Geguritan I Dukuh Siladri

36604Geguritan I Dukuh Siladri — prev1991Ketut Karyawan
[ Cover ]
GEGURITAN

I DUKUH SILADRI


DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

[ 1 ]HADIAH PUSAT PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA [ 3 ]

TIDAK DIPERDAGANGKAN UNTUK UMUM


GEGURITAN

I DUKUH SILADRI


I Ketut Karyawan




DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
JAKARTA

1991

iii
[ 4 ]
PROYEK PENERBITAN BUKU SASTRA INDONESIA DAN

DAERAH TAHUN 1990/1991
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

PUSAT PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA

Pemimpin Proyek: Nafron Hasjim
Bendahara Proyek: Suwanda Sekretaiis Proyek: Saksono Prijanto
Staf Proyek: Ciptodigiyarto
Sujatmo
Warno


ISBN 979 459 134 3


Hak cipta dilindungi undang-undang

Isi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya dilarang diperbanyak dalam
bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali dalam hal pengutipan
untuk keperluan penulisan artikel atau karangan ilmiah.


iv

[ 5 ]
KATA PENGANTAR

Masalah kesusastraan, khususnya sastra (lisan) daerah dan sastra Indonesia lama, merupakan masalah kebudayaan nasional yang perlu digarap dengan sungguh-sungguh dan berencana. Dalam sastra (lisan) daerah dan sastra Indonesia lama itu, yang merupakan warisan budaya nenek moyang bangsa Indonesia tersimpan nilai-nilai budaya yang tinggi nilainya. Sehubungan dengan itu, sangat tepat kiranya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah telah berusaha melestarikan nilai-nilai budaya dalam sastra itu dengan cara pemilihan, pengalihaksaraan, dan penerjemahan sastra (lisan) berbahasa daerah itu.

Upaya pelestarian warisan budaya yang sangat beragam itu selain akan memperkaya khazanah sastra dan budaya masyarakat Indonesia juga akan memperluas wawasan sastra dan budaya masyarakat. Dengan kata lain, upaya yang dilakukan ini telah berusaha menguak tabir kedaerahan dan menciptakan dialog antarbudaya dan antardaerah melalui sastra sehingga kemungkinan dapat digunakan sebagai salah satu alat bantu untuk mewujudkan manusia yang berwawasan keindonesiaan.

Buku yang berjudul Geguritan I Dukuh Siladri ini semula berupa cerita lisan yang berbahasa Bali di daerah Bali. Pengalihaksaraan dan penerjemahan dilakukan oleh I Ketut Karyawan, B.A. dan penyuntingan terjemahan oleh Drs. Saksono Prijanto.

Mudah-mudahan terbitan ini bermanfaat bagi pembinaan dan pengembangan sastra di Indonesia.

Jakarta, Februari 1991

Lukman Ali

Kepala Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa


v

[ 6 ]

DAFTAR ISI

halaman

KATAPENGANTAR .................................................................................................................v

DAFTAR ISI ................................................................................................................................vi

1. Pendahuluan ................................................................................................................... 1

2. Sinopsis Geguritan I Dukuh Siladri ................................................................. 3

3. Transkripsi dan Terjemahan Geguritan I Dukuh Siladri ...................6

iv

[ 7 ]
I. PENDAHULUAN

Transkripsi dan terjemahan Geguritan I Dukuh Siladri merupakan salah satu sastra klasik Bali yang diambil dari sebuah lontar milik Gedong Kirtya Siangaraja, dengan nomor: IVd 1157/12 yang dikarang oleh Padanda Nj. Ngoerah yang berasal dari Banjar Teges Gianyar. Cerita ini disusun pada tanggal 13 November 1933 dengan ukuran panjang lontar 44 cm, lebar 3,4 cm dan tebal 7 cm. Cerita ini ditulis dengan huruf Bali di atas daun lontar sebanyak 106 helai. Tiap-tiap helai ditulis bolak-balik. Setiap muka helai lontar berisi empat baris memanjang. Lontar ini ditranslitrasikan menjadi 75 halaman.

Dari hasil transliterasi, setelahditranskripsikan sebanyak 75 halaman naskah, ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan masih tetap diusahakan agar padanannya tidak jauh menyimpang dari teks bahasa Bali sehingga melalui terjemahan ini pula orang dapat mempelajari bahasa Bali.

Cerita ini terdiri dari 764 bait, yang dibangun oleh delapan tembang seperti tembang-tembang Sinom, Durma, Ginada, Dandang, Semarandana, Basur, Ginanti dan Pangkur. Dari delapan tembang-tembang ini ada yang diulang pemakaiannya seperti tembang-tembang Sinom, Duma, Ginada, Dandang dan Ginanti,

Sebagaimana dapat diketahui bahwa di dalam karya sastra Bali yang berbentuk geguritan sudah tentunya dibangun oleh beberapa pupuh-pupuh (tembang-tembang). Pupuh-pupuh (tembang-tembang) dalam kesusastraan Bali sudah barang tentu akan terikat oleh adanya beberapa ketentuan, seperti banyaknya baris dalam setiap bait, banyak suku kata dalam setiap baris dan bunyi akhir dalam setiap baris. Untuk dapat memahami ketiga ketentuan yang tersebut di atas, dalam penyajian transkripsinya setiap baris akan dibatasi dengan

1
[ 8 ]

2

tanda koma (,). Kemudian setiap bait diakhiri dengan tanda titik (.). Apabila dalam setiap baris yang terdapat dalam sebuah bait terdapat tanda koma (,) yang berfungsi sebagai jeda, maka tanda koma (,) diganti dengan tanda titik koma (;). Sehingga ketentuan dalam setiap bait dapat diketahui dengan jelas walaupun tidak disusun baris demi baris.

Cerita geguritan I Dukuh Siladri dijumpai pula dalam bentuk prosa yang dikarang oleh Kamajaya pada tahun 1986 yang diterbitkan oleh U.P. Indonesia Yogya. Naskah ini berbentuk buku dengan panjang 20,4 cm,lebar 14,3 cm dan tebal 0,4 cm dengan jumlah halaman sebanyak 88 halaman. Pada cerita ini jika dilihat dari isi ternyata masih banyak kekurangannya jika dibandingkan dengan lontar yang tersebut di atas. Pada isi cerita yang terdapat pada cerita I Dukuh Siladri yang berbentuk prosa berakhir dengan matinya I Dayu Datu, sedangkan pada lontar Wy. Buyar menemukan ajalnya pada akhir cerita dan Kusumasari sembuh setelah diobati oleh seorang Pendeta seperguruan dengan I Mudita.

Berdasarkan hal tersebut, kami beranggapan sangatlah tepat menstralitrasi lontar Gedong Kirtya Siangaraja, yang dilanjutkan dengan transkripsi dan terjemahannya. Perlu kami informasikan bahwa laporan ini didahului dengan sinopsis cerita. [ 9 ]
2. SINOPSIS GEGURITANIDUKUH SILADRI

Tersebut di Desa Mameling, daerah Badung, Bali hiduplah dua orang kakak beradik sangat rukun dan damai. Yang tua bernama I Siladri dan yang muda bernama Made Kerti. Keduanya sudah beristri dan masing-masing melahirkan anak, yaitu I Siladri melahirkan anak laki-alki dan Made Kerti melahirkan anak perempuan. Anak Made Kerti bernama Kusumasari, dan anak Siladri diberi nama Mudita. Kedua anaknya sehat-sehat, wajahnya sangat cantik dan menarik.

Pada suatu saat Siladri merenungkan keadaan kehidupan manusia dan dunia pada umumnya. Dia meliliat adanya tanda-tanda bahwa dunia ini dipenuhi kejahatan, orang-orang tidak lagi mengenal kebenaran yang abadi. Setelah lama ia merenungkan, timbul keinginannya untuk mengasingkan diri untuk mencari kebenaran yang kekal. Akhirnya, dia pergi ke Gunung Kawi untuk menenangkan pikiran, dan berguru kepada Empu Dibyaja. Sebelum berangkat semua warisan diserahkan pada adiknya, dan anaknya ditukarkan.

Siladri berangkat bersama istrinya dan anaknya yang telah ditukar. Di tengah perjalanan Siladri diserang badai angin topan anaknya menangis, sedangkan istrinya jatuh tak dapat bangun, akhirnya menghembuskan napas terakhir. Pada waktu Siladri bangun melihat istrinya tak dapat bergerak, tiba-tiba datang Empu Dibyaja dan bertanya, Siladri menceriterakan dirinya dirundung malang, Empu Dibyaja terharu mendengarkan dan menyuruh I Siladri tenang, Beliau menyatakan istrinya mati sudah kodrat.

Selanjutnya, I Siladri disuruh membakar mayat istrinya di hutan Setra Gandawati dan abunya dihanyutkan di air yang mengalir. Setalah datang dari membakar mayat istrinya, I Siladri pulang menemukan anaknya yang sedang menangis, kemudian di ajak oleh Empu Dibyaja ke dalam hutan untuk mencari

3

[ 10 ]

4

air susu diberikan anaknya yang sedang haus. Anaknya selalu diberi susu binatang,seperti kancil, dan kijang.

Siladri beserta anaknya tinggal di tempat pertapaan Empu Dibyaja. Setiap hari I Siladri diberi pelajaran tentang kehidupan manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan, karena antara satu dengan yang lain saling bergantung tidak dapat berdiri sendiri. Tiga hari sebelum Empu Dibyaja akan pergi ke alam yang sempurna, Empu Dibyaja memberikan wejangan dan Siladri mendengarkan dengan seksama. Pada hari Buda Wage Kerulut, Empu Dibyaja pergi ke alam sempurna untuk selama-lamanya. Setelah I Siladri lama tinggal di pedukuhan Empu Dibyaja, diceritakan anaknya sudah dewasa, sangat cantik tersohor sampai keluar benua. Cerita itu didengar oleh ayahnya sendiri I Made Kerti, Made Kerti memberi tahu anaknya I Mudita, untuk mengunjungi puteri itu. Selesai memberitahukan, hal itu bahwa orang tua I Mudita jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia bersama. Mudita sangat sedih dan setelah selesai mengubur mayat orang tuanya, lalu dia pergi ke Gunung Kawi menemui pamannya untuk memberitahu tentang keadaan orang tuanya yang sudah meninggal, perjalanan menuju Gunung Kawi tidak mendapat halangan apapun sebab dia membawa cincin

jaga satru, cincin penolak cahaya. Akhirnya, dia bertemu dengan ayah dan adik sepupunya dengan selamat. Dia tinggal bersama-sama seperti sepasang suami istri, bermain-main, di samping itu sering juga diberikan petuah-petuah oleh ayahnya tentang orang melakukan perkawinan. Mudita dan Kusumasari akan dikawinkan, hanya menunggu waktunya saja. Suasana di sana sangat bahagia.

Kemasyuran Kusumasari didengar oleh anak I Gede Kadampal dari karang Buncing yang bernama I Wayan Buyar. I Wayan Buyar sifatnya tidak terpuji, tetapi sangat kaya, la sombong dan banyak memiliki istri. Setelah mendengar kecantikan Kusumasari, I Wayan Buyar ingin mempersunting gadis itu, namun sayang lamarannya ditolak karena Kusumasari sudah bertunangan dengan Mudita. Karena lamarannya ditolak, I Wayan Buyar menjadi marah. Pengikut I Wayan Buyar lalu menangkap Mudita untuk diikat, sedangkan Kusumasari dibawa pergi. Akhirnya, keduanya dapat diselamatkan oleh harimau yang dipanggil oleh Dukuh Siladri dengan mantra. Karena kegagalannya, I Wayan Buyar menjadi sangat marah dan minta bantuan kepada I Dayu Datu. Dayu Datu menguasai ilmu gaib yang dimiliki leak, yakni manusia-manusia sihir bertempat tinggal di Gunung Mumbul. Dengan ilmunya ini. Dayu Datu akan menghancurkan pertapaan Dukuh Siladri. Selanjutnya, terjadilah pertengkaran sangat sengit antara anak buah Dayu Datu dan Kusumasari serta Mudita. Kusumasari menghadapi serangan anak buah Dayu Datu yang terdiri bermacam-macam leak. Akan tetapi, berkat kemahiran mantranya semua leak dapat dikalahkan berkat bantu[ 11 ]
5

an ayahnya. Mayat-mayat berserakan. Kusumasari memanggil binatang untuk disuruh memakannya, selesai makan mayat leak, harimau dan kera dipanggil disuruh membunuh Dayu Datu. Pagi-pagi sekali harimau dan kera pergi ke Gunung Mumbul. Dayu Datu tidur telanjang bulat, sedikitpun la tidak merasa takut karena percaya dengan kesaktiannya. Pada waktu itu juga, Dayu Datu dapat dibunuh oleh harimau dan kera. Tubuhnya dirobek-robek sehingga Dayu Datu ratu leak mati terkoyak-koyak. Tepat pada waktu yang telah ditentukan. Kusumasari dan Mudita kawin. Mudita dan Kusumasari menjadi pasangan yang sepadan, hidup rukun, bahagia, dan damai.

Setelah upacara perkawinan, Kusumasari dan I Mudita di Gunung Kawi, Empu Dibyaja menyuruhnya kedua anaknya kembali ke daerah Mameling untuk mengaben orang tuanya. Hal ini didengar oleh Wayan Buyar melalui laporan pengikutnya, sehingga Wayan Buyar berkeinginan keras untuk memiliki Kusumasari. Selanjutnya, Wayan Buyar mengambil keputusan untuk memperkosa Kusumasari. Perbuatan Wayan Buyar diketahui oleh masyarakat dan dikroyok di rumahnya sendiri. Sebelum Wayan Buyar dikroyok oleh masyarakat Mameling yang didukung oleh masyarakat Karang Buncing, terlebih dahulu, berita ini sudah didengar oleh Wayan Buyar, maka dia berkeinginan untuk membunuh Kusumasari dengan keris. Kusumasari mengadakan perlawanan, ketika itu masyarakat datang dan Wayan Buyar tergesa-gesa menusuk Kusumasari yang pada akkhirnya melesat sehingga hanya mengenai bagian di bawah telinganya. Saat itu masyarakat yang dipimpin oleh Mudita menerjang Wayan Buyar yang akhirnya Wayan Buyar menemukan ajalnya. Melihat Kusuma sari darahnya terus mengalir, Mudita sangat panik. Dalam kepanikan itu, tiba-tiba muncul pendeta yang seperguruan dengan Mudita. Akhirnya Kusumsari dapat disembuhkan pendeta itu. Pada akhir cerita, mereka kembali pulang ke rumahnya. [ 12 ]3. TRANSKRIPSI DAN TERJEMAHAN GEGURITAN I DUKUH SILADRI

1.Mencoba menghibur diri, oleh karena bingungnya tak menentu,tidak ada di pakai berpura-pura, sakitnya di dalam hati, panas membara keluar, menetes air matanya ke- luar, menyebabkan mata merah, merah memanaskan hati, perasaan panik, bingung oleh karena sangat sangsara

2.Lewat tidak ada di mana-mana tidak ada, di barat tidak ada di timur, tempatnya di dalam hati, setiap hari membuat perasaan bingung, panik oleh karena banyak pikiran, tidak bisa membedakan yang benar, yang jahat dirasakan baik, perasaannya mulai terbalik, tidak ada cocok, selalu pikiran dan pelaksanaannya bertentangan.

3. Pertentangan sekarang diserasikan, dinasehati dengan nyanyian, ada konon diceritakan,

Iseng manungkulang mana, baan bingune tan sipi, tuara ada anggon nyaruang, sakite dijroning ati kebus maluab ka sisi mrebes yeh matane pesu, pesu ngawe mata barak; barak mamerekang ati, ati ibuk, ibuk tan larane liwat,

Liwat tuara ada dija, tuara kauh tuara kangin, pragat ring ati mangenah, sai ngawe keneh paling paling bas liu rasanin, tong bisa ngingetin patut ne murka rasayang darma, pangrasane tui mabading, tuara adung, budi laksanane tungkas

Tungkasnya jani adungang, pituturin antuk gending, wenten reka katuturan,

6 [ 13 ]

7

konon manusia dari Mameling,

asal mula bersaudara keduanya,

I Siladri namanya,

Made Kerti yang lebih kecil,

bersamaan mengambil istri,

sama cocok,

tidak pernah bertentangan.


4.Yang perempuan bersama menghidam,

yang laki seneng dalam hati,

menginginkan mempunyai anak,

sesuai dengan upacara,

konon setelah delapan bulan,

anaknya sudah lahir,

anak I Siladri laki-laki

I Kerti melahirkan anak perempuan,

sama tampannya,

semara ratih umpamanya.


5.Oleh karena dunia sudah tua,

dimasuki oleh keadaan,

yang tidak ada menghargai diri,

nafsunya selalu dipenuhi,

sama-sama mementingkan arta,

tidak mengetahui tinggi rendah,

bila sudah bisa memiliki,

walaupun dari mencuri,

tidak diperdulikan,

apapun jadi kesukaan.


6. Jadi ribut tidak ada peraturan,

Brahmana Sudra menjadi satu,

seperti sama seluruh rakyat,

Siladri kecewa di hati,

merasakan keanehan amat besar,

tumbuh di dunia ini sangat banyak,

kebaikan sudah hilang,

keburukan mulai memuncak,


kocap wong saking Mameling,

wit manyama sareng kalih,

I Siladri arenipun,

Made Kierti ne cerikan,

rinarengan ngambil rabi,

pada anut,

tuara taen majngilan.


Ne eluh pada mangidam,

ne muani suka ring ati,

mahayu ngertiang pyanak,

tetep luir pula-pali,

kocap liwat kutus sasih,

pyanak I Siladri lanang,

I Kerti ngadakang istri,

pada yu,

Smara Ratih upama.


Dening gumi sampun wayah,

kasusupan baan kali,

tong ada nyangang awak,

momon nyane kaulurin,

pada mangulahang daging,

tuara ngitung sor-luhur,

yan sampun sida bungah,

jawat ja uli mamaling,

tan pangitung,

kadadene ri wekasan.


Dadi yur tang ada adat,

menak sudra dadi besik,

walnya patuh sa jagat,

siladri osek ring ati,

ngrasa nraka luih,

tumbuh digumine giyur,

kadarmane suba ilang,

momone sida mamurti, [ 14 ]8

datang mengganggu,
si Kaya menguasai semua.

7. Siladri perlahan-lahan berkata,
kamu Kerti adikku,

yang sekarang seakan-akan pindah,
akan meninggalkan kamu,
bukan kakak dengan sengaja,
meningggalkan kamu ke gunung,
untuk mengisi diri,
supaya mampu kakak mengetahui,
yang benar,
prilaku menjadi manusia.

8. Ini keinginan kakak di hati,
oleh karena kesetiaan kepadamu,
supaya mencapai keselamatan,
kakak bersaudara dengan kamu,
oleh karena dunia seperti sekarang,
fitnah itu sangat berpengaruh,
banyak menyimpang dengan orang
tua, bersaudara bertengkar keras,
sama-sama angkuh,tidak ada yang
mengalah.

9.Kakak bodoh sama sekali,
bisa-bisa berkelahi dengan kamu,
sebabnya kakak mengalah, tetapi
sebenarnya kakak kasihan,
jangan kamu salah paham,
mengira kakak pergi,
seketika kakak meninggalkan,
ke Gunung Kawi sekarang,
itu terkenal,
tempat Empu Dibiyaja.

10.Beliau sangat terkenal di masyarakat,
kepandaiannya tidak ada yang

teka nyungsut,
i sugih drewaka menang,
I Siladri alon ngucap,
Cai Kerti adin beli nejani beli memindah,
pacang mangalain cat,
boya beli saking Mis,.
ngalain cai kagunung,
buat malajahang awak,
mangde sida beli uning,
teken patut,
tingkahe numadijadma,

Ne momoang beli ring manah
baan tresnane ring cai,
apang sida karahayuwan,
beli manyama ring cai,
apan u gumi cara jani,
pisunane pada ngugut,
liu tungkas ring rerama,
manyama mamusuh sengit,
padangagu,
twara nyak pacang kasoran.

Beli belog jarih,
pacang miyegan ring cai,
krannya beli mangalah,
nanging beli saking asih,
da cai salah tampi,
mangaden beli mangambul,
satingkah beline luas,
ka gunung Kawi ne jani,
ento kasub,
pasraman Empu Dibiyaja,

Ida tuah kasub ring jagat,
pradnyan toang ada nandingin. [ 15 ]9


menandingi, kebenaran yang selalu
ditonjolkan, kepandaiannya di pakai pegangan,menong kepada orang
menderita, oleh karena itu tumbuh
dalam hati nurani, kakak berkeinginan
belajar, berguru kepada orang pandai,
mudah-mudahan diterima, beliau mengangkat murid.

11.Sekarang kakak berpesan, masih menasehati kamu, jangan nakal jahat kepada orang
lain, dirimu sendiri dipikirkan,
supaya jangan orang lain berani, memberikan kata-kata tidak.baik, sangat sulit sekali bergaul, baik buruk harus diketahui, jangan melaksanakan jahat,
menyebabkan orang lain sakit hati.

12.Kebenaran tidaklah begitu jauh,
dirimu sudah memegang, garam gula dan asam, rasanya semua diketahui, walaupun dinikmati oleh seratus, diumpamakan makanan selingan, tidak berbeda rasanya, begitulah umpamanya kamu,
jikalau melaksanakan,
pikirkan dahulu kepastiannya.

13.Jangan sembrono berjalan,
walaupun akan berhasil, kalau langkahmu bersalah, jangan sekali kami melangkah, biarlah ketela dimakan, tidak enak dimakan diucapkan

darma putus ring kawikon,
sidiwakya trusing aksi,
wales ring wong kasih-asih,
apan tui putusing kayun,
beli maidep malajah,
nyokor ring sang sida lewih, madak asung, ida manganggen parekan, Ne jani beli mawrkas, masih dituturin cai da ngaguu jadig ring anak,
dewek caine kenehin, apang de anake jwarU
maang ucap tan rahayu, anak sengka jwa matingkah, melah'jele sami uning, da kadurus, ngawenang anake rusak,

Sikute tuara ja dija,
deweke suba rnangisi, angdenya mamik-amikan,
uyah gula muang celagi, rasannya sami uningin, wiadin teda sareng satus,
tuara bina pangrasannya, keto upaminnya cai,
yan matingkah,
kenehin malu pastiang.

Eda mengulah majalan,
wiadin pacang mapikolih, yan suba tindake salah oda jwa cai mamargi depang huselane bukti nista teda ucap luung, [ 16 ]10

baik, walaupun ada yang lebih
baik, tetapi didapat dari mencuri,
sama dengan racun,
makanan menyebabkan sakit.

14.Ini seadanya di rumah,
warisan kakak pegang,
sawah bersama kebun,
kakak memberikan kepada kamu,
kakak meninggalkan kamu, selanjutnya tidak akan kembali,
Made Kerti mendengarkan,
mengalir air matanya keluar,
jadi menunduk,
diam tidak bisa bicara.

15.Yang perempuan juga mendengarkan,
tersendat-sendar sambil menangis,
sambil meneteki anaknya,
Made Kerti bicara, saya tidak menghalangi,
keinginan kakak yang benar,
tetapi permintaan saya,
ia anakmu yang menukar,
sebenamya kakak masih saya ikuti.

16. Anak saya perempuan,
kakak mempunyai anak laki-laki,
sebenamya saya di desa,
anak perempuan menyukarkan,
oleh karena dunia seperti sekarang,
segala perbuatan tidak benar, bila baik
membawa diri, walauapun ia mati dijalan, tidak takut, orang bersalah ditinggalkan.


ulat ada noda melah, nanging ke ulih mamaling,
tulya racun,
merta matemahan wisya,

Ne saadannyane jumah,
tetamiane ngisi beli,
carik katekaning karang,
serahang beli ring cai,
beli mangalain cai,
pragat tuara pacang mantuk,
Made Ketti maningehang,
ngepes yeh matane mijil,
dadi nguntuk,
enek tong dadi mangucap.

Ne eluh pada ningehang,
sigsigan pada mangeling,
sambilang manyonyoin panak,
IMade Kerti mamunyi,
Titiang boya mamitetin,
pakayun belinepatut,
nanging ke pangidih titiang,
i cening titiang nyilurin,
beli kari iring titiang.

Pyanak titiange luana,
beli masantana muani,
dening titiang di negara,
pyanak eluh mangewehin,
dening gumi cara jani,
sing solohang twara patut,
yannya pageh ring awak,
sinah ya mati di margi,
twara takut,

anake salah makutang. [ 17 ]

11

17. I Siladri perlahan-lahan mengucap,

itu benar keinginan kamu, nah anak

kakak diambil,

anak kami kakak minta,

begitu kamu berdua,

anakmu ditukar,

nah biarkan sudah begitu,

anggap saja anak kamu,

supaya terus,

kesetiaan kamu beripar.


18. Ini ada kenang-kenangan,

cincin utama sebuah,

jaga satru nama permatanya,

kakak memberikan si anak,

besok apabila sudah besar,

beritahukan kakak di gunung,

ini cincin dibawa,

jikalau nanti menengok kakak,

bila ke gunung,

cincin membuktikan anak.


19. Yang perempuan tidak menolak,

takut taat tunduk keduanya,

anaknya tersenyum simpul,

Siladri tersenyum berkata,

sekarang dia ayah kamu,

semoga ratu oanjang umur,

bisa membenahi diri,

nah ditunangkan dari sekarang,

supaya terus,

selanjutnya bertemu di perkawinan.


I Siladri alon ngucap,

"Ento patut manah cai,

nah pyanak beline juang,

pyanak cai beli ngidih,

ketoh luh sareng kalih

pyanak nyaine masilur,

nah depang suba idepang,

waluyannya pyanak nyai,

apang nerus,

tresnan nyaine maipah.


Ene ada kaliliran,

bungkung ytama a katih,

jaga sastrutwi socannya,

beli mekelin i cening,

mainan ya nya suba kelih,

tuturang beli di gunung,

ne jua bungking aba,

sing saget nelokin beli,

twi ka gunung,

bungkunge nyihnayang panak.


Ane luh twara manulak,

tresna takut mekekalih,

pyanak nyane kedek binal,

Siladri kenyem mamunyi,

"Jani wa bapan nyai",

madak ratu panjang umur,

bisa ningkahang awak,

nah magelan uli jani,

apang nerus

wekasan nemu di karma.


PUH DURMA

1. bersiap-siaplah I Siladri menuju

berangkat, Istrinya mengikuti,

sambil menggendong anaknya,

Istrinya kedua berkata,

berjalan kakak dengan baik,

semoga selamat, kakak mengikuti


Madabdaban I Siladri ngantyang

luas, somah nyane manyarengin,

tan sah manyangkil

panak, somah ne cerikan

ngucap, "Mamargi embok apang

becik, dumadak lasya, [ 18 ]12

suamiku.

2.Kamu anak ibunda i dewa,
semoga cepat besar,
jangan sering nakal,
menyakiti hati ibu,
nah mari dicium sebentar,
anaknya lucu,
jadi senang semuanya.

3.Dengan iklas hatinya berjalan,
pergi, keluar selanjutnya
berjalan, banyak orang menunggu,
ada termenung memikirkan,
yang lain ada yang iri hati,
mengomel berkata,
dia pergi tidak dapat waris.

4.Yang baik hatinya menjawab
bergantian,jangan sekali
sembrono berkata, pendapat
diri sendiri, tidak sama dengan
orang lain, lain rupa lain pikiran,
cobalah perlahan-lahan, seenaknya berkata.

5.Tidak dihiraukan perkataan orang lain yang mengatakan,
I Siladri tidak memperhatikan,
tetap berjalan, menelurusi
tebing hutan luas, tidak disangka
hujan angin, deras sekali,
anaknya bersendat-sendat menangis.

6.Basah kuyup gemetar tiba-tiba
guntur, Siladri terkejut di dalam hati, selanjutnya mendekati istri, sengsara


embok ngiring i
beli

Nyai cening pyanak memene
i dewa, dumadak enggal
kelih, da pasti macara,
nyakitin idep rerama,
nah mai diman abedik,
panaknya binal,
dadi lega sareng sami,

Lintang olas manahnya maja
lan luas, pesu laut mamargi,
lui anaka ngantenang, ada
bengong mangenang,
ten ada ne iri ati, ngamokmok mengucap, ia ngambul tong maan
daging". Nepatutan manahnya nyautin
ngubad, "Da ja lages mamunyi,
sikutang diawak, sing patuh
teken anak, ten goba len budi,
pang ke adeng-adengan, da
mangulah mamunyi.

Tan kocapan munyin anake
ngantenang,I Siladri twara
nolih, manerus majalan,
nuut rejeng alas linggah,
tan pasangkan ujan angin,
bales makocogan,
pyanak nya ngengkak ngeling. Belus lepeg ngilgilang
tui mataar, Siladri kagot

ring ati, laut mapasihin [ 19 ]

13

sekali atma jiwa, kesetiaan menuruti

kakak, kakak kasihan sekali,

sekarang kakak berkaul.


7. Keeseokan hari bila kembali

menjelma, kakak supaya menjadi

perempuan, kamu menjadi laki-laki,

supaya bertemu berkeluarga,

mendoakan sanggup melayani,

kakak membayar hutang,

kebaikan kamu sekarang.


8. Jadi berkata yang perempuan

menyedihkan anak, sengsara

sekali dia lagi, baru lahir

menemukan sengsara, Bila ke-

hendak Tuhan, I Siladri men-

jawab, jangan sekali di pikirkan,

oleh karena berat menjelma.


9. Memang begitu orang menjadi

manusia, baik buruk ditemukan

begini filsafatnya, konon Ida Hyang

Iswara, membuat manusia dahulu,

bagus wirya sama dewa, tidak

ada sakit hati.


10. Bila begitu di sama sang Kerta

Bujangga, sakit hatinya

melihat, selanjutnya memohon

dengan Batara, kenapa ratu

samakan, manusia dengan dewa

semua,

lebih baik ratu diubah, supaya

ada baik buruknya.


11. Diisilah permohonannya oleh


somah, "Nraka san atma h jiwa",

tresnane matutug beli,

beli nrima pisan,

jani beli masedangi.


Riwekasan yang sida buin

numadya, beli pang dadi

istri, nyai dadi lanang,

pang sida makurenan,

ngastiti nyadia ngayahin,

beli mayah utang,

tesnan nyaine jani.


Dadi ngucap ne eluh manyelsel

panak, "Lacur san ida numadi,

mara tumbuh manggih lara,

lewih pangendaning Hyang",

I Siladri manyautin,"Da ya

selsela apan sengka,

manumadi,


Mula keto anake numadi

jadma, suka-duka tepukin,

kene katatwannya, kocap

ida Hyang Iswara, mangawe

jadmane nguni, bagus wirya sama

dewa, tong ada dukiteng ati.


Dening keto ditu sang Kerta

Bujangga, istrik kayune

nyingakin, raris matur ring

Batara, "Punapi ratu patehang,

jadmae ring dewa sami, becik ratu

obah, mangde wenten ala-

becik.


Kadagingang atur nyane antuk [ 20 ]

14


sanghyang segara beliau me-

robah, rupa dan tingkahnya,

baik-buruk supaya ada, karena

diterima saat sekarang,

baik-buruk ditemukan,

begitu filsafatnya dulu.


12. Nah berjalan jangan lupa men-

doakan diri, jangan mengolah

Sang Hyang Widi, walaupun ke-

hujanan, itu daun kembangnya

petik, dipakai payung si anak,

supaya hangat, hujan derat tak

henti-hentinya.


13. Semua petunjuk yang laki-laki

yang perempuan tidak menolak,

daun kembang dicari, terus

selanjutnya berjalan, tiba di

tengah hutan, keangkerannya

tidak ada taranya, di sana ke-

malaman, berhenti di bawah

pohon beringin.


14. I Siladri bersila bersandar

duduk, yang perempuan payah

berjalan, jatuh di pangkuan,

tidak menghiraukan anak,

anaknya tidur pulas,

Siladri tidak lupa,

menyembah Sang Hyang Widi.


15. Tidak ada perasaan dikotori,

dengan perasaan putih bersih,

yang perempuan tidur di pang-

kuan, binatang berlalu lalang,

bergerak dan berloncat-loncat,

warak singa harimau, I Siladari


Sanghyang, pramangkin ida ngebahin,

rupa yadin tingkah nya, ala-ayu ada,

krama tami buka jani,

suka-duka pangguhang,

keto tatwa nyane nguni.


Nah majalan da maren ngas-

tityang awak, da ngupet

Sanghyang Widi, wiadin

kaujanan, ento don kumange

alap, anggon nawengin i cening,

pang ya angetan,

ujane bales tan sipi.


Sapatuduh ne mwani ne luh

tan tulak, don kumbange

kaalih, trus laut majalan,

teked di tengah alas,

madurgamane tan sipi,

ditu kapetengan,

mareren di batan bingin.


I Siladri nyempel menyeleg

negak, ne luh kenyel

mamargi, macepol dipabinan,

twara mangringui panak,

panakne pulus ngesil,

Siladri tan ubah,

mangastawa Sanghyang Widi.


Twara ada idepnyana kaletehan,

saking jati tedas ening, ne luh

pules di pabinan, burone

masliweran, pakrosok pada

padingkrik, warak singa macan,

I Siladri twara jerih. [ 21 ]

15

tidak takut.


16. Pagi hari burung-burung ber-

kicau, seperti membangunkan,

anaknya bangun terkejut, ibu-

nya mengambil menggendong dan

menyusui, Siladri berkata,

nah berjalan lanjutkan berangkat.


17. Bersiap-siaplah berjalan dia

ke timur, menuju gunung Kawi,

semua bunga sedang mekar,

ramai tamulilingan,

rasa gembira menyapanya,

dan memetikkan bunga,

lantas selanjutnya berjalan.


18. Jadi kelihatan Istananya sangat

megah, pintu masuknya menonjol,

I Siladri senang di hati, tiba-tiba

muncul bahaya di jalan, suaminya

seketika sakit, panas seperti di-

panggang, masih ditahan terus.


19. Setibanya sekarang di depan

Istana, yang perempuan seketika

tidak tahan, bertelunglup di pangkuan,

Siladri mengambil anaknya, merangkak

mengusap-ngusap, sengsara memang

atma jiwa, diam nah ibu sakit."


20. Di ceritakan beliau Mpu Dibiyaja

selanjutnya, baik hatinya suci,

ketika beliau keluar, dilihat Siladri,

selanjutnya berkatalah, ih,

siapa itu duduk, mengapa istrinya

mati?


twara jerih.


Ngadas lemahang kedise umung

maswara, waluya manundunin,

pyanaknya bangun makesyab,

memennyane manyemak,

manyangkil laut manyonyoin,

Siladr ngucap, "Nah, jalan jani mamarg".


Matikasan majalan ya manganginang,

manincap gunung Kawi,

sarwa bunga nedeng masekar,

umung i tamulilingan,

rasa lega manyaptih,

tur ngalapang bunga,

pacang sekarang mamargi,


Dadi kanten pasramane lewih

dumillah, gelung korene manginjil,

I Siladri suka ring manah, dadi

sengkala di jalan, somah nyane

rahat, kebus buka panggang,

masih nglawanin mama.


Satekannya jani dijabaning

pasraman, ne luh liwat

tong dadi, makakeb dipabinan,

Siladri nimbalin panak,

manyangkil mapasihin,

"Lacur saja atma jiwa,

meneng nah i meme saktt."


Kacerita ida Mpu Dibiyaja

kocap, darma kayune suci,

nuju ida medal, kacingak

I Siladri, raris mangandika

airs, "Ih, nyen to sih manegak,

mangida somahe? [ 22 ]

16

21.Terkejut I Siladri mendengar, terus istrinya dibangunkan, digoyang dibangunkan, sudah lemas dan tak bernyawa, Siladri memeluk bertelungkup, mengapa kamu tega, meninggalkan anak masih kecil.

22. Apa ada kesalahan kakak ber- suami bersama dengan kamu, kenapa kamu tega, menyakiti hati kakak, suamimu sangat mencitai, jikalau sebenarnya kamu cinta, cari diajak kakak mati

23. Daripada hidup hanya meneteskan air mata, hidup ini menunggu mati, sebenarnya kakak sakit hati, merasakan diriku mengotori bumi, berkeinginan mencari mati, jauh sekali menemukan, menggaruk kepala dengan tangan kotor.

24. Seperti sekarang jikalau kamu masih cinta, cari kakak ajak mati, tetapi jangan terlalu lama, anakmu diikutkan, mumpung bersama diajak men- derita, supaya jangan pisah, walaupun menemukan sengsara.

25. Begitu seketika Empu Dibiyaja mendengar, lalu beliau menasihati, "Duh Siladri lupakan jangan sekali menyesal, oleh karena istrimu mati, sudah kodratnya, tidak bisa kita hindari.

Tangkejut I Siladri maningehang, laut somahe dundunin, kakocok bangunan, suba lemet tan pajiwa, Siladri ngelut ngakebin, "Nguda nyai las, ninggal panak kari cenik.

Apa ada pelih beline masomah, marepe teken nyai, dadi nyai liwat, nyakitin keneh somah, somahe ne tresna jati, yan tuah nyai las, boya ajak beli mati.

Yadin idup tan urung mepes yeh mata, idupe waluya mati, nanging beli ngrasa pisan, tuah mawak leteh jagat, mabudi mangalih suci, joh para nyidayang, nyemak tendas lima daki.

Buka jani yan nyai enu pitresna, alih beli ajak mati, nanging da makeloang, panak nyai barengang, ngadung bareng ajak sakit, apang da belas, yadin ngalih aweci!

Lintang welas Empu Dibiyaja mirengang, raris ide mituturin, "Duh Siiadri pumayang, da sanget manyelselang, baan somah cai mati, mula tuah janjinya,

tuara da dadi kelidin. [ 23 ]

17


26. Walaupun begini ditemukan menjadi manusia, hidup ini menunggu mati, apapun prilaku istri, akhirnya cerai, mengulurkan kesenangan menyakitkan, itulah yang membuat kacau, wajar keinginan itu dikendalikan,

27. Jadi manusia kejahatan itu musuh pada diri, itulah patut diperangi, dari hati sebenarnya tumbuh, di hati di sana dikendali kan, dikendalikan dengan pebuatan baik, pasti dia kalah, tidak berani dia tumbuh kembali.

28. Kalah kejahatannya ada lagi musuh datang, mengulurkan ke- senangan merusak perasaan, setia dengan anak, istri dengan harta benda, itu patut dia perangi, tegaskan hatimu tunjukkan, hapuskan kesetiaan semua.

29. Di dunia ini tidak ada baik selalu, buruk baik memang di temukan, memang tidak bisa di- pisahkan, di dalam Sarasamuscaya, tiga tempat sejati, nista, madya, utama, perbedaan- nya di sana dijumpai.

30. Swargaloka martiloka nrakaloka, itu tempat tiga sejati, di sorga tempatnya, pertama di sana ditemukan, suka selalu ditemukan, di nrakaloka tempatnya, masih atau

Twinnya kene tingkahe numadi jadma, idupe, pamagrat mati, yadin tingkah masomah, pamragatnya dadi belas, tresna demene nyakitin, ento ngawe buyar, patut idepe magedi.

Dadi jadma indriane manah di awak, ento ne patut prangin, uli manah tui wetunya, di manah ditu lawan, lawan baan tingkah, sinah ya kalah, tong bani ia mabalik.

Kalah indiane ada buin musuh teka, tresnane mangrupang ati, tresna ringpanak somah, tresna ring raja brana, ento nyandangya perangin, las manahe adokang, nyapuhang tresnane sami.

Digumine twara ada melah setata, jele-melah tuah panggih, apa tong dadi belasang, lingling Sarasamuscaya, telu lokane sujati, nista madia utama, pada len ditu kapanggih.

Swargaloka martiloka nrakaloka, ento loka telu jati, ring swarga magenah, abesik ditupagehang, suka setata kapanggih, ring nrakaloka magenah,

masih abesik tepukin. [ 24 ]

18


dijumpai.


31. Sakit hati menderita selalu,

karena bernama neraka gumi,

di martialoka tempatnya,

semasih di bumi, dua selalu

ditemukan, suka neraka tidak

berbeda, hidup bergandengan

mati.


32. Sudah mati tempat dua dituju,

salah satu yang dipilih,

Swargaloka nrakaloka di ikuti

oleh perbuatan, itulah oleh-oleh

mati, tingkah buruk menemukan

neraka, tingkah baik menemukan

sorga."


33. Jadi mengerti I Siladri men-

dengarkan, ucapan sang pandai

sejati, lalu berkata menyembah ya

sang paduka, seperti bulan purnama,

sinar terang benderang, menghilang-

kan gelap di bumi.


34. Ya terima ini sembah saya,

sungguh hati saya jernih,

ingin memohon, penyelesaian

istri saya, supaya bisa dia

menemukan, jalan baik menuju

air bumi.


35. Empu Dibiyaja tersenyum lalu

berkata, "Kalau begitu permohonan

kamu, ayah sekarang menunjukkan

ke Sana kamu ke sebelah

selatan ke kuburan gandawati,

di sana kamu membakar mayat.


Sakit ati engkak-engkak

setata, krana madan nraka

gumi, ring martia loka,

saenune ring jagat, dadwa

satata kapanggih, suka nraka

tan simpang, idupe

matimpal mati.


Suba mati lokane dadwa

ungsiang, salah tunggal

tuara pelih, Swargaloka

nrakaloka, nuurt sapari

krama, ento tuah bekelang

mati, ulah ala nemu nraka,

ulah ayu manggih swargi."


Dadi rsep I Siladri maningehang,

wacanan sang Dibiyajati,

rasis matur sembah, "Singgih

sang panembahan, sang kadi

ulan purnami, teja dumilah,

ngampehang peteng sa gumi.


Nggih terima puniki panembah

titiang, tui manah titiang

ening, kedeh mapinunas,

pamuput somah titiang,

mangda sida ipun manggih,

pamargi melah, manungsi

toya bumi.


Empu Dibiyaja kenyem raris

ngandika, "Yan keto pinunas

cai, bapa jani nuduhang,

kema cai beten kelod,

ka setra gandawati, di tu

cai ngeseng sawa, abune [ 25 ]

19

abunya kemudiah di buang."


36. Di sebelah utara ada air yang

suci, mengalir sungai ke laut,

di Sana abunya dibuang, sang

pitra terus naik, mengikuti

asap di bukit, menuju siwa

sana,

itu sorga baik.


37. I Siladri tunduk taat mengikuti,

mempersiapkan akan pergi,

sulit sekali menyangkil anak,

jadi teringat akan diri, Empu

Dibiyaja mendekati, menolong

mengambil anaknya, "Nah kesana

kamu berjalan."


38. I Siladri permisi lalu menyembah,

memikul mayat berjalan,

air matanya menetes,

teringat saat di tempat tidur,

berpelukan saling tumpukan,

tidur besama istri,

sekarang meninggalkan mati.


39. Jadi duduk menangis mengusap-

usap, mayatnya di telungkupi,

di peluk di cium duh mas mirah

atma jiwa, tunggu kakak

sekarang, kakak mengikuti kamu,

supaya ikut berteman mati.


40.Walaupun sekarang kakak mem-

buang diri, supaya cepat bertemu,

lagi bersuami istri,

ini jurang dalam sekali,


lautang kirim.


Duur kaja adayeh lintang

nirmala, membah neked ka

pasih, ditu abune anyudang,

sang pitra terus munggah,

manuut andus di bukit,

ngungsi siwa pada,

ento swargane lewih.


I Siladri cendek ature

ngiringang, nabdabang pacang

mamargi, romba ban

nyangkit pyanak, dadi

kangen teken awak, Empu

Dibiyaja nyagjagin, sweca

nyemakin pyanak, "Nah kema

cai memargi"


I Siladri mapamit raris

manyumbah, nikul bangke

memargi, yeh matane membuas,

ingete duke di padoman,

mangelut saling pimpahin,

medem ngajak somah,

jani ngalain mati.


Dadi negak mangeling mase-

sambatan, bangkene kakakebin,

kagelut kadiman, "Duh mas mirah

atma jiwa, jantos beli

nene jani, beli nyatisin ida,

apang bareng sida mati.


Twi ne jani beli lega ngrarung

awak, apang enggal kapanggih,

buin makaronan, ne

pangkung dalem pisan, [ 26 ]

20


berjalan menyertai kamu,

ini jalan baik sekali,

kakak bersedia terjun.


41. Didengar oleh Mpu Dibiyaja,

lalu berkata pelan,

"Ih kamu Siladri, mengapada kawah

yang dicari, kalau maungu-

lah pati, kaliwat nrakanya,

tiga tahun tidak dapat jalan."


42. Tidak benar kamu mencintai

istri meninggal, walaupun pikiran

kamu bingung, bingung,

berbadan buta, buta tidak

dapat melihat jalan, jalannya

di ikuti, berjalan tak tentu,

jurang ingin di terjuni.


43. Yang berjalan turun mencari

nraka, naik mencari sorga,

itu yang kedua di tuju, naik

lawan turun, yang turun cepat

jalannya, yang berjalan naik,

memang berat sekali jalannya.


44. Nah selanjutnya silakan kamu

berjalan, sekarang mayatnya

dibakar, api pembakaran, di

atas tempat pembakaran diambil,

sudah ada dari dulu, Siladri

mengikuti,

menyembah lalu permisi.


