Prebekel I Saunggaling,
eman ban titiang ngraos ,
gawanang ia daya apus ,
ajak kauh ka Tarima,
manitenin ,
kocapang praupane bencah ,


78. Wang Bajo ngejuk manjangan,
kebone telah kabedil,
sampun rauh di Pangulon ,
wang Grokgake telah rarud ,
malid ka Tegallenga ,
sisan mati ,
kebo sampine kajarah.


79. Kocapan I Jayaprana ,
sukane tan sipi-sipi ,
tuara kurang amah anggo,
panyeroan suba liu,
sampun ia mangunya-unya,
kumah wargi,
uli istri uli lanango


Raja lalu bersabda,
kepada sekalian perbekel itu ;
"Bagaimana pertimbangan Paman ,
berilah aku bayangan,
menipu I Jayaprana,
supaya mati ,
buatkanlah tipu-muslihat.


Jika ia sudah mati ,
I Layonsari kuperistri,
jika hal ini tak berhasil.
itu I Layonsari juitaku ,
tak boleh tidak aku mati ,
mati rindu ,
jika tak dapat I Layonsari."


Perbekel itu lalu menyembah ,
Perbekel I Saunggaling,
"Bagi hamba soal gampang,
buatkanlah tipudaya,
suruh dia pergi ke Tarima,
menyelidiki ,
katakan ada perahu hancur.


Orang Bajo menangkap menjangan,
kerbau habis ditembak,
kini sudah tiba di Pangulon ,
penduduk Grokgak menyingkir
mengungsi ke Tegallenga,
sisa yang mati ,
Sapi dan kerbau dirampasnya."


Diceritakan I Jayaprana ,
senangnya bukan kepalang ,
makanan, pakaian tak kurang ,
pelayan sudah banyak ,
ia sudah kunjung-mengunjungi ,
ke rumah keluarganya,
dari pihak perempuan dan laki.

30
[ 29 ]80. Tonden tutug pitung dina,

teka parekan mangalih,
kapangandikaang ka jero,
antuk Ida Anake Agung,
I Jayaprana angucap,
Beli nampi,
sarwi ia ngawangun payas.

81. Madestar taluki petak,
mawastra candana kawi,
makampuh ya bot sakalor,
kari ke I Mirah Ratu,
Nyai Nyoman Dewan titiang,
Beli pamit,
dini jumah apang melah.

82. Tumuli laut majalan,
satindak manolih-nolih,
sampun rauh ring bancingah,
pepek prebekele paum,
I Jayaprana manyumbah,
sada aris,
jariji rurus mangancan,

83. Anake Agung ngandika,
teken prebekele sami,
miwah I Jayaprana,
Maman pada tunden aku,
luas kauh ka Tarima,
manitenin,
kocapan praune bencah.

84. Wang Bajo ngejuk manjangan,
kebone telah kabedil,
suba teked ka Pangulon,
wang Grokgake telah rarud,
ada mai masupeksa,
sisan mati,
rarud ia ka Tegallenga.

Belum sampai tujuh hari,
datanglah utusan mencari,
dipanggil ke istana,
olch Sri Paduka Raja,
I Jayaprana menjawab,
Kakak siap sedia,
sambil ia mengenakan pakaian.

Berdestar kain teluki putih,
memakai kain 'cendana kawi',
berkampuh kain buatan luar negeri,
"Tinggallah dinda sayang,
dinda Nyoman mustikaku,
kanda permisi,
baik-baiklah dinda di rumah."

Lalu I Jayaprana berjalan,
setiap langkah menoleh,
kini sudah sampai di pendopo,
sekalian perbekel menghadap,
I Jayaprana menyembah,
sangat hormat,
jarinya lurus halus.

Sri Baginda bersabda,
kepada sekalian perbekel itu,
juga kepada I Jayaprana,
"Kini kuperintah Paman semua,
pergi ke barat ke Tarima,
menyelidiki,
kabarnya ada perahu hancur.

Orang Bajo menangkap menjangan,
kerbau habis ditembak,
hingga sampai ke Pangulon,
orang Grokgak semua mengungsi,
ada kemari melapor,
yang masih hidup,
mereka menyingkir ke Tegallenga.

31

[ 30 ]85. Prebekele saur sembah,

sandikan Cokor I Gusti,
I Jayaprana lingnialon,
titiang sandikan I Ratu,
Pajalane apang pradang,
ne ne mani,
madangketa di bancingah.


86. Suba sanja maluaran,
Prebekel pada mapamit,
Anake Agung kajero,
I Jayaprana ia mantuk, tan kocapan ia di jalan,
kaget prapti,
I Jayaprana ring umah.


87. I Layonsari angucap,
rauh saja Beli Gusti,
dening ia wau prapta,
kenak manahe sagunung,
I Layonsari mahyumbah,
lintang bakti,
tekening I Jayaprana.


88. Tumuli ngaturang sekar,
suka manahe tan sipi,
anuli raris mataken,
satingkah anake paum,
I Jayaprana angucap,
Dewa Gusti,
dini jumah apang melah.


89. Beli luas ka Tarima,
kandikaang manitenin,
wang Baja mamedil kebo,
wang Grokgake telah rarud,
sapasira ajak I Mirah,
ne ne mani,
luas kauh ka Tarima.