45. Sebelah selatan ada tempat

pembakaran rata, dialasi bata

di ukir, di sana mayatnya di



pejalan nyatiain nyai,

ne marga liwat melah,

beli nyadia manyeburin.


Kapiarsa antuk ida Mpu Dibiyaja,

raris ngandika aris,

cai Siladri, nguda kawahe

buatang, yen cari mangulah pati,

luih kanrakannya, telung warsa

tong maan."


Twara patut cai nresnen

somah pejah, tui keneh cai

paling, palinga mawak buta,

butane tong ngenot marga,

margane patut jalanin,

pejalan ngawag,

pangkung nagih ceburin.


Yan majalan nuunang mangalih

kawah, menekan ngalih

suargi, ento ne dadua bu

atang, menek lawan nuunang,

yan tuun enggal mamargi,

yan mentas menekan,

rungka sengka ban mamargi.


Nah pirnayang kemu jua cai

majalan, jani sawane enjutin,

pangentas pangesengan,

duur pemuhunan jemak,

suba ada uli nguni,

Siladri ngiringang,

nyembah raris mapamit.


Tuun kelod ada pamuunan

rata, babataran bata mukir,

ditu sawane kejang, [ 27 ]

21

taruh, selesai sudah diberi

tirta,

mayat lalu dibakar,

api menyala,

pekerjaan sudah selesai.


46. Selanjutnya dikirim abunya

menuju utara, mata air di atas

bukit, deras mengalir turun,

abunya di sana dibuang, me-

ngalir terus ke laut, siang

matahari, embun pagi menyelimuti

bukit.


47. I Siladri lalu kembali ke

Istana, selangkah berhenti menoleh,

walaupun langkahnya ringan,

setibanya di Istana,

anaknya tersendat-sendat

menangis, dan di asuh, oleh

sang Dibiyaja.


48. I Siladri terlena perasaaannya

melihat, lalu dia menyapa

bakti, Inggih ratu Agung, saya

sekarang memohon, mengasuh

anak kecil, Empu Dibiyaja

mengucap, sebanarnya aus karena

menangis.


49. Nah ini ambil berikan air susu,

supaya berhenti menangis, I

Siladri mengikuti, selanjutnya

lalu berjalan, mengikuti Empu

Dibiyajati, ke dalam hutan,

tidak di sangka sudah tiba.

50. Ada batu rata di bawah pohon


puput sampun mahentas,

sawane raris kabasmi,

api dumilah,

saksama sampun basmi.


Tur kakirim abune menekan

kaja, yeh mumbul diduur

bukit, suluk membah nuunang,

abune ditu kakutang, anyud

manerus ka pasih, lingsir

HyangSurya, sayonga

manglikub.


I Siladri raris tulak ka

pasraman, satindak janggel

anelih, tui tindake kambang,

sarawuhe ring pasraman,

pyanak nyane ngengkak ngeling,

tur kacangkringan,

antuk sang Dibiyaja jati.


I Siladri kangen manahne

ngantenang, raris ya matur

bakti, "Inggih ratu panembahan,

titiang ne nangkin nunas,

ngempu penyeroane alit,

Empu Dibiya ngucap,

"Tui bedak krana ngeling.


Nah ne jemak jalan alihang

empehan, apangya suud ngeling,

Siladri ngiringan, tumuli

raris memarga, mangiring

sang Dibiyajati, ka tengahing

alas, tan kocapan

sampun prapti.

Ada batu rata di bataning [ 28 ]

22

kepah, di sana beliau duduk,

mengucapkan bereneka mantra,

dengan sakti sekejap,

jadi ramai seketika,

binatangnya berloncat-loncat,

pada datang menghadap.


51. Singa harimau meraung-raung

warak dan gajah, babi hutan dan

kancil, kidang sapi manjangan,

berkumpul, jinak sekali, Sila-

dri takut sekali, Empu

Dibiyaja berkata, "Jangan takut

kesini dekati."


52. Apa benar seperti kamu juga ber-

teman, segalanya tumbuh dari

bumi, bila ada cahaya,

jangan mendakan,

jangan kamu iri hati,

jika bisa mengasihi,

baik pahalanya di temukan.


53. I Siladri mendekati tidak lupa

memberi hormat, Empu Dibiyaja

memberisatukan, mantra

memperkecil dunia, pengasih

beraneka raham banyaknya,

ucapkan setiap hari, angkara murka

hindari, lagi jangan membunuh-bunuh


54. Oleh karena itu prilaku paling

jahat sekali setiap menjelma

semua takut, prilaku menjadi

sebab, kalau benci gawat temannya,

bila setia berteman kasih,

bila bisa kasihan,

dengan manusia binatang juga.



kepah, ditu ida malinggih,

nuncarang japa mantra,

tui sidi sakecap,

dadi gewar para jani,

burone padingklak,

pada teka manangkil.


Singa macan pagereng warak

lan gajah, celeng alas bareng

kancil, kidang banteng

manjangan, pacarungung, manuh

pisan, Siladri jejeh tan

sipi, Empu Dibiya ngucap,

"Da takut mai paekin."


Apa mula buka cai tui makadang,

saluwor wetu ring

pratiwi, yan ada kasangkalan,

tulung da manglengayang,

eda cai iri ati,

yan bisa olas,

tresna pamalesnya panggih,


I Siladri manesek tan maren

nyumbah, Empu Dibiyaja nga-

warahin, mantra pangikut bu

buana, pangasih sarwa mambekan,

kauncarang sai-si,

"Momo drohaka hretang,

buin da mamati-mati.


Apan ento tingkah kala jele

pisan, asing tumon pada jerih,

tingkahe dadi krana,

yen gedeg geting timpalnya,

yen tresna matimpal asih,

yen bisa olas,

ring jadma jawat sato tui. [ 29 ]

23


55. Jikalau binatang dia bisa sama

mengerti, menerima orang

kasihan, tetapi berbeda bunyinya,

perasaannya sama, karenanya

bisa diajarkan memang sejati

sasaran manusia begitu ajarannya

sejati.


56. Nak sekarang bapak meminta

tolong, kepada sahabat binatang

semua, buat minta air susu,

lalu beliau berkata, kamu

binatang semua sekalian,

bapak minta anak, supaya bisa

masih bernyawa.


57. Nah kasianilah anak kecil ke

sengsara, ibunya sudah mati,

disusui di sini dengan air

susu, bintang semua mendengar,

singa bangun meloncat, memanggil

kijang, kebetulan ia beranak

kecil.


58. Dia I Kidang mendekati Mpu Dibiyaja,

bersedia akan menyusui, Mpu Dibiyaja

berkata,"Siladri ke sana serahkan,

anak kami sekarang," Siladri

menuruti, I Kidang tidur

menyusui.


59. I Siladri amat tenang menunggu,

anaknya menyusu ngelanting

sampai tidur lelap.

i kidang bangun perlahan-

lahan.

Empu Dibiyaja berkata lagi,


Yadin sato ya bisa sama

ngresepang, manampi anak

asih, kewala bina munyinnya,

pangrasannyane tunggal,

kranannya dadi ajahin,

apan tui sasaran jadma,

keto tatwan nyane jati.


Nah ne jani bapa ngidihang tulungan,

ring kadang burone sami,

buat ngidih ompehan,

Raris ida ngandika,

Iba buron sareng sami,

bapa ngidih panak,

pang sida enu urip.


Nah olasin anak cerik kanarakan,

memennya suba mati,

panyonyoin dini mpehan,

Burone pada ningehang,

singane bangun maningkrik,

ngwangsi tin kidang, dening

ya manakan cenik.


Ya i kidang nesek Mpu Dibiyaja,

nyadia pacang manyonyoin,

Mpu Dibiyaja ngucap, "Siladri

kema serahang," panak

caine ne jani, Siladri ngiringang,

kidange medem manyonyoin,


I Siladri lintang lega mangantenang,

pianake manyonyo nglanting,

knati pules malepehan,

kidange bangun nelanang.


Mpu Dibiyaja ngucap aris, [ 30 ]

24

Siladri ke sana ambil,

anaknya nah jalan pulang.


60. I Siladri mengambil anak senang

sekali, Empu Dibiyaja pulang,

I Siladri tak menduga, tiba-tiba

ada bau harum,

matahari pelangi,

Empu Dibiyaja melihat.


61. Jadi merasa diri sudah selesai,

tapanya di asrama, walaupun

tidak bisa dihentikan, buat

anugrah Tuhan, perbuatan

akan diterima, oleh karena

sudah berbuah masak, yang

menanam memetik.


62. Jadi termenung Empu Dibiyaja

mendengarkan, lalu berkata

selanjutnya, Siladri bapak

mungkin, tidak akan melanjutkan,

kasihan bapak pada kamu,

oleh karena perintah Tuhan,

tidak bisa dihindari.


63. Lagi tiga Minggu Wage krulut

dilaluinya, setelah purnama

tujuh hari pasti, di sana

ayah berjalan, Sang Surya

sudah condong ke utara, ke

utara sujati, sekarang ayah

menyerahkan rumah dan isinya

semua.


64. I Siladri mendengarkan sesak

di hati, merasa miskin sekali,

yang di gantungi patah, sedih


Siladri kema jemak,

pianake nah jalan mulih.


I Siladri nyemak panak lega pisan,

burone pada magedi, Mpu Dibiyaja,

I Siladri tan pasah,

dadi ada ebp miik,

surya makalangan,

Mpu Dibiyaja nyingakin.


Dadi mangrasa cihnaning sampun pragat,

yasane ring asrami, tui dadi

andegang, buat paswecaning Hyang,

pagawane pacang tampi,

apan suba mabuah tasak, sang

manandur ngalapin.


Dadi e bengong Empu Dibiyaja

ngresepang, raris ngandika aris,

"Siladri bapa mindah,

tuara ja katutugan,

tresnan bapane ring cai,

apan titah Hyang,

tuara ja dadi kelidin.


Ne bin telun Ditu Wage krulut

temunnya, panglong ping

pitu pasti, ditu bapa majalan,

suryane suba ngajanang,

ngutarayana sujati,

jani bapa nyerahang, umah lan

isinya sami.


I Siladri ningehang enek

ring manah, ngrasa lacure tansipi,

sing glantingin empak, sedih [ 31 ]

25

lalu menyembah, saya mohon

mengucap mohon, tertawa tak

tertawa, memakai saya rakyat

miskin.


65. Oleh karena itu saya datang

membantu, belajar dengan orang

pandai, buat mohon pembersihan

diri, melebur yang tidak baik,

itu ratu diberikan, memakai

pembantu, maafkan saya

merepotkan.


66. Seperti sekarang berat didengar

saya, Istana di sini memang

terkenal dari dulu, termasyur

tak ada tandingannya,

didengar oleh saya,

sekarang, jadi di kotori,

itulah ratu di pikirkan.


67. Jikalau bisa jika tidak menyebabkan

salah, juga saya ditujukan prilaku

menjadi manusia, bertempat di asrama,

supaya jangan salah jalan,

mohon nasehati saya,

Empu Dibiyaja menjawab.


68. Itu memang benar kata kamu dengan

dengan ayah, sekarang ayah

mengirimkan kamu, dari sekarang

di mulainya, bisa kamu berlaksana,

ini bekal tanpa bukti,

sastra ada dua,

masukkan di dalam hati.


69. Ini pelajaran Sang Hyang

Rwabineka, sanghayang adumuka


raris manyumbah, "Titiang

daweg matur sisip, ica tan ica,

nganggen titiang panjak

miskin.


Krananipun tityang rauh

mamarekan, nyokor ring mraga

lewih, buat nunas panyupatan,

pangleburan pataka,

punika ratu swecanin,

nganggen parekan, kengin titiang

ngarewedin.


Kadi mangkina buat pamalapan

titiang, pasramane i riki, wantah

kasub saking kuna, lewih tan

patandingan, kapica ring

titiang, mangkin, dados kaletehan,

punika ratu pinehin.


Yaning dados yaning tan makrana

iwang, taler ke titiang swecanin,

tingkahe dados jadma, magenah

ring pasraman, mangda tan iwang

pamargi, inggih nikain titiang,

Mpu Dibiyaja nyaurin.


"Ento patut atur caine ring

bapa, jani bapa nglugra cai,

uling jani tembennya,

sida cai mapodgala,

en bekel tan pabukti,

sastra tui dadua,

resepang pejang di ati.


Ne tatwannya Sang Hyang

Rwabineda, Sanghyang adumuka [ 32 ]

26

jati,

konon memegang segala, dilakukan,

dengan perasaan, oleh karena itu,

di sebut sakti,

pelaksanaan api air,

semua kotoran musnah semua.


70. Sudah musnah seluruh bataran

pada diri, bisa perasaaanya

jernih, jernihnya berbadan bersih,

sucinya berbadan baik

baiknya dari siwa atma jati,

sebenarnya ke iklasan,

tidak satu keikhlasan sejati.


71. Itu yang diperoleh memondok

di asrama, supaya diikat dengan

kasih, tiga warna peralatannya,

kata budi dan perbuatan,

itu perbaiki supaya bersih,

tiga perbuatan baik, diperoleh

sebenarnya dipegang.


72. Hyang suksma yang dipuja setiap

hari, oleh karena di puja

setiap hari, pertemuan yoga

perasaan sejati suci, di sana

Hyang Siwa bertempat,

sebab atma diperlukan,

budinya sejati barsih.


73. Sebab percuma mengadu puja

budi murka, memuja memerlukan

isi, setiap hari memutar bajra,

menyertai sesajen, mengucapkan



jati,

gocek nyandang sehedang, buatin

baan adnyana, apah tuah

kaucap sakti,

mraga geni toya,

asing mala gempung basmi.


Suba basmi saluiring malaning

awak, sida adnyane ening,

eninge mawak suba,

sudane mawak sukla,

suklane wistma jati,

jatining sukma,

acintia sukma jati.


Ento ne prihang manukuh

di pasraman, supaya pasangin

pangasih, telung warna sarannannya,

munyi budi lan tingkah,

ento patutang pang bersih,

i trikaya parisuda,

bakat suksmane kagisi


Hyang suksma ne astawa tui

sadina, awanan mamuja sai,

patemuaning yoga adnyana,

adnyanane jati suba, ditu

Hyang Siwa malinggih, krane

temes buatang,

budine sujati ening.


Krana nirgawe ngadu puja

budi murka, maweda muatang

daging, sai maguyang bajra,

manungkukang daksina, [ 33 ]

27

mantra suci,

buat dipakai menarik uang

kepeng supaya masuk.


74. Menang senang menerima uang

bertumpuk-tumpuk jika tidur

selalu bermimpi, mimpi menghitung

uang, bangun memantra,

asal sudah selesai, supaya

cepat, buat menghitung isi.


75. Mengucapkan permohonan

berkeinginan emas, keinginan

sebenarnya terbalik, di tukar dengan

emas, keiklasan sejati hilang,

hilang oleh karena dirusak isi,

isi tidak dapat,

perut kosong menerima isi.


76. Oleh karena bingung yang kotor di

kiri kepala, pandangannya mulai

terbalik, berkaca tak terasa,

merasakan enam rasa, seketika lemas,

seketika, tidur terbuka, perutnya sakit

setiap hari.


77. Bila kamu seoarang sakit ada memberi-

kan obat, walaupun dengan obat luar,

jika mati kesakitan, tidak ada sanak

saudara, akan di suruh menolong,

sebab sekarang pikirkan, pengobatan

tradisional lenyap.


78. Karena keinginannya mendapatkan

suka-duka, perasaan menjadi tidak

tenang, perkataan menjadi tidak

benar, jadi mengikuti pikiran,



manguncarang sloka sruti,

buat anggon ngarad, kakercene

apang mati.


Saja lega namping pipis

krepe krepeyan, yan pules

nyapnyap mangipi,

ngipi metek jinah,

bangun maweda masepak, kewala

suba manyarik apang enggalan,

buate mangitung daging.


Manguncarang pangastawa

maprih emas, suksmane tui

mabading, masilur ban emas,

suksmane jati ilang,

ilang baan uyak daging,

daging tong bakat,

basang puyung nampi daging.


Apan simuh ne letuh kadenang

tedas, paliate tui mabading,

makaca tan prasa, mangrasayang

sad rasa, ngulah lemuh parajani,

pules malegaran,

basange sakit sasi.


Yan cai jani sakit ada maang

ubad, jawat pacang nyimbuhin

yan wekas kasakitan, twara ada

nyama braya, pacang tunden

manulungin, krana jani kenehang,

usadane bekelang mati.


Saking manah krana manggih

suka-duka, manahe pesu ka

sisi, dadi munyi lan tingkah

tui manurut di manah, [ 34 ]

28

jikalau perasaaan jahat sejati, prilakunya jadi kasar apa dikatakan menjadi salah.

79. Oleh karena sangat baik orang melakukan tapa, sehari-hari menghilangkan marah, lebih baik bekjar membaca, untuk menghilang- kan durhaka, baik sekali memiliki padi, dipakai upacara, memperkuat keinginan mencari kebenaran.

80. Sebab beryoga memenangkan pe- rasaan, menyatukan memusatkan perasaan, tiga disatukannya, timbul huruf sejati, tempat Hyang Ciwa Murti, penjelmaan perasaan, jalan Hyang tuduh sejati.

81. Sanghyang Tuduh menciptakan suka dan duka, tak terpikirkan keikhlasan sejati, berupa tak berupa, oleh karena rupanya tak kelihatan, beliaulah tak kelihatan di hati, tempatkan dengan puja, sembah setiap hari.

82. Di perciki tirta dupa lampukan setiap saat, lemaskan cakupkan tangan ke dua, ditujukan pada padma bedaya, dewa pembersih bersamanya diiringi mantra itu lagi. pencipta, pemelihara, terakhir pelebur hati.

83.Memang begitu pelaksanaan di Istana, mendapatkan perasaan supaya bersih, itu yang bernama bersih, jikalau

yan manahe dusta jati, tingkahe dadi sasar, asing munyine dadi pelih.

Krana melah anake mangaduh tapa, sadina ngilangan pedih, melahnya ngadu tastra, sadana ngilangang momo, melah nyane ngelah padi, anggon upakara, pakukuh idep mrih yukti.

Krana mayoga sadana bilingang manah, ngincepang i sudukswari, tri tinunggalannya, mraga ungkara mula, malingga Hyang Siwamurti, murtining adnyana, mraga Hyang Tuduh jati.

Sanghyang Tuduh tumitah suka lan duka, acintya suksma jati, marupa tan parupa, apan rupane tan awas, ida ne awas ring ati, linggayang ring puja, astawa sai-sai.

Siratin asepin damarin satata, memes cakupin lima tui, buat ring padma hordaya, dewa pratista dulurnya, kuta mantra ento malih, utpati stitinya, pamuput prelina jati.

Twinnya keto kagunane ring pasraman, nyaring idep apang

bersih, ento ne madan tedas. [ 35 ]

29

perasaan jahat, walaupun setiap hari

dibersihkan, diurut dan di

siram, walaupun putih telor

sejati.


84. Di ulat bersih menjadikan putih

bersih, di Istana walaupun merah

kotor, jika itu disuruh mengeram,

mungkin tidak menetas jadinya,

oleh karena disebabkan tidak ada

manik, begitu umpamanya pura-pura

memuja tetapi keinginan jahat.


85. Yang diperlukan beliau bersari

putih, itu jadi menarik, maniknya

berbadan merta, inilah menyebabkan

berguna, oleh karena menjadi berubah

menimbulkan tubuh, oleh karena

sejati berjiwa.


86. Lahirnya akan menjadi bangun,

terbang tak bersayap,

bertengger seketika,

di pohon parijata, itu pohon

utama sejati,

berbuah merta,

meneduhi masyarakat semua.


87. Nah begitu camkan di hati,

ayah memberikan kamu, patut

pelajaran ditekuni, itu kekayaan

orang pandi, bila

manusia biasa ini terbukti,

warisan sawah,

bahagia kira mempunyai isi.


88. Jika hadiah Hyang Pratiwi itu

nista, jika hadiah Sang Hyang


yan tuah idepe dusta,

yadian sasai mabresih,

murud tur masiram,

tulya putih taluh jati.


Ulat tedas pakantenan putih

sentak, di jro tui barak

daki, yan nto pingit kehemang,

sinah sembuuk dadinnya,

apan jati tong mamanik,

keto umpaminya, ngaduh puja

budi maling.


Ne buatang taluhe masari

petak, ento dadi mamanik,

manike mawak merta, mayunin

krana majiwa, awanan dadi

niktikin, mamesuang awak,

apan tuah sujati urip.


Pesunnyane tui manadi kokokan,

mangindang tan palampid,

matinggah jalan mula,

di kayu parijatan,

ento kayu utama jati,

mabuah merta,

mayunin sa jagat samL


Nah aketo resepeng simpen

ring manah, bapa makelin

cai, patut sastrane manggehang,

ento cacatun Sang Wikuwa,

yang wang sudra ne kabukti,

cacatu sawah, suka

yan ngelah daging.


Yaningpican Hyang Pritiwi

ento nista, yaning pican [ 36 ]30


Aji itu paling utama tetapi masih di pilih-pilih menerima anugrah Hyang memang sulit oleh karena merta bisa buruk, supaya tahu memilihnya.

89. Walaupun demikian sebenarnya kamu pikirkan perolehan kebaikannya, dipegang, I Siladri menyembah, perasaanya suka dan berseri, anugrah nasehat utama, lalu ke malaman di jalan, ketika bulan bersinar.

90. Diceritakan konon sudah tiga hari, Empu Dibiyaja berjalan, Siladri di tinggal, masih mengajak anak Empu Dibiyaja tidak menoleh, terus berjalan, dengan sengaja tidak di toleh.

91. Naik ke selatan berjalan dituju, gunung Trissengga dituju, dari sana ke timur, naik di Himalaya, kosongannya lebar sekali, tak ada kayunya, matahari terbenam di tengah jalan.

92. Jadi terlana malam suasana masih sepi, Empu Dibiyaja konon, sudah berbadan suci, bersatu dengan air dan bumi, bahagia menemukan sorga, umpamanya seperti kupu-kupu


Sang Hyang Aji, ento luwih utama, nanging masih tetesang, nunas swecan Hyang tuah sukil, apan merta mawor wisia, apang bisa manggalihin

Twinnyan keto pragatnya cai kukuhang, bakat rahayune gisi, I Siladri nyumbah, idepnya suka bingar, kaswecanan tutur luwih, tulya petengan di jalan, endag bulane nyndarin.

Kacarita kocap sampun tigang dina, Empu Dibiyaja mamargi, Siladri katinggal, kari mengajak panak, Empu Dibiyaja tong nolih, menrus majalan, kasugihan tong katolih.

Mener kelod pamargine kasasunutan, gunung Trissengga kahungsi, uli ditu nganginang, menek ring Himalaya, bengange linggah tan sipi, tong ada kayunnya, surya enggseb maring margi.

Dadi campuh petenge tekening lemah, maidehan pada sepi, Empu Dibiyaja kocap, sampun mawak pranawa, amor maring taya bumi, suka molih swarga

inayahang dening Apsari. [ 37 ]

31


93.Tak dikisahkan sudah tiba

memperoleh sorga, konon Dukuh

Siladri, masih tinggal di Istana,

tidak merasa mengajak

anak, pikiran aus menangis di

ajak ke hutan, binatang datang

menyusui,

matahari terbenam di tengah

jalan.


94. Sudah lama kira-kira lima belas

bulan, anak sudah besar,

Kusumasari namanya,

senang belajar membaca,

menyanyi dan bertembang,

dan mantra,

semua sudah diketahui.


95. Sangatlah pintar gadis cantik

tersebut, umpamanya seperti

bidadari, patut setiap perilaku,

rajin membantu memuja, Siladri

senang tak henti-henti ber-

keinginan memuja, tekun bersih

suci.


96. Pagi-pagi hari Kusumasari konon

mandi membersihkan diri,

sambil memetik bunga,

dia lalu berjalan,

mempersiapkan tempat upacara

yang utama, dengan membuat

tirta, lengkap upacara semua.


97. Sudah selesai lalu memberi-

tahukan ayahnya, ayah lalu ke

tempat suci, perlengkapan

upacara sudah siap, Duku Siladri



Tan kocapan sang sida melih

suarga, kocap Dukuh Siladri,

kari manggeh ring pasraman,

yan ala bedak mangeling,

tan moron ngajak panak,

kajak ring alas,

buron teka menyonyoin.


Suba lami sawatara solas

temuang, pyanaknya suba kelih,

Kusumasari adannya,

sai muruk masastra,

makidung muang makekawin,

wariga lan mantra,

sami sampun kauningin,


Lewih pradnyan ayi anom

magolerean, waluya kadi

Apsari, pantes sing selahang,

sebet ngayahin mamuja,

Siladri suka tan sipi,

manahnya mamuja, pageh

nirmala ening.


Pasemengan Ni Kusumasari

kocap, kayeh manus mabresih,

sambil ngalih sekar,

iju raris majalan,

nabdabang pandiangan lewih,

tur ngukup toya,

sregep upacara sami


Sampun puput raris matur

ring reramannya, "Bapa raris

ke masuci, pandingan sampun

dabdab, Dukuh Siladri ngucap, [ 38 ]

32

berkata, Nah ke sana ke

dapur sekarang, sayur di masak,

Kusumasari menurut.


98. Sangatlah payah sendirian di

dapur memasak, mencampur bumbu

dengan menyalakan api, sudah

masak semua, memakai selendang

membuat sesajen, lalu mempersiap-

kan makan, supaya tidak terlambat,

takut akan mendengarkan

omelan.


99. Diceritakan I Dukuh selesai

memuja, Kusumasari mendekati,

bersiap memberikan sirih,

I Dukuh perlahan-lahan berkata,

Ayah sudah lapar anakku,

saya sudah selesai menyiapkan

hidangan


100. Beliau Dukuh Siladri mengucapkan

mantra, Kusumasari melayani,

berselendang duduk bersimpuh,

I Dukuh Siladri selesai

memuja, Nah silakan makan anakku,

Kusumasari mengikuti,

selanjutnya terus makan.


101. Selesai makan lalu makan sirih,

lalu bekerja menganji, benang

sutra didahulukan, corak endek

dikembangkan, memang

sebenarnya pandai menenun,

songket memakai benang

delapan ratus,

pintar segala-galanya.


"Nah kema ka paon jani,

jukute lebengang", Kusumasari

mengirng.


Lintang gupuh padidian di

paon nyakan, ngracik basa

ngendihang api, suba lebeng

makejang, maanteng nanding

ejotan, ratis nabdabang

masagi mangda sampun sepan,

jerih pacang ningeh munyi.


Kacarita I Dukuh uwus mamuja,

Kusumasari nyagagin,

tragia ngaturang canang,

I Dukuh alon ngucap,

"Bapa suba seduk cening",

Titiyang sampun wus masagi".


Sira Dukuh Siladri raris

mamuktia, Kusumasari ngayahin,

manteng natia negak, I Dukuh

wusmojana, "Nah laut

medaar cening,

Kusumasari ngiringang,

tumuli medaar aris.


Wus medaar raris ya manginang

sedah, laut nabdabang

nganyinin, benang sutra

kamaloan, bikas endek

kakembangan, tui

tuah waged manyatri, nyongket

maguhun domas, pradnyan

sagunaning stri [ 39 ]

33


102.Tersebar luas beritanya keseluruh

dunia, anak Duku Siladri,

cantik dan pandai tidak

ada bandingannya, bagaikan

bidadari menjelma di mercapada,

kaya tidak memperhitungkan

arta, Made Kerti mendengar,

berkeinginan akan menengok,


103.Pada saat anaknya menginjak

dewasa, I Mudita namanya

tampan alim dan berwibawa,

pintar dengan filsafat dan

sopan santun, pendeta Buda

mengajarkan.


104.Made Kerti konon memanggil

anaknya, istrinya di sana

bersanding I Mudita datang,

permisi terus duduk,

oleh karena ayah memanggil.


105.Begini sebenarnya ayah

mendengar berita, ayah kamu

sekarang, di sana di gunung

Kawi, I Siladri namanya,

sekarang sudah menjadi

pujangga, mengajak anak,

namanya Ni Kusumasari.


106. Sebenarnya itu memang anak

ayah, kamu anak kakak, berjumpa

ketika pergi, ke sana


Kalungang-lungang ortane

teked banua, pianak I Dukuh

Siladri, jegeg pradnyan

tuara ada pada, Apsari

tulya ring jagat,

sugih tuara ngitung daging,

Made Kerti ningehang,

midep pacang nelokin.


Dening suba pyanake mengpeng

taruna, I Mudita kadanin,

bagus alep tur srenggara,

pradnyan ring tatwa

sesana, peranda Buda ngajahin,

papasih, ida, Wirocana

puputing aji.


Made Kerti kocap mangawukin

pianak, somahnyane ditu

nyanding, IMudita teka,

pranamia laut negak, I Made Kerti

mamunyi,

"Duh cai Mudita,

"krama bapa mangawukin.


Kene twinnya bapa maningeh

orta, reraman cainejani,

ditu digunung Kawi,

I Siladri pugkusannya,

jani suba mujanggain,

mangajak pianak,

madan NiKusumasari.


Sujatinnya ento mula pianak

bapa, cai pianak i beli,

pecakduk ngantiang luas, [ 40 ]

34

ke gunung Kawi,

kamu saat itu masih kecil,

di Sana ayah menukarkan,

kamu pengganti kakak.


107.Selain itu, ada pesan kakak dari

ayah, diberikan kenang-

kenangan untuk kamu,

jagasastru nama permatanya,

cincin kamu perhatikan,

ke Sana kamu ke gunung Kawi,

mungkin tidak di sangsikan.


108.Saat sekarang sudah cukup

dewasa, wajar kamu menengok,

supaya mengetahui ayah,

misanmu memang perlu diketahui,

konon sekarang sudah dewasa,

ayah berkeinginan menjodohkan,

keinginan keras menjodohkan.


109.Jadi termenung ibunya mendengarkan

terharu terus menangis,

ingat dengan anaknya,

saat diajak pergi,

saat itu baru satu tahun,

sekarang didengar gadis,

tidak pernah dijumpai.


110.Terus berkata, "Mudita nah

jalan berangkat, Ibu diajak

menengok, misan kamu sejati,

ibu terharu menangis,

akan dikawinkan dengan kamu,

ibu rindu sekali,

perasaan dari dahulu.


kema ka gunung Kawi,

cai wantah enu cenik,

ditu bapa nyilurang,

cai pangentos i beli.


Buin ne ada pabesen

i beli ring bapa, buate

mamaang cai, bungkung

lintang utama, jagasatru

tui socannya, bungungang

cai nelokin, kema ka gunung

Kawi, sinah tuara

katandruhin.


Buka jani suba madan truna,

patut cai nelokin,

pang nawang rerama,

musane tui dadi tawang,

kocap jani suba kelih,

bapa ngidep ngocekang,

sarat pacang mamuatin.


Dadi bengong memennyane

maningehang, kangen wetu

mangeling, inget teken pianak,

saduke kajak luas, dumara

duang oton pasti, jani morta

daa, mara ja taen tepukin.


Tur mamunyi, Mudita nah

jalan luas, meme ajak

nelokin, misan caine sujatia,

meme midep nagihang,

pacang matemuang riang cai,

meme meled pisan,

magawehin saking lami. [ 41 ]

35


111.Supaya selesai hutang ibu

dengan anaknya, melaksanakan

upacara potong gigi, lagi

tidak ada lain, ini perlu

sekali dilaksanakan, yang

laki gantian berkata, itu

wajar sekali, jalan berangkat

menuju ke sana.


112.I Mudita sekarang ia dipakai

ayam, diadu ke gunung Kawi,

dibandingkan dengan misannya,

bersenjata dengan pandangan

mata, bermodal dengan

senyum manis, kamu di

sana mengadu, kakak siap-siap

menghakimi.


Apang pragat utang memene

ring pyanak, manelahin

isin gigi, buin tuara da lenan,

ne nyandang pacang saratang,

Ne muani nimbal mamunyi,

Ento patut pisan,

jalan luas cendek

jagat.


I Mudita jani ia anggon siap,

adu ka gunung Kawi,

tandingan ring misannya,

mataji baan liat,

mabulang ban kenyung manis,

nyai itu ngembar,

beli nyadia nyayanin.


PUH GINADA


1.1 Mudita mendengarkan,

perasaannya gembira tak henti-

hetinya, oleh karena memiliki

misan, tersenyum terus berkata

halus, Ya seperti kata ayah,

saya mengerti,

akan menengok paman.

2. Ibu Ayah ikut seperti saya ke

sana ke gunung Kawi,

juga diberitahukan semuanya,

ayah menjawab halus,

buat hari baik pergi,

bisa kamu, ayah berkeinginan

keras menirukan.


3.Saat dia membicarakan pergi,

tiba-tiba kentongan bersuara,

I Mudita lari keluar,

Kakak Wayan mengapa memukul


I Mudita maningehang,

manahnya suka tan sipi,

baane mangelah misan,

kenyem tur mamunyi alus,

Inggih kadi bawos bapa,

titiyang ngiring,

pacang manelokin, iwa

Meme bapa iring titiang,

marika ka gunung Kawi,

taler uningan midarta,

Bapannya masaut alus,

buat dewasane luas,

bisa cai, bapa tambet

sok nuutang.


Sedekya ngomongang luas'

dadi kulkule mamumyi,

I Mudita nyagjag mesuang,

"Beli Wayan ngudiang mulkul?, [ 42 ]

36

kentongan?, Sang pemukul berkata,

orang mati, meramaikan

sekarang ke Banjar.


4.Pengurus banjar dapat menyampaikan,

perkataan orang memegang jabatan,

mengubur sekarang, lagi tiga hari

akan melaksanakan buta yadnya,

konon upacara manca wali krama,

untuk besok, masyarakat banjar

disuruh bekerja.


5.I Mudita mendengarkan dengan

sungguh-sungguh berkata,

"Ya" pulang dia mengambil

pisau, menuju ke Banjar dia,

malu dia akan terlambat,

ke rumah orang mati,

tekun membantu bekerja.


6.Anggota Banjar dia semua datang,

beriring-iring, lagi perempuan,

di sana dia sama-sama berkata,

Mudita berhenti dulu,

ke sini makan sirih,

sampai putih,

mengambil pekerjaan sendirian.


7.Gadis semua berebutan,

melipat sirih memberikan,

ada menyalakan rokok,

semua senang mengganggu,

dia tidak pernah marah,

alim sejati, memang wajar

prilakunya.



Sang makulkul nimbal ngucap,

"Anak mati, ngrentebin

jani ka Banjar.


Keliane manawuhang,

bawos sang mangamel gumi,

apang nanem prajania,

bin telun pacang macaru,

kocap manca wali krama,

ne bin mani,

banjara kanikayang ngayah.


I Mudita maningehang,

cebdek pamunyinnya,

"Inggih" Mulian ya

nyemak blakas, mangraris

ka Banjar iju, elek ya

pacang kasepajn, kumah

sang mati, gupuh nulungin

makarya.


Banjare ya pada teka,

mabered eluh-muani,

ditu ya pada mangucap,

Mudita mareren malu,

mai ke medaar canang,

kanti lepis,

nyemak gae padidian.


Dahane pada magarang,

nampinang base ngenjuhin,

ada ngenjitan lanjaran,

sami demen pada ngulgul,

anak tong taen medihang,

ngalem jati, twah pantes

asing solahang. [ 43 ]

37

8.Lalu berjalan ke kuburan, mayatnya selesai di bersihkan, sudah selesai diupacarai, Mudita lalu menembang, anggota Banjar semua mengikuti, ramai sekali, konon datang di kuburan.

9.Mayatnya lalu di kuburkan, anggota Banjar menunggu akan pulang, jadi anjing berkeliaran, berkumpul-kumpul mengalun, orang merintih menunggu, sampai pulang, I Mudita lalu pulang.

10.Setelah tiba di rumah, diketahui ayah sakit, laki perempuan ke dua, I Mudita sangat payah, merawat menggilas bedak, melek, sakitnya semakin keras.

11.Panas sakit seperti dipanggang, badan sakit seperti digilas, ayahnya merintih berkata, anakku ayah akan mati, sakitnya tak dapat di tahan, nah pijet, kepala ayah sebentar.

12.I Mudita tidak menolak, memijat kepala tidak henti-hentinya, ibunya merintih kesakitan "Mudita ibu tolong, kepala ibu panas pecah, lebih baik mati, tidak dapat ditahan.

Raris nabdabang ka setra, watangane was mabersih, sampun puput upakara, Mudita raris makidung, banjare ami nuutang, ramegati, kecap rauh maring setra.

Watangane wus murungan, banjare mangantiang mulih, dadi cicinge miyuran, mapunduh-punduh mangulun, anake mribi ngantenang, gati mulih, I Mudita raris budal.

Satekede jani jumah, dapetang bapane sakit, luh muani buka dadua, I Mudita lintang gupuh, nyimbuhin nguligang urap, magadangin, sakite sayan ngrahatang.

Kebus ngarab bukapanggang, awak sakit buka ulig, bapannyane ngarod ngucap, "Caning bapa lambian lacur, sakite tan sida lawan, nah pacikin, sirah bapane ajahan.

I Mudita tuara tulak, mecik sirah tuara ginsir, memennyane nduwuh ngucap, "Mudita meme dong tulung, "Mudita meme dong tulung, sirah meme rasa belah, [ 44 ]38

13.I Mudita mendengar, air matanya mengalir keluar, terus berkata perlahan-lahan, "Ayah saya permisi dulu, ibu memanggil saya," di sini dia kumpulkan."

14.Ayahnya tidak dapat berkata, I Mudita meninggalkan, lalu menuju ke Ibunya dipikul keluar, di bale dangin dikumpulkan, lalu dipegang, ia memegang keduanya.

15.Tangannya yang disebelah kanan, ayahnya dialasi, tangan di kiri ibunya, tidak merasa payah, ibunya memejamkan mata, lantas mati, lemas seketika di pangkuan.

16.I Mudita perlahan-lahan, menidurkan ayah,ibunya dipindahkan sudah dingin tak ada tenaga I Mudita menyembah, terus menangis, menutupi dengan kain baru.

17.Sesudah ditutupi dengan baik, ayahnya ditengok,

leheng mati, tong sida baann nahanang.

I Mudita maningehang, yeh matane membah mijil, laut mamunyi nelanang, "Bapa titiang pamit dumun, i meme ngaukin titiang", "Ajak mai, dini juwa punduhang." "Bahwa ke sini,

Bapannyane tong dtdi ngucap, IMudita mangalak, lautnyagjag ka metenan, memennyane kasangkol pesu, bale dangin kapunduhang, tur kagisi, kasundang ya buka dadua.

Limannyane di kanawan, bapannyane katatakin, limane kebot memennya, tuara ya mangintung tuyuh, memenyane mangliyepang, lantasmati, lemet leb dipabinan

I Mudita manelanang, nyareang reramannya muani, memenyane kakisidang, suba nyem tong ada bayu, I Mudita manyumbah, sedsed ngeling, ngrumbin wastra pasehan

Subamya mantrub melah,

bapannyane kcgagjagin. [ 45 ]

39

nafasnya semakin naik,

ayah keluar keringat,

I Mudita cepat-cepat,

nyembur,

menafasi dengan brangbang


18. Ayahnya sadar bergerak memaksa

berkata,

pelan dan tersendat-sendat,

Mudita sangat payah,

kamu membantu ayah,

mulai sekarang ayah akan

mengikuti ibu mati.


19. Sekarang ayah berpesan,

jikalau ayah sudah mati,

jiakalau sudah dikubur,

tetapi supaya bersatu ibumu

dengan ayah,

lantas kamu,

ke sana pergi ke gunung Kawi.


20.Bilang saja ayah sudah mati,

bersama dengan ibumu,

cincin ingat dibawa,

yang memakai permata jagasatru,

supaya jangan diragukan,

bukti sejati,

kamu besar anak ayah.


21.Suaranya tersendat-sendat,

perlahan-lahan terus mati,

I Mudita menangis keras,

lalu ayah dipeluk,

tetangga datang menghampiri,

menengok,

terharu di hati.


22. Ada berkata perlahan-lahan,

mengapa mayat tersebut dibiar-


angkiyane ngamenekang,

bapannyame pesu peluh,

I Mudita mangenggalang,

manyimbuhin,

mangengkahin baan bawang,

Bapannyane inget ngaliab,

ngangsehang mamesuang

munyi, gaung tur mamegat-

megat, "Mudita kalintang tuyuh,

cai mangayahin bapa, cendek jani,

bapa nutug imeme pejah.


Ne jani bapa mawekas,

yaning suba bapa mati,

kewala suba murugan,

nanging ke apang mapunduh,

memen cai teken bapa,

laut cai,

kema luas ka gunung Kawi.


Orahang juwa bapa pejah,

bareng teken memen cai,

bungkunge ingetang ngaba,

ne masica jagasatru,

apang eda katandruhan,

cai jatu pianak bapa.


Munyinnyane megat-megat,

mangreres mangalantas mati,

I Mudita ngeling mangrak,

batis bapannya kagelut,

pisaga teka manyagjag,

manelokin,

pada ya kangen ring maneh.


Ada mamunyi nelanang,

"Nguda ke sawane depin?, [ 46 ]

40

biarkan, sebaiknya dimandikan,

hingga bersih, obati supaya

jangan kaku, akar beringin cendana,

itu sebenarnya sama kompak

membuatkan.


23.I Mudita tidak menolak,

tidak tidur menetes air matanya

menangis, ingat dia menyembah,

prilaku berbakti dengan guru,

mayatnya lalu diambil,

dimandikan, beramai-ramai

memegang.


24.Mayat keduanya,

selesai dimandikan dan dibersihkan.

Mudita mengambil pengganti pakaian,

sutra putih sebagai tutup,

mayat disatukan,

laki perempuan,

walaupun baru pengantin.


25.I Mudita tercengang,

sedih mengingat sang mati,

Ibu bapak keduanya,

kesetiaan bersuami istri terus,

tidak bisa dipisahkan,

keduanya tega tidak

memperdulikan anak.


26.Apalagi orang lain,

tidak mungkin mau menoleh,

seperti saya,

begini bodoh dan nakal,

tidak memiliki kegunaan,

lagi miskin,

apa yang dilihatnya.



patut pandusin tedasang,

berehin apang da kaku,

bangsing bingin muang cendena,

keto jati",

sami mabriuk matutang,


I Mudita tuara tulak,

tan maren ngepes mangengling,

masih inget ya manyumbah,

tingkah astiti maguru,

sawane raris kajemak,

liu magarang mangisiang.


Sawannyane buka dadua,

suud manjus kaborehin,

Mudita nyemak pasehan,

sutra putih makarurub,

sawane kasarengang,

luh-suami,

tulya mara pengantenan


I Mudita mangantenang,

sedih nulama sang mati,

"Meme bapa buka dadua,

tresnane marabi nerus,

tuara saja dadi belas,

sareng kalih,

las tuara manganggen panak.


Yata ke anak banehan,

Joh pacang sehem manolih,

padalem sakadi titiang,

kena belog turin sigug,

tuara mangelah kagunan,

ludin miskin,

napi anake toliha? [ 47 ]

41

27.Semua yang mendengar kasihan,

jadi dia ikut menangis,

tiba-tiba Pendeta Buda,

Beliau datang,

I Mudita turun mengampiri,

dan menyembah,

lalu berkata merendah.


28.Prihatin leluhur saya,

melihat rakyat bersedih,

kelewat sangsara,

seperti sekarang saya yatim

piatu, seperti atma kesasar,

oleh karena sengsara lewat.


29.Pedanda dengan halus berkata,

Mudita jangan menyesalkan,

oleh karena anugrah Tuhan,

masih karma dahulu,

sampai sekarang diterima,

perbuatan sekarang jadi yang

akan datang dipetik.


30.Dimana menghendaki baik saja,

apalagi seperti kamu,

kalau Sang Panca/Pandawan,

perwujudan Dewa menjelma,

menyerupai seperti manusia,

masih sengsara,

dari kecil menderita.


51.Berpindah-pindah kesana-kesini,

menggendong meminta-minta,

tetapi perasaan tak berubah,

berbuat baik selalu,

oleh karena kebaikan didapat,


Asing ningeh pada olas,

dadi ya milu mangeling,

saget ida Pranda Buda,

susuhanan dane rauh,

I Mudita tuun nyagjag,

tur ngabakti,

rarisya maatur ngasab.


"Ica sasuhunan titiang,

nyangakin panjake sedih,

papane kalintang-lintang,

kadi mangkin titiang ubuh,

manawi pitra kasasar,

manumadi,

krana narakane lintang",


Pedanda atus ngandika,

"Mudita da sanget sedih,

apan patitahing Sanghyang,

masih laksanane malu,

ada jani katamiang,

solah jani,

dadi ring wekas buktiang.


Dija nagih melah dowang,

mandareng ke buka cai,

ida Sang Panca Pandawa,

sakala Dewa ma nurun,

maraga numadi jadma,

masih sedih,

saking alit kanarakan.


Mangumbang mideh-idehan,

ngagendong mangidih-idih,

nanging kayune tan obah,

mamerihang darma patut,

krama rahayu kabuktia, [ 48 ]

42

sampai sekarang,

baik diucap oleh beliau.


32.Begitu kamu bisa membandingkan,

sengsara kamu sekarang,

walaupun teruskan sedihnya,

masih juga tak bisa hidup,

paling-paling membikin perasaan

kacau balau, bingung,

paling, terbenam perasaan jadi

hilang.


33.Prilaku menjadi manusia,

kebenaran kebaikan dicari,

walaupun miskin tanpa sanak

saudara, jangan selalu keluyuran,

kebenaran, kebaikan dikukuhkan,

nanti menemukan,

pahalanya sekarang ditemukan.


34.Prilaku menjadi anak,

kewajiban seperti sekarang,

Jangan lupa berbakti pada leluhur,

oleh karena berhutang jiwa dengan

guru, tidak akan selesai dibayar

dengan uang, seperti kamu, tingkah

laku baik dipakai membayar.


35.Pasti rahayu ditemukan,

begitu kamu pikirkan,

sebab sekarang ada dewasa,

tidak dibolehkan upacara membakar,

oleh karena kesengsaraan,

nah batalkan, tirta pengentas

tetapkan.


36.Begitulah kamu bersandar,

jangan masih keras sedih,


teked jani,

ayu ucape ring ida,


Keto ban cai ngimngan,

lacur caine ne jani,

yadin sangetang sakitang,

masih tuara dadi idup,

mangkin ngawe keneh buyar,

inguh paling,

patut idepe ya ilang.


Tingkahe numadi jadma,

darma patute ulati,

yadin tiwas tan pabraya,

ada teka miat-miut,

darma patute mangehang,

wekas manggih,

pagawene jani temuang.


Tingkahe dadi pianak,

tatuwiyane buka jani,

da maren ngertiang kawitan,

reh mutang jiwa ring guru,

tong pragat bayah ban jinah,

buka cai,

astiti bakti anggon mayah.


Sinah rahayune bakat,

aketo cai kenehin,

reh jani ada dawuhang,

tan kicen mabaya puun,

nah urugin,

pangentase juwa tetepang.


Keto juwa cai jalanang,

eda enu sanget sedih, [ 49 ]

43

Mudita mengerti dan mentaati, Pendeta lalu pulang, Mudita mempermaklumkan diri, lalu berkata, "Upacara silakan dikerjakan."

37.Anggota Banjar lalu bekerja, yang lain ada yang mengambil bambu, membikin tempat pengusungan mayat, rantai dan tumpeng salu, ada lagi mohon pengentas silih berganti, terakhir menjunjung daksina.

38.Konon sesudah diupacarai, mayatnya selesai diupacarai, lalu menuju ke kuburan, sehubungan sudah selesai, upacara pengentas, laki perempuan, dikubur dijadikan satu tempat.

39.I Mudita termenung duduk, tersendat-sendat menangis, orang melihat kasihan, laki perempuan sama-sama menasehati, mengapa dia selalu bersedih, oleh karena kodrat, memang sekian umurnya.

40.Lebih baik pulang menghibur, ajarkan saya menyanyi, I Mudita lalu pulang, orang lain tidak ada yang pulang, lalu ke rumah I Mudita, semuanya, menginap supaya tenang.

Mudita resep ngirngang, Padanda mangraris mantuk, Mudita nyuwakayang awak, matur aris, "Upakarane nggih wangunang."

Banjare raris ngaryanang, len ada menyemak tiing. buat pacang panusangan, lante miwah tumpeng salu, buin ada nunas pangentas, sada gati, dabdab manyuun daksina.

Kocap sampun mupakara, sawane wus maci-aci, raris nabdabang ka setra, bangbangnyane sampun puput, sawane wus mapangentas, luh muani, katanem dadi abangbang.

I Mudita bengong negak, sigsigan ngepes mangeling, sang ngatonang pada olas, luh-muani pada mitutur, "Ngudiang sanget ya sebetang, wireh ganti, amone jeneng tuuhnya.

Jalan ja mulih lipurang, urukang tiang magending, I Mudita nurut budal, anake tong ada mantuk, laut kumah I Mudita, sareng sami, manginepin mangda purna. [ 50 ]44


41. Ada yang mengajak bermain-main, ada lagi mengajak menyanyi, I Mudita menuruti, tak diduga ada yang membawa oleh-oleh, gembira orang lain semuanya, sangat baik, selalu masak-memasak.

42.1 Mudita di utamakan, semua memanggil, ”Mudita kesini makan, enak sekali bersama-sama!, I Mudita tidak menolak, sangat pandai, prilakunya memetik Kasih sayang.

43.Tidak mementingkan diri sendiri, berpesta bersama-sama, ramai sambil tertawa-tawa, ada saling lempar, tulang, I Mudita mengambil daging, di sambar, oleh seorang gadis.

44. Ada menyuapi gigitan, Mudita senang menerima, yang perempuan tua tak bergigi, ikut menyuapi daging burat, yang lain lagi membalas, dari samping, menindak cabai dengan garam.

45.Orang tua sedang binal, disuapi dari samping, pedas berlebih-lebihan, orang tua tersebut ke luar air liumya. ada mengambil kendi,

Ada ngajakin maplalian, ada buin ngajak magending, I Mudita manuutang, saget ada ngaba sangu, mangingu anake samian, lintang becik, tetep maolah-olahan,

I Mudita kaujurang, makgjang pada ngawukin, "Mudita mai madaar, jaenan ajak liu”, I Mudita tuara tulak, lintang ririh, tingkahnya ngalap pitresna.

Tuara ya mangangguang awak, magibungang sareng sami, rame sarwi makedekan, ada salting timpug balung, I Muidta nyemak ulam, kacatotin, Baan sane eluh bajang.

Ada ngeseoin anggutan, Mudita suka nanggapin, ne luh tua turin pawah, milu mangesepin muluk, ada len buin ngwalesang, uli samping, mejek rabis teken uyah.

I tus ya sedeng binal, Kaesopin uli samping, talah makucah-kacihan, i tua ya Siat-siut,

ada-nyemakang caratan, [ 51 ]menuangkan air, hidungniya yang disiram.

46. Ramai tertawa seketika, orang tua mencaci mami, menjerit, air matanya mengalir dan keluar air liurnya dan bersin- bersin, tertawanya bergelombang, ramai sekali, konon sudah selesai makan.

47. I Mudita perlahan-lahan berkata, Ratu anda sekalian, saya mohon maaf sekalian, saya akan pergi ke gunung, menengok paman saya, yang sekarang, supaya jangan salah paham.

48.Tetapi bukan saya meninggalkan, buat kesetiaan saudara sekalian, saya sebenarnya berterima kasih, kasih sayang sangat baik, itulah bekal saya, sangat baik, sebenarnya tidak bisa habis.

49. Kalau diberi arta benda, itu sangat berbahaya, sebenar- nya cepat sekali habis, jika diberikan perasaan baik, selama-lamanya tidak bisa hilang, walaupun mati, masih juga saya bawa.

50.Begitulah sebenarnya, oleh karena saya pergi, pesan orang tua saya,


mangecorin, cungguh nyane tui kasiam,

Rame kedeke mabring, i tua misuh manyerit, yeh matannyane membah, tengas-tenges siat-siut, kedeke mombak-ombakan, rame gati, kocap pada wus madaar.

I Mudita alon ngucap, "Ratu ida dane sami, titiang manawegang pisan, titiang pacang luas ka gunung, manelokin uwan titiang, sane mangkin, mangda sampun salit arsa.

Boya ja titiang ngalaliang, buat swecane sareng sami, titiang jati nyuksemayang, swecane kalintang mulus, punika bekelang titiang, lintang lewih, wiakti tuara bisa telah.

Yaning sweca antuk brana, punika kalintang ganjih, wiakti wantah gelis telas, yan sweca kayun rahayu, saumur tuara ja ilang, jawat mati, kari juwa bekelang titiang.

Sapunika sujatinnya, awanan titiang mapamit, pabesen reraman titiang, [ 52 ]46

pada saat menghembuskan nafas, supaya saya memberi tahukan, mereka mati, kepada paman saya.

51. Selagi mampu bagi saya, pergi akan menengok, paman saya di gunung Kawi, belum tentu saya bertemu, konon beliau ayah saya, sejak kecil saya konon ditukarkan.

52. Begitu sebabnya saya, ingin sekali tahu, yang sebenarnya melahirkan saya, supaya jangan tanda tanya. supaya sekedar mengetahui, saya cepat-cepat, akan kembali pulang.

53. Yang sekedar seperti tercengang, yang gadis perlahan-lahan berkata ”Ya kakak wayan Mudita, itu pemikiran tidak benar, jikalau akan kakak pergi, meninggalkan, perasaan orang lain dirasakan.

54. Sebenarnya mendapat omelan, coba kakak pikirkan, yang tua ganti berkata, "Jika begitu kamu tidak wajar, menolak pesan ayahnya, pokoknya sekarang, masih dia sama-sama diikuti.

55. Prilaku menjadi anak,

saduk nya makire lampus, mangda titiang mangerahang, dane mati, ring titiang madruwe uwa.

Malih nyandang Kadi titiang, luas pacang manelokin, wan titiang di gunung Kawia, durung titiang naken mangguh, Kocap dane bapan titiang, titiang rere kasilurang.

Punika swinan titiang, medal pisan mangda uning, ring dane ngrupake titiang, mangda sampun dane tandruh, Kewanten titiang uninge, titiang gelis, Pacang rauh tulak budal.

Sing ningeh buka pangsegang, ne banjar alon mamunyi, "Nggih beli wayan Mudita, ento papineh tan patut, yaning pacang beli luas, Kayun anake pitresna.

Sujati maan upetan, indayang beli pinehin, ne tua manimbal ngucap, "Yaning keto luh tan patut, nulak pabesen bapannya, cendek jani, masih ya pada tuutang.

Tingkahe numadi pianak, [ 53 ]47

petunjuk orang tua diikuti, lagi bila ada orang lain hormat, hormat juga dipakai menjawab, I Mudita silakan, melaksanakan, seperti pesan ayahnya.

56. Tetapi jangan lupa, kesetiaan orang lain teman, oleh karena jangan lama pergi, keduanya wajar diikuti, bakti kesetiaan sama-sama diperoleh, itulah yang baik, yang peroleh menjadi manusia.”

57. I Mudita berpikir mendengarkan, selanjutnya terus menjawab, begitulah keinginan Saya, sekarang akan ke gunung, menanyakan paman saya, supaya tahu, beliau ada kematian,


58.Lama-kelamaan satu bulan, saya akan kemibali lagi, setiap mendengar semua senang, oleh karena menyatakah pulang, buat bekal dia pergi, diberikan, bekal dan uang.

PUH DANGDANG

1. Tidak dikisahkan masyarakat desa semua, diceritakan I Mudita pergi, sendirian tidak perduli, mendaki krikil tajam berliku-liku, hutan lebat sangat angker, cincinnya diingatkan, yang permatanya jagasatru, penolak


tuduh reramane iring, buin yan ada anak trsa, tresna juwa anggon manaur, I Mudita nyandang luas, kadi pabesen bapannya.

Nangin eda mangengsapang, tresnan ida dane sami, krana da makelo luas, buka dadua nyandang turut, bakti tresna pada bakat, ento lewih, ne perihang dadi jadma.

I Mudita resep ningehang, tumuli maatur aris, "Sapunika manah titiang, ne mangkin pacang ka gunung, nudtudang ring uwan titiang. mangda uning, dane mraga Kasebelan,

Sasuennyane a bulan, titiang tulak rauh malih, Asing ningeli pada suka, ban nyane ngorahang mantuk, buat bekelnyane luas, katurunin, sangu katekaning jinah.

Tan kocapan i wong desa sami, kacarita, I Mudita luas, padidian tuara ja wedi, ruut rejang silat-silat alas wayah madrugama, bungkingnya kaingetang, ne masoca jagasatru, [ 54 ]48

semua kejahatan, oleh karena selamat di tengah hutan berjalan, penmata cincin yang utama.

2. Rasa payah siang malam berjalan, di tengah hutan, aus dan lapar, tidak ada desa diketahui, melainkan hutan dan jurang, sangat payah dia berjalan, setiap langkah berhenti duduk, tujuly hari di jalan, menginap berpuasa tidak makan nasi, tak terucapkan di jalan.

3. Diceritakan Ni Kusumasari, pagi-pagi ketika purnama, baru selesai berhias, bersumpang bunga teratai tutur kuning langsat, seperti bulan pumama kelihatannya, segala tingkah lakunya sangat cocok, pergi membawa dalah, memetik bunga dan memanjat pohon nagasari, sambil dia menyanyi.

4. Jika diumpamakan seperti Bidadari, dari sorga turun bercumbu rayu, di hutan memetik bunga, saat sasih ke empat, banyak bunga mekar, seketika menggantungkan selendang, kelihatan susunya halus, padat bersih seperti kelapa gading, mengangkat kain kelihatan kakinya putih kekuning-


Panulak sarwa wigna, krama lasia tengah alas Mamargi, socan bungkunga utama.

Rasa gepu lemah-lemeng mamargi, tengahing alas, bedak turin layah, tuara da desa kapanggih, Kewala alas pangkung, liwat gepu ya mamargi, masih manglawanin majalan, satindak jangkel malungguh, Ditung dina ia di jalan, mainepan mapuasa tong ngantug nasi, tan kocapan di jalan, Jalan

Kacarita Ni Kusumsari, Pasemengan, manuju purnama, dumara suud mabresih, masumpang tunjung tutur, pamulane lumlum gading, Kadi Ratih nyalantara, sing selahang teka pangus, pesu nadtad pangilitan, ngalap sekar nges menekin nagasari, sarwi ya magendingan.

Yan upama watek Widiadari, maring suarga, turun macangkrama, ring alas mangalap sari, nedeng sasih kacatur, sarwi sekare nge- danin, pangid ngengsutang slendang, ngenah susune alus, nyangkih nyalang manyuh danta, macingcingan, ngeah pupune gading, waluya pudak cinaga. [ 55 ]49

kuningan seperti pudak cinaga,

5. Jadi datang I Mudita tiba-tiba, pucat kembang, lemah sekali, embunnya sangat dingin, berjalan sangat payah, rasanya tak bisa berjalan, seperti ditunjukan oleh Tuhan, diceritakan mendengar kidung, mengalun-alun di udara, I Mudita perasaannya senang dalam hati, lapar seketika menjadi hilang.

6. Semakin dekat didengar semakin baik, tertarik perasaannya ditelusuri terus, kelihatan ada orang perempuan, memetik bunga dan bertembang, Mudita termenung memperhatikan, perempuan baik berkelap-kelap, inikah Bidadari turun, teringat akan sang Rajapala, mendapat istri Bidadari baik dan tersohor, mungkin begitu prilakunya.

7. Begitu bisikan di dalam hati, jalu duduk, termenung, oleh karena baru kali ini menemukan, orang perempuan baik dan halus, berkeinginan sekali menanyakan berisyarat dengan batuk-batuk Kusumasari terkejut, lantas dia menoleh, jadi-jadi ada orang. orang laki-laki duduk menonton, tampannya menarik sekali.

8.Mukanya kuning langsat,


Dadi teka I Mudita mangkin, kecud kembang, layu uwon pisan, damuhan kalintang gesit, majalan lintang gepu, rasa tong sida mamargi, Kadi pituduhing Hyang, dadi maninghehang kidung, mangambara ngawag-ngawag, I Mudita bingar idepe ring ati, layah wan dadi ilang,

Sayan paek dingeh tambeh becik, mangenyudang, manah kawaspada pisan, makelap kanten wong istri, ngalap sekar tui makidung, Mudita bengong ngantenin, istri ayu ngayang-ayang, naken Dadari turun, inget ring Sang Raapala, polih istri Widiadari ayu lewih, sinah kato tingkahnya.

Nento papinehnya di ati, tur manegak, bengong ma- nyangangak, baan tumben manepukin, anak istri ayu mulus, maidep pacang nakonin, mawangsit ban cekohan, Kusumasari tangkejut, laut ya matolihan, dadi ada wong taki negak mabalih, baguse ngenyudang manah

Pamulune lumlum gading, [ 56 ]50


seperti emas, keningnya tajam seperti tajimm pandangannya cukup manis, semuanya alim pangus, wajar pantas dijunjung dilayani, Kusnmasari terganggu, menyebabkan perasaannya bingung, paling nafasnya naik turun, cepat-cepat turun, Mudita bangun menengok oleh karena kangennya lewat.

9. Ya maafkan saya memohon sedikit, jika mengetahui dengan Dukuh Siladri, dimana tempatnye di sini, Kusumsari menjawab ”Ya di sini di sebelah timur, kamu dari mana, baru kali ini datang ke gunung, apa yang sebenamya diperlukan”, I Mudita, mengela ditanyakan, merasa kena madu mengalir.

10. I Mudita memaksa mengeluarkan kata-kata, nafasnya tak teratur, ada yang saya perlukan, oleh karena saya datang ke sini, bersedia membeli madunya, yang manis menarik hati, akan dipakai obat, saya berkeinginan dengan hati ikhlas, seumur hidup bersedia membantunya.

11. Kusumsari merasa malu mendengar- kan, katanya, menunduk pulang, perasaannya terasa diiris-iris, melihat orang tampan sekali, sangat menarik hati, setibanya di rumah


tulya emas, alis tajep mabengad, laliate nyunyur manis, sebenge alep pangus, tui pantes sungsung ayahin, Kusumasari nyangongak, wetu manah inguh, paling angkiane runtag, tuun engeal Mudita bangun nakonin, tui ulenguna liwat.

"Nggih ampura titiang nunasang kidik, yaning wikan, ring Dukuh Siladri, dija linggihnya dariki?”, Kusumasari masaut, 'nggih driki duuran kangin, jerone uli dija, tembe tauh ka gunung, napi jua wenten buatang, I Mudita, dadi lengeh katakonin, rasa kena madu membah.

I Mudita ngangsehang mesuang munyi, bayu runtag, wenten Saratang titiang, krana titiang rauh mriki, nyadia manumbas madu, ne manis ngenyundang ati, Pacang anggen titiang ubad, titiang sakit ulangan, sweca ngicenaketelan, titiang numbas antuk manah subakti, saurmur nyadia mamanjak.

Kusumasari lek jengah mamiragi, pamunyinnya, manguntuk mulian, manahnya kalintang sitsit, ngantenang taruna bagus, pangid mangenyudang ati, satekednya jani jumah, dekes[ 57 ]51

terisak-isak menunduk, dan: termenung duduk, sakit hati, janganlah merindukan, menginginkan tidak miliknya.

12. Ini kamu pikirkan dari sekarang, oleh karenaperasaanya bingung, memang aku sakit hati, perasaanku ingin bertanya, akan selalu menahan- nya, pelaksanaannya dia setia, diajak saya mencari kebenaran, siapa yang akan diajar kamu, akan berpikir menyebabkan aku panas di hati, oleh karena tidak ada jalan keluar.

13. Wah begitu kata Ni Kusumasari, mengelus, Dukuh Siladri konon, habis memuja, Sang Hyang Widhi, jadi Dukuh terkejut, melihat anaknya sedih, talu perlahan- lahan berkata, mengapa menangis menunduk, apa sebenarnya menyebabkan, nah katakan, supaya ayah dapat mengetahui, yang dipikirkanmu dalam hati.

14. Ni Kusumasari berkata dengan baik, ya ayah saya mengatakan, tadi saya berlancong, tiba-tiba ada orang datang, remaja menggoncangkan hati, lalu bertanya dengan saya, parasnya hatim dan halus, menanyakan dukuh Siladri, yang rupanya mirip dengan ayah, tetapi rasanya sedang sesangsara.”


dekes manguntuk, tur bengong- bengong manegak, nyelsel awak, "Daha apa kene jalir, nyakitang tong pagelahan,

Ne ke iba keneh buka jani, bas kaliwat, bingung mapangrasa, iba tuah nyakitin ati, iba makeneh mamusuh, kai nyadia manungkasin, i laksana ya tresna, ajak kai ngalih patut, nyen pacang ajak iba, iba Keneh, sinah iba penes ati, baan tong maan jalaran.

Nah aketo munyin Ni Kusumasari, nyelsel manah, Dukuh Siladri kocap, wes mapuja lintang suci, dadi I Dukuh tangkejut, manyingak pianake sedih, raris alus ngandika, "Nguda ngeling manguntuk, apa ke saja kranannya, nah orahang, mangda sida bapa uning, ne sekelang cening di manah,”

Ni Kusumasari matur saha bakti, "Ingaih bapa, titiang manguningang, ne wau titiang malali, dadi ada anak rauh, taruna ngebusin ati, natia mataken ring titiang, sebengnyane alep pengus alus, nakonang Dukuh Siladri, yan rupannyana, mairib bapa pasti, [ 58 ]52


15. Baru begitu kata Ni Kusumasari, di depan I Dukuh Siladri, terkejut ingat di dalam hati, dengan pesannya dahulu, menukarkan anaknya masih kecil, mungkin saja sekarang dia datang, setelah mendapat nasehat, seperti pesan dulu, nah begitu perasaannya di dalam hati, tiba-tiba Mudita datang.

16. Lagi terkejut I Dukuh melihat, menatap dan teringat, cincinnya bersinar terang, I Dukuh terus turun, lalu memeluk dengan mesra, "Sangat bahagia ayah, anak ayah datang, siapa menunjukkan kamu jalan, oleh karena jalannya sangat sulit sekali, hutan jurang sungai lebar.

17. Apa sebabnya ayah kamu tidak ke sini, menengok ayah oleh karena sendirian, berlunta-lunta kamu berjalan, I Mudita menyembah berkata, serta dia menangis, ya sangat malang nasib saya, sebab sendirian datang, ibu bapak saya meninggal, bersama, sebelum mereka meninggal, ada pesan dengan saya.


nagnig rasa kaduhkitan,”

Mara keto munyin Ni Kusumasari, kapirengang, I Dukuh Siladri, makebyah inget ring ati, teken pabesene malu, nyilurang pianake cenik, ne jani sinah ya teka, suba ya maan pitutur, buka pabesene suba, nah aketo pangresepe ring ati, macelig Mudita teka.

Tui tangkejut I Dukuh nyingakin, manletekang, tur kanten dumilah, bungkunge macaya lewih, I Dukuh laut macebur, ratis ngelut mapasihin, "Liwat ke sadian bapa, jiwatman bapa rauh, nyen ngorahin cai ambah, apan sawat, margine rungka tan sipi, alas pangkung tukad linggah.

Apa krana bapan cai tuara mai, nelokin bapa, awanan padidian, manglalu cai mamargi”, I Mudita nyembah matur, sarwi ya ngepes mengeling, "Inggih lintang lacur titiang, krana titiang newek rauh, meme bapan titiang pejah, sinarengan duk dane makire mati, wenten oabesan ring titiang. [ 59 ]53


18. Supaya saya menguburkan menjadi satu, satu lubang di sana di kubur, lalu saya disuruh kemari, pergi kesini ke gunung,

menyampaikan mereka yang tidak ada, supaya paman mengetahui, ini ada cincin, konon pemberian paman, kepada saya pada waktu saya masih kecil, pamanka saya.


PUH SMARANDANA

1. I Dukuh tercengang mendengarkan, dukuh memukul paha, duh kamu Kusumasari, nah kesana carikan ceraken, misan kamu datang, sangat sengsara dia yatim piatu, sekarang kamu disini mengajak.”

2. Kusumasari mendekati, melipat memberikan sirih, Mudita tersenyum menerima, berpasangan di sana duduk, bila dibandingkan tidak cacadnya, I Dukuh bahagia selalu, kesengsaraan seperti hilang.

3. I Dukuh berkata pelan, "Ini kamu berdua, jangan sering berkelahi, hargai ayah sudah tua, supaya tidak tergoyah, ayah mencari kebenaran, sebab kesulitan di hati.

4. Sebab ayah membersihkan diri setiap hari, memuja kepada


Mangda titiang nanem nadiang abesik,tunggal bangbang, irika. ring setra, tur titiang mangda mamargi, luas mariki ka gunung, nguningang dane tan Kari, mangda wa sauninga, malih puniki bungkung, kocap paican uwa, kapin titiang, daweg titiang kari alit, uwa mamekelin titiang,

I Mudita kangen miragi, mangsegan mamanteg paha, "Duh cening Kusumasaria, nah kema alihang pabuan, misan i dewane teka, liwat lacur ia ubuh, Jani cening dini ngajak,””

Kusumsari nesekin, nampinang ngenjuhin canang, Mudita kenyem mananggap, masanding ditu manegak, yan timbang tong da entenan, I Dukuh suka mandulu, duhkita buka sapuang.

I Dukuh ngandika aris, "Ne cening tui buka dadua, eda jua pati miyegan, gawenin ke bapa tua, apang eda buka oyag, bapa mamustin patut, apan sengkannya ring manah,

Krana bapa mabersih sai, mamuja ngarcana Sanghyang, [ 60 ]Sang Hyang Widhi, karena memang yang ayah sayangi, supaya bisa selamat, pandai lagi mengamalkan ilmu pembangunan menuruti perkataan berbuat baik, itu yang diinginkan ayah.


5.Memang ada suara gaib, diumpamakan membangun telaga, seratus konon banyaknya, kalah keutamaannya, kepada orang melaksanakan yadnya satu kali; kalah dengan yadnya satu kali, kalah dengan yadnya seratus dengan anaknya satu.

6. Ayah memberitahukan kamu, tingkah laku menjadi anak, jangan berani kepada leluhur, yang sudah dianggap guru, tiga yang tersebut guru, guru rupaka guru wisesa, guru swadyaya itu lanjutannya.

7. Yang empat memang benar, tua orang tua dengan sastra, tua umiur tua sang wiku, jangan kamu membantah, kepada orang yang dikatakan tua, patut di mintai kebenaran, oleh karena beliau mengetahui lebih dahulu.

8. Berhati-hatilah berkata, kepada mereka semua, kasta tak dipengaruhi, tak ada mencela mengutuk,


cening tuah ya sayang bapa, apang sida karahayuan, pradnyan tur astakosala, ento ne astitiang bapa.

Tuwi ada ucapingaji, utama ngawangun tlaga, satus reke saliunnya, kasor ento utamanya, ring sang ngwangun yadnya pisan, Kasor buin ypadnyane satus, baan saputrane tunggal.

Bapa mituduhin, cening, tingkahe manadi pianak, eda bani ring kawitan, sang sampun kaucap guruwa, telu ne maadan guruwa, guru reka guru prabu, guru tapak tui timpalnya.

Sane patpat tuah sujati, tua rerama tua ban sastra, tua tuwuh tua sang Wikuwa, eda cening bani langgia, ring sang sampun kaucap tua, nyandang tunasin pamatut, reh ida uning dumunan.

Melah palapanin mamunyi, riang ida dane samian, wangsane tong kaletehan, tong ada ngupet manemah, [ 61 ]baik-baiklah berjalan, kakinya supaya tidak kesandung, kotoran tidak dapat diinjak.

9. Baik-baiklah membersihkan diri setiap hari, menyebabkan badan- nya bersih, baik mewah berpakaian, menyebabkan wajahnya bercahaya, baik-baiklah berlaksana, menyebabkan mendapat keselamatan, setiap tingkah lakunya selamat,

10.Dari sekarang dikerjakan, berdua nah laksanakan, kebenaran pelaksanaan, belajar mengendalikan mata, gunanya dipakai melihat, memperhatikan yang benar, jangan sembarang melihat.

11.Prilaku memiliki telinga, memang dipakai mendengarkan, mendengarkan kata-kata baik, diresapkan terus di dalam hati, jangan selalu mendengar-dengar, oleh karena memiliki hidung, dipakai mencium kegunaannya.

12.Tetapi jangan sembrono mencium, sekedar dapat mencium, kebenaran juga rasakan, supaya bisa juga melaksanakan, kegunaannya mulut memang berkata, jangan berkata sembrono, yang benar seharusnya diucapkan.

13.Memiliki tangan jangan sekali mencuri,


melah alepe majalan, batise tuara katanjung, bacin tuara bakat ingsak,

Melahnnya mabersih sai, makrana awake tedas, melahe bungah manganggo, dadi gobane dumilah, melah rahayu matingkah, makrana manemu ayu, sapolah lakwne lasia.

Ulijani jua kardinin, jak dadua nah gawenang, patut tingkahe jua buatang, tingkage mangolah mata, Bunannya anggon maliat, mamadasin -nene patut, da jua ulah maliat.

Tingkahe mangelah kuping, tuah anggin maningehang, ningehang raose melah, resepang pejang di manah, da pati dingeh-dingehang, kranannya mangelah cunguh, anggon ngadak tuah gunannya.

Nanging da pati adekin, mangulah maan madiman, Patutang jua ngarasang, apang bisa jua ningkahang, gunan bibih tuah mangucap, da ngucapang pati kacuh, ne patut jua ucapang.

Ngelah lima da pati gudip, [ 62 ]56

walaupun juga mengambilkan, supaya kebenaran diperoleh, kemudian kakinya dijalankan, berhati-hati berjalan, jangan selalu sembrono, tersandang kita merasakan.

14.Diri sendiri patut melaksanakan, supaya memperoleh keselamatan, jangan bosan membenahi diri, seperti, pertama-tama, melaksanakan perbaikan diri, jika rajin menanam, tidak mungkin tidak menghasilkan.

15.Berbuat yang baik dipilih, seperti orang pergi ke pasar, berkeinginan berbelanja, masih juga dia memilih, tidak mau membeli yang rusak, pasti yang baik dibelinya, sama-seperti melaksanakan prilaku.

16.Berbuat yang baik dipilih, jangan memakaj perbuatan yang rusak, yang dikatakan rusak, memang nista harganya, lagi pula tidak dipakai oleh orang lain, kemana dibawa tidak laku,begitu anakku sebenarnya.

17.Kegunaan tangannya sangat bermanfaat, manik astagina konon, astane berati lima, gunane berarti kegunaan, manik wija ko namanya, hasilnya memberikan hadiah,


apikin jua nyemakang, apang patute bakatang, wiadin batise tindakang, yatnain tuah nyalanang, ada jua mangulah laku, katanjung bena nahanang.

Awake patut gawenin, apang manggih karahayuan, da maren ngertiang awak, waluya matatanduran, tingkahe ngardinin awak, yan antong tui manandur, joh para tuara mupuang.

Matingkah ne melah, pilihin, buka anake ka pasar, maidep matatimbasan, masih ya nu mapilihan, tuara nyak meli ne rusak, tuah ne melah tumbasipun, Patuh ring mamuatang tingkah.

Tingkah ne melah pilihin, da manganggoang tingkah rusak, saluire kaucap rusak, wantah nista ya ajinnya, buina tong kanggoang anak, kija aba tuara laku, Keto cening sujatinnya.

Gunan limane tuah lewih, manik astagina kocap, astane maadn lima, ginane madangagunan, manik wija ke adannya, wijane ngawetuang sangu, [ 63 ]57

hadiah dirinya sendiri,

18 Ini ada lagi satu, berdua diingkatkan, yang satu pegang erat-erat, pekerjaan malam didiamkan, jikalau sudah ada saatnya, pekerja pada saat yang telah ditentu- kan, di sana baru kamu bekerja.

PUH SINOM

Keduanya mengerti mendengarkan, nasehat baik sekali, seperti diperciki merta, masuk di dalam hati, menyebabkan perasaan baik suci tak ternoda, begitu konon perasaannya, kedua berkata baik, menuruti, konon sudah senja.

2. I Dukuh perlahan-lahan berkata, duh kama Kusumsari nah kesana diajak makan, misan kamu sekarang, Kusumasari mengangguk, menyembah lalu dia bangun, menoleh I Mudita, silahkan ke dapur Kakak, lantas bangun, Mudita permisi menyembah.

3.Ke dapur dia bersama, serasi dia berdandan, Kusumasari mempersiapkan, makanan beralaskan panci, siap sedia sudah semuanya, Mudita duduk bersila, Kusumasari


nyangunin tui i awak,

Ne ada buin abesik, ajak dadua mangingetang, ne abesik jua eretang, gawen petenge oyongang, yan suba ada masannya, magawe masaning dalu, ditu cening magarapan,

Sang Kalih resep mirengang, pituture ayu lewih, tulia kasiraten merta, nyusup dijeroning ati, mengawe manak suci, nirmala tan pataletuh, keto reke pangrasannya, sang kalih maatur bakti, mangiringang, kocap sampun sandikala.

I Dukuh alon mangucap, "Duh cening Kusumsari, nah kema ajak madaar, misan nyaine ne jani. Kusumasari mainggih, manyumbah raris ya bangun, mangipekin I Mudita, Jalan ja ka paon beli”, laut bangun, I Mudita pamit nyumbah.

Ka paon ya makaronan, ulangun nyane satanding, Kusumasari nabdabang, dahar matatakan wanci, sedia sampun cumawis, Mudia nyempel

malungguh, Kusumasari nesekang, [ 64 ]

58

mendekati, dipeluk di lantas

duduk dipangkuannya, I Mudita,

lalu menyuapi makan.


4. Kusumasari membalas, mengambil

makanan menyuapi, Mudita senang

menerima, silih berhanti disuapi

seperti orang bersuami istri,

pelaksanaan sama cinta, konon setelah

selesai makan, Kusumasari bangun,

perlahan-lahan, penampilannya

menarik hati.


5. Lalu dia memakan sirih,

gigi putih seperti manik,

I Mudita tersenyum berkata,

kakak mohon ditolong, berikan

sirih satu, Kusumasari menjawab,

"Kakak mengapa sekali, saya

sudah mengunyahkan kakak,

supaya gampang, sudah

hancur itu dimakan."


6. Mudita menengadahkan tangan,

memohon supaya dikasihi,

kasih kakak secepatnya, Kusumaari

tertawa menjawab,

punya tangan dipakai menangkap,

kenapa lepas tidak ditangkap,

bawa ke sini dekatkan, Mudita

perlahan-lahan mendekati,

lalu memeluk selanjutnya kena

adam.


7. Mudita tak henti-hentinya

menarik, seperti kumbang


magelut ya lantas mabin,

I Mudita, raris

mangesopin dahar.


Kusumasari ngwalesang, nyemak

dahar mangesopin, Mudita suka

mananggap, slegenti saling esepin,

kadi andk marabi, tingkahnya pada

salulut, kocap pada wus madahar,

Kusumasari matangi, sada alus,

tangkepe ngenyudang

manah.


Raris ya medahar canang,

untuk nyalang kadi manik,

I Mudita kenyem ngucap,

"Beli boya ke tulungin,

"Beliboya ke tulungin,

icen base abesik", Kusumasari

masaut, "Beli nguda tambet pisan,

yang suba makpakang beli,

mangda aluh,

suba dekdek juwa ajengang."


Mudita natakang tangan,

mapinunas lintang asih,

"Icen ke beli gelisang!",

Kusumasari kedek nyautin,

"Yan lima anggon nanggapin,

dadi ketes tan paangkuh,

arah maike paekang!",

Mudita alon nesekin, tur

mangelut, tumuli maurap

sepah,


Mudita tan moron ngaras,

luir kumbang ngisap sari, [ 65 ]59


mengisap bunga, Kusumasari mencubit dada, ini kenapa serius sekali, I Guru mulai menasehati mengapa kakak melupakannya? I Mudita menjawab yah tidak mungkin kakak berani, akan melupakan, nasehat I Guru tadi.

8. Kakak sebenarnya ingat sekali, memang satu dirahasiakan, cobalah adik pikirkan, apa itu yang satu katanya? cobalah kakak beritahukan! Kusumasari tersenyum berkata, ya diketahui oleh saya, tetapi apakah benar tidak tahu, satu itu, pekerjaan satu diambil berdua.

9. Dilarang menyebutkan, semakin membingungkan perasaan, nah kesana kakak berhenti, oleh karena lebih lecu berjalan, disana ada rumah kecil, disana kakak tidur, Mudita tidak menolak menuju di rumah, kecil, terus tidur, lemas seperti dibanting.

10.Kira-kira tengah malam, konon Ni Kusumasari, gelisah dia ditempat tidur, teringat dengan pelaksanaan tadi, bercanda saling cubit, itu menyebabkan perasaan panik lantas bangun menyalakan lampu, I Mudita diterangi, dia


Kusumasari nyigit tangkah, "Ne sajayan gati, i guru bahu nuturin, manguda beli mamurug?” I Mudita nimbal ngucap, "Joh para ko beli bani, pacang murug, pitutur i guru busan.

Beli jati inget pisan, wantah kapingit abesik, indayang adi minehang, apa ento ne abesik? indayang beli orahin! Kusumasari kenyem nyaitt, "Negih kaparna antuk titiang, nanging sakeng tuara uning, besik iku, gawe besik ajak dadua.

Arah data ke raosang, mingkin nundun inguh ati, nah kema beli mararyan, reh lesu gapu mamargi, ento ada bale cenik, ditu juwa beli maturu, I Mudita tuara tulak, nungsi di balene cenik, tur maturu, macepol buka pantigang.

Sawatara tengah ratria, kocap Ni Kusumasari, bulasah ya di Pedeman, inget ring tingkahe tuni, macanda saling sigitin, ento ngawe manah ibuk, laut bangun ngenyit damar, I Mudita kasuluhin, ya malingkuh, pules [ 66 ]60

mendekur, tidur tidak bergerak- gerak.


11. Kusumasari menjadi binal, berkeinginan bercanda membangun- kan, terus mencabut bulu ayam, hidungnya dicubit, Mudita terkejut bangun, mengigau lantas bangun, Kusumasari tertawa terbahak-bahak, selanjutnya memeluk menanyakan itu kenapa, kakak bangun paling?”

12. Mudita memukul dada mencubit Ni Kusumasari, kenapa senang bercanda, mengganggu menyebab- kan panik, kakak tidur bermimpi, mencari ikan dengan jala, kakak konon disengat udang, Kusumasari tertawa menjawab, mimpi gila, siapa mau mendengarkan.

13. Supaya jangan bertambah gila, marikan hidungnya ditetesi dengan tembakau dimasukkan, Mudita tersenyum menjawab, kenapa dukun itu gila, mengapa kakak diminta ditetesi, dengan tembakau adem, kakak sudah bingung, sudah mabuk, tetapi tidak minum tuak.

14. Kelihatan berdampingan manahan seperti haus tak dapat minum, begitulah umpamanya kesenangan setengah-setengah menyebab sakit, penuh sesak di dalam hati, menyebabkan kakak bingung,


tuara maklisikan,

Kusumasari dadi binal, mabudi nyanden nundunin, laut ngebis bulun siap, cunguh nyane kakilinin, Mudita makesiab ngrenjit, kapupungan laut bangun, Kusumasari kedek ngakak, manglaut ngelut nakonin, "To manguda, beli bangun kapupungan?”

Mudita mamanteg tangkah, nyigit Ni Kusumasari, "Adi seneng ngendah pelag, ngulgul ngawe inguh ati, beli pules mangipi, mangalih ebe manyau, beli kocap kapit udang”, Kusumasari kedek nyautin, "Ipian buduh, enyen sehem maningehang.

Apang da sanget muduhang, edeh cunguhe tutuhin, baan temako sisigan!”, Mudita kedek nyautin, "Adi balian nyem latig, nguda beli tagih tutuh, tutuh ban mako sisigan, beli guba lengeh paling, lebih punyah, nanging tuara nginem tuak.

Makanten manamping daar, tulya bedake suginin, keto adi upaminnya, demen nungkak dadi sakit, bengbeng ngrebek ring ati, wetu kene beli inguh” Kusumasari mangucap, ”Badudane tulas beli, demen motah, [ 67 ]61


berkata beduda kakak tiru, senang mewah, merangkul- senang memakan.

15.Diumpamakan seperti perumpamaan, seperti buah-buahan sebenarnya sejati, jikalau sudah masak, jadi matanglah sejati, masak durian masak manggis, tetapi berbeda baunya, melainkan isinya di dalam dicoba sama-sama dibelah, isinya sama, hancur lebur sudah busuk.

16.Seperti bunga mekar, oleh karena kembangnya berani, prilaku mencari bunga, i bunga lebih dulu mencari, oleh karena harus semerbak, menyebabkan kumbang berani, terbang mencari bunga, tidak tanggung-tanggung menghisap sari, sebab banyak, bertemu tidak mungkin berteman.

17.Disangka kakak membedakan, bingung hatinya sekarang, sebab saya berani mengganggu mempermainkan kakak, kakak tidak memikirkan, ayam jantan tidak ada yang mengadu, berputar-putar di dalam sangkar, oleh karena sebenarnya menunggu orang yang memelihara, supaya cepat diadukan.

18.Mudita perlahan-lahan berkata, jika diumpamakan seperti kakak, penjudi sangat royal, seperti


mengeseng demen mengamah.


Angganing buka singgan, kadi woh-wohan sujati, yaning suba lebih wayah, dadi tasak ya sujati, tasak duren task manggis, nanging bina ambunipun, yan isinya di tengah, cobakin cobakin pada tebihin, tuinnya patuh, enyag lodoh suba aluan.

Sakadi i bunga kembang, krana tumblilingane juari, laksana ngalih i bunga, i bunga malu mangalih, ngalih ban miik ngesiurin, krana tumlilingane laju, ngeberin ngalih i bunga, tan jangka mengisap sari, kranal liu, matemu tuaraja timpal.


Kaden beli mabinayan, inguh atine ke jani, krana titiang dadi pongah, mangugul manyanden beli, beli tuara minehin?, siap galak tong ada ngadu, binder-binder di guungan, wireh patutnya manganti, sang mengurung, ledange pacang ngocekang”.

I Mudita alon ngucap, "Yan upami kadi beli, babotoh kalintang legas, adi tulya [ 68 ]62

orang Kaya, rela memberikan meminjam uang., menuruti tidak menghitung, durhaka dituruti, sulit memelihara, oleh karena banyak, buruk terlalu mengumbar hawa nafsu.

19.Kamu memang bunga masyarakat, menggoda pertapa yang suci, seperti merta sanjiwani, menghidupkan yang sudah mati, memang kamu yang membuat, membangunkan perasaan bingung, Kusumsari berkata, bukan saya membangunkan, perasaan bingung, yang pendek lagi dipanjangkan.


20.Pada waktu Sang Partha melakukan tapa, digoda oleh Bidadari, dipermainkan diperkosa, perasaamnya langsung tak obah, karena Hyang Siwa memasuki, beraneka warna Ratu menggoda, lagi menggoda dengan perang, begitu umpamanya kakak, menggoda mengganggu, diomel akan disayangi.

21. Kalau pengertian tentang pikiran, tersimpan di dalam hati, jikalau mencari ke dalam, diluar dahulu dilihat-lihat, jikalau sudah ditemukan di luar, baru ke dalam dilihat-lihat, satukanlah pikiran pertemuan Sang Hyang Sudukswari, di sana-dikethaui, buat pengertian


anak sugih, alas maang nyilih pipis, nuukin tuara mangitung, imomo kauluran, sengka baan mamiyerin, sangkan liu, rusak ban ngulurin manah,

Adi tuah sarining jagat, nguungang tapane lewih, tulya merta sanjiwania, ngidupang ne suba mati, adi tui mangawenin, manundunin manah inguh!, Kusumasari ngucap, "Boya titiang manundunin, kayun inguh, eda bawak buin panjangang.

Duk Sang Partha nangun tapa, kagoda antuk Dadari, kancanden kaplagendahang, kayune pageh tan gingsir, krana Hyang Siwa nuranin, mawarna Ratu maburu, malih ngoda antuk yuda, keto upaminnya beli, ngoda ngulgul, iyegin bakal sayangang,

Yan utamaning adnyana, masimpen dijroning ati, kocap yan ngalih ka tengah, di sisi make ruruhin, yan sampun tetep di sisi, lautang ka tengah ruruh, panunggalaning adnyana, patemun Hyang Sudukswari, ditu wetu, buat suksmaning [ 69 ]63


tentang pikiran.

22.Sekarang kakak pusatkan, satukan pula yang satu, walaupun tidak dapat diketahui, pelaksanaan menjadi manusia, marilah keijakan bersama, berdua sekarang kita cari, lanjutkan sekarang rasakan, satu persatu dihitung, bisa diketahui, enam rasa menjadi manusia.


23.Begini cara kakak membutuhkan, I guru sekarang bantu,mempersiap- kan perlengkapan upacara, seluruh upacara semua, saya di dapur mempersiapkan,tetapi kakak supaya membantu, mencarikan saya kayu api, disibukan terlebih dahulu, jangan memperhitungkan, nanti saya dipakai upah.

24.Baru didengar bagitu, ayam mulai berkokoh, pertanda sudah pagi, Kusumasari keluar, Mudita memanggil, Nah kesini kakak terlebih dahulu, pembagian kakak ambil, tempat pemujaan diperbaiki, supaya selesai, upakara dahulu dicarikan.

25.Daun alang-alang dan sekar, wija dicampur cendana. minyak dengan kayu api,


adnyana

Ne jani beli pagehang, pitetin jua ne abseik, yadin tuara sida tawang, mimitane dadijadmi, jalan ke bareng yasain, ajak dadua jani ruruh, tudtudang jani rasayang, saka besik jua ketekin, sadia tawang, sadrasane dadi jadma.

Kene ban beli muatang, i guru dadi ayahin, manabdabang, pawedayan saluir upakara sami, titiang di paon nadongin, nanging beli mangda tulung, ngaliang titiang saang, tuyuhan malu agigis, eda ngitung, dorian titiang anggen upah.