Sekalian perbekel menyembah,
"Kami menjungjung titah Paduka."
I Jayaprana hormat menyembah,
"Hamba menjungjung titah Paduka."
Berangkat supaya pagi-pagi,
besuk pagi,
kumpul di pendopo.


Sudah sore sidang lalu bubar,
sekalian perbekel mohon diri,
Raja masuk ke istana,
I Jayaprana kembali pulang,
tak diceritakan di tengah jalan,
lalu tiba,
I Jayaprana di rumahnya.


I Layonsari menyembah,
"Baru datang kakanda,
"sungguh ia baru datang,
senang hatinya segunung,
I Layonsari menyembah,
sangat hormat,
kepada I Jayaprana.


Lalu ia memberi bunga,
senangnya bukan kepalang,
sambil ia bertanya,
maksud orang rapat itu,
I Jayaprana menjawab,
"Oh, dinda,
di rumah dinda baik-baik.


Kanda pergi ke Tarima,
dititahkan menyelidiki,
orang Baja menembak kerbau,
orang Grokgak semua menyingkir,"
"Sama siapa kanda ke sana?
hari besuk,
pergi ke barat ke Tarima.


32
[ 31 ]90. I Jayaprana angucap,

prebekele luas sami, buka wonten petangdasa, ne ne ajak luas kauh, pajalane apang pradang, ne ne mani, masengketa di bancingah.

I Jayaprana berkata, "Sekalian perbekel pergi , barangkali ada empat puluh, yang kanda ajak ke barat, berangkat supaya pagi-pagi, hari besuk, kumpul di pendopo."

91. Tumuli ngaturang daar, wang jerone mengayahin, sam pun usan ia madaar, tumuli raris maturu, Nyai Nyoman sampun pradang, ia manampin , lekesan mabuah nguda.

Sambil menghidangkan makanan, pelayan istana melayani , setelah selesai mereka makan, lalu mereka tidur, I Layonsari sudah bersedia, ia membuat sirih setampin , sirih masak berpinang muda.

92. Teken roko petangdasa, rokone sampun madaging, di kompeke penpen reko, lekesane sampun puput, teken pipis karobelah, sampun tragi, tumuli raris masaria.

Sarna rokok empat puluh batang, rokoknya sudah ada, dimasukkan ke dalam tas , sirih masak sudah selesai, dan uang seratus lima puluh, sudah siap, lalu ia tidur .

93. Sampun liwar asirepan, I Layonsari mangipi, umahe ipiang reko' anyudang belabar agung, tonden tutug galang tanah, ia ngendusin, laut nuturang ipian

Setelah ia tidur nyenyak , I Layonsari mimpi, konon mimpikan rumahnya, dihanyutkan banjir besar, hari belum menjelang pagi, ia bangun, hilu menceritakan impian .

94. Beli Nyoman Dewan titiang, matangi titiang mangipi, I Jayaprana lingnialon, punapi ipian I Ratu , I Layonsari angucap, titiang ngipi , kelangannya tunjung bungannya.

"Kanda Nyoman mustikaku, bangunlah, dinda mimpi," I Jayaprana bertanya pelahan, "Apa kiranya impian dinda?" I Layonsari berkata, "Dinda mimpi, kehilangan bunga tunjung.

33 [ 32 ]95. Ilang anyudang belabar, keto ipian titiang Beli, tan urung mamanggih kaon, mandeg Beli luas kauh, tan urungan Beli pejah, Laut nangis, I Layonsari sigsigan.

Hilang dilanda banjir, begitulah impian dinda, kanda, tak urung akan mendapat celaka, janganlah kanda pergi ke barat, tak urung kanda akan meninggal ." lalu ia mcnangis, I Layonsari tersedu-sedu.

96. I Jayaprana angucap , lamun tuduh Beli mati , dija te Beli manongos, yadin te magedong batu , yadin makotak matabla, masih mati , sampunang manangis Dewa.

I Jayaprana berkata, "Kalau sudah ajal kanda mati, di mana pun kanda tinggal, meskipun bergedung batu, meski berkotak tabla, tentu mati, janganlah dinda menangis."

97. Suba tatas galang tanah, I Jayaprana mapamit , I Layonsari semu bengong, yeh matane deres pesu, I Jayaprana majalan , tan panolih, sampun rauh di bancingah .

Pajar sudah menyingsing, I Jayaprana minta diri, I Layonsari termenung, air matanya deras melinang, I Jayaprana berjalan, tanpa menoleh, kini tiba di pendopo.

98. Sarauhe di bancingah, pepek prebekele nganti , I Jayaprana lingnialon, sapasi radereng rauh I Saunggaling angucap, sampun sami, Maman nyantos cai Nyoman.

Setibanya di pendopo , sekalian perbekel menunggu , I Jayaprana bertanya, "Siapa ya yang belum datang" I Saunggaling menjawab, "Semua sudah, Paman hanya menunggu anda."

99. Tumuli laut majalan , tan kocapan ia di margi, rauh di pendopo kelod, I Jayaprana katanjung , menyelempoh laut negak , Dewa Gusti , mareren beten katapang.

Lalu segera mereka berangkat, tak diceritakan di tengah jalan, sampai di pondok sebelah utara, I Jayaprana kakinya terantuk , bersimpuh lalu duduk, duhai, istirahat di bawah pohon keta- pang. [ 33 ]100. Sampun ia ngrasa pejah,
tumuli raris mamargi,
sampun rauh di Pabean,
enggal lampahe andarung,
rauh di Enjung Tinga-tinga,
surup rawi,
ditu jani marerapan.