Wau reke sapunika, siape nabuh mamunyi, manyinahang suba lemah, Kusumasari ka sisi, I Mudita kakaukin, "Nah mai ke beli malu, duman beline jemak, pawdayane benain, mangda puput, upakara malu alihang,

Ambengan samalih sekar, wija asaban cendani, minyak kalwan saang. [ 70 ]64


karawista dibuatkan, set nimang kalpika lagi, lagipula tirta dibuatkan, Daun alang-alang dipakai memerciki, bunga teratai dipakai mengisi begitulah, ke sana kakak silahkan kerjakan.

26.Tersenyum Mudita berkata, semua perintah kakak melaksanakan, kakak bersedia akan membantu, semasih Kakak hidup, tidak mungkin kakak pergi, membantu beliau I guru, walaupun membantu kamu, seringlah semberitahu kakak, tetapi tumpul, diasah adik berulang kali.

27. Kusumasari berkata, ya bersama kakak berjalan, upacaranya dicarikan, Mudita lalu berjalan, mandi lalu berhias, mencari bunga banyak sekali lalu mencari alang-alang, lalu dibawa pulang, sesudah sampai, lalu mempersiapkan sendirian.

28.Tetap semua upacara, Mudita duduk menjaga, konon I Dukuh membersih, memakai pakaian serba putih, lalu bersembahyang, kepada Ida Hyang Cintia muncuk, lalu duduk mencuci

Karawistane karyanin, seet mingmang kalpika malih, yadian toyane jua ukup, ambengan pacang sasirat sekar tunjung nggen nglawenin, sapuniku, mrika beli nggih karyanang!”

Kenyem I Mudita ngucap, saprentah beli mangiring, beli nyadia pacang ngayah, sakarin beline urip, doh para beli gingsir, ngayahin dane i guru, wiadin manjakin i mirah, saledang mrabotang beli, nanging puntul, sangihin adi seringang!

Kusumasari angucap, "Nggih mrika beli mamargi, upakarane rerehang, Mudita raris mamargi, kayeh raris mabersih, ngalih bunga sada iju, laut ngalih ambengan, mangararis kaaba mulih, sampun rauh, raris nahbadang pandiangan,

Tetep saupakarannya, Mudita negak nongosin, kocap I Dukuh masucian, mabusana sarwa putih,. raris ngaturang bakti, ring ida Hyang Cintia mucuk, nuli negak ngwasuh [ 71 ]65


kaki, duduk bersila tak dilupakan, kabakar, diberi japa mantra.

29. Lalu beliau memusatkan pikiran, mempersatukan pikiran menjadi satu, bumi dan langit bercampur, berputar jadi satu, bisa lagi diulang, lalu pujanya didapat, delapan mantra pengelukat, ketenangan menyebabkan bahaya, tangan dicakupkan jari tangan dilipat.

30.Bunga cendana dan wija, ditaruh ditempat tirta semua, lagi melakukan mudra, mempercikkan tirta pangurip, mempersatukan Hyang tiga menjadi satu, Tri tatwa itu diucapkan, pelaksana supaya bahagia, pelaksanaan sesuai dengan aturan, jalu menyambut, menerima percikan air suci.

31. Bajra setelah dipegang dibunyikan tiga kali mulai dari timur, disertai dengan bunga ganda wija, dimasukkan ke dalam tempat tirta semua, harum bunga semerbak, suara genda mengalun-ngalun, tempat tirta diisi bunga, ganda wija tak dilupakan, dupa padipan, tetapi menyertai puja.

32.Mantra setelah dimasukkan, selesai melakukan persembahyangan,

pada, masilagana tan mari, Kakasange, kajapain kakebatang:

Raris dane ngrana sika, mapulang adnyana sandi, tanah langite madukan, maideran dadi besik, sida malih kababahin, raris pujane kasambut, asta mantra pamungkahan, ari mawantu tan mari, tangan cakup, jarijine kakilitang.

Sekar cendana lan wija, tiniban ring swamba sami, malih mepes matanganan, mayonin tirta mangurip, nungealang Hyang Tigasandi, tri tatwa ikang wiruwus, pangpadia dulurannya, undakan jalitan mari, raris nyambut, sasirat nyiratin raga,

Bajrane wus kinalpokan, ping telu nabuh murwanin, malih sekar ganda wija, tinibak ring swamba sami, mamusti sekare mrik, suaran gentane mangunggul, swamba tiniban sekar, ganda wijane tan mari, dupa dipa, tetep sarehaning puja.

Pujane wus kasimpenang, puput mangaturang bakti, [ 72 ]66

kepada Beliau Sang Hyang pengasih, wajahnya bersinar berseri-seri, I Mudita dipanggil, mari makan ayah menjawab "ya”, lantas berjalan, ke dapur lalu dituju.

33.Mudita mulai berkata, mengapa kamu terlambat sekali,? malas sekali bekerja”, Kusumasari keras menjawab, terlambat sedikit, jangan kakak ribut, mengantuk bekerja" Mudita tersenyum menjawab", "pantas mengantuk" karena bergadang sampai pagi.

34. Sekarang kakak beritahu, yang mana patut kerjakan kakak? supaya bisa lebih cepat” Kusumasari menjawab "kesana cereknya diisi” Mudita berjalan sekali Kusumasari mempersiapkan makanan sangat bersih, lewat rapi, dilengkapi dengan sayur-mayur,

35.Kusumasari mencuci tangan, memakai selendang pula, lalu menyinggung sesajen, tingkah lakunya menarik hati, I Mudita mengikuti, membawa kendi sangat pantas, I Dukuh senang melihat, tingkah lakunya berdua, sangat serasi, kalau ditimbang tidak ada kalah.

36.Berdua saling berdekatan,


ring ida Sanghyang Suksma, warnane macaya ening,

I Mudita kandikain, "Cening

bapa suba seduk, jemak nasine enggalang!”, Mudita moatur "Inggih”, tur lumaku, kapaon raris manyagjag.

I Mudita raris ngucap, "neguda adi elat gati?, males pisan magarapan", Kusumasari saja gigis, edaja beli manguyut, mata kiap magarapan”, Mudita kenyem nyautin, Pantes kiap, ban magadang buka lemah.

Ne jani beli nikayang, encen patut jemak beli?, apang jua dadi enggalan”, Kusumasari nyautin, "Kema cecepane isinin”, Mudita maalan iju, Kusumasari nabdabang, masoda kalintang bersih, lintang iyas, puput antuk Jangan-jangan.

Kusumasari maseh tangan, nabdabang antenge pasti, varis nyuun parangkatau, tangkepe ngenyudang ati, I Mudita nututin, : makta cecepane pangus, I Dukuh suka nyingak, tingkah nyana sareng kalih, tui sapaut, yan timbang tuara da soran,

Sang kalih pada nesekang, [ 73 ]67


menaruh makanan dengan perlahan, Mudita menaruh makanan, kendi sudah disiapkan, I Dukuh memberikan wejangan, keduanya duduk dengan baik, selesai I Dukuh menyampaikan wejangan, sedang hatinya, bersenda gurau, "itu mengapa, kamu pucat berdua?”

37.Parasnya seperti bergadang, kalau ayah menafsirkan tidak salah, mungkin sembunyi- sembunyian, siapa yang kalah itu mencari, siapa yang sering dipukul, I Mudita tersenyum menjawab, Kusumasari mencari saya”, I Dukuh tersenyum menjawab, "kalau begitu mungkin kamu didapatkan.

38.Kamu menyerah dipukul, Mudita tersenyum terdiam, Kusumasari berkata lagi, "ayah seperti tidak tau!”, I Dukuh tersenyum menjawab "sifat remaja ayah tahu, berbeda dengan orang tua, kalau tua malamnya lelap, tidur nengkur, remaja bangun berayunan.

39.Memang ayunan utama, berputar- putar mempersona, goyang tak bisa jatuh, tetapi mematikan, mematahkan, Karena digantung tidak pakai tali, kerap dirapatkan longgar dikeratkan.


mejang daar sada aris, Mudita mejang pwajikan, cecepan sampun cumawis, I Dukuh majana aris, sang kalih nyempel malingguh, sawus I Dukuh mejana, ledang kayune negayonin, "To manguda, cening seming buka dadua?”

Sebenge mirib magadang, Yan bapa marma tong pelih, sinah maengkebengkeban, enyen tui kalah mangalih, nyen pepesan magedig, I Mudita kenyerm matur, "Kusumasari ngrereh titiang”, I Dukuh kedek nyautin, "Yaning keto, sinah-cai kabakatang.

Cai masrah kagedigan, Mudita kenyem menengil, Kusumasari matur nimbal, ""Bapa nguda tidong linsir!”, I Dukuh kedek nyautin, “Solah bajang bapa tau, bina tui ring anak tua, yan tua petenge ngesit, pules nengkul, i truna bangun mayunan,

Mula ayunan utama, malungka-lungka nglangenin, goyang tong bisa ngulungang, nanging ngamatiang ngelungin, reh magantung tan patali, tekek goloh keret tepu, [ 74 ]68

putus, tetapi tidak ada yang ditakuti, supaya bertemu, yang dua menjadi satu.

40.Pertemuan Hyang Adumuka, warna merah dan putih, bercampur menjadi dadu, dadu tua menjadi istri, dadu yang muda menjadi laki-laki, putih suci merah. bercampur, menimbulkan suka duka, itu pembawaan lahir, oleh karena ada, suka-duka diterima sekarang.

41.Walaupun kamu menemukan sengsara, jangan mengomel Sanghyang Widhi, bila kamu menemukan suka, jangan kamu menyanjung Sang Hyang Widhi, memang begitu bekal akhir, yang dulu sudah menanam, oleh karena dari sekarang perbuatan jangan menanam, benih-benih yang sudah rusak,

42. Oleh karena ada benih-benih baik, memang mertha orang. lahirm tidak mungkin bisa rusak, berdaun lebat tetapi lusuh, jika ditanam tumbuhnya paling, jadi bisalagi tumbuh, berbunga di langit, hidup kita memang sulit, tidak sombong, tetapi isinya besar sekali,”

43.Kusumasari menjawab, "Ya saya sudah tahu, seperti perkataan Ayah, ya nanti saya membinih,


krana mangrotin manah, nanging tong ada takutin, apan campah, ne dadua manadi tunggal.

Patemun Hyang Adumuka, mawarna abang lan putih, macampuh dada dadinnya, dadu wayah dadi istri, dadu ngudadadi muani, putih suci abang campur, ngadakang suka-duka, ento bekele numadi, krana ada, suka-duka jadi tamiang.

Diastu cai manggih lara, eda ngupet Sanghyang Widi, yadin cai nemu suka, eda ngalem Sanghyang Widi, mula bekele numadi, ne malu suba manandur, krana ada jani pupuang, awanan jani gawenin, eda nimuh, bibite suba bubukan.

Apan ada bibit melah, mula mortan sang numadi, buin tong bisa bubukan, madon samah nanging ligir, yan tanem entikne paling, dadi bisa tumbuh, mabunga ring ambara, idup nyane lintang ganjih, tan paangkuh, nanging mumbi gede pisan,”

Kusumasari matur nimbal, "Inggih titiang sampun unih, sakadi babaos bapa, nggih [ 75 ]69

I Dukuh tersenyum berkata, jikalau begitu Ayah salut, Nah kesana silahkan makan, kedua mengikuti, lalu mohon permisi, tidak disangka sudah di Istana.

PUH BASUR

1.Konon I Gede Kadampal, rumahnya dikarang buncing, kaya sekali, memiliki anak seorang namanya Wayan Buyar, gigih putih, kumis lebat mata juling.

2. Tingkah lakunya urak-urakan, merasa diri kaya, tujuh orang meninggalkan istri, semua tidak ada benar, semua tingkah lakunya salah, seketika dipukuli, diberi bisa, matanya diberi cabai.

3.Tidak sampai satu bulan, memiliki istri sudah pulang, Ayahnya tidak berani bicara, semua keinginannya diikuti, diberikan, berias setiap hari, penjudi pembuang-buang.

4.Tingkah lakunya agung sekali, tidak sedikit pengikutnya, tetapi manusia mengharapkan upah, semua pandai merayu, ada datang membawa berita, dipakai menangis, untuk memancing uang.


pidan titiang mibitin”, I Dukuh kenyem mamunyi, "Yaning keto bapa cumpu, nah kema tuah madaar”’, Sang kalih pada mangiring, tui ngalusngur, tan kocapan ring pasrama.

Kocap I Gede Kadampal, maumah ring Karang Buncing, sugihnya kalintang-lintang, mangelah pianak sukud, Wayan Buyar adaninnya, gigi putih, kumis nyempang mata dingdang.

Rikasnyane ngapak-apak, tau teken awak sugih, papitu mangutang somah, makejang tong ada patut, asing solahanga salah, jag manigtig, malatengan matabianan.

Tong ada genep abulan, ngelah somah suba mulih, bapannya tong bani angucap, sabudinnya jua Katuut, kaulurin kaalemang, bungah sai, babotoh mangutang-ngutang.

Tangkepnyane agung pisan, tan tuna ada mangiring, nanging jadma ngulah upah, makejang dueg mangajum, ada teka ngaba orta, anggen tangkis, saking mamikatin jinah. [ 76 ]70


5.Duduk meiaporkan saya mendengar kabar baik, I Dukuh Siladri konon memiliki anak perempuan satu, namanya Kusumasari, sangat cantik, di gunung Kawi rumahnya.

6.Konon seperti dewa Bulan di bumi, pandai mengambil pekerjaan perempuan, jero mekel terkenal sekali, kaya sosial sekali dan bagus, itu sangat diperlukan, pakai istri, seperti perak dapat tutup.

7.1 Wayan Buyar mendengar, senang sekali tak henti- hentinya, memang senang dipuji, tertawa-tawa sangat berkeinginan, lalu berkata yang laki-laki, benar kamu, saya tidak dapat bersanding.

8.Mari dapat sekarang diambil, Kuda pengembala dicari, supaya tidak ada berjalan, pengikutnya berkata, "Perlengkapan uang sebaiknya dicarikan”, "Ke sana kamu pulang minta dua ratus perak.”

9.Pengikutnya secepatnya, pulang meminta uang ringgit, dilebihkan membilang, "Paduka tuanku saya diutus, oleh anak paduka, meminta uang ringgit, lima ratus masih kurang!"

Menegak matatanganan, titiang ningeh orta becik, I Dukuh Siladri kocap, ngelah pianak luh aukud, Kusumasari adannya, ayu lewih, ring gunung Kawi umahnya,

Kocap Ratih nyalantara, pradnyan sagunaning istri, Jro Mekel kaloka pisan, sugih dana lintang bagus, punika nyandang buatang, anggen rabi, luir slepa maan tekep.

I Wayan Buyar ningehang, suka idepe tan sipi, mula tuah demen ajumang, geger-geger lintang cumpu, raris mamunyi nelanang, "Saja cai, icang tong maan adungan,

Jalan luas jani juang, jaran pangalune alih, : apang da ada majalan, tututannyane maatur, "Bekele becik rerehang!” "Kema cai, mulih nagih slaka satak.”

Tututannyane ngenggalang, mulian managih ringgit, palebihin ya ngorahang, "Mekel aji titiang kutus, antuk dane mekel anak, nunas ringgit, limang atus sampun kirang! [ 77 ]71

10.I Gede Kadampal berkata, untuk apa meminta uang ringgit, orang yang diutus berkata merendah, "Si anak akan ke gunung, akan mengambl istri, saat sekarang, uang ringgit dipakai membeli."

11.Ayah senang mendengar, lalu mengunci almari, mengambil perak segenggam, banyak lima ratus, yang diutus lalu meminta, lalu permisi, yang tiga ratus dititipkan.

12.Masih dua ratus diberikan, Jero Mekel, ini uang ringgit, sejumlah dua ratus tidak kurang, ada yang lain berkata, lebih baik uang ringgit dibagikan, kepada yang menyertai,. I Wayan Buyar meng-ya-kan.

13.Pengikutnya lau membagi, Semua tertawa-tawa, membagi menjadi sepuluh, lału menari-nari bangun, I Wayan Buar dia senang, melihat, lalu semua mengambil kuda.

14.Berloncat-loncat semaraut, ada yang meloncat ada yang meninjik, tidak memperhitungkan sungai hutan, bersorak-sorak

I Gede Kadampal ngucap, "Ya ngudiang nagih rirggit?", Sang kautus matur ngasab, "I anak pacang ka gunung, jaga ngambil anak istri, sane mangkin, ringgit anggen pamumbas" .

Bapannya egar ningehang, laut manyereg lumari nyemak slaka cacengkegan, liunnyane atus, sang kautus raris nunas, tur mapamit, ne thangatus kaking sanang.

Kari satak kaaturang, "Jro Mekel, puniki ringit, Sampun satak nenten eleng!" ada len buin matur, "Becik ringgite epahang, ring sang ngiring",I Wayan Buyar ma-enah.

Tututane raris ngepah, sami ya kedek pakrikik, mabagi dadi adasa, laut ngigel ngregeh bangun, I Wayan Buyar ya girang, maningalin, raris pada nyemak jaran.

Padumplak mababedalalan, ada nongklang ada ngijik, tuara ngitung tukad alas, suryak-suryak ya makung, [ 78 ]72

dengan ramai, tidak dirasakan dia di jalan, sudah tiba di gunung kawi serempak.

15. Seketika termenung dia melihat, keadaan Istana megah, I Wayan Buyar berkata, orang di hutan tumahnya baik, pengikutnya berkata, "Konon dahulu, tempat tinggal Empu Dibiayaja.”

16.Beliau memang terkenal sekali, darma patut perbuatannya, sudah terkenal sampai ke sorga, sekarang I Siladri menempati, oleh karena dipakai murid, menjadi pujangga, dia konon diberikan.”

17.Wayan Buar ganti berkata, "Non jalan masuk sekarang, kudanya semua ditambatkan”, pengikutnya mentaati, bersamaan menambatkan kudanya, silih berganti, mersanaan lalu masuk.

18. I Dukuh sedang duduk, mendengarkan anaknya bernyanyi, keduanya bersamaan, I Wayan Buyar dia datang, tak terasa memegang ujung kainnya memirit kumis, pandangannya sedang paling.

19. I Dukuh lalu terkejut, turun lantas berkata,


tan kocapan ya dijalan, gelis prapti, di gunung Kawi manapak.

Dadi bengong ya ngantenang baan pasramane lewih, I Wayan Buyar mangucap, "Wang ebet umahnya luung!”, Tututannyane manimbal, "Kocap riin, pasraman Empu Dibiayaja.”

ida tui kaloka pisan, darma patut luihing Kirti, sampun moktah maring suarga, mangkin I Siladri nunggu, reh ipun kaanggen sisia, mujangganin, dane kocap kaswecanan .”

Wayan Buyar nimbal ngucap, "Nah jalan mulihan jani, jarane pada tegulang”, Tututanne tui manurut, mabriuk negulang jaran, pada gati mabered raris mulihan,

I Dukuh sedek maneguk, ningehang pianake magending, buka dadua mabarengan, I Wayan Buyar ya rauh, tan maren nadtad lancingan, mirit kumis, liatnyane tui marengang.

I Dukuh dadi makesiab, macebur laut mamunyi, [ 79 ]73


"Ya silakan naik”, I Wayan Buyar duduk, pengikutnya semua duduk bersamaan, I Dukuh memanggil anaknya.

20. "Anakku ke sana mengambil sirih", Mudita berkata, "Ya”, Kusumasari melipat sirih, I Wayan Buyar mendahului, cantik lemah gemulai, susunya padat, Wayan Buyar memperhatikan.

21.Kusumsari melihat, I Wayan Buyar tersenyum, melirik dengan mata juling, Kusumasari tertawa menunduk, Mudita lalu mendekati, menanyakan, "Mengapa tertawa tidak menentu?"

22.Kusumasari membilang, "baru saya melirik, oleh kera bermata juling, mungkin dia minta jagung, mengapa sirih diberikan, gigi putih, kapur satu mangkok diberikan!”

23.I Mudita tersenyum berkata, jangan begitu kamu usil, memang sirihlah diberikan, perilaku menyapa tamu”, Kusumsari memberikan, sirih kuning langsat, beralaskan talam.

24. I Mudita lalu mengambil, menjinjing berjalan sopan, Jalu mendekati dan memberi,


"nggih rarisang menekan”, I Wayan Buyar malungguh, tututane pada negak, sareng sami, I Dukuh ngaukin pianak.

"Cening kema ngalih canang", Mudita maatur "Inggih”, Kusumasari nglukun canang, I Wayan Buyar mandulu, ayu anom magoloroan, susu nyangkih, Wayan Buyar nalektekang.

Kusumasari miwasan, I Wayan Buyar ngenyemin, nyledetin ban mata dindang, Kusumasari kedek nguntuk, Mudita raris nesekang, manakonin, "Nguda kedek tong karwan-karwan?”

Kusumasari mangorahang, "Mara tiang kasledetin, ban bojog mamata dingdang, Jeneng ya managih jagung, ngudiang base dadi baang, gigi putih, pamore aceblong baang!"

I Mudita kenyem ngucap, "Eda keto adi bangi, tuah base ke patutnya, tingkahe manyapa tamiu", Kusumasari mamaang, canang gading, puput mawadah bokoran.

I Mudita raris nyemak, manampa tangkepe pangid, raris nesekang ngaturang, [ 80 ]74


Katanya sangat sopan, "Saya mempersembahkan sirih, silakan ambil, saya tidak tahu berkata.”

25.I Wayan Buyar berkata, "Teman-teman saya berikan!”, I Mudita lalu mnyerahkan, pengikutnya termenung termangu, bagus alim dan sopan santun, dan yang istri cantik tidak ada bandingannya.

26.Begitu berbisik-bisik semua, I Dukuh perlahan-lahan berkata, "Jero tamiu saya minta maaf, oleh karena saya tidak tahu, siapa namanya tidak tahu, apa dibutuhkan ke sini?”

27.I Wayan Buyar berkata, rupanya sangat bebas, ya seperti kata Ayah, tidak usah Ayah bertanya, oleh karena Ayah belum tahu, ya sekarang, saya mengatakan dengan Ayah.”

28. Saya anak Gede Kadampal, terkaya di Karang Buncing, yang terkenal menjemur perak, saya anaknya satu-satunya, belum saya memiliki istri, oleh karena belum dapat, cocok seperti keinginan saya.

29. Sebenarnya ayah terkenal sekali, memiliki anak cantik sekali, saya minta maaf ingin


munyinnyane liwat alus, "Titiang mangaturang canang, nggih swecanin, titiang tan uning mapajar.”

I Wayan Buyar mangucap, "'Nto roang tiange enjuhin!”, Mudita raris nyerehang, tututane bengong ndulu, bagus alep tur srenggana, to be istri, Jegeg tuara ada pada,

Keto ngarimik makejang, I Dukuh alus mamjnyi, "Jro tamiu titiang nawegang, santukan titiang tan weruh, sapasira nggih pesengan, durung uning, napikarya nembe pisan?” I Wayan Buyar mangucap, sebenge lintang ngelahin, "Inggih Kadi baos bapa, nyandang wiakti bapa tandruh, antuk durung bapa nawang, inggih mangkin, titiang nguningang ring bapa.”

Titiang panak Gede Kadampal, sugihe di Karang Buncing, ne Kasub menengdeng slaka, titiang panaka aukud, dunang titiang ngelah somah, ban tong polih, cocok kadi manah titiang.

Dening bapa kasub pisan, ngelah pianak ayu lewih, titiang nawegang mamitang. [ 81 ]75

meminang, buat diajak saua bertimbang rasa, kekayaan saya dirumah, keseluruhan saya serahkan dengan ayah.”

30.I Dukuh perlahan-lahan menjawab terlambat Wayan datang, sekarang rugi meminang, oleh karena kata saya sudah terlanjur, memberikan Mudita, ya sekarang yang lain lagi dibicarakan.”

31. Kusumsari mendengar, seluruh perkataan tadi, lalu dia memanggil, "Kakak Mudita kesini dulu, arah mata saya ngantuk, kesini kakak, pijat sebentar saya!”

32.I Wayan Buyar mendengar, menggerutu perasaan marah, lalu dia menoleh pengikutnya, berisyaratlah turun, bersin- bersin lalu berludah, setibanya, tiba di jalan dia duduk.

33.Kitak-kituk marah sekali, pengikutnya diberitahukan, yang sekarang diusahakan sekali supaya bisa diajak pulang, Kusumsari pakai istri, oleh karena sangat cocok, bila bersanding dengan saya.

34. Jalan sekarang diperkosa,

buat ajak titiang mangitung, kasugihan jumah, makasami, aturang titiang ring bapa!”

I Dukuh alon manimbal, "Kasep Wayan ngarawuhin, jani pocol mapangidihan, kadung munyin titiang saud, makidihang ring Mudita, inggih makin, siosan malih bawosan.”

Kusumasari ningehang, sadaging rawose sami, laut a ya makaukan, "Beli Mudita mai malu, arah matan tiange kiap, mai beli, urut-urut kuda titiang!”

I Wayan Buyar ningehang, gagretan manahe brangti, laut ya nolih tututan, mawangsit laut macebur, matengkem laut mesuang, sada gati, teked diwang ya manegak,

Bingah-binguh jengah pisan, tututan nyane katari, "Nah jani saratang pesan, apang bakat ajak mantuk Kusumasari anggon somah, reh satanding, ya matimpal teken icang.

Jalan kenjani plagandang, [ 82 ]76


I Mudita tangkap diikat, saya akan memberikan upah sawah sebanyak tiga petak, pengikutnya mendengarkan, menyanggupi bersama kembali lagi kerumah.

35.Tampan isyarat diambil, I Mudita direbut, diikat dia dan ditidurkan, Kusumasari diangkat, diperkosa, semua, keimpus dibawa keluar.

36.Kusumasari dia melawan, tangan kaki diikat dengan tali, semua lantas menaiki kuda, Kusumasari dipikul, menangis minta tolong tersedu-sedu, tidak ada orang tahu.

37. Diceritakan I Dukuh Siladri, mendekati dan menolong, mengucapkan mantra, memanggil binatang supaya datang, singa, harimau, dan warak, babi, sapi, berloncat-loncat mendekati.

38. Habis seisi hutan, I Dukuh perlahan-lahan berkata, we kamu binatang semua, saya keras minta tolong, kamu sekarang diharapkan, menolong sekarang, Kusumasari.

39.Dilarikan oleh pencuri, bersama 10 orang merebut, binatang semua mendengarkan,


I Mudita juk talinin, icang sarat maang upah, carik pada matelung sikut, tututannyane ningehang, manyanggupin, mabriuk tulak mulian,

Tan pawangsit jag manyemak, I Mudita kakembulin, kategul ya kapademang, Kusumasari kasaup, kasangkol kapalaibang, sareng sami, Kaimpus kaba mesuang,

Kusumasari ya manglawan, lima batis katalinin, sami laut nunggang jaran, Kusumasari katikul, mangeling masasambatan, ngasih-ngasih, toang ada anak ngrunguang.

Kocap I Dukuh Siladri, manyagjag gati nulungin, manguncarang japa mantra, ngardana burone rauh, singa macan miwah warak, celeng sampi, padingkrik pada nasekang.

Telas sadagingin alas, I Dukuh alon mamunyi, "Ne iba buron makejang, icang sanget ngidih tulung, iba eda manyang-kayang, manulungin, jani I Kusumasari.

Kaplaibang baan dusta, bareng adasa ngembulin, Burone pada ningehang, [ 83 ]77

berlompat-lompat mengejar menolong, menghadang di jałan, kemudian ditemukan, Kusumasari dilarikan.

40.Harimau tidak menyangka, menerima dari samping, yang menggendong Kusumasari, diterkam perutnya hancur, rebah lantas mati, terisak-isak, Kusumasari, harimau lantas mengambil.

41.Pengikut Wayan Buyar, terkejut semua, lari tunggang langgang, melihat kawannya diterkam harimau, binatang setiap langkah mengejar, ada mati dicaplok warak, dicaplok babi, mati jatuh digigit ular.

42.Ni Kusumasari konon, harimau menggigit talinya, mengakibatkan talinya putus, Kusumasari dia bangun, menangis memeluk harimau, diajak pulang, cepat tiba di istana.

43.I Dukuh turun menghampiri, I Mudita membantu, selanjutnya dilepas, oleh kalau Jro Dukuh, harimau duduk mendekati, tersendat-sendat, I Dukuh perlahan-lahan berkatan.

44."Sekarang kamu berdua, jangan lupa kepada orang menolong, harimau dia sangat

padumplak nyagjag matulung, maliwat nyadang di jalan, tur kapanggih, Kusumasari kaplaibang.

I Macan tuara nyangkayang, manyarap uli di samping, sang nikul Kusumasari, kacogroh basangnya embud, mageblang mati mangejat, Kusumasari, i macan laut menyemak.

Tututane Wayan Buyar, tangkejut pada malaib, ngenot timpal sarap macan, burone tan jangka ngepung, ala mati caplok warak, sarap bawi, mati ulung sengot misa.

NiKusumasari kocap, imacan mamapak tali, saksana taline pegat, Kusumasari ya bangun, mangeling ngelut i macan, ajak mulih, gelis rauh ring pasraman.

I Dukuh macebur nyagjag, I Mudita mamarengin, dumara ya kaelusang, antuk Jro Dukuh, i macan nyengkok nesekang, angkih-angkih I Dukuh alon angucap.

"Jani cening buka dadua, da engsap ring anak asih, i macan ya lintang olas, [ 84 ]78

baik, menolong dikala kesulitan, wajar diberi ucapan terimakasih, menolong jiwa, Simetri itu namanya."

45.Keduanya berkata menuruti, harimau permisi pulang, I Mudita suka sekali, Kusumasari diganggu, mengapa tidak ada yang datang, dikisahkan lagi, I Wayan Buyar di jalan.

46. Selamat dapat pulang, pakaian telah robek, luka parah badannya, pengikutnya masih lagi seorang, oleh karena belum ada kodrat, akan mati, jadi dia dapat lepas.

47 Duduk dia berdua, sama-sama merasakan sakit, napasnya tersendat-sendat, terkejut lewat takut, oleh karena hampir mati, dimakan harimau, lagi satu, punggung dapat diterkam.

48.Termenung muka biru, pengikutnya berkata,'"Memang manusia sakti sekali, I Wayan Buyar menjawab, sekarang bagaimana akal kita, supaya mati, I Dukuh dan I Mudita?"

49.Begitu l Kusumasari, supaya dia bisa tidur bersama,

mamulung ri kala lacur, wenang walon antuk sembah, ukang urip, simetri ento adanya.'"

Sang kalih matur ngiringang, i macan mapamit mulih, I Mudita suka girang, Kusumasari kagulgul, duhkita buka sapuang, kocap malih, I Wayan Buyar di jalan.

Lasia maan malipetan, kamben setset pasuranting, babak belur buka awak, tututane nu aukud, apan tong ada janjinya, pacang mati, dadi ya maan maletas.

Manegak ya buka dadua, patuh pada nandang sakit, angkian nyane ngatutag, kesiab-kesiab liwat 1akur, res das mati amah macan, buin abedik, tundune bakat cogroha.

Bengong-bengong muane gadang, tututannyane mamunyi, "Tui jalma wisesa pisan", I Wayan Buya masaut, "Jani kenken ban nyengahang, apang mati, I Dukuh Yadin Mudita?"

Ento I Kusumsari, pang ya sida jangkutin, [ 85 ]79

diajak pulang dipakai istri, pengikutnya menjawab, jalan sekarang dipikirkan, orang sakti, dionglosi supaya dibunuh.

50. Saya sering mendengar berita, Ni Daya Datu sangat sakti, diusir oleh masyarakat sakti Buyar, tempat tinggalnya di Gunung Mumbul, terkenal menjual ilmu hitam, sangat sakti, banyak memiliki murid.

51.Beliau dimintai tolong, janjikan diberi ongkos, kira-kira bisa, oleh karena beliau saktinya terkenal, I Wayan Buyar berkata, cari sekarang, malu pulang kembali.”

52.Pengikutnya mengikuti, lantas terus pergi, siang malam tidak pernah berhenti, supaya pagi-pagi sudah tiba, di Gunung Mumbul tiba, kelihatan angker sekali, pondoknya di puncak.

53.Payak sakit semuanya hilang, sebab senangnya tak henti- hentinya, lantas menuju kepuncak, konon tiba dia di atas, lautnya kelihatan jelas, masih sepi, pondoknya menakutkan perasaan.

54. Lalu menuju ke tengah, tak


ajak mulih anggon somah, Tututanne ninbal matur, "Ngiring ne mangkin buatang, anak sakti, upahin mangda mademang.

Titiang ningah orta lawas, NI Dayu Datu luwih sakti, katundung ban jagat Buyan, malinggih ring hunung Mumbul, kasub ngadep pengleyakan, lintang sidi, akeh madrue sisian.

Ida tunasin tulungin, sanggupin pacang upahin, sinah sampun manyidayang, teh ida saktine kasub, I Wayan Buyar mangucap, "Jalan jani, elak mulih malipetan."

Tututane mangiringang, laut manerus mamargi, lemah peteng sing rerenan, pasemengan teked ditu, digunung Mumbul manapok, kanten lewih, padukuhane ring pucak.

Kenyel sakit dadi ilang, baan egare tan sipi, laut "menekan ka pucak, kecap teked ya di duur, pasoh tui kanten tinggar, lintang sepi, padukuhun ngresin manah,

Raris ngojog ya mulihan, [ 86 ]80

disangka oleh dua orang, ada rumah cacanggahan, tet api perhiasannya beraneka ragam, di atasnya sutra merah, klambu, tipis, dikelilingi sutra menyala.

55.I Wayan Buyar memperhatikan, kelihatan Ni Dayu duduk, disertakan oleh murid muridnya, wajahnya cantik-cantik, seragam bergiwang, emas, baju kuning, dikelilingi bunga- bungaan.

56.Kain songket corak bunga, parasnya berseri-seri tak henti-hentinya, percaya dengan diri sendiri, kepandaiannya tidak ada tandingannya, anugrah dari leluhur, Dayu sakti, guru seluruh ilmu hitam.

57.I Wayan Buyar mendekati, dilantai bersila duduk, Dayu Datu melihat, lalu berkata pelan, "Ih kamu, siapa itu duduk, datang kemari, orang laki-laki berdua?"

58.Muridnya turun mendekati, yang ditunjuk berdua, namanya Klinyar Klinyur, mendekati berkata alus, "Ya kamu orang laki-laki, dari mana, baru kali ini datang berdua?"

tan maron tuah sareng kalih, kanten bale cacanggahan, nanging mabusana murub, malaluur sutra basah, langse samir, mider-ider sutra endah.

I Wayan Buyar medasang, kanten Ni Dayu malinggih, katangkilin antuk sisia, rupannyane ayu-ayu, papatuhan masubeng mas, baju kuning, gagulung makekembangan.

Kamben songket kakembangan, sebenge tama tan sipi, apan andel kapin awak, wisesa tuara da manduk, pican ida sasuhunan, Dayu sakti, siwan leyake makejang.

I Wayan Buyar nesekang, di natar nyempal malinggih, Ni Dayu Datu manyingak, raris mangandika alus, "Ih nyai, nyen ento manegak, teka mai, anak muani padaduanan?"

Sisiane tuun manyagjag. kang inandel sareng kalih, I Klinyar Klinyur adannya, manesek menyapa alus, "Inggih jero anak lanang, saking napi, tembe rauh makalihan?" [ 87 ]81

59.Wayan Buyar menjawab, "Saya ingin menghadap, kepada beliau paduka saya, I Klinyar menjawab, kalau begitu mari ke atas, kamu menghadap dengan beliau paduka saya?"

60.I Wayan Buyar ke atas, minta maaf bedua, I Daya datu melihat, badannya luka-luka, lalu beliau berkata, "Siapa anda, menahan luka berdua?"

61.Wayan Buyar berkata menyembah, "Saya dari karang Buncing, anak I Gede Kadampal, kayanya sudah terkenal, saya bernama Wayan Buyar, oleh karena, saya dapat bahaya.

62.Saya ingin mengambil istri, yang merupakan kesenangan hati, jadi ayahnya membela, Dukuh Siladri namanya, sakti bisa menjadi harimau, mengikuti dari belakang, menghadang dijalan.

63.Istri saya diambil, lagi saya hampir meninggal, itulah karena saya, datang mintak tolong, supaya dibantu mematikan, keduanya, I Dukuh dan Mudita.

Wayan Buyar nimbal ngucap, Titiang nyadia wantah tangkil, ring ida panembahan titiang, I Klinyar nimbal masaut, "Yan keto mai menekan, jrone tangkil, ring ida panembahan titiang?"

I Wayan Buyar menekan, nunas lugra sareng kalih, I Daya Datu manyingak, awaknyane renyah-renyuh, raris ida mangandika, "Enyen cai, nandang tatu ajak dadua?"

Wayan Buyar matur nyembah, Titiang sakeng Karang Buncing, pianak I Gede Kudampal, sugihnyane kalintang kasub, titiang mawasta Wayan Buyar, krana kanin, titiang pelih kasengkalan.

Titiang pecak mengambil somah, wantah sami demen ati, dados raramannya erang, Dukuh Siladri aranipun, sakti uning dados macan, ngetut buri, nyengkalen titiang di jalan.

Somah titiange kajuang malih titiang dasan mati, punika awinan titiang, rauh watah nunas tulung, mangda sweca manademang, sane kalih, I Dukuh wiadin Mudita. [ 88 ]82

64. Saya akan menyampaikan, daksina dua ribu ringgit, I Daya Datu mendengarkan, keinginannya sangat keras, "Ya" kalau ibu berusaha, supaya mati, jadi abu keduanya.

65.Melihat Dukuh Siladri, belum pernah diberitakan sakti, walaupun seluruh pujangganya, ibu tidak merasa takut, ibu sekarang harapkan, pasti mati, I Dukuh dan Mudita.

66.Ke sana silakan kamu pulang, tetapi jangan mengingkari janji, I Wayan Buyar menerima, lalu dia pemisi pulang, tersenyum dikira akan dapat, Kusumasari, dipakai permainan untuk menghilangkan kantuk.

67.Begitu kumat-kamit di jalan, tidak disangka dia tiba di jalan, I Dayu Datu diceritakan, keras keinginan mengutus, Murid-muridku ke sana sekarang berangkat, semuanya tinjau Dukuh Siladri."

68.Kalau saya menjalankan ilmu hitam, apa sebabnya tidak datang, menghadap dengan ibu, sebab ibu memang mengepalai, mengepalai orang-orang yang menguasai ilmu hitam

Titiang nyadia maaturan, daksina duang tali ringgit, I Daya Datu mirenang, kayune li kaintang cumpu, "Yan keto meme nyengahang, sida mati, dadi awu buka dadua.

Mandareng Dukuh Siladri, tuara nden maorta sakti, diastu wikune makejang, tuara meme pacang kemut, meme ne jani cagerang, jati mati, I Dukuh wiadin Mudita.

Kema suba cai budal, nanging eda ngelongmunyi, I Wayan Buyar ngiringang, raris ya mantuk, bingar wireh nakeh bakat, Kusumasari, canden anggen ubad kiap.

Keto ngamikmik di jalan, tan kocapan ya ring margi, I Dayu Datu kocapan, sarat kayune mangutus, "Cening kema jani luas, sareng sami, tetesin Dukuh Siladri."

Ya saja magama leak, apa krana tuara tangkil, nuhun pada kapin biang, reh biang mula ngawengku, ngwasa leake makejang, asing bani, [ 89 ]83

seluruhnya, tidak berani, ke sana kamu menyerang.

69.I Klinyar berkata menyembah, "Sulit jika semua berjalan, saya sendiri ke sana, jika benar menjalankan ilmu hitam, jikalau berani, mendahului saya menghancurkan!"

70.I Dayu Datu membenarkan, jikalau begitu nah kamu berangkat, memang Klinyar diandakan gurunya, keahliannya baru tingkah tujuh, I Klinyar permisi menyembah, terus pergi, di jalan terus melangkah.

71.Oleh karena sakti, seketika menjadi burung, rupanya menakutkan hati, terus terbang di udara, gunung Kawi dituju, diterbangi, dari udara dilihat.

72.Tidak dilihat ada rumah, hanya dapat dilihat hutan dan gunung, terus turun meneliti, ke sana ke mari, diselusuri, tidak ada dilihat rumah, sangat sepi, I Klinyar duduk termangu,

73.Konon sudah pagi. I Klinyar cepat-cepat mengganti rupa, seperti semula sejati rupanya,

kema nyai mangrasakang.

I Klinyar matur manembah, "Remba yan sami mamargi, titiang manewek marika, manyugjugin manahipun, yan jati magama leak, yannya bami, prasangga titiang ngrusakang!"

I Dayu Datu matutang yan keto nah nyai mamargi, mula Klinyar andel biang, wisesa meseh ping pitu, I Klinyur mapamit nyumbah, tur mamargi, di jalan raris manglekas.

Apan jati mawisesa, saksana manadi kedis, kabinawa ngresin manah, laut ngambara makebur, gunung Kawi kaungsiang. kaindangin, saking ambara kaawan.

Tuara kanten ada umah, pragat alas gunung panggih, laut tuun ngwaspadayang, mailehan kasalupsup, tuara ada manggih umah, lintang sepi, I Klinyar negak kerangan.

Kocap sampun galang tanah, I Klinyar nglesuang gelis, jati mula tui rupannya, [ 90 ]84

lantas ke sungai mandi, dikisahkan dia I Mudita, dia ke sungai, terkejut melihat orang perempuan.

74.Orang perempuan sendirian, perhiasannya sangat baik, beranting-anting emas, permata, berkain sutra diikat kain songket berbunga- bunga, menyilaukan, perasnya tenang sekali.

75.1 Klinyar di amenoleh, I Mudita dilihat, bagus menarik hati, senyumnya berisi madu, penglihatannya selału menusuk, melukai, menusuk menembus dada

76.1 Klinyar lupa dengan diri, mabuk oleh karena matanya paling, lalu dia mencari guna-guna, bertelanjang mengulangi mandi, serba memperlihatkan muka, Susu padat, keinginannya memperlihatkan Mudita.

77.Mudita tercengang melihatnya, perilaku orang perempuan oleh sebab nakalnya terlalu, sendirian tidak takut, Mudita ingin melihat, ingin pulang, curiga keinginan selalu.

78.I Klinyar melihat,

laut ka tukade manjus Kocapan ya l Mudita, ya ka beji, makesiab manggih wong istria.

Luh bajang tui padidiam payasnyane lintang lewih, masubeng mas macarangcang, mabaju sutra gegulung, kamben songket kakembangan, mangedanin, sebengnyane tama pisan.

I Klinyar ya matolihan, IMudita kakantenin, baguse ngenyudang manah, kemikane membah madu, laliate lintang nyanyap, manatunin, manebek medahang tangkah.

I Klinyar engsap ring awak, punyah ban matane paling, laut ya ngalih dalihan, malalung majumu majus, sarwi mangambahang roma, susu nyangkih, idep ngedanin Mudita.

Mudita bengong ngantenang, s satingkah anake istri, baan tamane kaliwat, padidian tuara ja takut, Mudita bribin ngantenang, midep mutih, sangsaya manahe liwat.

I Klinyar mangantenang, [ 91 ]85

I Mudita meninggalkan pulang, mengambil kain cepat-cepat, tak disangka diikuti, membawa baju tak bersisir, terus memanggil, "Kakak tunggu sebentar saya!"

79. Mudita menoleh menunggu, I Klinyar terus berjalan, tangannya maju mundur, mendekati berkata, "Aduh, kakak menyapa tega sekali, meninggalkan, berlari-lari baru saya datang."

80. I Mudita menjawab, "Kakak bertanya kepada kamu, kamu siapa saya tidak tahu", I Klinyar tersenyum menjawab, saya dari desa Buyan, sebelah utara gunung, nama saya I Klinyar."

81.Saya akan dijodohkan, dicarikan suami, oleh ayah saya, saya memang tidak mau, karena saya pergi ke hutan, datang ke sini, mencari kakak tidak ada lain.

82. Saya tidak tahu panjang, sekali berkata dengan kakak, saya memang terbuka, pokoknya supaya kakak mau, memungut saya memakai istri, saya mau, membantu kakak siang malam.

83. Mudita sesak mendengarkan, menunduk tidak bicara,

I Mudita ninggal mulih, nyemak kamben mangenggalang, tan jangka laut manutug, nadtad bau magambahan, tur nganukin, "Beli, jantos jebos titiang!"

Mudita nolih ngantosang, I Klinyar ngraris mamargi, tayungane magamparan, manesek mamunyi, "aduh, beli nguda bedri pisan, manengilin, melapu-lapu yang teka. "

I Mudita nimbal ngucap, "Beli tandruh kapin nyai, nyai nyen tuara tawang" I Klinyar kenyem masatut, "Titiang saking jagat Buyan, baler bukit, wasten titiang I Klinyar"

Titiang pacang kabrusukang, karerehang anak muani, antuk dane bapan titiang, titiang wantah tuara cumpu, krana titiang raris ngulas, rauh mriki, ngrereh beli tuara lenan.

Titiang tuara uning parnjang, wiakti matur ring beli, titiang wantah bablakasan, cendek mangda beli kayun, nuduk titiang nganggan somah, titiang ngiring, ngayahin .beli peteng lemah,

Mudita enek ningehang, nguntuk tuara pesu munyi, [ 92 ]86

I Klinyar tertarik melihat, melihat Mudita menunduk, apa yang dilaksanakan baik, membuat paling, I Klinyar merangkul memegang.

84. Konon Ni Kusumasari, akan ke sungai mandi, jadi dilihat I Mudita, dipeluk oleh orang perempuan, Kusumasari melihat, sangat merah-padam gemetar.

85. Mengambil kayu lantas mendekati, tak diduga memukuli, I Mudita dia dipukuli, diterkam lagi disepak, dituding lantas dicacimaki, laki-laki nakal, gatal seperti ulat tanah.

86. I Mudita perlahan-lahan berkata, "Kakak memang benar prilakunya salah, hati kakak suci, tidak gatal tidak nakal, orang itu memang nakal, tiba-tiba memegang, memang kakak mengakui kesalahan?"

87. Kusumasari mendengar, I Klinyar dia ditanyakan, "Ih kamu orang dari mana?, beranting-anting emas cantik sekali, tingkah laku seperti babi betina, coba-coba ke mari, genit ingin bersetubuh."

88. I Klinyar dia malu dan marah, menjawab lantas menuding, "Jangan seenaknya berkata, jikalau kamu tidak tahu, saya bernama I Klinyar, yang sakti, murid Dayu Datu sebenarnya.

I KLinyar enyud maliat, ngantenang Mudita nguntuk, asing solahanga melah, ngawe paling, I Kliyar gelut ngisiang.

Kocap Ni Kusumasari, pacang kayehan mabresih, dadi panggih I Mudita, kagelut ban anak eluh, Kusumasari ngantenang, lintang brangti, barak bing magejeran.

Ngambil kayu laut nyagjag, tan jangka teka manigtig, I Mudita ya kacakcak, kaerogem buin katanjung, katuding laut kabatbat, "Sundel muani, gatel tulya uled tanah.

I Mudita alon ngucap, "Beli saja tingkahe pelih, manah beline normala, uara gatel tuara rusuh, anake ento tui galak, jag mangisi, nyandang beli tuah salahang?"

Kusumasari ningehang, I Klinyar ya katakonin, Ih nyai luh uli dija?, masu beng mas jegeg alus, solah tulya bangkung buang, ngendon mai, genit nagih malumbahan."

I Klinyar ya elak jengah, masaut laut manuding, "Depang jangkayang mapeta, yaning nyai tuara tau, kai madan I Klinyar, nene sakti, sisian Dayu Datu tuinnya. [ 93 ]87

89. Karena ke sini aku datang, akan membunuh kamu, ada keinginan hidup, supaya kamu masih hidup, iki kaki aku disembah, dan jilatlah dipakai kamu mengganti jiwa!"

90. Kusumasari menjawab, "I Klinyarkah nama kamu, salah tingkah memang saya, leak gadis ke sini datang, apalagi berkeinginan membunuh, akan saya, leak nista tidak mungkin mampu.

91. Saya mengatakan kamu, karena nista dikatakan guru, enam sejati hitungannya, tidak wajar akan merusak, satu senang, senang mabuk, dua senang mamitra.

92. Tiga tidak bakti dengan leluhur, empat punya karena mencuri, lima bohong dengan kata-kata, ke enam belajar ilmu hitam, itu mestinya nista sekali, patut dihindarkan, tidak benar dia dituruti.

93. Kamu menuruti ilmu hitam, nanti menemukan neraka sekali, di neraka seribu tahun." I Klinyar ganti berkata, "Di mana dapat cerita, yang bukan-bukan, suka neraka di kemudian hari."

94. Kamu bodoh saya menasehati, suka neraka sudah di sini, jikalau kaya perak uang, lagi banyak memakai serba mewah, banyak senang dan lagi berwibawa, seperti saya, ini namanya menemukan sorga.

Krana mai kai teka, nyadia ngamatiang nyai, ada idep nunas jiwa?, apang nyat enu idup, ne batis kaine sumbah, tur silapin, anggon nyai nebus jiwa!"

Kusumasari nimbal ngucap, "I Klinyar ke adan nyai, salah takeh saja icang leak bajang mai rauh, paling mabudi ngamatiang, buka kai, leak nista joh yidayang

Kai mangorahin iba, krana nista linging aji, nemnem jati wilangannya, tuara patut pacang gaduh, besik maguunin punyah, dadua buin, demen ngulurin mamita.

Telu tan baki ring kawitan, papat payu ban mamaling, lima bogbog kapin ujar, kanem manesti maneluh, ento kraman nista pesan, tui impasin, tuara nyandanng ya gaduhang.

Nyai ngaduhang ngaleak, wekas manggih nraka lewih, dikawahe siu tiban, I Klinyar nimbal masaut, "Dija maan katuturan, tani kangin?, suka nraka tuara wekas."

Nyai tambet kai natutang, suka nraka suba dini, yaning sugih slaka jinah, buin motah nganggo luung, liu demen tur buin wisesa, buka kai,

ene madan manggih suarga. [ 94 ]

88


95. Kalau begini seperti kamu, kenyang

oleh ketela setiap hari, tidak pernah

memakai mewah, bertetangga

dengan monyet, di hutan tidak tahu

terang, neraka setiap hari

menemukan sengsara itu

namanya.


96. I Miduta menjawab, "Kamu Klinyar

sangat sakti, pandai mencari orang

laki, mewah menimbulkan bingung,

bingung paling muka merah, rusak

hati, tidak tahu malu seperti

binatang.


97. I Klinyar marah mendengarkan,

berpaling muka lantas berkonsentrasi,

menyatukan tri pramana, ang di

kening tempatnya, ah di kepala

ditaruh, disatukan, merapat semua

kesembilan lubang pada dirinya.


98. Satu rasanya pikiran, di akhir rahasia

satu, meletus di ubun-ubun,

menyalalah api besar, berubah wujud

sangat besar, menjadi babi, menganga

lidahnya menjulur.


99. I Mudita menyaksikan, takut gemetar

dia lari, Kusumasari berkata, mengapa

lari tunggang-langgang?", I Mudita

gemetar berkata, "Mati kakak", disergap babi sangat besar.


100. Pulang adik cepat-cepat, Kusumasari

menjawab, "Kakak jadi manusia

pengecut, saya disuruh kakak

mengikuti, nah ke sana pulang



Yaning kene buka iba, betek ban

kasela sai, tuara nawang nganggo

bungah, mapisaga teken lutung,

mangebet tong nawang galang,

nraka sai, manggih kawah to

adanya.


I Mudita nimbal ngucap, "Nyai

Klinyar liwat ririK ririh ngruruh

anak lanang, bungah wetu bingah-

binguh, inguh paling muane barak,

berek ati pengah ngetuh tulya

ubuan."


I Klinyar brangti ningehang,

mangambres laut manusti,

manunggalang tri pramana, ang ring

siwadwara munggah, ah ring nabi

kalinggayang, pada sandi, mepet

sami duara sangga.


Tunggal rasaning adnyana, ring

windu rahasia besik, makeplug ring

sidwara, metu dadi geni murub,

maya rupa kabinawa, dadi bawi,

manyebak meled lidahnya.


I Mudita mangatonang, jejeh ngetor

ya malaiby Kusumasari mangucap,

"Nguda malaib mangarudug?",

I Mudita ngruguh ngucap, "Mati beli",

caplok celeng kabinawa.


Mulih adi enggal-enggal, Kusumasari

nyautin "Beli dadi jadma loyang,

titiang tunden beli niru, nglidang

urip, petinin ragane [ 95 ]

89


sendirian, menyembunyikan

nyawa, petikan dirimu

di rumah."


101. Walaupun kakak tinggal di rumah,

jikalau sudah nasib meninggal, tidak

mungkin masih bernyawa, kalau

sudah Tuhan menghendaki,

walaupun dia di sini melawan,

bertanding, jikalau belum

gantinya mati.


102. Tidak mungkin dikalahkan, begitu

sebenarnya kakak, jalanlah di sini

ditunggu, I Mudita dia menurut,

babinya datang mendekati, matanya

menyala, menjulur lidahnya

panjang sekali.


103. Kusumasari berkata, kamu Klinyar

benar sakti, memang mengharapkan

diri neraka, jadi manusia sudah baik,

mengapa senang jadi binatang,

makan kotoran, makan bangkai

yang busuk.


104. Nah sekarang aku melebur, kamu sakti

ini hadapi, Kusumasari memusatkan

pikiran, mempergunakan suara

genta yang merdu, lima api disatukan,

sangat sakti,

gentanya dilemparkan.


105. Muncul api bersinar terang,

tertelungkup babi siluman, menjelma

kembali menjadi Klinyar, lalu lari

tunggang-langgang, sudah jauh di

sana lagi marah dan konsentrasi.


jumah."


Yadin beli ngoyong jumah, yaning

suba ganti mati, joh para nu

maangkian, sara Ida Sanghyang

Tuduh, yadin ngoyong dini lawan,

tui tandingin, yaning tonden

ganti pejah.


Joh para kabecundang, keto

sujatinnya beli, jalan ke dini

antosang, I Mudita ya manurut,

celenge teka manyagjag, mata

ngendih, nyelep layahnya

dumilah.


Kusumasari mangucap, "Nyai Klinyar

saja sakti, tuah ngisasayang awak

n'raka, dadi jadma suba luung,

ngudiang demen dadi ubuan,

ngamah tai, ngamah bangke ne

malekag.


Nah jani kai manyupat, nyai sakti

ne tanggapin, Kusumasari ngrana

sika, masarana gantene nyanggluh,

pancageni karegepang,

lintang sidi,

gantennyane katimpugang.


Metu geni makalangan, manglakup i

celeng desti, punah buin dadi I

Klinyar, laut malaib mangrudug,

suba joh ditu buin jengah, tur

mamusti, ngalekas masuku [ 96 ]90


berubah ujud berkaki satu.


106.Menjadi bulan bersinar terang, berawa sangat sakti, Kusumasari mengetahui, candu sakti yang dia pergunakan, di mata ditempatkan, yang disatukan pembakaran seluruh yang jahat.

107. Bulannya dipandang dengan-mata, dengan I Candu sakti, candra berawa dikalahkan, panas membara seperti dibakar, lari jadi Klinyar, berubah lagi, I Klinyar berubah wujud secepatnya.


108. Brahma Semeru digunakan, keluar api setiap persendian, menyala sampai ke angkasa, I Mudita dia terkejut, melihat api berkobar-kobar, sampai ke langit, Mudita berteriak-teriak berkata.

109."Adik leak yang hebat datang, nyalanya sampai ke langit", Kusumasari menjawab, "Diam selalu kamu bodoh, supaya jangan saya goyah, ribut kakak, saya ingin berperang.”

110.Mudita diam duduk, siap-siaplah Ni Kusumasari, bersimpuh berkonsentrasi, tiga pikiran disatukan, marah Sanghyang Ongkara, sumber sakti, belah muncullah satu.

111 Sanghyang Rimrim ida keluar, sangat terang sinarnya, memurka


tunggal

Dadi bukan makalangan, candra berawa luwih sakti, Kusumasari ngantenang, cadu sakti ya rinangsuk, maring tingal kalinggayang, lintang sandi, pangesengan sarwa durga.

Bulane katebek ban tingal, dumilah i cadu sakti, candra berawa kasoran, kebus ngarab buka tunu, malaib dadi I klinyar, erang malih, I Klinyar nglekas nyaratang.

Brahma Sumeru karehang, metu geni bilang sendi, dilah nganteg ring akasa, I Mudita ya tengkejut, ngantenang geni mangarab, nganteg ka langit, Mudit gelu mangucap.

"Adi desti lewih teka, endihnya nganteg ka langit." Kusumasari nimbal ngucap, "mendep kuda awak denguh, apang eda titiang obah, uyut beli titiang idep matandingan."

Mudita ngesti manegak, yatna Ni Kusumasari, matimpuh mangranasika, tiga adnyanane pinupul, amurti Sanghyang Ongkara, windu sakti, belah ro ta ya tunggal.

Sanghyang Rimrim ida medal, dumilah tejane lewih, amurti saha senjata, [ 97 ]91

membawa senjata, bajra dupa danda suduk, pasah tunggal dan cakra, trisula jati, menyala besar berkobar-kobar.

112.Tidak memperhitungkan lalu memukul, cakra berkeinginan menyakiti, Brahma sumeru dikalahkan, lari terus dikejar, tidak berani kembali, sangat takut, menangis menjadi l Klinyar.

113. Menyembah minta pengampunan jiwa, oleh karena keras kesakitan, oleh kesaktian Hyang Suksma, ilmu hitamnya jadi punah, menyebabkan sakit dirasakan, ke mati-mati, kena sepak terjang.

114.I Klinyar terisak-isak, tidak bisa berpindah, Kusumasari melihat, mendekati berkata halus, "Klinyar kenapa terisak-isak, dan menangis, memang sejati leak salah."

115.I Klinyar menangis berkata, maaf saya sekarang, jangan keras memarahi, memang saya manusia jahat, berhenti menyakiti saya, saya tahu, berani dengan budi darma.

116.Tarik hukumannya dengan saya, bila masih saya bernyawa, saya mau membantu, bersedia membantu seumur, Kusumasari berkata, "Jikalau kamu," sudah merasakan kesulitan.

bajra dupa danda suduk, pasah tunggal miwah cakra, trisula luwih, endih murub ngarab-arab.

Tan jangka raris manyakcak, nyakra manah manyakitin, Brahmasumeru kasoran, malaib terus kakepung, tuara bani malipetan, lintang wedi, mangeling dadi I Klinyar.

Nyumbah-nyumbah munas jiwa, baan rahat kasakitin, antuk Hyang Suksma adnyana, pangleakan dadi tampu, wetu sakit katahanang, mati tan mati, kena pangelih-elihan.

I Klinyar mapulisahan, tuara ja dadi makisid, Kusumasari ngantenang, nesekin mamunyi alus, "Klinyar nguda maplisahan, tur mangeling, saking jati leak papa"

I Klinyar ngeling mangucap, "Ampura titiang ne mangkin, sampun banget manukayang, ring titiang i jadma letuh, usan mamidanda titiang, titiang uning, prasangga ring budi darma.

Jabud dandane ring ririang, yan sadia titiang maurip, titiang mangiring mamanjak, nyadia mangayah samumur, Kusumasari mangucap, "Yaning nyai", suba ngrasa kasakitan. [ 98 ]92

117.Saya tidak membunuh, perbuatan kamu berani, oleh karena prilaku jadi manusia, patut perbuatan yang ditemukan, memang bibitnya di hati, ada ditemukan, suka-dukanya dirasakan.

I18.Karena perasaan ingin memerangi, perasaan dipakai mengembalikan, maka dalam perasaan perangi, jikalau perasaan benar-benar baik, dirasakan lawan dengan perasaan, supaya sedikit, sakitnya akan dirasakan.

119.Memang benar seperti perumpamaan, jika tidak ingin supaya sakit, sakit diperbuat oleh diri sendiri, dirinya memerlukan tenaga, bertenaga oleh makanan, menimbulkan sakit menyakiti diri sendiri.

120.Terbuka lebar mulutnya makan, enam rasa dirasakan, jika rasanya terlalu pedas, cabainya sangat banyak, cabainya diambil kurangi, hingga menjadi, kepedesan bibir bisa dikurangi.

121.I Klinyar mengerti mendengarkan, lalu perlahan-lahan berkata, silahkan obati saya, sakitnya sangat keras, sulit saya merasakannya, sangat keras, sakitnya menusuk di dalam tulang.

lcang tuara mangletehang, satingkah nyane bani, reh tingkahing dadi jadma, patut lampahe tuah tepuk, mula bibitnya di manah, ada panggih, suka-dukane tahanang.

Krana manahe tuah lawan, manahe anggon malikin, sangkan ring manah siatan, yan manahe jadi dudu, krasang lawan baan manah, apang gigis, sakite pacang tahanang

Tui saja buka sinonggan, tan sida tuara sakit, sakit pakardin i awak, awake managih bayu, mabayu baan mamaan, mangwisianin, jampi manyakitin i awak.

Uwag bungute mangamah, sadrasane karasanin, yan rasannyane bas lalah, tabiatnyane jati liu, tabiane jemak bedikang, krana dadi, siu tanne tui gigisan.

I Klinyar resep ningehang, laut ya alus mamunyi, "Durusang tambanin titiang, panyakite rahat jubud, meweh titiang matahanan, lintang lewih, sakite ngurek ring jajah. [ 99 ]93

122.Kusumasari mengobati, dan menyatukan yoga, I Klinyar dia tidak berani, menyembah dan bersimpuh, Kusumasari berkata, "Klinyar sekarang", berhentilah melaksanakan leak.

PUH GINANTI

1.Kakak merasa kasihan sekali, tetapi dengan budi, oleh karena tidak mempunyai apa, tidak, bisa membekali, hanya kesetiaan yang dipelajari, dipakai menenangkan hati.

2.Kewajiban manusia hidup, tiga pelaksanaan dipelajari, berkata sopan santun, lagi kelakuan alim bijaksana, berpikirlah yang baik, itu dipelajari menjadi manusia.

3. Lagi pula enam kekuatan yang dimusuhi, musuh kita sebenarnya, itu sebabnya dikendalikan di perasaan, enam musuh dikendalikan, pertama keinginan namanya, dua marah yang sujati.

4.Tiga angkara murka temannya, empat sombong bersamanya, lima iri hati konon, enam hawa nafsu dituruti, disebutkan keinginan konon, senang mencium senang melihat.

5.Senang mendengar ada menyanjung, disebutkan marahnya lagi, kalau marah keterlaluan, dikatakan angkara murka

Kusumasari manawar, Saha prayogane sandi, I Klinyar ya paripurna, manyumbah natia matimpuh, Kusumasari mangucaqp, "Klinyar jani", suud jua magama leak.

PUH GINANTI

Embak saking tresna nmufus, sakewala baan budi, dening tuara ngelah apa, tong nyidayang mamekelin, pragat tresna ban pítungan, anggon paingor ring ati.

Kramaning jadma tumuwuh, terikayane ulati, alus mamunyi palapan, buina iingkah alep bakti, darma patute mamanah, nto prihang dadi jadmna.

Buin sadripune tui musuh, musuh i dewek makardi, krana cerangin di manah, nemnem satrune perangin, abesik kama adannya, dadua kroda ya sujati.

Telu loba timpalipun, patpat mobab manyarengin, lalima matsarya kocap, nemnem ingsaka nulurin, pidartan kamane kocap, demen nian teleb mabalih.

Demen ningeh ada ngajum, pidartan krodane buin, jag pedih mangamang-ngamang, kaucap lobane [ 100 ]94

lagi, senang dengan milik orang lain tidak akan mempertimbangkan.

6. Konon sangat bodoh tidak menurut, iri hati diceritakan lagi, iri hati dengan orang sengsara, lagi dibersihkan menemukan kebaikan sejati, jika dinyatakan dengan sastra, prilaku membunuh-bunuh.

7. Melaksanakan menuba dan meracun, tidak memperhitungkan benar salah, enam musuh begitu tatwanya, tidak wajar dipelajari, konon musuh orang lahir, tetapi dirinya seperti.

8.Pada dirinya katanya keluar, memang ke dalam diri pulangnya lagi, selamat pula keluarnya, pulang selamat kembali, jika rusak keluarnya konon, kembali rusak ditemukan.

9.Kewajiban manusia perempuan, masih gadis seperti kamu, seperti seorang pedagang, kehalusan sutra menarik, tak kurang orang menawar, seenaknya keinginan menjual.

10.Lebih baik tinggikan harganya dahulu, diwaspadai yang membeli, terutama yang akan membeli, walaupun orang kaya, jangan dahulu melepaskan, memperbandingkan diri hati-hati.

buin, demen teken gelah timpal tuara pacang manimbangin,

Kocap moha belog pengkung, matsarya tuturang buin, babeki ring anak lara, buin isrik manggih darma luwih, yan di sakalinging sastra, tingkahe mamati-mati.

Mangrancab nuba mangracun, tuara ngitung beneh pelih, sadripu keto tatwannya, tuara patut tui gugonin, kocap musuh sang numadia, nanging deweknya makardi.

Ring awak munyine pesu, tuah ka awak tuinnya mulih, rahayu reke pesunnya, ulih rahau mabalik, yan jele pesunnya kocap, matulak jele tepukin.

Kramaning numadi ebuh, enu bajang buka nyai, waluya mawak dagangan, laluwes sutra ngedanin, tan kurang anak manawah, kanggo kitane ngadepin.

Melahang maelang malu, waspada nene mameli, buat ne pacang manganggoang, wiadin anak suka sugih, eda nden pacang nyoplosang, nandingang awak apikin. [ 101 ]95 11.Jangan asal banyak arta, walaupun akan mewah setiap hari, walaupun pantas tidak teman, jangan cepat-cepat menerima, punggungnya masih disayangi, supaya tidak banyak yang mengukir.

12. Mungpung gadis sedang laku, seperti kain sutra bagus, jikalau tidak disayang, terus-terusan dipakai berhias setiap hari, kusut robek banyak jahitan, ditambah benang murah harga.

13.Angkara murka pikiran jika dituruti, berkeinginan mewah cantik setiap hari, oleh karena sudah kebiasaan, angkara murka sudah terlanjur dituruti.

14.Kenyang perutnya sama saja, makan nasi daging babi guling, dengan nasi daging teri, nikmatnya jati tunggal, jikalau sudah lapar, tidak disentuh enak rasanya.

15.Kewajiban menjadi perempuan, berani kepada laki-laki, oleh karena wajar mengalah, dengan tingkah laku orang laki-laki, dikatakan empat tingkatan manusia bila tingkat Brahmana jati.

16.Patut beristri empat, Sang Kesatria beristri tiga, dan Wesia beristri dua, Sudra satu sama

Eda ngulah brana liu, wiadin pacang motah sai, wiadin pantes tuara timpal, eda laju tui nyagjagin, tundune masih sayangang, apang da liu mangukir.

Mengpeng bajang sedeng laku, tulya kamben sutra lewih, yan suba tuara sayangang, tekeh anggon meseh sai, lecek uwek liu jaitan, munjuk benang tuna aji.

Momon idupe yan tuut, nagih motah bungah sai, tuara nawang betek basang, yan tuna ya dadi brangti, wireh kadung cacungklingan, momone kadung ulurin.

Betek basange tui patuh, naar nasi mabe guling, ring nasi mabe gerang, jaennyane jati nunggil, yaning suba saja layah, sing entug jaen rasanin.

Kramaning numadi eluh, eda maden anak muani, reh patut wantah esoran, ring tingkahing anak muani, kaucap sang catur jadma, yan wangsa Brahmana jati.

Patut tuah marabi catur, Sang Ksatria marabi tri yan wesia marabi dadua, [ 102 ]96

sederajat, oleh karena pembagiannya ditentukan, supaya berani taruhan.

17.Paras jejaka manis di muka, diperhatikan pahit sekali, jika belum mampu menguasainya, menyusul rajin membantu, segala perintah tidak menolak, membisu jika akan memarahi.

18.Kelihatan lugu dia menunduk, diam- diam dikira baik, jangan dulu percaya sekali, bagi-bagi satu-persatu, supaya jangan tertipu, dari rupa prilaku diketahui.

19.Jikalau sudah merasa diketahui, sudah cocok mendapat tandingan, di sana baru selanjutnya di lepas, seandainya mati, jangan takut, memang kodrat lahir, suka-duka memang ditemukan.

20.Prilaku baik nomer satu, jabatan baik nomer dua, kaya arta nomer tiga, nomer empat wajah tampan, jadi manusia itu dicari, didasari dengan keinginan suci.

21.Didasari oleh sastra dahulu, karena sastranya konon baik, baik digambarkan oleh prilaku, melahirkan baik-buruk, karena ada tiga penguasa dari ketentuan belajar.


sudra tunggal pada tanding, krana nandingang pastiang, apang cumpu tui ngetohin.

Semun ruma manis mah, talektek pait makilit, yan dunung sida kwasannya, manyulsul anteng ngayahin, saprentah tuara tulak, mamongol yan pacang medin.

Mirib polos ya manguntuk, liep-liep mirib bakti, eda nden mangugu pisan, tanding-tanding saka besik, apang damanian kacluag, wangsa goba solah daging.

Yaning suba rasa cumpu, suba saih maan tanding ditu jua lautang lebang, prade lacur eda jerih, mula titahe numadia, suka-duka jua tepukin.

Tingkah ayu nomer satu, wangsa lewih nomer kalih, sugih brana nomer tiga, nomer empat goba becik, dadi jadma to buatang, dasarin ban idep yukti.

Pantangin ban sastra malu, reh sastrane kocap lewih, lewih midarta ring tingkah, ale-ayune numadi, krana ada triwesesa, saking ngamanggehang aji [ 103 ]97

22.Tiga penguasa pengertiannya, pertama penguasa ilmu pengetahuan, ke dua penguasa dunia, itu nama tiga penguasa. menggantikan suka-duka.

23.Jadi lstri patut mengerti, prilaku berguru pada laki-laki, itu konon sangat utama, sebagai jalan menemukan kebahagiaan, mampu melebur suami, jika suami menemukan neraka.

24. Konon jika lagi lahir, menjadi Pramiswari baik, dihormati oleh masyarakat, Sang Prabu sangat menakuti, sangat setia dan malu sekali, begitu pahala guru laki-laki

25.Guru laki pengertiannya, begini dikatakan ilmu pengetahuan, tidak menghianati suami, tulus ikhlas, melayani, segala perintah tidak pernah menolak, walaupun disayangi oleh suami.

26.Jangan berkata sembrono, terlalu berani dengan suami, ketika menuju menghadap makanan, jangan sekali mengatasi, dengan bayangan tidak baik, mantapkan membantu.

27.Jika suami sedang tidur, jangan berani melangkahi, jangan lagi bertingkah laku mendua, membohongi suami, teguhkan

Triwesesa tatwanipun, utama mangku sastraji, madia sang amengku jagat, mangku dalang kanistati, ento ngaran triwesesa, mangantinin suka-duki.

Dadi istri patut ginung, tingkahe maguru laki, ento kocap lewih utama, jalaranne manggih suargi, nyidayang manyupat somah, yan somahe manggih nraki.

Kocap yan malih tumuwuh, dadi Pramiswari Haji. kabaktinin antuk jagat, Sang Prabu ngalem nakutin, nadu tresna jerih písan, keto palan guru laki.

Guru laki tatwanipun, kene kojaraning aji, tuara angkara ring somah, astiti bakti ngayahin, satuduh nora manulak, yadin sayangang nak suami.

Eda ngucap pati kacuh, pacang wangla ring nak muani, yan juju ngarepin boga, eda pacang mangungkulin, baan lawat tuara wenang, sekenang patut ayahin.

Yan somahe tui maturu, eda bani manglangkahin, eda buin duapara ulah, manyerahin anak muani, [ 104 ]98

imannya berpikir, purnama tilem menyucikan diri.

28.Lagi di daat kotor, jangan berkata dengan suami, darahnya jangan tertumpah, di jalan-jalan walaupun, begitu pengabdian menjadi istri, kotor dirinya dibersihkan.

29.Nah begitu kamu perempuan, kakak membekali kamu, ke sana pulang dengan baik-baik, I Klinyar mengerti sekali, menimbukan perasaan terang, permisi lalu pulang.

PUH PANGKUR

1.Bengong-bengong dia berjalan, menyesal diri ingat dirinya salah, mengadu yang tidak baik, menghianati menyakiti kawan, mati-mati karena tidak ada setuju, semuanya asem diajak berbicara, tidak ada berani mendekati.

2. Begitulah buat penyesalannya, terlunta-lunta sekarang jalannya puang, tidak lagi kelihatan dengan Dayu, memutuskan perguruannya, terus pulang mencari keluarganya sejati, konon sudah tiba di rumah, orang tua senang di hati.

3. Menanyakan keadaan hilang, "Kamu kemana pergi dari kecil dan datang sudah besar," tak terasa

pageh tilingang mamanah, purnama tilem mabresih.

Buin di kalaning campur, da ngucap ring anak muani, getihe da mabyayagan, ring margi-margine tui, keto yasan dadi istria, letuh awake bersihin.

Nah aketo nyai ehuh, embok mamekelin nyai, kema mulih apang melah, I Klinyar resep miragi, mawetu manahnya galang, mapanit raris ya mulih.

PUH PANGKUR

Bengong-bengong ya majalan, nyesel awak inget ring awake pelih, mangaduang ne tan patut, manesti nyakitin roang, matemati krana tuara ada cumpu, seken ngajak masocapan, tong ada bani maekin.

Aketo buat panyelselnya, murang-murang jani pajalane mulih, tuara buin ngenah ring I Dayu, mamegatin pasiwayan, terus budal ngalih reramannya tuhu, kocap rauh reke jumah, reramannya Suka di ati

Nakonin unduke ilang, "Nyai kija luas cenik teka kelih", tan parawat matra rauh, ÍKiinyar sedih [ 105 ]99

terbayang sedikitpun datang, I Klinyar sedih mengatakan, tingkah lakunya sudah diceritrakan, orang tuanya terharu mendengarkan, lalu merangkul kasihan.

4. Suka duka sungguh ayah, melahirkan anak seperti kamu, sukanya kamu masih hidup, datang ingat dengan orang tua, kalau dukanya kamu belajar ilmu hitam, menjadi murid kepada orang iri hati mesti membuat penyakit.

5.Diumpamakan seperti perumpamaan, apa yang ditanam begitu juga hasilnya memang sulit mencari kebenaran, kamu sekarang sudah tahu, tidak panjang ayah memberikan petuah, I Klinyar menjawab, "ya salah, sekarang saya perbaiki."

6. Tidak dikisahkan sekarang I Klinyar, kira-kira tinggal dirumah tiga hari, I Dayu Duta gelisah, menunggu nunggu I Klinyar, karena lama tidak pernah kelihatan menceritrakan keadaan pergi, bingung I Dayu Datu memikirkan.

7.Lama melamun memikirkan, dikira I Klinyar sudah meninggal, dikalahkan dan dibunuh, mengadu kesaktian dengan I Dukuh, begitu perasaan di dalam hati, menggerutu jadi emosi, menepuk dada menuding.

nuturang, satingkahnya telas kapidarta sampun, reramannya kangen ningehang, raris ngelut mapasihin.

Sadia lacur saja bapa, mangadakang nyantanayang buka nyai, sadiane nyai nu idup, beka inget mererama, yan lacure nyai ngaduhang maneluh, masiwa ring anak corah, manesti ngawe panyakit.

Angganing buka sinonggan, apa pula keto jua kapuponin, anak sengka ngalih patut, nyai jani suba nawang, tuara lantang bapa ngamaang pítutur, I Klinyar nimbal mangucap, "Nggih iwang mangkin obahin. "

Tan kocap jani I Klinyar, sawatara jenek jumah tigang wengi, I Dayu Datu kawuus, mangati-ati I Klinyar, dening suwe tuara ya marawat rauh. ngortayang indike luas, emeng Ni Dayu minehin.

Suwe meneng maminehang, katakehang I Klinyar suba mati, kasoran tui mapagut, nandingang kawisesan, ring I Dukuh, keto papineh ring kayun, gagretan dadi kabangan, mamanteg tangkah manuding. [ 106 ]100

8."Ini kamu semua, nah balasłah kegagalan I Klinyar sekarang, mungkin saja dia sudah mati, sebabnya dia tidak datang, nah balaslah serang dia sekarang I Dukuh, bersama desti semua, supaya bisa hancur semua."

9. Muridnya berkata bersedia, berkata sombong, "Pasti bisa habis semua, seberapa saktinya I Dukuh? sendirian di kerubut, mana mungkin I Dukuh Siladri dapat mengatasi, jikalau kehendak leluhur, pasti para pujangga jerih."

10.Dayu Datu lagi berkata, "Nah nanti malam kalau sudah petang, saya memanggil supaya datang, nesti semua, supaya pergi akan merebut I Dukuh, jikalau tidak mati Dukuh Siladri, lebih baik saya membuang diri."

11.Konon sudah menjelang petang bersiap-siap I Dayu Datu membersihkan badan, cepat-cepat sudah selesai, lalu pergi ke kuburan, walaupun sendirian tidak ada yang diperbolehkan mengikuti, setibanya di kuburan, duduk bersimpuh menyembah.

12.Mengucapkan mantra permulaan, kepada Batara Hyang Nini Gora Berawi, lengkap dengan semadi, lału beliau menyanyikan lagu pujian, memusatkan pikiran, mengendalikan hawa nafsu, menutup sembilan

"Ne nyai ajak makejang, nah jengahang pajalan Klinyare jani, dening ia sinah lacur, kranannya tuara tulak, nah walesang rejek ya jani I Dukuh, ajak sadesti makejang, apang sida gempung basmi!"

Sisiane matur pagirang, masasumbar, "Tanggung sida pacang basmi, pira saktine I Dukauh? manewek kakembulan, edoh para I Dukuh Siladri luput, yan pisarat sasuhunan, yadin wikune tui jerih."

Dayu Datu malih ngucap, "Nah ne nyanan yan su ba manampi wengi, biang ngarad mangda rauh, sadestine makejang, apang luas pacang ngarebut I Dukuh, yan tan mati Dukuh Siladri, suka Biang ngararung diri "

Kocap sampun sandikala, madabdaban l Dayu Datu mabersih, gegelisan sampun puput, raris mamargi ka setra, tui ngaraga tan wenten kalugra tumut, sarawuhe maring setra, malinggih ngaturang bakti.

Manguncarang pangastawan, ring Batari Hyang Nini Gora Berawi, tetep saprayoga sampun, raris ida nyunggar rema, ngranasika mamegeng mamekek bayu, mamepet dwara sanga, [ 107 ]101

lubang, angkara Bayu muncul.

13.Memanggil Durgaberawa, penjelmaan sełuruh teluh desti, sunyi sepi tak lama datang, seluruh roh jahat beramai-ramai saling mendahului dia datang, desti sakti sekali, bisa membunuh.

14. Membunuh ditempat duduk, walaupun bisa patutlah dihindari, lingkaran emas sakti termasyur, Bligo Dawa dia sakti, disertai bendera kuning nyalanya berkobar-kobar, ikut Garuda Kencana, dan Wangsa Candi Api.

15. Brahmakaya menyala. berkobar-kobar, surya srangcang nyalanya menerangi langit, lagi buminya meledak, keluar api menyala, menakutkan hati, I Raksasa Gundul keluar, I Barong sepak menangis, nyalanya panca warna.

16.Duparambat sakti sekali, berliuk-liuk asapnya sampai ke langit, kerasnya seperti bintang kukus, beserta di Beringin Sungsang, beringin besar bersandar lagi kuncup. Kepuh Rangdu dia sakti, memenuhi angkasa.

17.Salambang Geni sakti, tumpang solas nyalanya berkilat-kilat kuning, I Papak Badeng terbang, seperti

angkara bayu minusti. Ngerehang Durgaberawa, pangaradan sawa tek ndeluh andesti, rep sidi tan suwe rauh, sawateking durjana, marantaban saling paliwat ya rauh, destine lewih wisesa, nyidayan mamancut urip.

Ngamatiang ring pategakan, tui nyidayang tuah nyandang pacang jerihin, Suer Emas sakti kasub, Bligo Dawa ya wisesa, kasarengan kober kuning murub, milu Garuda Kancana, muang Wangkas Candi Api.

Brahmakaya ndih dumilah, surya crangcang ndihnya ngalangin langit, malih tanahe makeplug, wetu endih makalangan, ngresin manah I Raksasa Gundul metu I Barong Sepak manyebak, endihnyane manca warni.

Duparambat sakti pisan, maligedan anduse nganteg ka langit, malepuk luir bintang kukus, sareng I Waringin Sungsang, bingin gede tui manyeleg turing lusuh, Kepuh Rangdu ya wisesa, Kereb akasa manyanding.

Salambang Geni wisesa, umpang solad endihnya nguranyab kuning, I Papak Badeng makebur, [ 108 ]102

awan di angkasa, Kebo Kambali pelan-pelan nyalanya biru, matanya seperti surya kembar, gerak matanya keluar api.

18. Lagi I Cempaka Petak, kalewat sakti apinya, menakutkan hati, beha ategal masepuk, datang memenuhi tempat kuburan, menyala-nyala I Pudak sategal datang, sangat menakutkan, memang benar termasyur sakti.

19.1 Weksirsa sakti, babi besar ternganga lidah menjulur keluar api, Misawedana bergemuruh, bertanduk api menyala, mata berkelip-kelip keluar api setiap sudut, I Jaran Guwang sakti, pandai nempergunakan ilmu sihir.

20.Lagi pula I Desti berputar-putar, berdiri tengadah terbang di langit, Jaka Tua nyeleg datang, sampai leak jadi jadian, sama-sama datang ada berupa kera, yang lain leak baru belajar, baru bisa kelap-kelip.

21.Lagi leak mentah baru, seperti ujudnya tidak berobah, datangnya berani takut, oleh karena leak belum masak, karena bersembunyi di bawah pohon yang rimbun, sebab sering kena lemparan oleh karena terlalu berhati hati.

22.I Cambra kurus sakti, berpikiran gampang merasa dengan diri sakti,

Kadi mega ring ambara, Kebo Kambale dehen-dehen ndihnya pelung, mata luir surya kembar, kijapane metu geni.

Malih I Cempaka petak, luih wisesa geninnyane ngeresin ati, beha ategal masepuk, nyarab ngebekin setra, kebiar-kebiar I Pudak sategal rauh, pangerese lewih pisam, mula tuah kasumbung sakti.

I Weksirsa mawisesa, bangkal nyebak layah nyelep metu geni, Misawedana mangrudug, matanduk api dumilah, mata ngranyab metu geni bilang buku, I Jaran Guyang wisesa, sidi masang ají wegig.

Malih i desti ngantawang, yelebongkot nglayak ngindang ring langit, Jaka Tua nyeleg rauh, teked leak pamopokan, pada teka ada ya magoba lutung, len leak mara malajah, mara bisa kenyit-kenyit.

Buin leak matah mara, tui blegeran gobane tuara masalin, tekannyane bani takut, apan tuah leak tenangan, krana ngesil di batan kayune ngrembun, reh pepes kena bungkalan, krana tangare tan sipi.

I Cambra Berag wisesa, midep elah andel ring awak sakti, cicing [ 109 ]103

anjing kotor rupanya, menangis dia mengelak, air liur keluar tak berhenti keluar api, lagi desti paling nista, berkelip-kelip dia datang.

23. Ada berwarna putih ada merah, berwarna kuning seperti kunang-kunang mendatangi, ada api berwarna biru, beraneka ragam rupanya, rupa kambing ada kucing rupanya, ada masih berupa manusia, tetapi mukanya berlainan.

24. Kira-kira tujuh tahun, berkumpul bersama, dari tingkatan terendah, menengah sampai paling atas, I Dayu Datu berkata, kepada raksasa semua, Ini kamu sekalian yang sempat datang, karena saya memanggil, karena dendamnya tak henti-hentinya."

25. Dengan I Dukuh Siladri, liwat berani memulai memusuh sengit, anak saya seorang, I Klinyar namanya, dia dibunuh oleh Dukuh Siladri, nah sekarang itu diusahakan, balaslah, nah diajak bersama-sama.

26. Prilaku sayang berteman, suka-duka memang bersama akan memerangi, hendaknya wajar tolong-menolong, berbuat dengan teman, apalagi seperti sekarang seperguruan,

bengil rupanipun, manyebak ya mangelak, pees ngetel tan pegat genine metu, malih desti nistayan, pakanyitnyit pada prapti.

Ada putih ada barak, mrupa kuning kadi kunang- kunang ngrauhin, ada endih rupa biru, ngendah pelag rupannya, rupa kambing ada emeng rupanipun, ada nu marupa jadma, kewala nuane masalin.

Sawetara pitung laksa, kumpulannya nista madietama sami, I Dayu Datu amuwus, ring destine makejang, "Ne ke ida dane nyai lega rauh, karana biang mangarad, baan jengahe tan sipi."

Tui I Dukuh Siladri, liwat degag nuunin mamusuh sengit, pianak biange aukud, I Kinyar ko adannya, ya kamatiang baan I Siladri Dukuh, ne jani ento jengahang, walesang nah ajak sami.

Tingkah tresna masawitra, suka-duka tuah bareng pacang tandangin. tui patut tulung-katulung, mabuat ring sawitran, apa buin buka kene gama patuh, [ 110 ]104

setiap menemukan diusahakan, memang wajar pertaruhkan nyawa.

27. Destinya semua mendengar, meresapkan memang wajar akan mengusahakan, lantas berkata bersama, bersemangat siap membalasnya, tidak menunggu berganti hari, merusak Dukuh Siladri, secepatnya bisa dibasmi.

28.Lalu permisi pergi, beramai-ramai saling mendahului, I Dayu senang melihat, kata-katanya dihentikan, disimpan sudah selesai lalu pulang tidak diceritakan di rumah," konon desti sudah pergi.

29. Ada memandang dari ambara, berkelip-kelip menyerupai bintang di langit, ada di bawah menuruti jurang, berpura-pura mencari makanan, lagi pula di hutan seperti kunang-kunang berterbangan,

30.sama-sama menuju Gunung Kawi, api memenuhi bumi. Jadi banyak orang, di desa panas merasa takut semua, gelisah tidak bisa tidur, ada tidur di lantai, yang lain mengipas-ngipas ada ibunya lalu mandi, ada lain membikin bedak, satu-persatu gelisah.

31.Tidak diceritrakan lagi tentang orang di desa desti dibilang lagi, mengeliling

asing mangguh kajengahan, patut tuah etohin mati.

Destine sami ningehang, mangresepang patut tuah pacang buatin, laut mamunyi mabruk, sarat nyadia ngawalesang, nyamakuta tuara menganti adauh, mangrusak Dukuh Siladria, asaksana sida basmi.

Raris mapamit majalan, marantaban pada saling langkungin, I Dayu suka andulu, reh-rehane kalesuang, kasimpenang sawusane raris mantuk, tan kocapan maring umah, kocap desti ne mamargi.

Ada neler ring ambara, pakebiar-biar saru ring wintang di langit, ada beten nuut pangkung, sarwi ngalih babaksan, muang ringa alas huir kunang-kunang makebur, pada ngungsi gunung Kawia, endihe ngebekin gumi.

Dadi sakweh nikang wang, ring nagara kebus ngrasa res sami, uyang tong dadi maturu, ada maguyang ring natar, sa len mailih ada mememan tur majus, ada len mangulig odak, maka ukud uyang paling

Tan kocap malih ikang wang, ring nagara destine kaucap malih, [ 111 ]105

asrama I Dukuh, I Dukuh Siladri melihat, merasakan desti membawa bencana datang, lalu memanggil anaknya, "Anakku bangun cepat-cepat!"

32. Kusumasari secepatnya bangun, lalu mendekati I Mudita menyertai, I Dukuh Siladri berkata, "Anakku desti banyak datang, memenuhi hutan gunungnya seperti dibakar, oleh apinya berkelap-kelip, apa sebab sebenarnya."

33.Kusumasari menjawab, "Ya ayah saya mengatakan masalah, kemarin ada perempuan, namanya I Klinyar, datang ke sini mengatakan murid Dayu Datu, dapat berkelahi dengan saya dia terus menesti.

34.Kalah sebenarnya kesaktiannya, dengan diri saya ketika menjunjung Sanghyang Widhi, I Dukuh tersenyum menjawab, "I Klinyar kemana pergi nya?", "Ya ayah dia memang sudah pulang, sekarang mungkin gurunya, dendam membalas ke sini.

35. Memangil seluruhroh jahat, karena banyak destinya datang ke sini, patut ayah menghabisi, menandingi kesaktiannya, percuma dianggap Dukuh, memang kesatria sejati, memang murid Brahmana sakti.

ngiderin pasraman I Dukuh, Dukuh Siladri ngantenang, mangrasayang desti pamancana rauh, raris mangaukin pianak, "Cening bangun gati-gati!"

Kusumasari bangun enggal, tur manyagjag I Mudita manyarengin, I. Dukuh Siladri muwus, "Cening desti liu teka, ngebekin alas gumunge waluya puun, baan endihe makebiar, apa krananya sujati. "

Kusumasari matur nimbal, "Inggih bapa titiang manguningang indik, pecak wenten jadma eluh, wastanipun I Klinyar, rauh mriki ngangken sisian Dayu Datu, polih miyegan ring titiang, ipun tui saged manesti.

Kawon wiakti kasaktriannya, ring dewek titiang nuju miang Sanghyang Widhi, I Dukuh kenyem masaut, I Klinyar kija lakunnya?", "Inggih bapa ipun wantah budal patut, mangkin manawi siwannya, jengah ngawalesang mriki.

Ngatad sawatek durjana, krana akeh destine rauh mriki, nyandang bapa mangkin magut, nandingan kawiadnyanan, edalemang linggih kaucap Dukuh, mula satria utama, tui sisian Brahmana lewih. [ 112 ]106

36.1 Dukuh tersenyum berkata, "Tidak perlu jeruk nipis diberi asam, oleh karena musuh belum datang, akan sombong berkata, ayah bersedia bertanding dengan Dayu Datu, yang terkenal sakti, bersedia ayah bertanding."

37. Kusumasari berkata lagi, "Ya cepatlah sekarang keluarkan, bisa saya dipakai puncak, membela tempat ayah, terlalu bodoh tetapi kesetiaan tulus iklas, sebagai anak dari ayah, mati ayah saya ikut."