101. Banyu Pohe sampun liwat,
sampun rauh di Pulaki,
ditu marerepan reko,
munyin macane pagelur,
kidang nyerit lan manjangan,
kaik-kaik,
sampun tampekan das lemah.

102. Bau mara tatas galang,
tumuli raris mamargi,
rauh di Grokgak reko,
Patase sampun kaungkur,
pamargine tan rerenan,
megat ceking,
Tanjung Serne sampun liwat.

103. Satawana asauran,
kalawan merak manyerit,
sampun galang wetan reko,
tumuli raris lumaku,
tan kocapan ia di jalan,
sampun gelis,
Sendange wus kaliwatan.

104. Rauh di Tanjung Rijasa,
ditu kalangene luih,
bojog magayung-gayungan,
pada ngempak-empak kayu,
katon kadi ngalap bunga,
pagulanting,
ada mangalap wohwohan.

Ia sudah terasa akan mati,
lalu ia berangkat,
sudah sampai di Pabean,
perjalanannya cepat-cepat,
tiba di Enjung Tinga-tinga,
matahari terbenam,
di sanalah ia bermalam.

Menjelang fajar menyingsing,
lalu mereka berjalan,
konon sampai di Grokgak,
Desa Patas sudah di belakang,
perjalanan tanpa mengaso,
memotong jalan genting,
Tanjung Ser sudah liwat.

Desa Banyupoh sudah liwat,
kini tiba di Pulaki,
di sana mereka bermalam,
bunyi harimau meraung,
kijang dan menjangan menjerit,
menjerit-jerit,
baru menjelang pagi.

Ayam hutan bersuara,
juga burung merak menjerit,
sudah fajar menyingsing,
lalu mereka berangkat,
tak diceritakan di tengah jalan,
sangat cepat,
Desa Sendang sudah diliwati.

Sampai di Tanjung Rijasa,
sangat senang mereka di sana,
kera tampak berayun-ayun,
ada yang mematahkan dahan,
tampak seperti memetik kembang,
bergantungan,
ada memetik buah-buahan.

35

[ 34 ]105. Marebut teken roanga,

luir Sugriwa lan Subali, marebutin Dewi Tara, Trunalaksemana nulung, sareng ring Sang Ramadewa, mintakasih, roangnyane mabelasan.

Berebutan sama kawannya, sebagai Sugriwa dan Subali, merebuti Dewi Tara, Trunalaksemana membantu, bersama Sang Ramadewa, mobon belas kasiban, karena temannya cerai berai.

106. Tan kawarna ia di jalan, kocap lampahe lumaris , raub ia di Pagametan, enggal lampahe andarung, suba teked di Tarima, sirep sepi, I Jayaprana kocapan,

Tak diceritakan di tengah jalan, perjalanannya cepat·cepat, sudab tiba di Pagametan, perjalanannya lekas-lekas, kini sudah tiba di Tarima, sepi-sunyi, ccritakan I Jayaprana.

107. Sampun ia ngrasa pejah, nanging benebe tindihin, yadin kene yadin keto, mareren di batao kayu, sarwi ia marerokoan, ne ne jani, I Saunggaling angucap.

Ia sudah tahu akan mati, tapi ia membela kebenaran, meski begini, meski begitu, berhenti di bawah pobon, sambil ia mengisap rokok, saat ini, I Saunggaling berkata.

108. Masih Maman cai Nyoman, Maman kautus ne mangkin, antuk Gustin caine reko, apang ada salah senggub, puniki surat paica, teken cai, I Jayaprana mananggap.

"Wahai Nyoman Jayaprana, kini paman diutus, oleh Gustimu sungguh-sungguh, Hendaknya kau jangan salah sangka, inilah surat baginda, kepadamu," I Jayaprana mengambilnya.

'109. Tumuli raris kapaca, salingling surate mangkin ye te nani Jayaprana, tuara sedeng bakal pupu, majalan nani pang melah ne ne jani, konkon kola ngamatiang.

Lalu segera dibacanya adapun isi surat itu : "Hai, kau Jayaprana, tak layak engkau baik-baik saat ini kuperintahkan membunuhmu

36 [ 35 ]110. Sisip nanine prasangga,
mamaden tingkahing Gusti,
somah nanine I Nyoman,
ia pacang juang aku,
tong pantes cai ngelahang,
ne ne jani,
apang da nani nglawan.

111. Sampun tatas ya pinaca,
salinging surate sami,
I Jayaprana lingnialon,
titiang ngiring Dewa Ratu,
titiang suka kapademang,
tan pasisip,
lamun ento masin titiang.

112. Yen pacang Cokor I Dewa,
mangambil I Layonsari,
apang becik mamanjakang,
nyai Nyoman Dewa Ratu,
liwat bane tani bagia,
Nyai Gusti,
kari nyai apang melah.

113. I Jayaprana angucap,
titiange rauh sairing,
ne ne mangkin sapasira,
utusan Anake Agung,
pacang mamademang titiang,
ne ne mangkin,
I Saunggaling angucap.

114. Masih Maman cai Nyoman,
Maman kautus ne mangkin,
da cai salah raos,
apan sih Maman kautus,
mangiringang pangandika,
ia te jani,
mamargi cai pang melah.