38.I Dukuh terharu mendengarkan, berlinanglah air matanya menetes keluar, lalu berkata pelan, "Duh kamu anak ayah, kalau begitu tunggulah ayah sebentar, karena ayah masih memuja, memuja Hyang Pasupati."

39.Untuk menjaga diri, supaya bisa selamat ditemukan, anaknya tidak lagi berkata, I Dukuh lalu membersihkan badan, cepat memuja dan bersemedi, lalu memuja Sanghyang Widhi, tiap hari sembahyang.

40.Kusumasari menunggu lalu duduk, sehabis membersihkan badan memakai selendang sutra putih, dimantrai oleh I Dukuh, lengkap dengan upacara yang benar, astra mantra dan lagi Sri mawantu, melaksanakan sudra sem- bahyang, juga mengatur pernapasan.

41.Pencipta, pemelihara, pelebur, diucapkan lagu-lagu pujaan sakti, berdoa penguasa bumi, reg weda

I Dukuh kenyem mangucap, "Tuara nyandang limone buin asemin, reh tan satru rauh, pacang sumbar mangucap, bapa nyadia mangocek ring Dayu Datu, sane kasub mawisesa, sabudi bapa nandingin."

Kusumasari matur nimbal, "Inggih gelisang ne mangkin ngiring medalin, banggiang titiang anggen papucuk, mamuatin linggih bapa, nanging tambet kewala ban bakti rulus, makawitan maring bapa, seda bapa titiang ngiring."

I Dukuh kangen mirengan, ngembeng-ngembeng yeh tingale membah mijil, raris mangandika alus, "Duh cening jiwatman bapa, yaning keto antiang ke bapa malu, reh bapa kari mamuja, ngarcana Hyang Pasupati. "

Buat ngastawayang awak, mangda sida ne rahayu kapanggih, Pianake tan panjang atur, I Dukuh raris masucian, gelis mamuja tetep saprayoga sampun, tumuli ngarcana Sanghyang, mepes mangaturang bakti.

Kusumasari natia negak, wus mabersih pangid manteg sutra putih, kawedanin baan I Dukuh, tetep sarehing puja, astra mantra tan mari sri mawantu, mustikayang patanganan, siwikrana pranayana tui. Utpati stiti pralina, kauncarang parjaya-jaya luwih, angastawa Prabu wibuh, reg weda jayur weda, [ 113 ]107

jayur weda, ksama weda, atarwa weda, weda semua, surya sutra Mertiyu Jaya, lagi ayu werdi tak dilupakan.

42. Atmaraksa diikut sertakan, sakti sejati pengasuh Hyang Atma sujati, I Dukuh percaya di hati, lalu berkata perlahan, "Sekarang pemberian ayah sudah selesai, nah keluar sendirian, basmi desti semua!"

43. Kusumasari mengikuti, permisi nyembah pikirannya tidak berobah, perwira sendirian keluar, kalihat destinya semua, memang benar banyak menyala-nyala memenuhi gunung. ada terbang di atas dan di hutan kelap-kelip.

44.Kusumasari mendekati, jangan diam di sana berdiri ngenjik, tidak disembunyikan pohon, desti semua melihat, tiada terkira segera semua menyerang, Kusumasari tidak ketakutan, membalas dengan mantra sakti.

45. Tidak berani semua kejahatan, kalewat sakti jadi desti berlari, seperti dipukul dengan batang pohon, tersebar tidak berani kembali, takut sekali pemimpin- pemimpinnya datang, bernafsu mem- balas dendam, memang benar dikatakan sakti.

46.Beterbangan di angkasa, beribu-ribu memenuhi langit, berderetan semua menyerang, Kusumasari bersemadi,

ksana weda atarwa wedane puput, surya sutra mortiu jaya, muang ayu werdi tan mari

Atmaraksa dinuluran, luwih utama pangemit Hyang Atma jari, I Dukuh andel ring kayun, raris ngandika banban, "Jani cening paweh bapa suba puput, nah kema pesu padidian, pagutin destine sami!"

Kusumasari mangiringang, pamit manyumbah idepnya tan obah tui, prawira manewek pesu, kanten makejang, wiakti nyarab pakebiar pakebiar ngebekn gunung, ada ngindang ring ambara, len ring alase pakenyit.

Kusumasari nesekang, ada tegik ditu majujuk mangenjik, tuara katawengan kayu, destine pada ngatonang, tuara jangka pas rangkab sami mangrebut, Kusumasari tan kejehan, ngawales ban mantra Sandi

Tatulak sarwa durjana, lintang sidi dadi destine malaib, tulya kalambet ban kayu, sambeh tong bani matulak, jejeh engeb ratun-ratunnyane rauh, jengah sarat ngawalesang. tui nuah kasumbung sakti.

Pakaburbur ring ambara, malaksa endih ngebekin langit, pasraut pada mangrebut, Kusumasari [ 114 ]108

mengucapkan mantra pamungkas pangkal agung, desti tidak ketakutan sebab terlalu sakti.

47.I Dukuh terkejut melihat, Kusumasari direbut oleh desti sakti, I Dukuh hati-hati menolong, dengan mantra Hyang Dipamala, benar-benar sakti kelihatan Hyang, manyala berkobar- kobar, membakar desti semua, jatuh sudah mati.

48. Menyebabkan menjadi terang, jadi kelihatan mayat manusia jungkil balik, mati tidak terluka, laki perempuan berserakan, hitam legam seperti baru disambar petir, perasaannya takut sekali.

PUH SINOM

1.Kusumasari cepat pulang, menceritra- kan keadaan, I Dukuh mendengarkan dengan baik, jadi curiga di dalam hati, akan bau busuk sekali, asramanya menjadi kotor, I Dukuh cepat keluar, tidak lupa beliau memeriksa, jadi diketemukan, mayat manusia berserakan.

2.I Dukuh lalu bersemadi, mengucapkan mantra sakti, memanggil isi hutan, tidak lama berdatangan, binatang kera dan ular, besar kecil semua datang, I Dukuh pelan berkata, Ya kamu semua, saya ingin,

ngranasika, manguncarang pamungkem panungkul agung, destine tuara kejehan, apan jati luwih sakti.

I Dukuh tangkejut nyingak, Kusumasari kagarang ban desti sakti, I Dukuh yatna manulung, ngregep Hyang Dipamala, tuhu dibia sakala Hyang endih murub, ngeseng destine makejang, pacabugbug telah mati.

Mawastu masriak galang, dadi kanten bangken jadma pajumpling, mati tuara da matatu, kuh-muani mabiyayagan, badeng ingeng tulya sander kilap bahu, Kusumasari ngantenang, jejeh manahe tan sipi.

PUH SINOM

Kusumasari gelis budal, nuturang saindik-indik, I Dukuh terang ningehang, dadi sangsaya dí ati, pacang bengune tan sipi, pasramane mawor letuh, I Dukuh pesu enggal, tan mari dane netesin, dadi pangguh, bangken jadına mabiyayagan.

I Dukuh raris amustia, manguncarang mantra sidi, ngarad sadaginging alas, tan sue pagrudug prapti, buron bojog muang lalipi, agung alit padu rauh, I Dukuh alon ngucap, "Ene iba sareng sami, [ 115 ]109

sekarang minta tolong."

3.Supaya bisa hilang, semua mayat di sini, lagi satu sangat perlu, saya punya musuh sakti, memang benar musuh bumi, bernama I Datu Dayu, dia mengganggu saya, sebab ada seperti sekarang, mayat banyak, memang mayat manusia yang menjadi leak.

4. Ya sekarang kamu membalas, mayatnya dulu kerjakan, I Kera mendengarkan, sama suka di hati. sebab diberikan makanan, ada yang dilempar ke sungai, mayat sudah tak ada lagi.

5.I Dukuh senang melihat, lalu berkata mantap,"Kamu kera dan harimau, I Dayu Datu dicari," harimau dan kera melaksanakan, lalu ia berjalan terus, I Dukuh lalu pulang, I kera, I harimau berjalan, sudah sampai, di Gunung Mumbul naik ke atas.

6.Kira-kira hampir pagi, I Dayu belum bangun, tidak berpakaian, oleh karena payah sekali, jadi semua dilupakan, karena sudah merupakan kodrat, sakti perbuatan jahat, karena kejahatan sudah menghasilkan jadi lengah, percaya dengan diri sakti.

bapa sarat, ne jani ngidih tuiungan."

Apang sida jua makaad, sahanan bangkene dini, buin abesik lintang buat, bapa ngelah musuh sakti, mula tuah musuh gumi, maadan Ni Dayu Datu, ento majadinin bapa, krana ada buka jani, bangke liu, tui bangken jadma ngaleak.

Ne jani iba ngwalesang, bangkene malu kencanin, I buron bojog ningehang, pada ya suka dí ati, wireh kawehan bukti, manyagjag sami mangrudug, bangkene ada kamah, ada kaanyudang malih, asaksana, bangke tong nu magantulan.

I Dukuh suka manyingak, raris mangandika aris, "Iba bojog miwah macan, I Dayu Datu patenin", I Macan bojog ngiring, laut ya majalan nuus, I Dukuh raris budal, i bojog macan mamargi, sampun rauh, ring gunung Mumbul menekang.

Sawatara wantah dauh tiga, I Dayu tuara matangi, tuara ngrangsukang busana, wireh lesune tan sipi, dadi makejang lalinin, apan suba titah tuduh, wisesa gawene sasar, krana jelene puponin. [ 116 ]110

7. I Harimau masuk ke dalam rumah, I kera mengikuti, berhati-hati akan diketahui, sebab I Dayu sangat sakti, karena lengahnya dicari, beruntung dijumpai sedang tidur, I Harimau senang melihat dengan ekor ke atas, lalu lari cepat, I Dayu Datu diterkam.

8.Dijinjing tinggi-tinggi, dibawa lari, merobek-robek terkoyak-koyak, atma Dayu Datu hilang, selesai sudah menemui ajal, I kera diceritrakan lagi, bersuara senyum dengan tiba-tiba, ditemukan ikan terbungkus senang dia mengambil mencicipi, seperti semut, makan dengan lahapnya.

9.Sudah kenyang dia makan, turun ke dapurnya, lalu mengambil sisa api, atap rumah dimasuki, ketika angin kencang, apinya cepat menyala, I kera lari cepat-cepat, dari jauh dia menonton, meledak-ledak, api sangat besar sekali.

10. Sudah mampu habis semua, I kera kembali pulang, dijumpai I harimau di jalan, ialu dia berjalan bersama, ke asrama kembali, tidak lama sudah sampai, I Dukuh selesai memantra, dan I harimau mengatakan, bisa dengan tanda isyarat.

11.I Dukuh sangat pandai, dengan tanda isyarat penjelasan berdua, pasti sudah bisa membunuh, I Dukuh

Macan masuk mulian, i bojog ya manututin, ta pacang katangehan, reh I Dayu lintang sakti, kruna lengene kaalih, sadia manggih sedek maturu, i macan lega ngantenang, mangekeh ikutnya ngitir, laut nrajang, I Dayu Datu kasarap.

Kapanjer kapalaibang, kabesbes kapurat parit, urip I Dayune ilang, puput sampun mangemasin, i bojog kocap malih, magagurah cengang-cengur, kapanggih be buntilan, lega ya nyemak nyicipin, tui mayamut, ciplakanne malegaran.

Suba betek ya mangamah, macebur ka paon gati, laut manyemak alutan, raab umahe kecelepin, manuju angin tarik, apine enggal makebyur, i bojog malaib enggal, uli joh ta mabalih, pakaplugplug, apine gede dumilah.

Sampun sida telas basmia, i bojog matulak mulih, tepuk i macan di jalan, laut ya bareng mamargi, ka pasraman mawali, gagelisan sampun rauh, I Dukuh wus mamuja, kacingak i bojog prapti, muang 1 macan, matur ban wangsit nyidayang.

Dukuh kalintang wikan, ring wangsit ature kalih, sinah sampun sida karya, I Dukuh suka ring ati, labane sampun [ 117 ]111

senang di hati, angkara murka sudah mati, diupacarai sesajen caru, diisi nasi wong-wongan, nanging isi perut mentah sejati, daun ujung pisang, sambelnya tumbar pilihan.

12.Nasi lamak tujuh lamak, sesegehan tujuh tanding, lengkap engan sesajen canang, arak berem tersedia lagi, Kusumasari menghaturkan, disertai dupa sudah selesai, harimau senang di hati, I kera mendekati mendahului, lagi berebutan, makan caru, labaan.

13.Sudah selesai menyaksikan, I harimau kera permisi, tidak diceritrakan sampai di hutan, I Dukuh diceritrakan lagi, merasakan hari baik, bulan kelima bertemu, hari baik melakukan perkawinan, kebaikannya pada bakti, orang bertemu, erat setia berkeluarga.

14.Harinya disebutkan, Rebo Umanis sangat baik, seluruh suka pengertian nya, ukunya dukut pasti, tanggal ke tiga temui, sudah diupacarai dengan baik, keburukan harinya hilang, dengan upacara tersebut, ada dituju, wajar menyelamatkan manusia.

15. Sudah menyatu pikirannya, I Dukuh lalu memanggil, anaknya keduanya, anaknya datang menghadap, bersamaan duduk berdampingan, Dukuh tersenyum berkata, anakku

cumawis, upakara banten caru, masrana nasi wong-wongan, bejejeron matah tui, don tlujungan, sambetnyane rumbah gilia.

Nasi lamak pitung lamak, segehane pitung tanding, tetep saha banten canang, arak berem sedia malih, Kusumasari ngayabin, saha dupa sampun puput, i macan suka di manah, i bojog nesek ngamaluin, mangamah caru labaan.

Sawusane pada muktia, i macan bojog mapamit, tan kocap rauh ring alas, I Dukuh kocapan malih, ngrasa dewasane becik, sasih kalima manemu, sasih ayu pawarangan, ayunnyane pada bakti, sang matemu, leket pitresna masomah.

Wawarane kawilangang, buda manise tui becik, watek suka katatwanya, ukunnyane dukut pasti, tanggal ping telu nemonin, subacara lintang ayu, alan dewasane ilang, baan subacara tui, waya nuju, wenang mahayu mamusia.

Sampun incep kawilangang, I Dukun laut ngaukin, pianaknya maka dadua, pianake teka negak masanding, I Dukuh kenyem mawuwus, "Cening sayang muka [ 118 ]112

sayang berdua, seperti ayam terkurung, lama sudah binal bulunya sudah lebat.

16. Sudah waktunya di adu, tetapi miskin yang mengurung, tidak mempunyai uang, tidak ada di pergunakan taruhan, meminjam tidaklah berani, tetapi supaya jadi mengadu, nah biarkan diadu orang lain, simpanan- nya di ambil, supaya jangan kecewa, anggap sudah mengeluarkan ayam aduan.

17.Nah begitu di umpamakan, lagi tiga hari baik, saat itu di ambil, tajinya sama-sama diasah, sebab ayam kebal sekali, tak pernah terbuka, I Mudita tersenyum berkata, ayah mengadu dengan baik, supaya jangan, kena tipu.

18.I Dukuh tertawa terbahak-bahak, "Siapa yang menipu, sebab tajen gelap, pertarungan hanya sekali, tidak boleh diambíl, biarkan sebebas-bebasnya bertarung, Sumasari membalas berkata, Ya itu perkataan apa?, kaliwat bingung, telinga saya mendengarkan.

19.I Dukuh tersenyum berkata, ini berita utama sekali, pengetahuan asal ucapan- nya, mencakup bumi langit, mengada- kan gempa bumi, lagi pula banjir

dadua, wałuya siap tekepin, lami sampun, binal bulu suba samah.

Patut tuah suba gocekang, wireh lacur sang nekepin, tuara taen ngelah jinah, tong ada anggon muatin, nyilih tuara ja juari, masih apang payu ngadtu, nah depang su ba tedtunang, tambungane jua ulati, pang da naung, Sat su ba mragatang uran.

Nah aketo umapinnya, ne bin telun dina becik, ditu jua payuang, tajine pada sangihin, reh siap kadangkan jati, tong taen manandang tata, I Mudita kenyem ngucap, "Bapa mangembar apikin, mangda sampun, kaon antuk campulungan.

I Dukuh kedek mangakak, "Enyem ada nyempulungin, wireh tajen sasiliban, tebuan leb cepok jati, tuara dadi sambutin, kanggo kitane mapaiu, Sumasari nimbal ngucup, "Nggih punika baos napi?, lintang inguh, koping titiang miragiang."

I Dukuh kenyem mangucap, "Ne orta utama gati, tatwa wit kojarannya, pacakepan tanah langit, mangadakan lindu titir, buin blabur [ 119 ]113

bendungan hanyut, pancung masih tetap kukuh, bergerak-gerak mungkin oleng seketika, meledak, muncul dari bumi.

20.Konon itu bernama suci, suci bernama manik, manik bernama merta, merta bernama hidup, menghidupkan dunia semua, hidup tiga warnanya, tiga menyebabkan satu, terpisah satu menjadi mati, mati terakhir, terakhir menyebabkan sunyi.

21.Sunyi windu namanya, windu konon tempat hidup, bernama dasa pramana, itu yang harus diberitahu, menemukan supaya tahu, sebabnya belajar menghitung, menghitung milik sendiri, ini sebagai bekal mati, ini pegang teguh, senjata keris tajam sekali.

22.Itu senjata pergi berangkat, alat dipakai memerangi, musuh kalewat galak, memang bebar terkenal sakti, rumahnya sangat angker, gua daken dalam pengung, setiap masuk ke dalam, pasti bingung tak tahu arah, siapa yang mengatasi tidak akan hidup.

23.Oleh karenanya di paksakan melawan, kewajiban sebagai prajurit, mungpung ada yang di harapkan, kerisnya tajam sekali, dibuka di pergunakan menusuk, lukanya sudah ditusuk, tusuk supaya bisa menarik, ditarik putus dimana cari, jadinya lepas, dilepas diisak-isak.

empelan anyud, pancung nu ngalejorang, olag-oleg mirib ganjih, jeg makelpus, metu marine buana.

Kocap ento madan sukla, suklane maadan manik, manike maadan merta, mertane maaaan urip, uriping buana sami, urip tiga warnanipun, tiga matemah tunggal, pasah tunggal temah pati, pati puput, puput matemahan sunia.

Suniane windu adannya, windu kocap umah urip, maadan dasa pramana, ento ne patut wilangin, manepukang mangda uning, kana malajah muruk ngitung, ngitung gelah padewekan, ne patut bekelang mati, buntil kadut, kadutan baharu pisan.

Ento saselete luas, sikepang anggon nyiatin, musuhe kalintang galak, mula tuah kasumbung sakti, umahnya rungka singid, guwa daken dalem pengung, asing masuk ka tengah, pati gubag uyang paling, yaning nungkul, masih tuara kaidupang.

Krananya laluang lawan, kramaning dadi prajurit, mungpung ya ada andelang, kadutane pangan gati, elus anggon nebekin, tatunnyane suba ancuk, ngancuk apang bisa ngubad, umad pegat dija alih, dadi lepas, lepase kateya-teya. [ 120 ]114

24.Itu dipakai sendagurau, pokoknya tiga hari lagi, kamu akan dikawinkan oleh ayah, keduanya dapat mengerti, hatinya seperti dibangkitkan, lebih diberitahukan sudah berkeinginan, Kusumasari cemerut, oleh karena tidak senang, tidak perduli, berkata keras dan pergi.

25.Kalau boleh saya minta, biarkan saya begini masih dianggap gadis, tak sulit merawat diri, kalau diperintah orang laki, setiap prilaku saya salah, jika perlahan-lahan berjalan, dikatakan lambat sekali, kalau cepat, dianggap sembrono.

26.Itulah sebabnya saya, berpikir mencari suami, bagaimanapun tampannya, bukan tertarik melihat, apalagi membantu, biarkan saya sendirian, daripada ditertawakan, perintah suami, lebih senang saya, di bilang perawan tua.

PUH DANGDANG

1.Begini oleh I Kusumasari, parasnya bengis, dipakai untuk mengilangkan, karena takut dari hatinya, oleh karena dengan sejati berkeinginan, memang benar orang pandai, menutupi akal buruk, tidak kelihatan sama sekali, samar-samar tetapi kelihatan,

Keto anggon gegenjakan, cendek ne bin telun jani, cening tuah patemuang bapa, Sang kalih resep miragi, manahnya kadi bentetin, lebian tarik suba suluk, Kusumasari nyebengang, apang mirib tuara sudi, dadi rengu, mamunyi ngambres mamindah.

Yaning dados antuk titiang, bangiang titiang sapuniki, kari kawastaning bajang, tan alangan ngwasa diri, yan prentah anak muani, sing solahang titiang sigug, yan adengan majalan kaucapang belad pasil, yaning iju, bas rengas mangamang-amang.

Punika awinan titiang, biana ngrereh anak muami, sapunapi ja bagusnya, boya titiang sehem nolih, napi malih ngayahin, arah banggiang titiang anglu, ring pacang dados kedekan, katitah ban anak muani, lega titiang, kaucapang dena tua.

PUH DANGDANG

Sapunika antuk I Kusumasari, manyebengang, tui anggon ngilidang, banjejeh ulun atine, apan jati liwat enyud, mula jati anak ririh, nekepin manah corah, tan mrawat dadi saru, saru apian jati saja, nyud anake masih maius [ 121 ]115

tertarik sekali keinginannya kelihatan keluar, I Dukuh sangat pandai.

2.Terus berkata "Duh kamu Sumasari, atma jiwa, jangan sombong, berkata lebih baik berhati-hati, ayah memberi bayangan keadaan, musuh kawan di hati, tiga konon banyaknya, cinta, budi, manah itu, itu setiap hari menguasai diri, menyebabkan pikiran setiap sehari-hari, tiap hari bertambah berkurang.

3.Karena pandai memang memberikan bayangan, keabstrakan sinar matahari bulan, menguasai baik buruknya, matahari bulan bertemu, menjadi windu jati, mengadakan siang malam, berbeda cahaya, malam dengan siang, mempengaruhi perasaan menyebabkan pikiran berganti, kalau malam setiap hari.

4.Penglihatan kalau siang terang semua, sama terang walaupun rendah tinggi, bersih kotor pasti diketemukan, kalau malam lagi berganti, terangnya ditutupi, oleh karena perasaan tak menentu, tinggi rendah kelihatannya sama itu sebabnya tingkah lakunya menjadi salah, gelap mata menyebabkan.

5.Sebabnya tidak boleh sombong ber- kata, hati-hati akan sulit sekali, mencari cocok di hati, sebab kesenang- an memang datang pergi, di hati

ka sisi, I Dukuh kalintang wikan.

Tur mangucap, "Duh cening Sumasari, atma jiwa, eda sumbar-sumbar, mamunyi melah palapanin, bapa mangiawatin unduk, nusuh roanga di ati, tiga reke wilangannya, cita budi manah iku, to sai mider ring awak, mangawenang budine maseh sasai, sai ya nunjuk munayang.

Saking waya tatuwinnya manglawatin, kaniskala cayan surya bulan, nyundarin ala-ayune, surya bulane matemu, matemahan windu jati, ngadakang peteng-lemah, bina cayanipun, petenge tekening lemah, ngiusin manah krana budine masalin, yan peteng yadin rahina.

Pakantenne yan lemah galang sami, pada terang, jimbar cupek jagat, wiadin lebah tegike, bersih kotor sinah pangguh, yan peteng buin masalin, galange katutupan, krana manahe bawur, lebah tegeh kanten asah, to awanan tindake dadi pelih, peteng matane ngranayang.

Krana tuara dadi sumbar munyi, ila-ila, apan sengka pisan, mangalih jati manahe, reh demene tui admancuh, di manahe tuara gingsir, ala-ayu [ 122 ]116

tidak jauh, baik-buruk perbuatannya, kebohongan lawan kebenaran, kalau kebohongan di laksanakan, senang corah, corah menjadi bingung, bingung lupa dengan diri sendiri.

6. Nah biarkan putuskan sampai disini, pikiran ayah, jadi mengawinkan, selesaikan dengan sesajen satu tanding, supaya menuruti adat, di buku Adi parwa, i cucu kocap menyajikan leluhurnya yang tergantung, di bambu petung konon, itu sebab ayah mengawinkan kamu seperti sekarang supaya membuat peleburan.

7. Kaliwat mengerti keduanya mendengarkan, senang sekali, tertunduk tak berkata, hanya diselesaikan dengan senyum, I Dukuh senang di hati, lalu terus bangun, pergi ke tempat tidur, merebahkan diri lalu tidur, tak dikisahkan hari pagi, sudah lama konon hari Buda manis. dukut konon ukunya.

8.Diceritakan keduanya sudah selesai membersihkan badan berhias menyelesaikan upacara, di tempat tidur berdua, Kusumasari menjadi takut, tak sadar mengerutkan kening nya, tanganya gemetar, nafasnya naik turun, takut akan di peluk, berpura-pura membuka di sengol

pangawennya, dusta kalawan sadu, yan dustane tuutang, demen nyorah, corahe maadan paling, paling tong inget ring awak.

Nah depang buntetang sarwane jani, idep bapa, durus matemuang, mragatang bayuan atanding, apang masih nunut unduk, buka Adi parwane, i cucu reke ngetesang, di rihing petunge kocap, krana bapa matemuang cening ne jani, apang ngawe panyupatan.

Lintang resep sang kalih miragi, suka bingar, nguntuk tan pangucap, kewala pragat ban kenying, I Dukuh suka mandulu, numuli raris matangi, mangungsi ka pamreman, magebiug laut maturu, tan kocapan dina ratria, kasuennya kocap dina buda nanis, dtukaut reke ukunnya.

Kacarita sang kalih wus mabresih, ngrangsuk payas, puput mupakara, ring paturon sareng kalih, Kusumasari dadi rengu, tan maren memecuk alis, lima ngejer angkihan runtag, jejeh pacang kagelut, nyaruang ban ngumbahang rema, masiksikan tuara bani mamunyi, [ 123 ]117

tidak berani berkata, seperti tidak tahu.

9.I Mudita sangat tertarik melihat, Kusumasari mendekati perlahan-lahan, berkata dengan sedih, "Duh istriku yang tersayang apa sebenarnya kesalahan kakak, berani kamu mendiamkan, saya bodoh sekali, jikalau ada salah, ya silakan mengikuti perasaanmu, jangan kamu membukanya.

10.Jangan kasihan silakan ikat erat-erat, dan dipukuli sebab nakal, dikasihi semakin keras, sekarang berani memukul, pinggang ratu sangat ramping, oleh karena itu saya salah sekali, rumah ratu gelapkan, supaya jangan terlalu berani, berani mengambil milik sang seperti ratih, yang di ucap utama.

11.Memang benar i mirah salah sekali, terlalu alim selalu menyayangkan, itu sebab jadi usil, ingat di sayangi terlalu, oleh karena tidak pernah dimarahi, muncul angkara murka memiliki, ingin tahu malu, jadi berani naik-naik, sekarang apa di bilang, nakalnya sudah lewat, walaupun di cubit semakin nakal.

12.Begitu mirah pikirkan, jangan di marahi, wajar diberikan, susunya kakak memegang, bagaimana

buka tuara taen nawang.

I Mudita liwat nyud ngantenin, Kusumasari, manesek nelanang, marmunyi mangasih-asih, "Duh mas mirah nguda rengu, punapi nggih iwang beli, kadurus ratu muuikang, parekan belog tutut, yanin wantah wenten iwang, nggih sisipang ledang kayune nalinin, petet i ratu elusang.

Da jangka arisang brigu talinin, ledang nyacak, reh parekane nakal, sayangan sumangkin mungil, jani bani magelut, madian i ratune ramping, krana nyandang sisip kras, gedong petenge ratu, mangda sampun kadung degag, bani ngabag duwen sang sakadi ratih, sane kaucap utama.

Tui i mirah wantah iwang rihin, bas ngalemang, nyayangang kaliwat, ento krana dadi mungil, uning ring sayang kalangkung, bane truara nahen sisip, wetu momo mamarekan, sayang tuara uning takut, dadi purun munggah-munggah,, jani kudiang? Gerenging tuara jerih, yadin tmpek mingkin mungal.

Sapunika nggih mirah pinehin, da nukayang, nyandang ke picayang, susune beli ngamelin, sapunapi [ 124 ]118

benar-benar halus, supaya kakak sekarang tahu, sayangi di bungkus dengan selendang, pasti akan layu sekali, oleh karena lama diikat erat-erat, ia bukalah,ingin sekali kakak mengetahuinya. susunya sangat nyangkih dan halus mulus.

13.Mengapa diam seperti adik tak memberikan, begitu salah ratu terlalu sombong, menyombongi pembantu baik, berikan obat gila, gila paling ingin mati, ikat ratu cepat-cepat, oleh karena susunya halus, di balas dengan senyum mirab, tutup cepat-cepat seluruh seluruh susunya mentol, itu obat utama.

14.Kusu masari mendengar merasa merinding bulu kuduknya tertarik keinginannya, keringatnya mengalir,jadi dingin dadanya,senang- nya bercampur takut, masih memaksa berkata,"Ini mengapa kakak panik, memintak obat gila, saya memang tidak dukun, dimintai obat bingung saya merasakan, minta obat aneh- aneh.

15. .Pokoknya bukan saya tidak memberi- kan,tidak wajar oleh karena tidak bisa, saya mengobati kakak, sebab penyakitnya sudah masuk,tidak bisa mengetahui, panas dingin tidak tahu,

wiakti alus mangda beli mangkin uning, sayang san kaput ban slendang, sinah pacang layu dudus, ban suwe bedbed tekekang, nggih elusang, meled san beli ngetonin, susune tui nyangkih nyalang.

Nguda meneng manawi adi mucingin, keto iwang, ratu pacang cupar, nyuparin parekan bakti, icen kuda ubad buduh, buduh paling rasa mati, blagbag ratu gelisang, baan pupune alus, sembar ban kenyunge mirah, tutuh gelisang srannya susune nyangkih, punika ubad utama.

14. Kusumasari ningehang wetu dingin, nyud manahe, peluhe macuab, dadi nyem ulun atine, demene misi takut, masih nglawanin mamunyi, "Ne nguda beli ngrecak, mangidih ubad buduh, titiang wantah tuara balian, idihin ubad emeng san titiang miraga, nagih ubad tawah-tawah

Cendekipun boya titiang mucingin tuara perah, krama tuara bisay titiang mangubadin beli, reh wisiane suba nyusup, tong kene baan nengerin

nyem tuara tawang, jeneng titah [ 125 ]

119

memang perintah sudah begini, kesini

mati jangan menyedihkan, dan

mayatnya saya bersedia menolongnya,

mengurus akan membuang.


16.I Mudita jadi tertawa menjawab,

mengapa mirah, dimiskinkan sekali,

mayat kakak jika mati, ditarik seperti

anak anjing, begitu sehat kakak

sekarang, tetapi belum diupacarai,

tidak bisa ke luar, dari sini dari tempat

tidur, berdua oleh sebab di larang

sekali, adik menunggu baik-baik.


17.Ya siap menunggu kakak, ratu mirah,

bersama-sama melek, kakak memerlu-

kan yang rahasia, yang dimiliki I

ratu, itu menyenangkan hati,

sebab kakak keras meminta,

tidak bisa dilarang ratu, pokoknya

mengganggu perasaan, jangan

memarahi, tiga kali adik tidak

memberikan, lima kali kakak minta.


18.Kusumasari berpura-pura tidak

mendengar, I Mudita mengetahui

perasaannya, terus memeluk mencium

pipi, Kusumasari menjerit mengaduh,

mengapa memegang saya, lepaskan

saya akan keluar, I Mudita mendengar,

lantas menggerutu perasaannya seperti

di lemahkan, menggerutu memegang

menidurkan.


suba lacur, lacure mati da

nyebetang, tui bangkene titiang

nyadia manulungin, mangoros pacang

ngentungang.


I Mudita dadi kedek manyautin,

"Nguda mirah, nganistayang pisan,

bangken beline yan mati, koros

cara bangken kuluk, yan keto seger

beli jani, nanging durung

makambuhan, patut tuara dadi pesu,

uli dini di pedeman, ajak dadua

wireh pingit tan sipi, adi nongosin

melahang.


Nggih pagehang manongosin beli

ratu mirah, barengin magadang, beli

muatang ne pingit, sane pingitang i

ratu, ento nyiksmaning ati, krana

beli kedeh nunas, tong dadi sangkeang

ratu, cendek ngulgul pakayunan,

da nukayang, ping telu adi mucingin,

ping lima beli nunas.


Kusumasari mapi tuara ningeh munyi,

I Mudita, nawang semitane, jag

ngelut mangaras pipi, Kusumasari

nyerit ngaduh, "Nguda beli gemes

gati?, tan jangka ngeneang titiang,

lebang titiang jaga pesu! I Mudita

maningehang, tulya gargar, manahe

kadi bentetin, gagreten ngisi

medemang. [ 126 ]120

19.Bergulit jatuh jadi satu, di tempat tidur, oleh karena sama senang,jadi tabah dan berani, berselimut saling berpelukan, tidak dapat diketahui, ribut-ribut berdua, bantal guling berserakan, tidak ada yang memperhatikan, sama-sama payah seketika jatuh kedua, kain lepas berserakan.

20.Kira-kira sudah ada tujuh jam, pagi-pagi hari, burung-burung ber- kicauan, ayam mulai berkokok, rasanya sama-sama membangunkan, mengisyaratkan sudah pagi,jadi keduanya bergerak, paling lantas bangun,ingat akan pekeijaan tadi itu menyebabkan tidak memperhitung- kan payah lagi, payah menyebabkan hati senang.

21.Karena lama pekerjaannya di diamkan diperhitungkan, sekarang baru di ambil, karena bekerja berulang-ulang, keringat bercucuran dan berkali-kali berkata kepedasan, merasakan pedas panas dan dingin, keringat bercucuran,jadi gemetar setiap persendian, karena semangat bekerja, berdua, dicoba lagi sekali tiba-tiba sudah pagi.

22.Jadi bangun ke dua lantas ke sungai, ke selokan, mandi bersamaan, bermain-main saling pukul, perasaannya sama-sama senang, I Mudita lalu berkata, Adikku ini apa yang menyebabkan,jadi begini

Magulungan magebiug dadi besik, di pedeman, apan pada atia, dadi pongah pada bani macakepan silih gelut, tuara kena ban ngingetin, mangredeg padaduan, galeng guling pacabugbug, tuara ada ngarunguang, pada lepeh jag macepol makakalih, kamben embud mabrarakan,

Sawetara suba ada pitung nalik, ngedas lemah, kedise masuryak, siape nabuh mamunyi, rasannya pada nunduniny ngwangsitin reh galang kangin, dadi sang kalih ngaliab, kapupungan laut bangun, inget ring gawene busan, ento makrana tuara ngitung tuyuh buin, tuyuh manggawe ati liang.

Apan lami gawene buat endepin, kapitetin, jani tumben jemak, krana magawe ngedilin, daas-diis, siat-siut, mrasa lalah kebus dingin, peluh pidit macuab, dadi ngetor bilang buku, ban sarate magarapan, padaduanan, ngangsehang buin abediky pragatgawe seba lemah.

Dadi bangunssang kalih laut ka biji, ka bulakan, manjus mabarengan, macanda saling geburin, idepe pada ulangun,I Mudita ngucap aris, "Adi ne apa makada, dadi kene tulya buduh?" Sumasari nimbal ngucap [ 127 ]121


terasa gila, Sumasari menjawab,ini sebabnya Hyang hawa nafsu beliau memasuki, di perasaan menyebabkan gila.

23.Sudah di ketahui oieh orang pintar di ajarkan, Sanghyang Smara,sakti dan pintar, membuka perasaan orang tidak mundur, sebab berani membabi-buta, membabibuta saja berani mati, mati- nya masih beijiwa, karena tidak bisa mundur, ditusuk semakin memanaskan,luka besar tidak merasa sakit, sebab luka memang berbisa.

24.Biasanya konon sangat mempengaruhi, buat kasiatnya membingungkan perasaan, keinginan kabur suara paling, kakinya panik, tangannya gemetar meraba-raba, begitu pembawaan kasiatnya, kasiat bisa luka,luka tidak pernah sembuh, lukanya dalam sebab setiap hari digaruk-garuk,tambah keras dan infeksi.

25.Kerasnya tidak dirasakan oleh semua orang, penyakitnya, oleh karena di selimuti, oleh Hyang Madanamurti, menyebabkan perasaan bingung, bingungnya menjadi salah, keringat lidahnya yang menyebabkan perasaan tertarik, tertarik karena nafsu birahi, meminta yang tidak patut diminta, itu yang menyebabkan menemukan sengsara.

"Ne kranannya Hyang Kamaida nyusupin, ring manah mangawe edan.

Tuah kasumbung antuk sang wikan ring aji Sanghyang Smara, sakti turin pradnyan, ngargar idep sang tui jorin, kranannya bani ngamuk, ngamuk saja bani mati, matine nu mangkian, krana tuara bisa mundur, tumbakin mingkin ngalakang, tatu rakrak tuara ja mangrasa sakit, reh tatu mula maupas.

Upas nyane kocap lintang mandi, buat msiannya, mamingungang manah, manah buder munyi paling, batis uyang gebiag-gebiug, lima ngetor manguridip, keto pangrabdan wisian upas berung, berung tuara bisa uas, nyarem rakrak berung antuk sai bisbis, banteh ngebet tui mamerat.

Pamrate tuara ngrasa sareng sami, panyakite, apan kasaputan, antuk Hyang Madanamurti, mangawe manah bingung, bingunge manadi pelih, peluh layahe makada, mangadakang budi enyud, enyud baan momo manah, managihang nene tuara patut tagih, awanan nemu duhkita. [ 128 ]122


26.Begitulah saya tidak membuat-buat, memang terang, diingatkan oleh ajaran, sarasamuscaya sejati, lukanya sangat borok, mengganggu remaja semua, kalau mengganggu orang perempuan, bermuka mayat namanya, muka seperti ayam galak, mukanya lain daripada yang lain berlatah panjang, harap dipotong, lepaskan dia sudah lama dikurung dengan baik.

27.I Mudita tertawa terbahak-bahak selalu, lalu berkata heran kakak mendengarkan,oleh karena ada kata- kata suka mempermainkan, tepat sekali perumpamaannya, yang dirahasiakan orang semua, tetapi kakak membenarkan, manusia kalah selalu, oleh karena Sanghyang Smara, olih saktinya, ketika menjadi manusia, benihnya dari kama.

28.Yang dikatakan Hyang Siwa sangat utama, wajar sekali beliau masih kalah, oleh Hyang Kama memasuki, karena beliau sakit hati, panas panik menjadi paling, disakitkan oleh Hyang Kama,perasaannya menjadi bihgung, tapi ganitri diserahkan, di buang tidak senang beliau duduk,kainnya tikus merusak.

29.Begitulah asal mula Sanghyang Giri putri, disatukan, oleh Sanghyang Siwa, sama-sama paling perasaannya,

Sapunika boya titiang ngawi-awi, wantah terang, kalinganing sastra, sarasamuscaya jati, tatune nyarem mamerung, mancana turunane sami, yan mancana wong istrU makasawa wastanipun, rupa kadi ayam galak, muane tawah maepel matlantah lambih, leb ya matekep melah."

I Mudita kedek ngakak miragi, tur mangucap, ngon beli miragiang, baan ada tutur banggi, tember san pangimbangipun, ne pingitang sareng sami, nanging beli mamatutang, manusane jrih nunggal, ring ida Sanghyang Smara, ban saktine, mandareng marupa jadmi, bibitnyane saking kama.

Kang inucap Hyang Siwa utama luih, patut pisan, ida masih kalah, antuk Hyang Kama nyusupin, krana ida sungkan kayun, kebus uyang. dadi paling, kagringan antuk Hyang Kama, kayune waluya sisu, ketu ganitri kaura, kasamparang, tong jenek ida malinggih, wastrane bikule nguyak.

Sapunika wit Sanghyang Giriputri, kahaworan, antuk Sanghyang Siwa, tui pada edan kayune, krana ada [ 129 ]123

oleh karena ada putra lahir, berbeda wajah dengan Sanghyang Gani, Sumasari ganti berkata, pada juga kakak bicara, mengapa Hyang dibandingkan, di manusia, oleh karena betara yang membuat, baik-buruknya di bumi.

30. oleh karena beliau sinar Hyang Widi sejati, seperti tiba-tiba, nyatanya Hyang Surya, walaupun beliau waktu sore, besok pagi kembali muncul, tak bosan menyinari bumi, walaupun ada awan keras, debunya berguiunggulung, tidak akan Hyang Surya dikotori, oleh awannya,oleh karena beliau maha suci, terhindar dari segala halangan.

31.Jika lau begini orang seperti kakak, walaupun saya, berbadan manusia, kotor dirinya berakar, bila di tambah- kan perasaan bodoh, menuruti hawa nafsu, sening tidak memperbanding- kan, asal mau diterima,jadi rusaknya berkumpul, seperti pepatah, kotoran di tambah dengan cacing, tidak sedikit sebenarnya buruknya.

32.Karena wajar angkara murka perasaannya dikendalikan, seperti batasi makan,dan minum-minuman, jangan mau senang dipuji, mabuk tuak apa jadinya,jika mabuk dengan orang gila, kata-kata banyak tak menentu,apa didengar marah

putra metu, beda wama Sanghyang Gani Sumasari nimbal ngucap, "Wikan jua beli nutur, nguda Hyang Siwa imbangang, ring manusa, reh batara tui makardi, ala-ayune ring jagat

Reh ida rumaga Hyang Widi sidi, tui sakecap, sakala Hyang Surya, jawat ida kala lingsir, mani seneng nembenin metu, dumilah nyuranin gumi, diastu ada gulem nyrambiah, andeang letuh manglikub, doh Hyang Surya kaletehan, ban guleme, reh ida maraga suci, luput ring sarwa wigna.

Yan kene anake kadi beli, wiadin titiang, madewek manusa, leteh awake maumbi,yan imbuhin idep dudu, mangulurin indriane, demen tuara nyikutang, suba nyak keto payu, dadi jeleme mambehang, luir sinonggan, lud tai maimbuh cacing, tong gigis wiakti alannya.

Krana nyandang momon idepe piherin, saluirnya, ingenin madaar, wiadin masadegane, da nuukang belog ajum, punyah tuah pacang dadine, yan punyah sama wong edan, munyi liu pati kacuh, sing ningeh geting grimutan, tui manemah, anake ne [ 130 ]124

menggerutu, dan mengamuk,orang
yang keras hati, mendekati memukul
menaiik-narik di tanah.

33.Apalagi senang menggauli istri orang,
rusak sekali dibenci masyarakat
konon,dan akan di hukum perasaan-
nya, di marahi namanya,jika senang
dengan milik orang lain,jadi tidak ada
senang, oleh karena prilaku menjadi
manusia,kebenarannya wajar
dipegang, pegang teguh jangan
menganggap mudah.

PUH DURMA

l.I Mudita tersenyum ganti berkata,
itu memang ikuti kakak,akan
memeriksa miliknya,ini kakak sudah
memiliki,kakak bersedia
melaksanakan,semampu-mampunya,
semasih kakak berjiwa.
2.Jiwa kakak memang I ratu membuat,
mau menemani kakak,oleh karena
bisa bergerak, bergerak menginginkan
kerja, tidak memperhitungkan
lelah setiap hari, oleh karena takut
hening,sawahnya dua petak.

3.Sumasari mendengarkan tertawa
terbahak-bahak, berkata sambil
menutup telinga,"Arah gila saya
mendengarkan,sawah tempatnya di
lubang, lemas tidak perlu mengairi,
pokoknya jangan diperpanjang,
jangan pulang sudah siang."


keras ati, nyagjagin ngagur
ngosohang.

Apa buin demen ngrabining arabi,
ala pisan, drati krama kocap, tui
wenang kadanda pati, kawirangan
aran ipun, krana nyandang tui
pinehin, yan demen ting derwen anak,
dadi tuara ada cumpu, reh tingkahe
mawakjadma, patutnyana,gelahe
jua amomgin, priksanin eda
ngampahang.

PUH DURMA

I Mudita kenyem manimbal mangucap,
"Ento tuah sadiang beli, pacang
mriksa pagelahang. ne beli
suba ngwasayang, beli nyadia
mangawenin, sasida-sidan, sakarin
beline urip.

Urip beli wantah i ratu ngardiang,
ica mayonin beli, awanan dadi nglejat,
ngrenjit nagih magarapan,
twara ngitung tuyuh sai, ban takut
enengan, carike ne duang tebih.

Sumasari ningehang kedek mangakak,
mamunyi nekep mkuping, "Arah
gila yang ningehang, carik genahe
nglobongan,gaduh tuara da metengin,
cendek da nglantangang, jalan

mulih suba tangai" [ 131 ]
125

4.Menyebabkan kembali pulang ke
asrama, lantas bersama mandi,
berminyak dan bersisir, berkain
bersama-sama, serba endek seperti
sekarang, bersumpang bunga
bintang, patuh sama-sama satu biji.

5.Selesai berhias tak tanggung-tanggung
bersamaan ke sanggah, berjalan
bergandengan tangan, I Dukuh
selesai memuja,keduanya mohon
ampun, menyembah lalu duduk,
berulang-ulang menengadahkan
tangan, I Dukuh lalu memercikkan
tirta.

6.Selesai menerima tirta I Dukuh
termenung melihat, anaknya duduk
bersanding, wajahnya cocok, dan tidak
ada dikalahkan, seperti Smara Ratih,
begitu jika diandaikan, terharu I
Dukuh melihat.

7. Jadi teringat I Dukuh dengan istri,
waktu saat disayangi, menyebabkan
perasaannya kacau, I Dukuh diam
mendengarkan, merasakan bahaya
besar, perilaku menjadi manusia
mencari baik memang sulit.

8.Jro Dukuh sekarang memutuskan
kesetiaan, sebab kesetiaan membuat,
menimbulkan perasaan goyah,itu
sebabnya merelakan tetapi
mengharapkan rahayu sejati,melahir-
kan anak,supaya selamat ditemukan.

Makaranan tulak mulih kapasraman,
laut bareng mabersih, mapun
tur masuah, makamben
papatuhan sarwa endek cara jani,
masumpang kembang bintang,
patuh tuah pada akatih.

Wus mapayas tan pasah bareng ka
mrajan, madandan tangan mamargi,
I Dukuh wua mapuja, sang kalih nunas
lugra, manyembah raris malinggih,
mepes natakang tangan,I Dukuh
raris nirtain.

Wus matirta I Dukuh bengong
manyingak, pianake negak masanding.
rupannya satimbang, tui tuara da
kasoran, waluya Smara Ratih,
ketoyan pamayang, resep I Dukuh
nyingakin.

Dadi inget I Dukuh kapining somah,
duke dumara kasih, metu manake
buyar,I Dukuh meneng minehang,
ngrasa bancanane luih, tingkahe
manjadma, mgalih rahayu tuah
sukil.

Sira Dukuh jani megatang pitresna,
wireh tresnane ngardinin, ngawtuang
manah obah, nto krana
mangelasang, nanging tui rahayu jati,
ngardinin pianak, mangda rahayu

panggih. [ 132 ]
126

9.Lagi berkata,"Duh kamu jiwa ayah,
seperti pati urip, oleh ayah kamu
berdua, perkataan ayah dengarkan,
mengertikan di dalam hati, buat
kesetiaan ayah,tetapi dengan pikiran.

10.Sebab miskin kamu mempunyai ayah
nista, bodoh sekali, tidak tahu tempat,
juga ikut memberitahukan, meniru
orang pandai, menasehati anak,
teringat akan kesetiaan sejati.

11.Memang wajar orang tua mengajarkan,
anak segala sesuatu, baik buruk
bertingkah laku, itu sebab ayah ikhlas,
berani menasehati kamu,
seperti crucuk paling, seenaknya
banyak bicara.

12.Begini sebenarnya tingkah laku
menjadi anak,tak berhenti berbuat
baik, kebaikan orang tua,
sebab kebanyakan berhutang, kepada
orang tua berdua, ayah dan ibu,
dengan baik beliau menciptakan.

13.Kalau ibu sangat merasakan kesusahan
berpuasa memilih makanan,sebab
mangidam menciptakan anak, payah
membawa kandungan, sudah
menunggu lahir, ibu sengsara, seperti
mempertaruhkan jiwa.

14.Dan merasa ibu jiwanya goyang,
seperti digantung seuntai rambut,
sebab terlalu sakit, menangis berguling-


Tur ngandika, 'Duh cening jiwatman
bapa, waluya pati urip, ban bapa
buka dadua, munyin bapane
dingehang, resepang pejang di ati
buat tresnan bapa, sakewala
baan budi

Wireh lacur cening ngelah bapa nista,
beloge tan sipi-sipi, tuara nawang
kalangan, masih milu mawarah,
manempa anake ririh, nuturin
pianak, kagrek ban tresnane
luih.

Apan patut i rerama tui mangajar,
pianak saurah-urih, ala-ayu
matingkah, nto krana bapa lagas,
juari manuturin cening, tulya
crukcuk punyah, ngulah liune
mamunyi

Kene tuinnya tingkahe manadi pianak,
tan maren patut ngardinin,
karahayuan rerama, reh kagedean
utang, ring sang guru reka kalih,
i meme buin i bapa, luih ban ida
ngardinin.

Yan imeme lintang nandang
kaduhkitan, mabrata milihin bukti,
reh ngidam ngiasain banak,gepu
ngaba bobotan, suba mangantiang ka
sisi, i meme kalaran, waluya
mabaya pati.

Tui mangrasa i meme uripe goyang,
tulya magantung bokakatih.

-iaw sakite liwat, [ 133 ]
127

guling, mungkin tertawa Sanghyang
Widhi, anaknya selamat lahir,
rahayu disertai dengan ari-ari.

15.Baru begitu baru ibu merasa senang,
ayah ibu tidak pergi, menunggu
siang malam,sarat menjaga anak,
tidak mengitung lelah tiap hari,
menyanyikan mengasuh, meminang
minang menidurkan.

16.Tidak merasa kena kotoran anak,
sampai kurus kering, menyusui anak,
ayah membuat mainan, dipakai
menimang-nimang kalau nangis,
selalu dipangkuan,ibu ayah
mengawasi.

17.Jika orang tua tidak mempunyai
apa-apa, akan makanan anak
kecil, pikiran orang tua hancur,
kangen mengasihi anak, karena belum
makan,keluar jadi tidak malu,
menggendong meminta-minta.

18. Nah begitu berat orang memiliki anak,
karena pantas seperti sekarang
kamu berdua, patut membayar hutang
kepada leluhur sekarang, kesana
pulang berdua, orang tua kamu
diupacarai.

19.Sekarang angkat dari lubang kuburan
tebus kepada Sanghyang Pritiwi
pengawak-awak dibuatkan, upacara

mangling mapulisahan,
jeneng ica Sanghyang Widi,
pianak lasia lekad,
rahayu muang ari-ari

Mara keto ditu i meme ngrasa Hang,
i meme bapa tan gingsir,
magadangin peteng-lemah, sarat
matepetin pianak, tan pangitung
tuyuh sai, mangingu ngemban,
nupdupang laut nyangkuti,

Tuara ngrungu nguyak tai panyuh
pianak, kadugi berag atebih,
i meme manyonyoin pianak, i bapa
ngawenang plalian, anggon
nungkulang yan ngeling, tan maren
dipabinan, i meme bapa
mriksanin

Yaning tuara i rerama ngelah apa,
pacang sangun pianak cenik, idep
reramane benyah, kangen madalem
panak, baan tuara ngantug nasi,
wetu dadipongah, ngagendong nunas
ngidih.

Nah aketo bobot anake mapianak,
krana nyandang buka jani, cening buka
dadua, patut mamayah utang, ring
kawitan nene jani, keme mulih ajak
dadua, reraman cening beyanin.

Jani gagah tebus ring Sanghyang
Pritiwia, pangawak-awak gawenin,

upakara tetepang, pangentas tui [ 134 ]
128

ditetapkan, pangentas lagi minta,
kepada pendeta pembawa
upacara, sesari aturkan, tetapkan
jangan dikurangi.

20.Kalau minta dipakai sesari pangentas,
kamu jangan kikir dengan uang,
walaupun banyak menghabiskan,
leluhur masih berhutang, kepada
beliau yang menjalankan upacara,
sebab beliau menyelesaikan,
memberi petunjuk jalan
leluhur.

21.Sebab sulit beliau Pendeta memberi
petunjuk, tempatnya sang catur
wiji, mengadu api, awirbuja somapia,
mengantarkan ke sana memang sulit,
oleh karena ongkosnya ditetapkan,
uang daksina semua.

22.Begitu kamu ingatkan nah berdua,
lagi tiga hari kamu pulang, selasa
pahing harinya, tanggal tiga tepatnya,
barat daya memang baik, menjelang
sore beijalan, selamat bahagia
ditemukan.

23.Sekarang ayah memberikan kamu
berdua,selanjutnya ayah memberi
bekal, mas serbuk namanya,
beralaskan cawan dan toples, memang
kepunyaan orang sakti, Sang Guru,
Yang memberikan ayah dulu.

24.Jikalau selamat kamu sampai di
rumah, di desa berdua, belajar bergaul,


tunasang, ring Padanda sang
ngrajengin, panukane aturang,
tetepang eda nunain.

Yaning tunas buat panukun pangentas.
kakercen sreketang cat, ulat ada cai
kebean, kamtane nu mautang,
ring ida sang mangraj'engin,
reh ida muputang,
nuduhin pitarane margi

Apan sengka Ida Padanda nuduhang,
ungguane sang catur wiji, sakala
aduh apis, awirbuja somapia,
ngatehang kema tui sukil,
krana ongkose tetepang, kakercen
daksina sami

Keto cening ingetang nah ajak dadua,
ne bintelun cening mulih, anggara
pahing dinannya, tanggal ping telu
temunnya, ngelod kauhang tui becik,
dauh ro majalan, ayu suka laba
panggih.

Jani cening baang bapa ajak dadua,
jani bapa mamekelin, mas serbuk
adannya, mewadah kempu
gedah, mula derwen sang mraga luih,
nabe susuhunan, mangicen bapa
ne riin.

Yaning sadia suba cening teked

jumah di negara sareng kalih, [ 135 ]

129

bertingkah laku alim, kepada gusti keluarga jangan sombong, hati-hati bicara, jangan banyak bicara dan jadig.

25. Tidak baik berbohong dengan orang lain, memang menyebabkan marah, lagi calig kepada kawan, mudah menyanggupi tapi ingkar janji, pasti tidak ada yang percaya, lagi pula tak bisa bekerja, bisa makan mewah dengan mencuri. mamaling.

26. Kemana melancong patut dicurigai, sebab pekerjaan mencuri, apa yang akan dicari, ke tetangga meminta- minta, semua tidak memberikan, sebab tingkah lakunya kasar, calig, rakus tiap hari mencuri.

27. Desa Mameling jangan sekali mengadu, nafsunya harus dikendalikan, iri hati tidak baik, berkata jangan sekali rengas, setiap orang dicela, dicaci maki disamakan, jadi gumi membenci.

28. Setiap orang didekati diajak bicara, pasti marah sekali, membenci diri sendiri, karena kita menemukan, diumpamakan menanam duri, dihalaman, masih kita yang akan kena.

29. Jadi sakit kakinya dialah yang merasakan, oleh karena tangannya salah, sebab sudah biasa, senang mengambil milik orang lain, asal

plajahin mawa desa, alepang jua matingkah, ring gusti braya da bodri, mamunyi plapanang, da ngerecak da jadig.

Tuara melah pacang bogbog kapin anak, tui ngawe basang pedih, buin calige ring timpal, mudah sanggup kreng ngadoang, sinah tong ada ngiyengin, mingkin tong bisa ngudiang, payu motah ban "mamaling.

Kija laku malali patut katangaran, wireh ngaduhang mamaling, apa pacang buatang, ka pisaga medih-dihan, dadi makejang mucingin, ban bikase kasar, calig angop kreng mamaling.

Mamaling eda pesan mangaduang, indriane da ngulurin, iri atine tuara melah, mamunyi da pati rengas, papak anake cacadin, pisuhin carukang, dadi gumine ngedengin.

Asing desek pacang ajak masocapan, sinah pada gedek geting, pagedeg dewek masangang, krana i dewek mangguhang, upami mamula dui, di tengahing natah, masih deweke ngenjekin.

Dadi sakit batise ye matahanan, masih ban limane pelih, wireh kadung cacungklingan,

demen nyokot gelah anak ngulah [ 136 ]

130

mendapat dengan cepat, memang

mewah lagi bungah, tetapi tidak bisa

diulang.


30. Namanya akan berulang mendapatkan,

hanya dua tidak salah, kayu pemukul

dan tombak pendek, itu hasil

corah, jalan akan mati, mati mendapat

omelan, lama menjadi pembicaraan.


31. Kalau wajah lagi badan bisa hilang,

sudah dikubur tidak kelihatan, tidak

masih samar-samar kalau gaya dan

tingkah laku, itu tidak bisa

tersembunyi, lama masih diucapkan.


32. Walaupun sudah mati tingkah laku

masih diucapkan, masih dibicarakan

lama, sudah ada contoh, Sang Rama

dengan Sang Rawana, wajahnya tidak

yang tahu, buat peralanan beliau,

jadi cerita sampai sekarang.


33. Memang ceritanya perlu didengarkan

dan diresapkan, ada dipakai memper-

bandingkan, baik buruk tingkah

laku, sebab tingkah laku dibicarakan

lama, lama diucapkan di bumi,

sebabnya patut dipilih perbuatan baik

selalu dilakukan.


34. Kalau baik berbuat lagi bertingkah

laku, pembicaraan masyarakat baik,

lama jadi termasyur, besok-besok

keturunan kita, senang sekali berjalan,

dimanjakan di masyarakat, baik

perbuatan leluhurnya.



payu parajani saja motah buin

bungah, nangin tong

ada balikin.


Di adane pacang balikin pupuang,

tuah dadua tuara pelih, gegitik muah

bokat ento pakolih nyorah, jalarane

pacang mati, mati maan upetan, lami

dadi tanggun munyi


Yan gobane buin awake bisa ilang,

suba tanem dadi ilid, tuara ja nu

mrawat, yan tandang wiadin

tingkah, ento tuara bisa ilid, tuara

bisa ilang, lami kinucapang kari.


Wiadin mati tatingkahe ne nu

kecag, nu kasambatang lami, suba

ada pangandennya, Sang Rama

muang Sang Rawana, warnane

tuara da uning, buat pamargin ida,

dadi satua kayang jani.


Tui satuane nyandang ningehang

resepang, ada anggon ngimbangin,

ala-ayuning tingkah, reh tingkahe

kucap lama, lama kaucap ring

gumi, krana patut pilihang, tingkah

ayu kardinin.


Yaning ayu makardi buin matingkah,

pangucap jagate becik, lami dadi

kakasuban, mani-mani i sentana, suka

bingar mamiragi, ngalem ring

jagat, kawitane luih makardi [ 137 ]

131

35. Nah begitu pembicaraan ayahnya perlu diingat, mengertikan dalam hati, sebab kamu lagi remaja, tenaganya masih kuat, berusaha berbuat baik, kalau sudah tua, kalau bekerja lemah sekali.

36. Kalau lemah itu disebut lekas majal, lekas majal tumpul sekali, tumpul oleh karena sudah tua, tidak akan bisa dipakai, apalagi akan diasah, karena wajannya habis, kalau diasah akan menjadi tumpul sekah.

37. Waktu remaja tenaga besar membawa senjaa tajam, tajam tidak diasah, karena dipergunakan dengan baik, dipakai untuk mempersiapkan, memperbaiki diri setiap hari, supaya menjadi baik, selamat akan dijumpai.

38. Sumasari senang sekali mendengarkan, nasehat menyarankan pulang, memang itu yang diharapkan, supaya mengetahui kebiasaan, prilaku di masyarakat, menjadi anggota masyarakat, bermasyarakat lagi pula kepada gusti.

39. Nah begitu pikiran Kusumasari, keras keinginannya pulang, lalu berkata pelan-pelan, menoleh I Mudita, "Kakak marilah ikuti, seperti saran ayah, akan pulang ke Mameling.

Nah aketo munyin bapane ingetang, resepang pejang di ati, reh cening mungpung bajang, bayune sedeng akas, kerengan patut makardi, yan subane tua, yan magawe gemba gati.

Yaning gemba ento maadan lumah, lumahe puntul jati, puntul ban suba tua, tuara ja dadi prabotang, wiadin ke pacang sepuhin, reh wajane telah, sepuh mingkin pungak pelit.

Di bajange bayu gede ngaba pangan, pangane tuara masangih, krana melah adokang, prabotang anggon nabdabang, menain deweke sai, pang dadi melah, rahayu tui kapanggih.

Sumasari bingar idepe miragiang, pituture nunden mulih, apan mula mangajap, apang manawang adat, tingkahe cara nagari, anake makrama desa, mabraya wiadin ring gusti.

Nah aketo papineh Kusumasari, suluk idepe mulih, laut mamunyi nelanang, manolih I Mudita, "Beli jalan suba iring, kadi kayun I

bapa, pacang mulih ka Mameling. [ 138 ]

132

40. Buat dia ayah ibu diutamakan, sebab masih berbadan kotor, belum diupacarai, patut itu diutamakan, saya bersedia mendampingi kakak, berbakti kepada leluhur, supaya bisa dikatakan selesai.

41. Baru begitu Kusumasari, berkata, I Mudita jadi menangis, ingat kepada orang tua, kesengsaraan sakit dipangkuan, bersamaan laki- perempuan, jatuh tak bisa ditawar, masih ingat memberitahu.

42. Pembicaraan menyuruh mengubur bersamaan, laki perempuan menjadi satu, itu menyebabkan terkenang, kangen pada waktu memandikan, bersamaan laki-perempuan, berdampingan ke tempat penguburan, dikubur menjadi satu.

43. Karena kangen Mudita menangis tersendu-sendu, ingat kepada kejadian dulu, I Dukuh kangen melihat, Mudita kesedihan, sudah terang beliau mengetahui, perasaan Mudita, sangat berbakti kepada orang tuanya.

44. Beliau Dukuh lalu merangkul I Mudita, mengusap-usap menasehati, "Duh kamu atma jiwa, ayah sangat bahagia, mempunyai anak seperti kamu, bisa merasakan, takut lagi menuruti nasehat.

Buat ipun i meme bapa saratang, rek kari mawak daki, apan durung maprateka, patut punika saratang, titiang nyadia ngiring beli, ngiasain kawitan, kewanten mawasta basmi.

Mara keto munyine Kusumasari,I Mudita dadi ngeling, inget teken rerama, duke sakit di pabinan, acepokan luh-muani macepol tong dadi tawar, masih inget mamesenin.

Babesene nunden nanem manyarengan, luh-muani dadi abesik, ento ngawe nyapnyap, kangen duke manjusang, mabarengan luh-muani, makembaran ka setra, matanem dadi abesik.

Dadi kangen Mudita ngeling sisigan, inget ring tingkahe nguni, I Dukuh kangen nyingak, I Mudita kasedihan, sampun dane tetep uning, ring manah I Mudita, marerama lintang bakti.

Sire Dukuh raris ngelut I Mudita, ngurut-ngurut nuturin, "Duh cening atma jiwa, liwat sadia saja bapa, nyentanayang buka cening, bisa mangrasa, takut tur mangidep

munyi. [ 139 ]

133

45. Nah lanjutkan kesetiaan kepada orang

tua, sekarang sudah laksanakan

perkataan ayah jangan dilupakan

simpan di dalam hati, kesana pulang

ke Mameling, berdua teguhkan iman,

kebenaran selalu dilaksanakan.


46. Tidak panjang lebar berdua menerima,

tidak diceritakan malam hari,

sudah waktunya, hari baik akan

pulang, berdua lalu permisi, berkali-

kali menyembah, I Dukuh lalu

memberi mantra.


47. Diperciki dibersihkan diludahi merah,

penguasa jiwa sangat sakti, lagi

dikembalikan keadaan, pengasih

durga wisesa, menghilangkan musuh

sakti, sudah dimantrai, dengan

prayoga sandi.


Nah lanturang tresnane marerama, ne

jani subayasain, munyin bapa

ingetang, buntil pejang di manah,

kema mulih ka Mameling, ajak

dadua pagehang, patute jua

kardinin.


Tuara panjang sang kalih pada

ngiringang, tan kocapan dina ratri,

suba teka padinannya, dewasane

pacang budal, sang kalih raris

mapamit, mepes manyumbah, I

Dukuh raris ngawedain.


Kaketelin kabasmain idubang,

pangraksa jiwa lintang luih, malih

tatulak kala, pangasih durga

wisesa, pamunah satru sakti, sampun

kajapayang, saha prayoga

sandi.


PUH GINANTI


1. Sudah lengkap dan selesai, lalu I

Dukuh berkata, "Nah kesana kamu

pergi, serbuk mas dibawa pulang,

sesajennya ingat dibawa, dihaturkan

dijalan-jalan.


2. Semoga kamu selamat, berjalan

pulang," keduanya berkata sambil

menyembah, permisi lalu berjalan,

perasaannya sangat senang, emasnya

sudah dibawa.


3. Kusumasari menjunjung, bakul kecil

sudah pasti, sesajen isinya, berdua dia


PUH GINANTI


Sampun tetep reke puput, I Dukuh

ngandika aris, "Nah kema suba

majalan, mas serbuke aba mulih,

bantene aba ingetang, bantenang di

margi-margi


Dumadak mangda rahayu, pajalan

ceninge mulih, Sang kalih

maatur sembah, mapamit raris

mamargi, manahnyane suka bingar,

emase sampun kaundit.


Kusumasari manyuun, sokasi cenik

tui pasti, babanten reke isinnya, [ 140 ]

134

berjalan, menyelusuri tebing hutan

luas, jalannya sangat sulit.


4. Naik-turun berliku-liku, Kusumasari

tidak berani, menuruni sungai luas,

di Sana istirahat membersihkan muka,

lalu menghaturkan canang, duduk

bersembahyang.


5. Memohon kepada Batara Wisnu,

berdoa berdua, supaya selamat,

perjalanan pulang, itulah yang di-

mohon, dengan disertai sesajen dan

rasa bakti.


6. Tak disangka seketika, datang angin

ribut, dihutan semua semak-semak

berbunyi, takut gemetar berdua,

sambil ribut menoleh kekiri dan

kekanan, angin ribut dirasakan

semakin dekat, seperti kedatangan

perampok.


7. Teringat dengan tingkah laku dulu,

diperkosa diikat, oleh I Wayan

Buyar, itu yang diingatkan lagi,

karena takutnya semakin menjadi,

Kusumasari menangis.


8. Jadi binatang datang berkumpul,

besar kecil semua berdatangan,

semua mendekat, Kusumasari melihat,

jadi sedihnya hilang, menjadi

senang seketika.


9. I Mudita lalu bangun, bersama


pakalihan ya mamargi, nuut

rejeng alas linggah, margine rungka

tan sipi


Cebar-cebur likak-likuk,

Kusumasari tong adi manedunin

tukad linggah, ditu mareren masugi

laut ya mabanten canang,

manegak ngaturang bakti


Ngastawa Batara Wisnu, nunas

ica sareng kalih, mangda

sida karahayuan, pamargine jani

mulih, ento katunas icayang,

ature madulur bakti.


Tan pasangkan jag makuus, alase

pakrosok sami, jejeh ngetor

buka dadua, magebeg ya tolah-tolih,

kuusane tui maekang, rasa

begal manyagjagin.


Inget ring tingkahe malu,

kaplagandang katalinin, baan ya I

Wayan Buyar, ento kaingetang buin,

krana jejehe nyangetang,

Kusumasari mangeling.


Dadi burone pagrudug, agung alit

pada prapti, pacrungung pada

nesekang, Kusumasari nyingakin,

dadi sebetnyane ilang, wetu

bingar parajani


I Mudita raris bangun, bareng I [ 141 ]

135

Kusumasari, berkata kepada binatang

semua, "Kamu binatang semua, terlalu

setia bersahabat, jangan kamu salah

mengerti.


10. Oleh karena tidak membilang,

perjalanan kami pulang, I guru sarat

memberitahu, supaya kami melaksana-

kan yadnya, kepada adik beliau

di rumah, guru kami laki perempuan.


11. Bukan kami tak punya perasaan,

bukan karena lupa di hati, dengan

kebaikanmu, kami tahu berhutang

urip, kepada kamu semua,

kami menerima sekali."


12. Binatang senang mendengar, semua

bangkit mengerti, berdua senang

berjalan, tidak sangsi di hati,

karena diantar oleh binatang,

dikelilingi dengan meloncat-loncat.


13. Diceritakan sudah sampai, dipinggir

hutan sekarang, dan sunyi sangat

panjang kelihatan, matahari sudah

condong ke barat, konon hampir

tenggelam, keduanya lelah berjalan.


14. Istirahat sambil duduk, menghaturkan

sesajen sembahyang, di pinggir hutan

konon, binatang semua mendekati,

sebab malam sangat sunyi sekali,

binatang hati-hati menjaga.


15.Kusumasari berkata, di pangkuan

suaminya, sudah menjelang pagi.


Kusumasari, nyapa burone makejang,

"Iba buron sareng sami, liwat tresna

makasihan, eda sanget salah

tampi.


Baane tuara masadu, pajalan kaine

mulih, i guru sarat ngandikayang,

apang kai mameyanin, sameton

danene jumah, gurun kai

lanang istri.


Boya kai tan pasemu, tan saking

engsap di ati, ring olas ibane liwat,

kai tau mutang urip, ring iba

buron makejang, kai nyuksmayang

jati.


Burone lega mangrungu, marantaban

manututin, sang kalih suka

majalan, tuara sangsaya ring ati,

wireh buornr ngatehang, ngidorin

pada padingkrik.


Kocap reke sampun rauh, ring pinggir

alase mangkin, ring bengang

Madawa napak, Sanghyang Surya

sampun lingsir, sampun reke

ngarorokang, sang kalih

gepu mamargi


Mareren pada malungguh, mabanten

canang mabakti, ring pinggir

alase kocap, burone pada nesekin,

wireh peteng sepi pisan, burone

yatna ngebagin.


Kusumasari maturu, ring pabinan dane

muani, sampun reke ngadas lemah, [ 142 ]

136

embun turun merintik-rintik,

semua dia basah, keduanya bangun.


16. Binatang bangun bermain-main,

Kusumasari berkata, kakak mari

berjalan, sebab sudah pagi, sunyinya

sangat panjang, supaya agak teduh

berjalan.


17. Mudita menjawab halus, binatang

dikembalikan pulang, sebab sudah

dekat desa, masih desa sedikit-sedikit,

jika binatang ke desa, pasti

menghebohkan bumi.


18. Kusumasari menjawab, lalu dia

berkata terus, "Ini engkau binatang

semua, kesana sudah kembali

pulang, sudah mendekati desa,

karenanya wajar engkau pulang.


19. Semoga selamat, sekarang jalannya

pulang, setibanya tiba di rumah,

walaupun lama tidak bertemu,

kebaikan jangan dilupakan, supaya

tertanam agak lama."


20. Binatang semua taat, senang dia

berjalan pulang, tak lama sudah tiba di

hutan, keduanya diceritakan kembali,

memasuki desa pagunungan, bernama

desa Wanapi.


21. Desa gunung beranggota banjar



damuhe bales ngaritis, semi

ya pada belusan, sang kalih dadi

ngendusin.


Burone macanda bangun, Kusumasari

mamunyi, "Beli ngiring ke

majalan, wireh sampun galang

kangin, bengange keliwat panjang,

mangda dayuhan mamargi.


Mudita masaut alus, "Burone tulakang

mulih, apan suba napak desa,

desa gunung bedik-bedik, yan burone

ya ka desa, sinah mangiurang

gumi.


Kusumasari masaut, laut ya mamunyi

aris, "Ne iba buron makejang,

kema suba tulak mulih, wireh suba

nampek desa, krana patut iba

mulih.


Dumadak sida rahayu, jani pajalane

mulih, disubane teked jumah,

diastu lami tuara panggih,

tresnane eda ngengsapang, apang

manggeh kayang lami.


Burone pada saturut, lega ya majalan

mulih, tan kocap rauh ring alas,

sang kalih kocapan malih,

nincap jagat pagunungan,

mawasta desa Wanapi.


Desa gunung banjar satus, tenten [ 143 ]

137

satus, pasarnya sangat bersih sekali, pedagangnya banyak berjejer, wajahnya cantik-cantik, ke dua di sana berhenti, lalu dia membeli nasi.

22.Pedagang terharu, heran mengira bidadari, yang laki seperti Widiadara, begitu pedagangnya berbisik, ada yang berkata lagi, "Mengapa tidak ada mengikuti."

23.Ada yang lain mendekati berkata, "Menanyakan golongan kastanya, darimana paduka saya, baru saya menemukan, akan pergi ke mana, berjalan berdua?"

24.Mudita menjawab halus, katanya sopan sekali, maafkan saya menyebut- kan, saya memang satria sejati, tetapi miskinnya berlebihan, menuju ke desa Mameling.

25.Kakek saya pecak dulu, putra ratu Karang Giling, masih kecil meninggalkan desa, sebab desanya habis semua, oleh penjahat merajalela, masyarakat habis mati.

26.Kakek saya konon pergi, sebab sendiri dia masih, baru berumur sembilan tahun, terlunta-lunta berjalan, tiba di sebelah timur bukit saya, bernama desa Mameling.

nyane lintang bersih, dagange pada madampiak, rupan nyane becik-becik, sang kalih ditu mararian, laut ya mameli nasi.

Dagange kadewa ratu, gelu mangaden Dadari, ne lanang tui Widiadara, keto dagange ngamikmik, ada buin masaut nimbal, "Nguda tuara ada ngiring."

Ada len manesek matur, "Manunasang antuk linggih, saking napi gustin titiang, tembe titiang mamanggihin, praya kija pakayunan, pamargine sareng kalih?"

Mudita masaut alus, munyine pranamia gati, "Ampura titiang nguningang, titiang wantah satria jati, nanging lacure kalintang, anyud ka jagat Mameling.

Pekak titiang pecak dumun, putran ratu Karang Galing, kari alit ninggal desa, reh desane telas basmi, antuk satru mangrusakang, kaulane telas mati.

Pekak titiang reka rarud, reh ngaraga ida kari, wawu mayusa sia tiban, kalunta-lunta mamargi, rauh dangin bukit tiang, mawasta

jagat Mameling. [ 144 ]

138

27.Di Sana konon diam, orang-orang banyak yang membantu, di sana mengambil istri, lama-lama berputra dua, keduanya laki-laki, orang-orang kasihan sekali.

28.Saat orang bergotong royong, masyarakat semuanya, kakek saya tidak menolak, ingat dengan diri menumpang, kesetiaan orang diharap- kan, supaya mau membantu.

29.Kakek saya sudah meninggal, seketika konon dibakar, oleh bapak saya, masih kalian berdua, yang lebih tua I Siladri, yang lebih kecil Made Kerti.

30.Yang lebih tua pergi ke gunung, bertapa menjadi pujangga, yang lebih muda di rumah, bertempat di desa Mameling, lalu meninggal dengan istrinya, tetapi belum dibakar.

31.Saya datang dari gunung, akan pulang ka Mameling, ini yang diajak saya, istri saya ini, sebenarnya saya memisan, demikianlah saya permisi.

32.Seluruhnya sangat prihatin, semua terharu di hati, kasihan tidak ada mengikuti, pedagangnya bangun mendekat, ada kira-kira empat orang, berkeinginan untuk mengikutinya.

Irika jenek malungguh, jagate sami ngolasin, irika mangambil rabia, kaswen maputra kekalih, makekalih pada lanang, jagate pitresna asih.

Basan anake magubug, ida dane makasami, pekak titiang boya nulak, uning ring raga mangempi, tresnan anake kapriboya nulak, mangda olas manulungin.

Pekak titiang seda sampun, pramangkin reka kabasmi untuk ida bapan titiang, kari ida sareng kalih, ne luuran I Siladria, ne alitan Made Karti.

Ne luuran tui ke gunung, nangun yasa mujanggain, ne alitan kari jumah, manggeh ring jagat Mameling, raris seda sareng rabia, nanging durung tui mabasmi.

Titiang rauh saking gunung, praya budal ka Mameling, puniki ne ajak titiang, somah titiang tui puniki, gumanti titiang mamisan, sapunika titiang pamit.

Sakatah pada mangrungu, sami ya kangen di ati, madalem tuara miringang, dagange bangun nyagjagin, wenten reke sareng patpat, kedeh ya nunas mangiring. [ 145 ]139

33. Ditolak masih juga mengikuti, jinjingan dibawakan, terus berjalan, tidak diceritakan lamanya di jalan, beberapa desa dilewati, tiba di desa Mameling.

34. Orang-orang desa semua tahu, I Mudita datang, dan sudah mengajak istri, sudah di kuburan Mameling, banyak orang-orang desa- mendekati, laki-perempuan besar-kecil.

35. Menjemput dan bersorak, ada berpakaian seenaknya, rambutnya tidak tersisir dan menggendong anak, tidak ingat membawa handuk, ada yang lain sedang membajak, meninggalkan sapi dia lari.

36. Yang perempuan sedang memasak, meninggalkan nasi dia mendekat, ada yang lain tidak jadi menenun, membawa benang dia lari, ada yang lain lagi, menyabung, mendekat membawa ayam bertaji.

37. Laki perempuan pada ribut, selanjutnya sabungan ayam bubar, oleh karena sangat menyayangkan, orang desa sayang semua, konon Mudita di jalan, bersama Ni Kusumasari.

38. Jalannya sangat pelan, oleh sebab payahnya berjalan, orang-orang desa menyaksikan, semua heran semua, oleh karena wajahnya tidak ada bedanya, memuji saling menjawab.

Tulakan masih menutug, babatane katimbalin, tumuli raris majalan, tan kocap swene ring margi, kudang desa kaliwatan, rauh ring setra Mameling.

I wong desa pada ngrungu, I Mudita mangrahuin, tur sampun mangajak somah, sampun ring setra Mameling, geger wong desane nyagjjag, luh-muani cerik-kelih.

Mapagin pada makuug, ada teka sumbrang sambring, magambahan ngeyang panak, tuara inget ngaba kancrik, ada len nuju matekap, ngutang sampi ya malaib.

Ane luh sedek mangaru, ngutang aruan ya nyagjagin, len ada buung mangulak, ngaba benang ya malaib, len ada mju matebuan, nyagjag ngaba siap mataji.

Luh muani pada giur, tulya tabuane ngababin, reh pada lebih nyayangang, wong desane tresna sami, kocap Mudita di jalan, bareng Ni Kusumasari.

Pajalane Iiwat alus, baan gepune mamargi, i wong desane ngantenang, pada ya bengong sareng sami, ban rupane tuara pada, ngajumang saling sautin. [ 146 ]140

39. Baru kali ini ada gentuh madu, melewati seperti sekarang, sebab sekarang sudah tahu, wajahnya Sanghyang Smara Ratih, ada yang lain menjawab lagi, sayang tidak ada yang mengikuti.

40. Ini wajar disungsung, seperti perak wajahnya, disertai lalancana emas, pantas disungsung kita semua, begitu kata orang desa, oleh karena gembiranya melihat.

41. Semakin dekat mengerumuni, berganti-ganti semua menegurnya, yang lain ingin memberi oleh-oleh, Mudita tertawa menjawab, kata halus merendah, membuat senang orang di jalan.

42. "Ya nenek dan guru, kakak dan kamu sekarang pasti akan sedih, sebab datang malapetaka, Iaki perempuan haus dan lapar, minta makan menyakitkan.

43. Sumasari ganti berkata, katanya menarik hati, "Ayah nenek seluruhnya, gembira perasaan sekarang, memakai saya anak miskin, lahir di gunung bodoh sekali.

4. Kata sembrono tingkah laku rusak, jangan bosan-bosan akan memberi tahukan, oleh karena belum tahu apa-apa, tingkah laku sebagai warga, oleh karena saya manusia hutan, seperti ayam hutan di bukit.

"Tumben ada gentuh madu, liwat sadia buka jani, wireh jani suba tawang, warnan Sanghyang Smara Ratih", Ada len masaut nimbal, "Sayang san tuara da ngiring."

Ne nyandang gayotin tikul, dulurin tlepek pangawin, miringan lalancang emas, pantes sungsung sareng sami, " keto munyin i wong desa, baan legane ningalin.

Nesekang pada mangrunyung, maruyuan sami nyapatin, len napi nggih gapgapan, Mudita kenyem nyautin, munyinne alus margasab, ngawe suka sang miragi.

"Inggih bibi kalih guru, beli pada. wiadin nyai, mangkin sinah pacang sungkan, reh geringe mangrahuin. luh-muani bedak layah, nagih ngamah manyakitin.

Sumasari nimbal masaut, munyine ngejudang ati, "Bapa bibi nggih sinamian, ledangang kayune mangkin, nganggen titiang pianak nista, tumbuhan gunung tambet gati.

Munyi gader tangkep sigug, da waneh pacang ngewelin, wireh during titiang nawang, tatane kadi nagari, apan titiang wong alasan,

waluya keker ring bukit. [ 147 ]

141

45.Di hutan sangat bagus, bakungnya tegak merah sekali, koer-koer sangat nakal, setelah dia dikurung, lalu di tempat yang galang di taruh, jadi takut seketika.

46.Baling rebah muka pucat, kata turun dan telor, begitu umpama saya, bawa kesini ke desa, takut tidak berani apa-apa, memang bodoh berisi takut."

47.Orang desa sama cocok, mendengar kata-kata keduanya, bersamaan berkata, "Jalan sudah sekarang di sini, berjasa bersama, mengalasi panas dingin,"

48. Ada yang lain menjawab, mengapa di jalan berbicara, lebih baik kita pulang, rumahnya sekarang ditengok, sebab lama tidak pernah diurus, supaya bisa diperbaiki."

49.Bersamaan menjawab, terus berjalan pulang, setibanya sekarang di rumah, halaman rimbun sekali, sampah banyak dan padang lebat, oleh karena tidak ada yang mengurus.

50.Orang desa banyak sekali, laki perempuan besar kecil, mencangkul membersihkan, sekejap sudah bersih, seluruh yang rusak, sudah diperbaiki.

51.Ada datang membawa kasur, tikar dan bantal guling, yang lain datang membawa sirih, dan lagi menjunjung arak satu guci, akan diberikan orang desa, Kusumasari diserahi.

52.Kusumasari turun, membawa ceraken lengkap, kata-katanya halus merendah,

Di ebete liwat nguub, janggar jegjeg barak ngendih, koer-koer liwat binal, disubane ya tekepin, laut di galange pejang, dadi nguncir panajani.

Janggar lepek muane kuncu, munyi ngreres watu badil keto upaminnya titiang, bakta mriki ka nagari, engeb tuara logas ngudiang, mula tambet misi jerih."

Wong desane pada cumpu, ningehang munyin sang kalih, mabriuk pada mangucap, "Jalan suba jani dini, mayasa ajak makejang, manatakin pane-etis."

Ada len nimbal masaut, "Ngudiang dijalan raosin, melah suba ajak budal, umahe jani delokin, reh lami tuara mrisaken, apane nyandang benehin."

Mabriuk pada mamatut, magerus majalan mulih, satekane jani jumah, natahe ebet tan sipi, luhu liu padang samah, apan tang ada ngrisakin.

Wong desane pada iju, luh-muani cerik-kelih, makelud matelah-telah, asaksana sami bersih, saluire macihna rusak, sampun reke kabenain.

Ada teka ngaba kasur, tikeh miwah galeng guling, len teka mangaba canang, buin nyuun arak a guci, pacang baang i wong desa, Kusumasari kasrahin.

Kusumasari macebur, mangaba

pabuane pangid, munyinnyane alus [ 148 ]

142

ya ayah dan kakak, kakek dan seluruhnya, ya sirih satu-satu.

53.ini arak halus, mengapa saya ya didiami? orang desa mendengar, kata-kata Kusumasari, pada senang mendekat, bersama-sama meminta.

54.Sama-sama berkata mengganggu, ayah membeli satu ringgit, araknya jikalau baik, kesinikan ayah dulu minum, satu tekor tetapi besarkan, serempak tertawa.

55.Ramai sekali mengganggu, Sumasari tidak marah, konon sudah menjelang senja, orang-orang desa banyak pulang, ada yang masih ngobrol, mengajak Kusumasari.

56.Membicarakan keadaan di gunung, semua terharu mendengarkan, sudah kurang lebih tengah malam, orang-orang desa banyak yang menunggu, oleh karena senangnya menunggu, lesu mukanya berdua.

57.Beberapa hari lamanya, ada di desa Mameling, Mudita dan Kusumasari, orang desa senang semua, oleh karena baik prilakunya, darma dan baik hati.

58.Orang desa sama senang, berkeinginan mengangkat menjadi gusti, sebagai mengepalai desa, seluruh desa Mameling, banjarnya berjumlah delapan ratus, sama semua bisikannya.

59.Oleh karena tidak bisa bakong, darma dan sangat sakti, jika ada orang

ngasah, "Inggih bapa kalih beli, bibi embok nggih sinamian, nggih nyedah sami masiki.

Niki arak eler alus, nguda titiang nggih menengin? wong desane maningehang, munyine Kusumasari pada suka manesekang, marayuan pada ngidihin.

Pada mamunyi mangulgul, "Bapa meli aji ringit, arake yan saja melah, deh bapa malu nyicipin, atekor nanging nyelungan!" mabriag pada ngedekin.

Rame makejang mangulgul, Sumasari tuara brangti, kocap sampun sandi kala, wong desane liu mulih, ada nu morta-ortayang, ngajak Ni Kusumasari.

Nuturang unduk digunung, makejang engon miragi, sampun wenten tengah ratria, wong desane liu nginepin, baan legane ngantenang, ayu warnane sang kalih.

Pirang dina lawasipun, wenten ring jagat Mameling, Mudita Kusumasari, wong desane tresna sami, baan bisane mabikas, darma tur olasan ati Wong desane pada suluk, midep nyungsung nganggen gusti maka panguluning jagat, sakuub jagat Mameling, banjar nyane wenten domas, patuh raosnya pakisi.

Baan tuara bisa begug, darma dana lintang ririh, yan ada anak miyegan, [ 149 ]143

berkelahi, menasehati dengan baik, bisa menasehati dengan halus karena jadi lagi baik-baik.

60. Semua baik dan takut, seluruh desa Mameling I Mudita sangat senang, istri mengandung sangat besar, sudah magedong-gedongan, Mudita siap-siap membantu.

61. Cukup bulannya sudah, kira-kira sembilan bulan, Kusumasari diceritrakan, merintih sedih melahirkan, Mudita sibuk mendekati, mencari dukun jauh sekali.

62. Dukun melahirkan cepat datang, siap akan menolong, orang-orang desa mendengarkan, banyak orang mendekati, anaknya seketika lahir, dan ari-ari serta laki-iaki.

63. Orang desa semua repot, ada naik cepat-cepat, mencari kelapa muda dan daun kelapa, ada mencari air dan manjarit, membuat bayuan tepung tawar, beralaskan niru dengan pasti.

64. Secukupnya sudah selesai, anaknya sudah dibersihkan, sudah diupacarai tepung tawar, sesajen diketahui sudah selesai disamping anaknya ditempat tidur, orang-orang desa banyak menjaga.

65.Waktu makan sudah tiba, Kusuımasari ke sungai, tidak lupa membawa bawang merah, juga membawa pisau kecil, berisi bawang bjlan, diikuti olel orang kecil

mamicara pada brangti, bisa nuturin nyapsapang, krana dadi malih kasih.

Sami pada tersna takut, sakuub jagat Mameling, I Mudita lintang suka, somahe bobot nambehin, sampun magedong-gedongan, Mudita yatna ngayahin.

Patut ulanannya sampun, sawatara sia sasih, Kusumasari kocapan, mangaduh sedih manyakit, Mudita gipih manyajag, mangalih balian ui gati.

Balian manak gelis rauh, yatna manyundang nulungin, wong desane mani maningehang, maruyuan pada yagjagin, rarene maklebles lekad, muang ari-ari tur muani.

Wong desane pada gupuh, ada menek sada gati, ngalih kuud busung slepan, ada kayeh ada nyait, nanding bayuan tepung tawar, mawadah ngiu tui pasti.

Asaksana sampun puput, rarene suba mabersih, sampun matepung tawaran, banten dapetan cumawis, samping rarene magenah, wong desane liu ngebagin.

Kala wengi reke sampun, Kusumasari ka beji, tan mari mabasma bawang, yatna ngaba tiuk cenik, macelek bawang besikan, matututan anak cerik. [ 150 ]144

66. Di sungai sekarang mandi, konon sudah kembali pulang, anaknya putus pusarnya, orang desa membantu, membuat sesajen upacara, secepatnya selesai semua.

67. Sesajen anak sudah, bayuan satu ngiru. kecil pasti, peras panyeneng satu, sesajen pratitinya lagi, peras panyeneng kojong sembilan, berisi nasi celek linting.

68. Itu ke dapur dihaturkan, lagi sesajen ke sungal, tidak lain tipat kelanan, berisi laklak dan tape, disertai ajuman tuaknya satu cerek lagi.

69. Siap sedia semua sudah, orang-orang desanya membantu, sama suka tak henti-hentinya, oleh karena I Mudita sakti, bisa memetik perasaan orang, membuat senang orang-orang

PUH GINADA

1. Wayan Buyar diceritakan, perasaannya bingung tak henti-hentinya, oleh karena tidak mampu, mengambil Sumasari di gunung, bingung meng- aduk-aduk, dia bergoncang, setiap gadis di perkosa.

2. Sudah didapi dianiaya, lalu dia di kembalikan pulang, oleh karena perasaannya mengatasi, keturunan Bandesa dari dulu, setiap ditemukan baik, seketika mengambi, tidak lagi membilang.

Sausane jani manjus, kocap sampun tulak mulih, rarene kepus pungsednya, wong desane pada gati, nanding banten upakara, asaksana puput sami.

Babanten rarene sampun, bayuan atempeh pasti, peras panyeneng sorohan, banten pratitine malih, peras panyeneng kojong sia, misi nasi celek linting.

Punika ka paon katur, malih bantene ka eji, tanmari tipat kelanan, mraka laklak tape tul, dulurannyane ajuman, tuake aberuk malih.