Dosamu sangat berani,
menyamai tingkah raja,
istrimu I Layonsari,
ia akan kuambil,
tak pantas kau miliki,
saat ini,
agar jangan kau melawan."

Semuanya sudah dibaca,
semua isi surat itu,
I Jayaprana meratap pelahan,
"Hamba bersedia Paduka,
hamba rela dibunuh,
tanpa dosa,
jika itu yang mengakibatkan.

Jika Paduka Tuanku,
mengambil I Layonsari,
agar baik-baiklah memperisteri,
Oh, dinda sayangku,
sangat dirundung malang,
dinda sayang,
tinggallah dinda baik-baik!"

I Jayaprana berkata,
"Aku sungguh bersedia,
kini siapakah,
utusan raja itu,
yang akan membunuhku,
saat ini."
I Saunggaling menjawab.

"Juga Paman wahai Jayaprana,
saat ini Paman diperintahkan,
janganlah anda salah sangka,
karena Paman hanya diutus,
melaksanankan perintah raja.
nah kini,
berjalanlah baik-baik anda.

37

[ 36 ]115. Sangsarane akresekan,

marga becik tuut cai,
rain caine I Nyoman,
tuara makelo pacang nutug,
sareng cai manggih suarga,
eda gingsir,
I Jayaprana angucap.

116. Tuara titiang takut pejah,
mangiring kayun I Gusti,
sadiane mamula titiang,
mangkin kayun ida ngabut,
prebekele kapiwelas,
pada ngeling,
ngatonang I Jayaprana.

117. Kasuduk lambunge kiwa,
medal getihe sumirit,
ebonnyane maimpugan,
maebo dedes tinggalung,
prebekele pada sigsigan,
pada ngeling,
ebahnyane manungkayak.

118. Genter pater asauran,
lumarap katon ring langit,
ujan rajane masiok,
teja guling kuung-kuung,
Sanghyang Surya malangan,
kilap tatit,
prabawan I Jayaprana.

119. Ketug lindu magenjotan,
remrem tur raris alit,
prebekele sami bengong,
ada ia angucap alus,
tan urungan manggih suarga,
bina pelih,
Sang Prabu dumadi panjak.

Sakitnya hanya sekejap,
jalan baik yang anda lalui,
istrimu I Layonsari,
tak lama akan ikut,
bersamamu mendapat sorga,
jangan takut,"
I Jayaprana menjawab.

"Aku tak gentar akan mati,
memenuhi maksud raja,
sungguh baginda menanamku,
kini ingin baginda mencabut."
Perbekel itu belas kasihan,
semua nangis,
memandang I Jayaprana.

Ditikam lambungnya kiri,
memancar darahnya harum,
baunya semerbak wangi,
berbau dedes kesturi,
perbekel semua tersedu-sedu,
seinua nangis,
ia rebah menelentang.

Guruh petir sambar-menyambar,
gemerlapan tampak di langit,
hujan panas sangat lebat,
teja keluang dan teja membangun,
matahari berkalangan,
kilat petir,
Perbawanya I Jayaprana.

Gempa bumi sangat dahsyat,
mendung, hujan gerimis,
sekalian perbekel itu heran,
ada yang berkata pelahan,
tak urung ia akan sorga,
yang salah,
Raja akan menjelma menjadi budak."

38

[ 38 ]120. Sampun kagawenang bangbang,

layone kadi aguling,
lumiep netrane reko,
mirib kedek ulat kenyung,
angkebin ban don andongbang,
sampun ilid,
sampun purna kaurugan.

121. I Saunggaling angucap,
kari Nyoman Maman pamit,
tumuli majalan reko,
teka macane manutug,
ada macan petangdasa,
ninut buri,
manyarap di jalan-jalan.

122. Rauh maring Pagametan,
mati roange kakalih,
rauh maring Pamuteran,
Tanjung Serne ya kapungkur,
Pulakine sampun liwat,
sampun prapti,
di Tukad Pule mararyan.

123. Sampun ya tatas rahina,
tumuli laut mamargi,
sampun rauh di Grokgak,
kecag roange akutus,
Patase sampun liwat,
kaget prapti,
Pangulon di Carangrata.

124. Celukbawang sampun liwat,
tukad jurange kapanggih,
sampun rauh di Barongbong,
enggal lampahe andarung,
kaget naga teka galak,
mangutilin,
mati roange lelima.

Sudah dibuatkan liang,
mayatnya seperti orang tidur,
matanya terpejam,
seperti tersenyum ketawa,
ditutupi daun andong merah,
sudah tak kelihatan,
sudah selesai ditimbuni tanah.

I Saunggaling berkata,
"Selamat tinggal Jayaprana,"
lalu mereka berjalan,
muncullah harimau mengikuti,
empatpuluh harimau banyaknya,
membuntutinya,
menerkam di sepanjang jalan.

Sudah tiba di Pagametan,
temannya mati dua orang,
sampai di Pamuteran,
Tanjung Ser sudah liwat,
juga Pulaki sudah liwat,
kini sudah tiba,
di Tukad Pule beristirahat.

Besuknya setelah siang,
lalu mereka berjalan,
kini sudah tiba di Grokgak,
temannya gugur lagi delapan,
Desa Patas sudah liwat,
lalu sampai,
Desa Pangulon dan Carangrata.

Celukanbawang sudah liwat,
sungai jurang di laluinya,
sudah tiba di Barongbong,
perjalanannya tergesa-gesa,
muncullah naga yang ganas,
memagutnya,
temannya mati lagi lima orang.

40

[ 39 ]125. Buin tuara bakat tawar,

petang diri buin mati,
tumuli majalan encol,
teked di Katapangudu,
nipi gadang kaget teka,
manujahin,
mati roange bin dadua.

126. Tan kocapan ia di jalan,
suba teked jani mulih,
I Layonsari kocapan,
atine makesiab suung,
mangenang I Jayaprana,
baya mati,
beli kauh di Tarima.

127. Gowake maseliweran,
mangalup-alup mamunyi,
duur umahe ngegalok,
I Layonsari ia pesu,
madingeh-dingehang orta,
ne ne jani,
kocap prebekele teka.

128. Kaget ada anak mentas,
I Layonsari majinjin,
Maman ko titiang matakon,
kocap prebekele rauh,
Beli Nyoman dane dija,
dereng prapti,
anake alon angucap.

129. Tuara bareng teken Maman,
sing nya kari ia di uri,
I Layonsari ia bengong,
di korine kitak-kituk,
nakonang I Jayaprana,
dereng prapti,
saliun anake mentas.

Dan tidak dapat dirawat,
meninggal lagi empat orang,
lalu mereka keburu-buru berjalan,
sampailah di Katapangudu,
muncullah ular hijau,
memagutnya,
mati temannya lagi dua orang.

Tak diceritakan di tengah jalan,
kini sudah tiba di desa,
diceritakan I Layonsari,
kejutan perasaannya hampa,
memikirkan I Jayaprana,
"Celaka mati,
mati kand? di Barat di Tarima".

Gagak terbang berkeliaran,
suaranya panjang mengalun,
menyanyi di atas rumah,
I Layonsari lalu ke luar,
mendengar-dengarkan kabar,
saat ini,
konon perbekel itu semua datang.

Tiba-tiba ada orang berjalan,
I Layonsari lalu bertanya,
"Paman, ijinkanlah saya bertanya,
kabarnya perbekel itu sudah datang,
di manakah kakak saya?
kok, belum datang,"
Orang itu menjawab dengan hormat.

"Dia tidak ikut sama Paman,
mungkin ia masih di belakang."
I Layonsari termenung,
di depan pintu ia berpaling,
menanyakan I Jayaprana,
karena belum datang,
kepada orang yang lalu lalang.

41

[ 40 ]130. Sing takonin mangorahang,

makejang tuara nepukin,
ada anak mentas nunggal,
kapiwelas ia mawuwus,
rakan nyai sampun pejah,
tigang wengi,
I Saunggaling nyedaang.

131. Pejah kauh di Tarima,
petan Maman teken nyai,
kocap sisipnyane reko,
margan cai Nyoman lampus,
baannya mangelah somah,
ayu luih,
nyai te gelis ka pura.

132. Anake Agung kedanan,
manyingak ring rupan nyai,
da nyai manuturang,
pamunyin Mamane bau,
tan urungan Maman pejah,
mangemasin,
bungut Maman anggon dosa.

133. I Layonsari angucap,
olas Mamane tan sipi,
mangorahin titiang reko,
apa anggon titiang naur,
utang titiange ring Maman,
mutang urip,
I Layonsari mulihan.

134. Sarauhe maring umah,
nyai Nyoman ngunus keris,
wang jerone ngrebut reko,
Gusti Nyoman Dewa Ratu,
nyai Nyoman kapetengan,
tuara meling,
I Layonsari ring umah.

Setiap orang ditanya, mengatakan,
tidak mengetahui,
kini ada orang berjalan sendiri,
belas-kasihan, lalu menerangkan,
"Suamimu sudah meninggal,
tiga hari yang lalu,
I Saunggaling yang membunuh.

Matinya di barat di Tarima,
sekian kata Paman kepadamu,
konon kesalahannya,
makanya ia dibunuh,
karena ia memiliki istri,
cantik jelita,
anda segera diajak ke istana.

Raja kegila-gilaan,
melihat wajah muka anda,
tapi jangan membicarakan,
kata-kata Paman tadi,
tak urung Paman mati,
akibat dari,
mulut Paman menjadi celaka."

I Layonsari berkata,
"Sangat Paman berbelas kasihan,
menerangkan kepadaku,
apakah kupakai membalas,
hutangku kepada Paman,
berhutang jiwa,"
I Layonsari masuk ke dalam.

Sampai di dalam rumah,
I Layonsari menghunus keris,
parapelayannya semua merebuti,
"Duhai Nyoman Layonsari,"
I Layonsari gelap mata,
tiada sadar,
I Layonsari di rumah.

42

[ 41 ]135. Tan kawarna sapunika,

prebekele kocap mangkin, sampun rauh ring bancingah, ditu ia jani mapunduh, Anake Agung kajaba, manilikin, kocap prebekele teka.

Tak diceritakan hal itu, sekarang diceritakan perbekel itu, kini sudah tiba di pendopo, di sana mereka kurnpul, Raja lalu keluar, memeriksa, kedatangan perbekel itu.

136. Sarauhe ring bancingah, prebekel pada nangkil, Anake Agung lingnialon, kenken Maman tunden aku, luas kauh ka Tarima, manitenin, kocapan praune bencah.

Setiba baginda di pendopo, perbekel itu menghadap, Raja bersabda pelahan, "Bagaimana Paman, perintahku itu, pergi ke barat ke Tarima, untuk menyelidiki, kabarnya ada perahu hancur.