Sedia sami reke sampun, wong desane mangayahin, pada suka tong gingsiran, baan I Mudita ririh, bisa ngalap tresnan anak, ngulanin sukan wang desi.

PUH GINADA

I Wayan Buyar kocapan, idepe binguh tan sipi, baan tuara manyidayang, nyuang Sumasari di gunung, manginguh mangodag-odag, ya malali, sing bajang kupelagandang.

Suba bakat kajelekang, buin ya kalebang mulih, baan idepe ngungkulang, treh Bandesa uling ilu, asing tepukina melah, jag mangambi, tuara ja buin morahan. [ 151 ]145

3. Gila sekarang merokok, mamasak- masak setiap hari, tetapi dengan merampok, luka-luka pergi melancong pengikutya, silih berganti, bicara seenaknya, ngoceh berpoyah-poyah dan merokok.

4. Ayahnya baru sekali, merayu anak menasehat, anakku jangan senang merokok, mengisap api pasti panas, panasnya memanaskan diri, milik setiap hari, berkurang apabila di buang-buang.

5. Anaknya mendengarkan, menjawab lantas marah, jangan Ayah ngomel, coba-coba akan menasehat, Ayah Merta juga makan, karena kakinya, besar-besar sampai ke tubuh.

6. Ayahnya menjawab, karena Ayah berkata, oleh karena memang milik Ayah, dipakai kamu karena laku, banyak sekali sudah diabisi, makan kamu, paling-paling akan di buang.

7. I Wayan Buyar mendengarkan, marah perasaan tak dapat ditahan, meng- gerutu napasnya melonjak-lonjak, gemetar wajahnya biru, turun lantas mendekat, alu menuding, berkata lalu mencekik.

8. Mengomel dan mencaci maki, anjing akan mati, masih menggonggong

Mamuduh jani mamadat, maebat-ebatan sai, nanging baannya ngarumpas, berad-berad luas manganggur, iringane saseliran, daag-diig, caling angop tur mamadat.

Bapannyane nembe pisan, nglemekin panak nuturin, "Cening ede ja mamadat, nyiup-api sinah kebus, kebuse manesin awak, gelah sai, tuna dadi pakutangan."

Pianak nyane maningehang, masaut laut manengkik, "Eda bapa uwab-uwab, mabet-mabet ngaba tutur, bapa merta tui kadaar, krana betis, beteg semug maka awak. "

Bapannya masaut nimbal, "Juari ja bapa memunyi, apan gelah bapa, anggon cai krana payu, liu jani suba telah, daar cai, pragat dadi pakutangan."

I Wayan Buyar ningehang, gedeg idepe tan sipi, gagreten angkian runtag, mangetor muane sebuh, macebur laut manyagjag, tur manuding, mangoros laut manyakcak.

Ngumbah ayu tui mamatbat, "Cicinge makire mati, masih ngongkong iba [ 152 ]146

karena galak, berkeinginan mati megantung, sekarang supaya dirasakan ini tali, terus mengikat membunuh.

9. Ayahnya sesak dan pinsan, pemabuk mendekati, berkata secara perlahan- lahan, Jero Wayan jangan marah, mengapa I Ayah dibeginikan, orang tua, memang kata-katanya bingung.

10. I Wayan Buyar membukakan, kawan- kawannya melepaskan, Ayahnya kesakitan badannya, tangannya keseleo dan lecet, teman-temannya Wayan Buyar, membantu, menolong menggosokkan cendana.

11.Orang-orang desa mendengarkan, seluruh di Karang Buncing, banyak pada terharu, menyesal oleh karena melaksanakan, menyayangkan mengulurkan anak, dari kecil, ditakuti sering dituruti.

12.Sekarang begini palanya, di puji-puji berlebih-lebihan, sudah ada perumpamaannya, seperti orang memelihara sapi laki-iaki, mengulurkan, menyayangi sering diberi makan mewah.

13.Semakin besar dia berani, binal malah melawan, masih dia dibiarkan pikirannya, oleh karena dia tak berpikir mendesak, masih diriku di desak,

galak, katagian mati magantung, jani apang rasanina, ene tali, laut negul mamedemang.

Bapannya enek maniwang, pamadate manyagjagin, memunyi pada mlepehang, "Jro Wayan sampunang bendu, nguda i aji keneang, anak lingsir, wantah baose sisuan."

Wayan Buyar nguakang, sawitrannyane ngelusin, bapannya nyakitang awak, lima nyelih babak belur, sawitrane Wayan Buyar, mangolasin, nulung ngabasin candana

Wang desane maningehang, sakuub ring Karang Buncing, liu pada medekesan, nyelsel baannya kadurus, nyayangang ngulurin panak, uling cenik, takutin sai tuutang

Jani kone ke palannya, belog ajume bas lebih, suba ada pangandonnya, buka anake mangubuh, panak sampi muanina, mangulurin, nyayangang sai motahang.

Ngancan gede ya jagiran, binal galak mamalikin, masih ya depin butuan, krana ya tan jangka nglulu,

masih deweke luluna, payu sakit, [ 153 ]
147

jadi sakit, aduh-aduh sakit
sendirian.

14. Ada menyatakan, jika benar, oleh
karena salah membekali, seperti orang
ke sawah, berkeinginan menanam
padi, ternyata subur memiliki tanah,
bebas, sudah tentu padinya baik.

15. Membersihkan tidak mau, oleh
memastikan panen padi, ternyata
rumputnya banyak, gemuk tumbuh-
nya banyak, oleh karena padinya
rusak, begitu sebenarnya sejati,
ada lagi berkata lagi.

16. Banyak sekali perumpamaannya,
seperti mahkota kori dan candi, karena
runtuh ada juga terbongkar, ditumbuhi
beringin dan bunut, tumbuhnya
disayangi, dia dibiarkan, jadi
pembuat rusak.

17. Orang pandai menasehati, konon
semuanya, seluruh di bumi, semua bisa
diajarkan, waktu kecil baik diajarkan,
bertambah berani, kembali akan
melawan.


18.Tetapi Gede Kadampal, mengajarkan
anak dari kecil, oleh karena angkara
murka dan berani, sudah salah masih
dituruti, berkata ceroboh setiap hari,
oleh karena kena pahalanya.

ngarod sakit, padidian.

Ada masaut, "Tui saja, wireh pelih
ban mekelin, buka anake ka
sawah, maidep mamula pantun, tau
mokoh ngelah tanah, mangelahin,
pacang padin nyare melah.

Majukut tuara enyak, ban cagere
mupu padi, dadi jukutane
samah, mokoh entikane liu,
awanan padine rusak, keto jati, ada
buin masaut nimbal.

"Liu saja pangandennya, buka gelung
kori muang candi, krana embid ada
bungkah, tumbuin bingin muang
bunut, entikan nyane tu sayangang,
ya endepin, dadi pawangune
rusak.

Anake pradnyan naturang, kocap
saluirannya sami, sahanane maring
jagad, sami reke dadi uruk, di
cenike melah urukang, boyan bani,
malikin pacang ngalawan.

Yan dane Gede Kedampal, nguruk
panak uling cenik, apang momo
buin degeng, suba sigug masih
tuut, memunyi degag alemang, tui

ulurin, krana kene ke palanya. [ 154 ]
148

19. Seluruhnya menyedihkan, masyarakat
di Karang Buncing banjarnya ada dua
ratus, teman-temannya semua
takut, dengan dia I Wayan Buyar,
lain di hati, benci seperti menemukan
lintah darat.

20. Orang tua I Wayan Buyar, dikagumi
memang dari dulu, oleh orang
penguasa masyarakat, di Wanekeling
Sang Prabu, penguasa masyarakat
seluruhnya, sangat baik, suka kerja
tidak ada yang menyamai.

21. Itu menyebabkan takut semua,
manusia di Karang Buncing, marah
tidak berani melawan, cukup berkerumun
berkumpul, tidak di bicarakan
oleh masyarakat, ada lagi I Wayan
Buyar berlancong.

22. Pengikutnya serasi, pengikutnya
semua, pekerjaannya senang merampok,
semua senang memuji, mengikuti
I Wayan Buyar, jadi menemukan,
sapi gemuk sekali.

23. Orang kecil menggembalakan,
menyertai serba berteduh,
pengikut Wayan Buyar, menunggu
sangat cacak, lalu dia berkata
mendesak, ini baik, sapinya yang akan
di masak.

24. Kawannya ganti berkata, benar masak
lauk dalam bambu sangat baik,
dimakan sehabis menari, ada lagi

Makejang pada nyelselang, jagate
ring Karang Buncing, banjarannya
wenten satak, pakantene pada takut,
ring dane I Wayan Buyar, yan di
ati, gedeg tulya manggih lintah.

Wayahnya I Wayan Buyar, kaoman
reke ne riin, antuk sang mangwasa
jagad, ring Wanekeling sang
Prabu, ngawasa jagad makejang,
lintang lowih, suka wirya tuara
pada.

Ento krana ngeb makejang, jadmane
ring Karang Buncing, pedih tuara
bani ngudiang, pragad paum
kumpu-kumpul, tan kocap
ucaping jagad, kocap
malih, I Wayan Buyar mangguran.

Tututane papatuhan, pamadatan
maka sami, gagunane tuah amegal,
makejang demen mangajum, mangiring
I Wayan Buyar dadi manggih, godel
sampi mokoh pisan.

Anak cenik mangangonang, manandan
sarwi mangetis, tututane Wayan,
ngantenang kalintang cumpu,
laut ya matur negakang, "meriki
becik, godele yan pacang olah."

Timpalnyane nimbal ngucap, "Wiakti
timbang langkung becik, rayunang

wuse mlangsingang!", ada buin [ 155 ]
149

tersenyum berkata, jika di buka
lebih baik di sate, silahkan dirasakan,
bumbu pedas lebih cocok.

25. I Wayan Buyar mendengar, perasaannya
gembira tak henti-hentinya,
nai silahkan sekarang ambi, sapi
ini dibawa pulang, si penggembala
dia terkejut, dan menangis, oleh
sebab sapinya di ambil.

26. Pengembala menangis kerus-keras,
I Wayan Buyar membentaknya, keras
kecil menangis, diam saja ke sana
pulang, nah di bilang sampai di rumah,
ini yang sekarang, begini cara
membilang.

27. Ayah sapi diambil, Mekel Gede dia
mengambil, dan memelihara, begitu
caranya membilang, Ayah kamu pasti
gembira, memang bakti, rakyat dengan
saya.

28. Penggembala menangis tersedu-sedu,
lalu dia berjalan pulang, membilang
sampai di rumah, ayahnya mencaci
maki, banyak orang mendengarkan,
dan mengomel, membilang prilakunya
kasar.

29. Masyarakat desa semua, seluruh di
Karang Buncing, semua mengomel
dan mencaci maki, oleh karena
tingkah laku kasar, pengikut Wayan

kenyem ma saut, "Yan legar
becikan jatah, nggih kecapin, basa
plalah tui pamekas.

I Wayan Buyar ningehang, idepe suka
tan sipi, "Nah jalane jani juang,
godelene aba,"I pangangon ya
makesiab, tur mangeling, baan
godelnya kajuang.

Pangangene ngeling mangrak, I
Wayan Buyar ngerengin, "Lutunge
centk manyabak, mendep kuda
kema mantuk, nah orahang tekad
jumah, to ne jani, kene abete morahan.

Nanang godele kakarsang, Mekel
Gede dane ngambil, dane mangubuh
mangadas, keto abete masadu, nanang
cat sinah lega mula bakti, ngaula
kapining icang."

Pangangone ngeling, laut ya
majalah nulih, mangorahang, teked
jumah, nanang nyane nemah misuh,
liu anake ningehang, tui pakrimik,
ngorahang bikasnya kasar.

Wong desane nui makejang, sakuub
ring Karang Buncing, sani mengupet
manemah, ban bikase liwat begeg
tututarne Wayan Buyar, mamiragi, [ 156 ]150

Buyar, mendengarkan, omelan masyarakat desa.

30. Lalu dia sama-sama mengobrolkan, mengajak teman-teman berkata, ketika dia di tempat tidur, sambil mengguling candu, I Wayan Buyar mendengar, menjawab, arah macam-macam di dengarkan.

31. Tidak ada saya mendengar, tupai mati digonggong anjing, ada yang berkata menyangkal, pura-pura dia menoleh terkejut, ini candunya habis, begini kamu, ambil ringgitnya silahkan membeli madat.

32.Ada yang lain berkata cepat-cepat, ya saya sekarang berjalan, berapa saya membeli?, I Wayan Buyar menjawab, dompetnya dulu diambil, bawa kesini, di samping bantalnya di atas tempat tidur.

33. Pengikutnya ke gedongan, jalannya pelan-pelan sekali, setibanya di gedongan, jadi dia terkejut, melihat Gede Kedampal sudah meninggal, kaku tidak ada yang mengetahui.

34. Mayatnya mangandang, digigit semut keseluruhan, telanjang tidak di tutupi. gerijinya berisi bungkung, di telunjuknya dengan permata

pangupete i wong desa.

Laut ya pada ngortayarng, ngajak timpalnya memunyi, menuju ya di pedeman, sambilang manguling candu, I Wayan Buyar ningehang, manyautin, "Arah data ke dingehang!"

Tuara ada dingeh icang, smal mari kongkong cicing!", ada matur mantutang, mapí ya nolih tangkejut, "Niki langsingane telas, " "Kemu cai, nyemak ringgit meli madat."

Ada len matur enggalan, "Nggih titiang mangkin mamargi, aji kuda titian numbas?", I Wayan Buyar masut, "Gandeke ya malu jemak, aba mai, samping galenge luanan!"

Tututane ka gedongan, pajalane sada gati, satekane di gedongan, dadi ya lwat tengkejut, ngantenang Gede Kadampal, suba mati, kaku tong ada ngarunguang.

Sawannyane tui mangandang, garang semut buka besik, malahong tuara mangkeban, jrijinnyane misi bungkung, di tujuh masoca mirah, [ 157 ]151

mirah, yang klingking, intan permatanya berkilauan.

35. Pengikut Wayan Buyar, membuka perlahan-lahan, lalu menggulung dengan kain, perasaan sangat cocok, toleh-toleh dengan takut, melihat, kekayaan Gede Kadampal.

36. Wayan Buyar berteriak mengapa anjing tersebut menelik, Mengambii dompet lama sekali, pengikutnya cepat berkata, berpura-pura menangis terisak-isak, ya tolong. Mekel aji dia meninggal.

37. Pengikut mendengarkan, berkerumun dan mendekati, diangkat dibawa keluar, mayatnya di gigit semut, dimandikan dengan bersih, sudah bersih, pemabuk berkata perlahan-lahan.

38. Di carikan kain rurub, I Wayan Buyar menjawab, klambunya disobek selembar, itu sudah dipakai rurub, saya sangat ketagihan, lu kesana saja, silahkan tanam di kuburan.

39.Ada yang lain ganti berkata, patut mayat bersihkan, dimintakan tirta pengentas dicarikan, Wayan Buyar susah menjawab, kamu berkeinginan pandai, mengajari, kamu berani akan di poles.

ne di kacing, inten socannyane ngranyah.

Tututane Wayan Buyar, mengeluain sada gati, laut mamuntil ngilidang. idepnyane liwat cumpu, saab-seeb. ya marengang, mangiwasin, kasugian Gede Kadampal.

Wayan Buyar mageluran, "Cicinge nguda menelik, nyemak gandek abetekan! ", Tututane gelis matur, mapi ngeling ya mangerak, "Nggih tulungin, Mekel aji dane seda.

Pamadate maningehang, maruyuan pada nyagjagin, kagosong kaba ka sisian, sawannyane garang semut, kapandusin katedasang, sampun bersih, pamadate matur banban.

Rurube mangkin rerebang, "I Wayan Buyar nyain, "Langsene ambis abidang, ento suba anggon rurub, icang liwat katagihan, kema gati, lautang tanem ka setra!"

Ada len maatur nimbal, "Patut layone bersihin, malih pangentas nunasang!" Wayan Buyar ngreng masaur, "cai tuah maabut pradnyan, mangajahin, cai tambet milu mauab. [ 158 ]152

40. Seperti dia sapi dan kuda, ketika pada saat mati, tidak ada memberi tirta pengentas, mayatnya tidak di upacarai, banyak juga ada kuda lahir seperti sekarang, masih gemuk sekali dia.

41. Kamu terlalu kelebihan pengentas, upacara terlalu besar, karena kurus kekurangan makan, harus kering kotoran banyak, pemabuk ganti berkata, ya sekarang, jangan di pikirkan?

42. Wayan Buyar ganti berkata, jangan menolak ke sana saja, kuburkan bawa dia ke kuburan, pengikut semua bangun, mayat diikat cepat-cepat, terus berjalan, konon sudah tiba di kuburan.

43. Tergesa-gesa dia membuat lubang. mayatnya lalu di tanam, lalu dia kembali pulang, bentuknya sudah tak dapat ditahan I Wayan Buyar berkata. ke sini kamu, isapkan dirimu rokok.

44. Pengikut mohon maaf, perasaan suka tak henti-hentinya, rebah terguling madat, kata-katanya semua mabuk, saling berganti macam-macam, ramai sekali, kata-kata sampai panjang.

45.Ada yang lain bangun duduk, berkata parasnya lucu, saya mendengar berita pedagang, konon orang tersebut

Buka ya i sampi jaran, nuju kalannyane mati, tura ja ada mangentas, ngupakara bangkenipun, liu ada jaran lekad, buka jani, masih mokoh ya menggolan.

Cai bas lebian pangentas, upakarane bas lewih, krana berag kuangan amah, kes-kes gudig daki liu, " Pamadate matur nimbal, "Inggih sapunapi pakayunan?

Wayan Buyar nimbal ngucap, "Eda lempad kema gati, tanem aba ya ka setra, "Pamadate pada bangun, sawane kabandut onggal, tur mamargi, kocap rauh maring sera.

Masepuk ya laut mangbang, sawane wus kaurugin, laut ya matulak budal, katagian wabe mancur, I Wayan Buyar angucąp, "Mai cai siupin ibane madat. "

Pamadate nunas lugra, idepe suka tan sipi, mangebah manguling madat, ortannyane sami mukbuk, saling timbal tawah-tawah, rame gati, ortannyane kadung lantang.

Ada len bangun menegak, memunyi sebenge pangid, "Titiang ningeh ortan dagang, kocap anak luas [ 159 ]153

pergi ke lunta-lunta, ke desa Mameling konon, di sana menemukan ístri cantik sekali.

46. Badannya putih kuning bersih, pandangannya seperti petir, senyum- nya seperti gula mengalir, setiap yang melihat pasti tertarik, seperti dewa bulan, menggoda, tetapi sudah mem- punyai anak.

47. Yang namanya di katakan, I Ratna Kusumasari, yang laki I Mudita, bagusnya tak ada menyamai, seperti Sanghyang Smara, seperti bersanding yang perempuan dengan laki.

48. Wayan Buyar mendengar, tiba-tiba bangun menjawab, itu saya akan mengambil. pada waktu di gunung. Sumasari berperan, saya ke sini, karena kesana saya mengambil.

49. Berjalan saya mengambil, orang tuanya tidak tahu, tetapi dia sakti sekali, menjadi harimau galak meng- ajar, mehadang saya di jalan, hampir mati, Sumasari lagi diambil.

50.Saya lagi ambisi keras sekali, terus pergi mencari pembantu, Dayu Datu yang sangat sakti, beliau sanggup akan melawan, merusak Dukun Siladri, supayu mati, dalam waktu tiga hari.

ngalu, ka jagat Mamaling kocap, ditu manggih, istri ayu magoleran.

Pamulane gading nyalang, laliate alah tatit, kemikane nembah gula, sing ngantenang pada enyud, tulya Ratih nyalantara, mangadanin, nanging suba ngolah panak.

Yan adannyane kaucap, I Ratna Kusumasari, nene muani I Mudita, baguse teng ada mandhuk, tulya Ida Sanghyang Smara, tui satanding, ne istri teken ne lanang.

I Wayan Buyar ningehang, mangrenjit mangrenjit bangun nyaurin, "Ento icang pecak nyuang, saduk nyane nu di gunung, Sumasari mamesenang, icang mai, krana kema icang nyuang

Pajalan icange nyuang, reramannya tuara uning, nanging ya wisesa pisan, dadi macan galak ngepung, manyadang icang di jalan, edas mati, Sumasari buin kajuang.

Icang buin jengahe liwat, terus luas ngalih kanti, Dayu Datu luih wisesa, ida sanggup pacang magut, mangrusak Dukuh Siladria, sida mati, mawaneng tuah tigang dina [ 160 ]154


51. Sudah lama belum ada kepastian, ada berita baru ini, Dayu Datu konon hilang, rumah beliau telah terbakar, begitu beritanya di jalan, sampai ke sini, oleh karena saya tidak mau bekerja.

52. Sekarang kamu membawa berita, Sumasari di Mameling, memang Tuhan tidak iklas, tempatnya semakin mendekat, saya berkeinginan memper- kosa, mendatangi, ke desa Mameling nanti malam.

53. Jikalau kamu memang setia, ikuti ya sekarang, jikalau nanti di dapat, Sumasari diajak pulang, saya akan memberikan kamu ongkos, seratus ringgit, masing-masing semuanya.

54. Pengikut mendengarkan, semua bangun tergopoh-gopoh, berkata semuanya, biarkan saya dipakai sesajen, memang saya tukang rampok, tidak takut, saya berebut berperang.

55. Wayan Buyar mendengar, perasaannya senang tak henti-hentinnya, berkata lantas berjalan di jalan sudah bergembira, supaya jangan meninggal- kan teman, nah kutuklah, supaya mati di sambar petir.

56. Pengikut mendengarkan, bersama bangun tergopoh-gopoh menggeram menggetarkan tangan, melotot lagi

Suba lami durung karwan, ada orta jani jani, Dayu Datu kone ilang, grianida telah puun, keto ortane di jalan, teked mai, krana icang tong seleg ngudiang.

Jani sai ngaba orta, Sumasari di Mameling, saking Widi tuara ica, mamaokang genahipun, icang midep malagandang. manglebenin, ka jagut Mameling nyaran.

Yaning cai saja tresna, tututin icang ne jani, disadiane sida bakat, Sumasari ajak mantuk, icang maang cai upah, satus ringgit, niri-niri tui makojang."

Pamadate maningehang, makejang bangun mangrejit, maatur pada makejang. "Banggiang titiang anggen caru, mula titiang juru rampas boya jerih, tiriang karebut ma masiat!"

Wayani Buyar maningehang, idepe bingar tan sipi, memunyi laut magebrus, "Jalan suba mala-ayu, asing malaibin timpal, nah pisuhin, apang mati sander kilap!"

Pamadate maningehang, cepokan bangun mangrenjit, pagrogoh ngejerang tangan, mamelik malih [ 161 ]155

berkata, saya tidak akan mundur setapak, akan mengikuti, bersedia membantu.

57. Sekarang mari kita berjalan, keris semua diberikan, I Wayan Buyar mengambil, kerisnya cuma tujuh, tetapi milik orang lain, tampan semua- nya, pedang dua bersarung emas.

58. Semua sudah dibagikan, diselipkan satu-satu, semua bersiap-siap, lalu berjalan menyebrang, diam tidak berbisik, cepat tiba di sungai Kabayan konon.

59. Sampai luas mengagumkan, airnya keras sekali, di sana dia berhenti dipinggir pantai dan berkumpul, Wayan Buyar perlahan-lahan berkata, seperti sekarang.

60. Pengikut ganti berkata, begini akal sekarang, mari kesini ke hilir, bernama air Arum, disana ada pancoran, sangat suci, air parisudan.

61. Tempat pancoran itu, dekat dengan desa Mameling, jika sekarang pergi ke sana, satu jam sudah tiba, mari di sana dia tunggu, semua, dan lagi ada persembunyian.

62.Menjawab semua menuruti, terus Jantas berjalan, dan tidak berhenti-


maatur, "Boya titiang jorih atumpak, pacang ngiring, nyadia mangaturang ayah.

No mangkin ngiring mamarga, kadutan sami icenin!", I Wayan Buyar manyemak, kadutan wantah papitu, nanging ke gagaden anak, bungah sami, klewang dadua masanglup mas.

Sami sampun kacacaran, sasolot pada makatih, sareng sami masingsetan, laut majalan manyunut, siep tuara makemikan, gelis prapti, ring tukad Kabayan kocap.

Tukad linggah madurgama, embahnya suluk tan sipi, ditu ya pada mararian, sisin tukade tui paum, Wayan Buyar alon ngucap, "Buka jani, kenken ja baan madaya?"

Pamadate matur nimbal, "Sapuniki antuk mangkin, ngiring driki ngatebenang, mawasta ring Toya Anum, arika wenten pancoran, lintang suci, wantah toya pamarisudayan.

Genah pancoran punika, tampek ring jagat Mameling, yan mangkin lunga marika, apanalik sinah rauh, ngiring iriki ya cadang, Sareng sami, malih wenten paengkeban,"

Mabriuk sami matutang, manerus laut mamargi, tui tuara ja rerenan, tan [ 162 ]156

hentinya, tidak dirasakan sudah datang, di air Arum serempak, malam sudah baru sampai di sana tidur bersama-sama.

63.Tak dirasakan orang berkeinginan jahat, konon Ni Kusumasari, mimpinya buruk sekali, terkejut terus bangun, jadi anaknya terkejut, dan menangis, Kusumasari mengambil.

64. Dirangkul sambil duduk, selanjutnya menyusui, termenung ingat dengan anak, pertanda akan menemukan Sengsara, jadi terharu melihat anak, dan menangis, tersedu-sedu menyesal diri.

65. I Mudita mengetahui, terkejut lalu mendekati, bertanya dengan telaten, kakak memang benar bertanya. melihat adik sengsara, seketika menangis, bingung sekali kakak

66. Jika kakak ada salah, jangan segan- segan adik menyalahkan, oleh karena kakak banyak kekurangannya, walaupun berprilaku sangat sulit. Sumasari ganti berkata, jangan kakak, salah pengertian dengan saya.

67.Ya, saya memberitahukan, oleh karena saya sedih, saya bermimpi


kocapan sampun rauh, ring Toya Raum manapak, sampun wengi, ditu nginep masingidan.

Tan kocap sang midep corah, kocap Ni Kusumasari, ipiannyane ala pisau, mangrepata laut bangun, dadi panake makesiab, tur mangeling, Kusumasari manyemak.

Kasangkil sarwi menegak, tan maren kapanyonyoin, bengong inget pianak, ciri pacang manggih lacur, dadi kangen teken awak, tur mangeling, sigsigan manyelsel awak.

I Mudita mangantenang, terkejut laut nesekin, matakon tui manyesedang, "Beli wantah jati tandruh, mimitan adi duhkita, jag mangeling, emeng san beli mamanah.

Yaning beli wenten twang, da jangka adi ngwelin, reh beli katunan manah, yadin matingkah tuah kolug!" Sumasari nimbal ngucap, "Sampun beli, salit arsa kapin titiang.

Inggih titiang manguningang, awinan titiange sedih, titiang kayeh [ 163 ]157

buruk sekali, konon saya mandi, di sungai, Kabayan konon,saya bersama, baru saya meredam

68.Tiba-tiba datang buaya menerkam, memaksa laut membanting, menyeret lalu menenggelamkan, di bawa ke laut, itulah mimpi saya, buruk sekali, pertanda saya menemukan kesengsaraan.

69.Kangen saya dengan diri, sangsara lahir, Mudita terharu mendengarkan, berkata lalu di peluk, adi lagi di pikirkan, mengapa sedih, kepandaian- nya jadi hilang.

70.Jangan adik menyedihkan,jikalau sudah kehendak kakak ikut sebagai dasar, sangsara sekarang datang, tetapi kebenaran dipertahankan, walaupun mati, supaya kebenaran diperoleh.

71. Perasaan sekarang gembira,ke sana adik pergi ke sungai, membersihkan menyucikan diri, ke sana pergi ke Tirta Arum,ke Giria nanti melebur, mohon tirta, melebur mimpi buruk.

72. Sumasari tidak menolak, dengan petunjuk yang laki-laki sebagai seorang laki-laki, bersiap-siap pergi mandi,sudah tetap membawa bahan keramas juga bedak, dan disertai dengan sisir.


manjus, ring tukad Kabayan kocap, titiang ngiring, wau titiang maceleban.

Jag teka buayane nyarap, mamaksa laut mamanting, mangoros raris nyilemang, ka segara baktanipun, sapunika ipian titiang, ala jati, cirin titiang manggih rusak.

Kangen titiang kapin awak, baan lacure numadi, "Mudita kangen ningehang, mamunyi sarwi mangelut, "Adi malih ke pinehang, nguda sedih, kapradnyane dadi ilang

Eda adi manyebetang, yaning suba titah Widi, beli bareng ajak natak, salacure jani rauh, kewala patute kardiang, wiadin mati, apang patutute jua bakat.

Idepe jani lilayang, kema adi luas ka biji, mabersih ngestiang awak, kema jua ka Tirta Arum, ka Gria nyanan malukat, nunas tirta, pangleburan ipian ala.

Sumasari tuara tulak, ring satuduh nene muani, ngemanggehang guru laki, madabdaban kayeh manjus, sampun tetep makta jamas, odak malih, patut maduluran suah. [ 164 ]158

73. Lantas terus berjalan, disertai oleh anak kecil, baru tiba dijalan, banyak orang yang mengikuti, gadis-gadis beriring-iringan, lalu ke sungai, sebanyak dua belas orang.

74. Berjalan sambil tertawa-tawa, bercerita sambil beijalan, menceritakan, I Bawang Kesuna lucu, semua senang mendengarkan, cepat tiba, di air Arum kelihatan.

75.Bersamaan turun, menaruh pakaian saling mendahului, Kusumasari keramas, yang berkeinginan jahat terkejut menyaksikan kecantikannya tergila-gila, Wayan Buyar tertarik sekali.

76.Berkata sambil menari,jalan sekarang di turuni, pengikutnya mengikuti, mengikatkan kainnya lalu turun, Kusumasari diambil,jadi menjerit, menangis minta tolong.

77.Gadis-gadis terkejut, mendekat menolong, tak di sangka-sangka menggaruk-garuk, memegang, peng ikutnya menginjak dan memukul, gadis-gadis menggaruk-garuk, tidak mau mundur, di banting lalu dibuang.

78.Lagi bangun melawan, Wayan Buyar sangat marah, menyeret membuka keris, tak memperhitungkan lalu menusuk, gadis-gadis berserakan, banyak mati, ada yang lelah


Tumuli raris majalan, matututan anak cerik, bau reke teked di wang, liu anake manutug, bajang-bajang babantiran, tui ka beji mabered ajaknya raros

Majalan makakedekan, nyatua sambilang mamargi, Kusumasari nyatuang, I Bawang Kesuna baud, pada suka madingehang, gelis prapti, ring toya Arum manapak.

Copokan pada nedunang, ngejang wastra saling langkungin, Kusumasari majamas, sang midep dusta tengkejut, ngantonang ayune lintang mangadanin, Wayan Buyar enyud pisan

Mamunyi matatarian, "Jalan ke jani ceburin!" Pamadate mangiringang, mabulet raris macebur, Kusumasari kajemak, dadi nyerit, mangeling nagih tulungan.

Bajang-bajange makesiab, manyagjag pada nulungin, tan jangka misbis ngisiang, pamadate minyak nyagur, bajang'bajange mangasgas, tuara jerih, kauyeng tui katuladang.

Ebah buin bangun manglawan, Wayan Buyar liwat pedih, manyeret ngelus kadutan, tan jangka laut mangacuk, bajang-bajange mabiag-biag, liu mati, ada leleh kakaninan. [ 165 ]159

di tinggalkan.

79.Yang terluka sedikit,lari kembali pulang, menangis lalu mendekati, banyak orang mengerumuni, setiap yang mendengar datang mendekati, sama sedih, yang lain menggerutu ingin melawan.

80 I Mudita mendengarkan,kangen menangis tersedu-sedu, berkeinginan menusuk diri, orang desa semua merangkul, oleh karena sangat setia, dan menasehati, mengapa kepandaiannya hilang.

81.Apa sebab menusuk diri, mengapa jeleknya dibuat,jadi rahayunya hilang, sebab sekarang ada musuh, musuhnya memang wajar di lawan, dan perangi, kesatrianya dipegang.

82.0rang desa merasa gembira, berkata dengan keras, mengapa bicara terlalu panjang. Nah kentongannya di pukul, sekarang bertaruh habis-habisan Sumasari, dibela semua.

83.Kompak semua menuruti, tiba-tiba kentongannya berbunyi, keras tiga kali, orang desa serempak datang, besar kecil membawa tombak dan senjata api, kurang lebih dua ribu

84. Terus berjalan, I Mudita memimpi air matanya menetes, sebab perasaan


Mene matatu nyimpiran, malaib matulak mulih, mangeling laut majarang, liu anake mangrunyung, asing ningeh teka nyagjag, pada sedih len gagroten midep ngalawan.

I Mudita madingehang, kangen sigsigan, mabidi manebak awak, wong desane pada ngelut, apan pada tresna pisan, tur nglemekin, "Nguda kapradnyane ical?'

Apa krana nebek awak, nguda jelene kardinin?, dadi rahayune ilang, wireh jani ada musuh,musuhe tuah patut lawan, tui tandingin, kaprawirane manggehang!"

Wong desane tui pagirang, mamunyi pada manengkik "Ngudiang ngemeng apang lantang, nah kulkule laut gebug, ne jani matoh sapisan, Sumasari,satiain ajak makejang!"

Mabriuk sami matutang, saget kulkule mamunyi, bulus tui telung tuludan, wong desane gerger rauh, kerik tingkih ngaba tumbak, miwah bedil, sawatara kalih talia,

Menembus reke majalan, I Mudita mambaretin, yeh matannyane [ 166 ]160

panas, tak diceritrakan dia di jalan,konon lagi, Wayan Buyar tiba di rumah.

85. Ngajak Ni Kusumasari, tak henti- hentinya menangis, pengikut bersamaan memegang,I Wayan Buyar mengurung, dan ingin mencium, Sumasari, mencaci maki.

86. Tak di cerita Wayan Buyar, mengurung Ni Kusumasari, konon I Mudita, perjalanannya sudah tiba, di timur Karang Buncing konon, bersamaan, berlari-lari sama bersorak.

87.Semua memanggil, kamu seluruh keluarga Karang Buncing, sekarang sudah keluar, keluarga kamu ajak keluar, I Wayan Buyar di caci maki, anjing jahat, saya bersedia memukuli.

88. Ada lagi menjawab,jalan sekarang dimusuhi,rumahnya di bakar, ada keras berkata, besar kecil dimatikan, seluruhnya,jangan lagi memikirkan.

89.Biarkan habis jadi hutan,masyarakat di Karang Buncing, begitu katanya dengan tertawa-tawa, I Mudita berkata halus,jikalau begitu cara berpikir, sangat salah, di campur adukan semua.

90.Orang benar berprilaku,ikut akan


macapcap, reh manahe lebih kebus, tan kocapan ya dijalan, kocap malih, Wayan Buyar teked jumah.

Ngajak Ni Kusumasari, tan maren sesed mangeling, pamadate ngrenyem ngisiang,I Wayan Buyar mangrumrum, tan jangka nopdop maniman, Sumasari, mangumbah ayu manemah.

Tan kocapan Wayan Buyar, ngrumrum Ni Kusumasari, kocap reke I Mudita, pajalane sampun rauh, dangin Karang Buncing kocap, sareng sami, padingklak padingklak pada masuryak.

Sami pada makaukan, "Iba watek Karang Buncing, nah jani suba totogang, kadang bane ajak pesu, I Wayan Buyar nebangsat, cicing bengil, kai manyadia manyakcak,"

Ada buin masaut nimbal, "Jalan ke suba celepin, umahnya tunjel makejang,"Ada manengkik masaut, "Cenik kelih teka matiang, maka sami, eda buin manyangkayang!

Depang telah dadi alas,jagate di Karang Buncing!", Keto munyinnya pagirang,I Mudita masaut alus, "Yaning keto ban mamanah,liwat pelih, bakat carukang makejang.

Anake patut matingkah, milu [ 167 ]161

meninggal,jika prilaku, orang kesatria, yang berani Wayan dihadapi, sekarang lebih baik pelan-pelan, tunggulah dulu, orang desa seluruhnya.

91 Jika mereka memang melawan seluruhnya, buat kejahatan Wayan Buyar, berarti orang desa sama-sama membela dengan orang jahat, baru hadapi, satu-persatu dan lawan.

92.Begitu kata Mudita, setiap orang mendengar mengiakan, kemudian mereka melanjutkan perjalanan, ke desa lantas masuk, bersorak membakar rumah, dan berkata, Wayan Buyar kesinikan.

93.Orang desanya berdatangan, sedesa Karang Buncing, semua datang bertanya, apa sebabnya ribut, sengaja membakar, seperti sekarang, apa sebenarnya menyebabkan?

94.Pengikut I Mudita, menjawab dengan keras, kamu pengikut Wayan Buyar, karena saya datang ke sini ribut, hendak berkeinginan berperang seperti sekarang, menghadapi I Wayan Buyar.

95.Berapa banyak pembelanya, yang ada di Karang Buneing, kalau benar-benar dia kesatria, adukan di sambung ujung kainnya lagi I Wayan Buyar, jahat sekali, mengambil istri

mangemasin matin yan tingkah anak prawira, nene bani patut pagut, ne jani depang adengan, tui antinin, wong desannyane makejang.

Yannya tuah galak makejang, maidep pacang ngetohin, buat corahe Wayan Buyar, wong desane ya silunglung, sapaksane ring wong dusta, nah tangkepin, sabudinnya tui lawan."

Keto munyine Mudita, asing maningeh mainggih, nangingya malih majalan, ka desa ya desa ya lantas masuk, masuryak ngenjutin umah, taur mamunyi, "Wayan Buyar mai gatiang!"

Wong desane katahurag, sakatah ring Karang Buncing, pada pesu manakonang, sapunapi dados ribut, sahasa matatunjelan, kadi mangkin, punapi wiakti kranannya?"

Tututane I Mudita, masaut pada padengkik, "Jrone roang Wayan Buyar, krana tiang mai ribut, reh katagian masiat, buka jani, ngarepin I Wayan Buyar.

Kuda tui patindihnya, ne dini di Karang Buncing, nene nene jatiya prawira, gocekang sambungan kancut, buina I Wayan Buyar, wira jati, nyuang rabine I Mudita." [ 168 ]162

I Mudita.

96.Masyarakat desa mendengar, semua menjawab,jikalau memang demikian, masyarakat di sini tidak ikut, ada yang lain menjawab, silakan berjalan, saya mengantarkan ke sana.

97.Terus dia bersama bersorak, masyarakat desa di Karang Buncing, berkata sambilmencaci maki, Wayan Buyar sekarang rasakan, paliala menanam,nah petik, buahnya sekarang ambil.

98.Begitu katanya mencaci maki, bersorak terus bertepuk tangan, ada lagi datang mendekati, bambu yang diangkatnya, berisi duri bandil di ujungnya, semua,kira-kira sebanyak dua puluh orang.

99.I Wayan Buyar terkejut, mendengar sorak sorai ramai sekali, pengikut cepat-cepat berkata, mungkin yang menanyakan datang, kentongannya sekarang dipukul, supaya ke sini, masyarakat membantu cepat.

lOO.Itu benar ke sana cepat-cepat, nah kentongannya kamu pukul, pengikut lalu lari, memukul kentongan dengan keras, orang desa banyak memegang, mengapa kamu, berani memukul seenaknya?

101.Pengikut ganti berkata, mengapa

Wang desane madingehang, makejang padanyautin, 'Yaning wantah sapunika,jagate driki tan milu,"Ada len masaut nimbal "Nggih mamargi, titiang ngatehang marika!"

Laut ya mareng masuryak, wong desa ring Karang Buncing, memunyi pada manemah, "Wayan Buyar jani pupu, gawene matatanduran, nah alapin, buahnyane jani pupuang!"

Keto munyine ngupetang, masuryak laut ngandupin, ada buin teka manyagjag, tiing reka panjeripun, maisi bandil mincuknya, sareng sami, saatara kalih dasa.

I Wayan Buyar makesiab, ningeh suryak rame gati, pamadate matur enggal, "Sinah pangetute rauh, kulkule mangkin suarayang, mangda mriki, rencange nulungin enggal"

"Ento beneh kema gatiang, nah kulkule tepak cai!",Pamadate raris nyagjag, nepak kukul lintang bulus, wang desane liu ngisiang "Nguda cai, bani ngulkul ligawag- awag?"

Pamadate nimbal ngucap, "Nguda [ 169 ]163

bertanya lagi kamu, Mekel Cede ber- perang, musuhnya banyak mengamuk, orang-orang desa mendengar, seketika memukul, memukul lantas mensusir.

102.Diceritakan I Wayan Buyar, rumahnya di kurung, oleh musuh banyak sekali, Wayan Buyar menangis keras-keras, takut dan gemetar berbaring di lantai, berkelap-kelip, melihat tombak berserakan.

103.Pengikutnya melawan,jadi di hadang dengan duri bandil, bungkus tidak bisa melawan, menyengirnyengir dan aduh-aduh, ada mendekati menombak, dan menyoraki, I Wayan Buyar melihat.

104.Lari membuang-buang diri, Sumasari di dekati, ini membuat rusak, oleh karena rusak sekarang ditemukan, lebih baik sekarang bunuh, diambil dan di pegang.

105.Kusumasari melawan, I Wayan Buyar menusuk, oleh karena takut sekali, jadi tangan meleset, menusuk matanya menoleh kesana kemari, sebab meleset, lukanya Kusumasari.

106.Pengikut I Mudita, bersama mendekati, merebut I Wayan Buyar, ada menarik rambutnya ada yang mencekik, ada menarik ada menusuk, yang lain memukuli, semau-maunya.

tandruh cai beli, Mekel Gede tui mayuda, musuhe liu mangamuk," Wang desane manengehang,jagi nglantingin, manigtig laut mangulah.

Kocapan I Wayan Buyar, umah-nyane kaiderin, baan sikep liu pisan, Wayan Buyar ngeling ngelur, jejeh ngetor maplisahan, kencit-encit, ngantenang tumbak paslengkat.

Pamadate mangawakang, dadi katangkeban, bandil, bungkus teng dadi manglawan,jengat-jengit ngiah-ngiuh, ada nyagjagin manumbak, tur nyuryakin, I Wayan Buyar ngantenang.

Malaib nglaluang awak, Sumasari kajagjagin, "Ene mangawenang rusak, krana jele jani pangguh, pisan ne Sumasari, jani matiang, Sumasari, kajambak tur kagisiang.

Kusumasari manglawan,I Wayan Buyar nebekin, baan jejehnya kaliwat, dadi limannyane nyauh, nebek matane marengang, krana nyimpir, tatune Kusumasari.

Tututane I Mudita, mabriuk pada nyagjagin, mangarang I Wayan Buyar, ada nyambak ada nyekuk, ada maid ada numbak, len ngencakin, tuara ada majangkayang. [ 170 ]164

107.I Mudita cepat-cepat, mengambil Kusumasari, sudah lemas, dan layu, darahnya tak henti-hentinya ke luar, banyak yang menolong memegang, dan mengobati, Kusumasari terkejut.

l08. Ingat dan berkata, kakak ajak saya pulang, anak saya ketinggalan, tidak ada yang mengasuh, aus tidak menyusui, pasti menangis, oleh karena tidak ada yang mengasuh.

109.I Mudita mendengar, air mata menetes keluar, perasaan merasa hancur, lalu dia berkata halus, tidak mungkin tidak mungkin tidak ada mengasuh, dia si anak, nah sakitnya dulu diobati.

llO.Pengikut I Mudita, mengambil Kusumasari, terharu melihat dia melihat, selanjut mengajak pulang. banyak masih berkelihatan, mengambil kekayaan I Wayan Buyar.

111.Pengikut kedua, di atas rumah bersembunyi, sambil membawa tempat uang, yang isinya waskom emas, cincin dan patung emas, cincin dan patung emas, lalu di bawa, sembunyi di tutupi bakul besar.

112.Oleh karena orang-orang berkeliaran, berkeinginan melihat-lihat, peti almari terbuka uangnya sudah

I Mudita mangenggalang, nyemak Ni Kusumasari, suba lelo ehen pisan, getihe tan pegat pesu, liu manulung ngisiang, tui manyampi, Kusumasari ngaliab.

Inget tur dadi mangucap, "Beli ajak titiang mulih, pianak titiange makutang, tuara ada ja mangempu, bedak tuara macecepan, sinah ngeling, baan tongada nungkulang."

I Mudita maningehang, yeh matane nembah mijil, manahe marasa enyag, loutya memunyi alus, "Masa kuangan mangajak, ya i cening, nah sakite ja yasayang!"

Tututane I Mudita, mangosong Kusumasari, pada kangen ya ngantonang, manerus kaajak mantuk. liu enu magagurah, mangrampasin, kasugian I Wayan Buyar.

Pamadate bareng dadua, di tukub gedonge ngepil, sambilang manyangkil kodang, bokor emas dagingipun, bungkung miwah togog emas, tui kegampil, mangkebe matakep bodag.

Roh anake mangagurah, maidepan tui nyaliksik, peti lemari mabungkah, jinenge sampun magabur, ada ka