137. Wang Bajo ngejuk manjangan, kebone telah kabedil, tui ada buka keto, sakadi ortane malu, prebekele saur sembah, Dewa Gusti, inggih wenten sapunika.

Orang Bajo menangkap menjangan, ditembak, apakah benar demikian, seperti kabar dahulu itu?" perbekel itu serempak menyembah, "Paduka Tuanku, sungguh enar demikian.

138. Wang prau ngejuk manjangan, dapet titiang dipasisi, jaga ipun munggah kejong, gelisan titiang mangamuk, padem wenten kalih dasa, sisan mati, gelisan ipun malayar.

orang perahu menangkap menjangan, hamba ketemukan di pantai, menjelang akan naik ke perahu, hamba mendahului menyerang, mereka mati duapuluh orang, yang masih hidup, cepat-cepat mereka berlayar.

139. Parekan Cokor I Dewa, cai Nyoman ipun mati, padem ipun sarap samong, bangkene tong bakat tutug, sareng teken roang titiang, pada mati, mantuk wantah siangolas.

Abdi Paduka Tuanku, I Jayaprana telah gugur, matinya diterkam harimau, mayatnya tak diketemukan, bersama teman-teman hamba, semua mati, kembali hanya sembilanbelas."

43

[ 42 ]140. Anake Agung ngebug tangkah,

aduh pira saja cai, bau pidan pabuncingang, dadi cai jani lampus, tan kocapin sapunika, kocap malih, I Layonsari ring umah.

Raja lalu memukul dada, "Aduh, sayang engkau, baru sekali kau kawinkan, kok sekarang kau tiada," tak diceritakan hal itu, diceritakan sekarang, I Layonsari di rumahnya.

141. Sampun liwar asirepan, I Nyoman masih tan meling, kaget ya makelap katon, I Jayaprana macelub, manegak bareng mapeta, saur tangis, dini jumah apang melah.

Setelah nyenyak tidurnya, I Layonsari juga belum sadar, tiba-tiba terbayang pada matanya, muncul I Jayaprana, duduk bersama sambil bercakap, seraya menangis, "Baik-baiklah dinda di rumah.

142. Munyin Beli nyai Nyoman, kari nyai Beli pamit, yan nyai pacang kajero, apang melah ngadu semu, melahang nyai mamanjak, teken Gusti, gawenang daya upaya.

Pesanku kepada dinda Nyoman, selamat tinggal dinda, kanda pamit, jika dinda akan ke istana, agar baik membawa diri, baik-baiklah kau mengabdi, terhadap Tuanku Raja, usahakan kemampuanmu.

143. Beli mati tan padosa, kari nyai apang becik, tumuli malecat reko, I Layonsari ia bangun, kapupungan patigarap, laut nangis, I Layonsari angucap.

Kanda dibunuh tanpa dosa, baik-baiklah dinda di sini. lalu bayangan itu menghilang, I Layonsari lalu bangun, terhuyung-huyung serba raba, lalu menangis, I Layonsari berkata.

144. Beli Nyoman Dewan titiang, lalisan Beli ngalahin, juang titiang da makelo, apang titiang_bareng lampus, sengketan Beline suba, bareng mati, I Beli ngalahin titiang.

"Kanda Nyoman mustikaku, sampai hati kanda merninggalkan, ambillah dinda jangan lama, agar ikut bersama mati, sebagaimana perjanjian kita dulu, mati bersama, kini kanda meninggal dinda. [ 43 ]145. Jro Bandesa jani kocap, luh muani pada ngeling, ne muani ia manoho, duh Dewan Bapane Ratu, cai Nyoman Dewan Bapa, baya lalis, cai mangalahin Bapa.

Diceritakan sekarang Jero Bendesa, laki-istri menangis, yang laki-laki berkata, "Duhai, mustikaku Jayaprana, nakda Nyoman, yang kujunjung, sangat tega, nakda meninggalkan ayah.

146. Ibi puane kantenang, Bapa sukane tan sipi, buka tong mamanggih kaon, sayang antuk Anak Agung, apa ja dosane mirah, ne ne mangkin dija ja kaukin Bapa.

Kemarin, lusa, kulihat, saat itu ayah sangat senang, rasanya tak akan mendapat celaka, Raja sayang kepadamu, apakah kesalahan nakda, saat ini, di mana panggil ayah."

147. Tumuli tatas nihina, teka parekan mangalih, kapangandikaang ka jero, antuk Ida Anake Agung, I Layonsari majalan, ne ne mangkin, sampun rauh maring pura.

Hari pun sudah siang, datang utusan memanggil, I Layonsari dipanggil ke istana. oleh-Sri Paduka Raja, I Layonsari lalu berjalan, saat ini, sampailah ia di istana.

148. Anake Agung ngandika, tekening I Layonsari, aduh Dewa nyai Nyoman, liwat bane tutug lacur, tuara katuduh di jaba, ya ka puri, katuduh i nyai Nyoman.

Raja lalu bersabda, kepada I Layonsari, "Aduh, juwitaku Nyoman, sangat dirundung malang, tak dibolehkan kau di luar, harus ke istana," demikian titah baginda.

149. I Layonsari belbelan, manyumbah raris mangeling, pesu munyine nyalesos, titiang pamit ringi I Ratu, titiang tumut pramasatia, ne ne mangkin, Anake Agung ngandika.

I Layonsari mengeluh, menyembah seraya menangis, keluar perkataannya nyelentuk, "Hamba tak menuruti titah baginda, hamba ikut membela pati, saat ini," Raja lalu bersabda.


45

[ 44 ]150. Nguda keto ban I Nyoman,

sampunang kadurus sedih, mangde yen nyai masatia, bangkene tuara katepuk, yen manah Beline mirah, ne ne jani, apang i mirah di pura.

"Mengapa begitu Nyoman. jangan terus bersedih hati, jika engkau akan membela, mayatnya tak ketahui, nah, kalau maksudku, dinda, saat ini, hendaknya dinda di istana.

151. Luih yan i mirah ica, mamupu Beline mangkin, idepang I Jayaprana, sedihe apanga lipur, lila-lilaang di manah, ne ne jani, apang nyai Nyoman ica.

Kalau dinda menolong, meladeni aku sekarang, anggaplah I Jayaprana, sedihmu supaya terhibur, lipurkanlah hatimu, saat ini, agar menuruti engkau Nyoman."

152. Sampun sanja surup surya, wang jerone pada prapti, mamakta ajengan reko, Anake Agung tumurun, nyai Nyoman mas I Mirah, dong meriki, I Mirah sareng madaar.

Sudah senja matahari terbenam, datanglah para pelayan itu, membawa hidangan, Raja lalu mendekat, "Dinda Nyoman Layonsari, marilah, bersama santapan dinda."

153. I Layonsari mamindah, seosan aturin sagi, wangjerone pada encol, I Layonsari tan kayun, sedihe tong kena pasah, buka sanding, Beli Nyoman Jayaprana.

I Layonsari menolak, dihidangkan santapan menyendiri, para peladen semua repot, I Layonsari juga menolak, sedihnya tak dapat dihibur, seperti disandingi, oleh I Jayaprana.

154. Sampun liwar asirepan, Anake Agung matangi, meling ring I Layonsekar, pangandikan Ida alus, nyai Nyoman Dewan titiang, ne ne mangkin, titiang wantah nunas tamba.

Menjelang tengah malam, Raja bangkit dari peraduan, Ingat kepada I Layonsari, bujukan baginda halus, "Oh, dinda juwitaku, saat ini, aku hanya minta obat.



46 [ 45 ]155. Yan tan nyai Nyoman ica, tan urungan Beli mati, I Mirah mamanggih kaon, kadi toya di don candung, suka I Mirah negtegang, seng agigis, tan urung labuh ka tanah.

Jika dinda tidak suka, tak urung kanda akan mati, dinda pun akan sengsara, bagai air pada daun talas, sudilah dinda menenangkan, jika miring sedikit tak urung jatuh ke tanah.

156. Masih Beli nyai Nyoman, kadi kedis kelik-kelik, di masan sasih Katiga, ngajap tawang nagih jauh, yan tan ica nyai Mirah, mangujanin, tan urung mati panesan.

Lagi pula kanda, hai Nyoman, sebagai burung lang putih, pada musim bulan Ketiga, mengharap-harapkan hujan, jika anda tidak kasihan, menghujani, tak urung kanda mati neraka.

157. Kadi tunjung upamannya, kasatan toyane mangkin, di tengah telagane reko, geseng matemahan layu, kapanesan Sanghyang Surya, tanwun mati, tunjunge kasatan toya.

Sebagai bunga teratai, yang kini kekurangan air, di tengah-tengah kolam, kering akhirnya layu, karena panasnya Sang Surya, tak urung akan mati, teratai itu kekurangan air.

158. Kadi dasih kapetengan, katileman dening sasih, engkik-engkik mailehan, manyadangin kangin kauh, bulane tuara ya endag, ati-ati, ngame-ame makelemah.

Sebagai burung kedasih kemalaman, kegelapan karena tiada bulan, menjerit kesedihan keliling, terbang ke barat ke timur, bulan pun belum terbit, mengharap-harap, menanti sampai siang.

159. Mangde yan I Mirah ica, mamupu Beline mangkin, sadaging purine reko, apang I Mirah mamungkul, tuara titiang mamelihang, luihing rabi, I Mirah manganggon panjak.

Andaikata dinda mau, memelihara kanda sekarang, seluruh isi istana ini, dindalah semua menguasakan, kanda tak akan menyalahkan, juga permaisuri itu, dindalah memakai pelayan."


47

[ 46 ]160. I Layonsari angucap,

titiang mapamit ne mangkin, yan kayun I Ratu ngantos, suene solas dalu, Anake Agung semu maras, mamaakin, I Nyoman manganggar pedang. I Layonsari berkata,

"Hamba menolak saat ini, jika paduka mau menunggu, lamanya sebelas hari," Raja lalu murka, lalu mendesak, I Layonsari memegang pedang.

161. Anake Agung kerangan, semengan ka jaba mijil, pepek prebekele reko, Anak Agung semu sendu, tuara medal pangandika, ne ne mangkin, prebekele takut makejan

Sri Baginda sangat malu, pagi-pagi baginda ke luar, perbekel semua lengkap, Sri Baginda berwajah murka, tidak mengeluarkan kata-kata, saat ini, perbekel takut semuanya.

162. Tan kocapan sapunika, kocapan I Layonsari, sedihe tong dadi lila, yeh matane deres pesu, magaleng-galeng yeh mata, Dewa Gusti, pawekan I Jayaprana.

Tak diceritakan hal itu, diceritakan I Layonsari, sedihnya tak dapat dihibur, air matanya deras ke luar, berbantalkan air mata, oh, gusti, perbuatan I Jayaprana.

163. Sedihe tong kena pasah, dadi ia ngelalu pati, tuara wedi ngunus pedang, kasuduk luuring susu, sapisan laut ia pejah, embeh niwit, layone kadi mapeta.

Sedihnya tak pernah hilang, lalu ia ikhlas akan mati, tak gentar menghunus pedang, ditancapkan di atas susu, sekaligus lalu ia mati, makin elok, mayatnya sebagai berkata.

164. Anake Agung kocapan, eling ring I Layonsari, tumuli ida ka jero, ngagenang pacang ngerumrum, manyogjog masawang tangar, Dewa Gusti, ngandika jabaning lawang.

Diceritakan Sri Baginda, ingat kepada I Layonsari, lalu baginda masuk ke istana, bermaksud akan membujuk, sebagai hati-hati baginda menuju, Sri Baginda, bersabda di depan pintu.


48

[ 47 ]165. Nayi Nyoman Dewan titiang,

dong ampakin titiang kori, titiang wantah nunas ica, kasuen tuara masaut, raris ida nebah lawang, tan pakancing, katon nyai Nyoman pejah.

"Oh, dinda mustikaku, tolong aku, bukalah pintumu, aku minta belas kasihanmu," lama ia tidak menjawab, lalu baginda menerjang pintu, yang tidak terkunci, tampak I Layonsari sudah mati.

166. Saup sangkol aras-aras, bangkene jua papasihin nyai Nyoman Dewan titiang, munyine patijelamut, tuara karoan jejalangan, dadi paling, panyingakan kasaputan.

Lalu dipangku dicium-cium, mayatnya dibujuk-bujuk, "Dinda Nyoman mustikaku," kata-kata baginda tak keruan, tak keruan ujung pangkal, kacau balau, mata baginda sudah gelap.

167. Wangjro katon manjangan, dadi ida ngunus keris, dadi mangamuk dijero, sing paak dadi kasuduk, ada mati di luanan, ada mati, di jlanane nungkyak.

orang istana dipandang menjangan, lalu baginda menghunus keris, terus mengamuk di istana, setiap dekat lalu ditikam, ada yang mati di udik, ada mati, di pintu menelentang.

168. Ada len mati di sombah, ada ya mati ngaliing, ada mati menek tembok, ada len mati dibucu, ada mati sedek nyakan, nunun ngantih, adaya mati manyikat.

ada mati di lobang air, ada mati sedang 'ngeliing," ada mati naik tembok, ada mati di pojok, ada mati sedang memasak, sedang menenun dan mengantih, ada mati sedang menyikat benang.

169. Ada mati di pedeman, ne becatan ia malaib, ada mati batan umah, ada ia mati makutu, wang jerone sampun telah, raris mijil, Anake Agung ka jaba.

Ada mati di tempat tidur, ada yang lari cepat-cepat, ada yang mati di bawah balai, ada mati sedang mencari kutu, semua habis orang istana itu, lalu keluar, Sri Baginda ke luar.


49

[ 49 ]170. Sarauhe maring jaba,

parekane pada ginting,

pada yatna teken yatna,

masiat ia saling amuk,

mauderan di bancingah,

ne ne jani,

siate maduk-adukan.


Setiba baginda di luar,

pelayan semuanya siap,

semua hati-hati menjaga diri,

berlaga saling amuk,

bergulungan di pendopo,

saat ini,

perkelahian campur baur.


171. Tuara karoan musuh roang,

sing paak pada tebekin,

getihe nyandang kerobok,

bangkene tan kena itung,

Anake Agung ia pejah,

ne ne mangkin,

sedane manyuduk raga.


Tak keruan musuh dan teman,

setiap dekat ditikam,

aliran darah bisa diarungi,

mayat tak dapat dihitung,

Sri Baginda telah mangkat,

saat ini,

baginda mangkat karena membunuh diri.


172. Tan kawarna sapunika,

prebekele rauh sami,

suba teked di bancingah,

dapetang bangkene liu,

laut jemak ya punduhang,

ne ne jani,

raris ia ka jero pura.


Tak diceritakan hal itu,

perbekel semuanya datang,

sudah tiba di pendopo,

diketemukan ada mayat banyak,

lalu diangkut dikumpulkan,

saat ini,

lalu mereka masuk ke istana.


173. Rauh maring jero pura,

bangkene akeh kapanggih,

pada aba ngajabaang,

ditu ya jani mapunduh,

pada teka brayannya,

mangelingin,

raris katanem ring sema.


Sudah tiba di dalam istana,

banyak mayat diketemukan,

semua diangkut ke luar,

di situ sekarang dikumpulkan,

datang semua keluarganya,

memeriksa,

lalu dikubur di pekuburan.


174. Kocap dane Jero Bandesa,

luh muani pada prapti,

mangalih I Layonsari,

bangkene sampun kapundut,

kabakta ka Banjar Sekar,

ya ngraris,

sampun puma kaurugan.


Diceritakan Jero Bendesa,

suami-istri datang,

mencari I Layonsari,

mayatnya sudah diangkut,

diusung ke Banjar Sekar,

dan selanjutnya,

sudah sempurna dipendam.


51