Geguritan Rusak Sasak

Naskah

uah
35829Geguritan Rusak Sasak — prev1979NENGAH MEDRA, NAZIR THOIR

Geguritan

uah

Rusak Sasak

uah

Nengah Medra

Nazir Thoir


Departemen Pendidikan dan KebudayaanGEGURITAN
RUSAK SASAKTANGGAL 19-2-82

No. INDUK 98PPS/BI/6/78

Milik Dep. P dan K
Tidak diperdagangkan


GEGURITAN
RUSAK SASAK


Alih aksara dan Alih bahasa
NENGAH MEDRA
NAZIR THOIR


DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
PROYEK PENERBITAN BUKU BACAAN DAN SASTRA
INDONESIA DAN DAERAH
Jakarta 1979Diterbitkan oleh
Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra
Indonesia dan Daerah

Hak pengarang dilindungi undang-undang[ 6 ]KATA PENGANTAR

Bahagialah kita, Bangsa Indonesia, bahwa hampir di setiap daerah di seluruh tanah air hingga kini masih tersimpan karya karya sastra lama, yang pada hakekatnya adalah cagar budaya nasional kita. Kesemuanya itu merupakan tuangan pengalaman jiwa bangsa yang dapat dijadikan sumber penelitian bagi pembinaan dan pengembangan kebudayaan dan ilmu, di segala bidang.

Pemeliharaan, pembinaan dan penggalian sastra daerah jelasakan besar sekali bantuannya dalam usaha kita untuk membina kebudayaan nasional pada umumnya, dan pengarahan pendidikan pada khususnya.

Saling pengertian antar daerah, yang sangat besar artinya bagi pemeliharaan kerukunan hidup antar suku dan agama, akan dapat tercipta pula, bila sastra-sastra daerah, yang termuat dalam karya karya sastra lama itu, diterjemahkan atau diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Dalam taraf pembangunan bangsa dewasa ini manusia-manusia Indonesia sungguh memerlukan sekali warisan rohaniah yang terkandung dalam sastra-sastra daerah tersebut. Kita yakin bahwa segala sesuatunya yang dapat tergali dari dalamnya tidak hanya akan berguna bagi daerah yang bersangkutan saja, melainkan juga akan dapat menjelma menjadi sumbangan yang khas sifatnya bagi pengembangan sastra dunia.

Karya sastra lama akan memberikan khazanah ilmu pengetahuan yang beraneka macam ragamnya. Dan penggalian. karya sastra lama, yang tersebar di daerah-daerah ini , akan menghasilkan ciri(ciri khas kebudayaan daerah , yang meliputi pula pandangan hidup serta landasan falsafah yang mulia dan tinggi nilainya. Modal semacam ini, yang tersimpan dalam karya-karya sastra daerah, akhirnya akan dapat juga menunjang kekayaan sastra Indonesia pada umumnya.

Sejalan dan seirama dengan pertimbangan tersebut di atas, kami sajikan pada kesempatan ini suatu karya sastra daerah Bali, yang berasal dari Fakultas Sastra, Universitas Udayana, dengan harapan semoga dapat menjadi pengisi dan pelengkap dalam usaha

5 [ 7 ]menciptakan minat baca dan apresiasi masyarakat kita terhadap karya sastra, yang masih dirasa sangat terbatas.


Jakarta, 1979


Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra

Indonesia dan Daerah


6 [ 8 ]DAFTAR ISI


1. Puh Durma .................................................... 9

2. Puh Sinom .................................................... 28

3. Puh Pangkur .................................................. 42

4. Puh Durma .................................................... 56

5. Puh Pangkur .................................................. 83

6. Puh Sinom .................................................... 94

7. Puh Durma .................................................... 99

8. Puh Sinom ................................................... 112

9. Puh Durma ................................................... 117

10. Puh Pangkur ................................................ 127

11. Puh Durma .................................................. 131

12. Puh Sinom .................................................. 141

13. Puh Durma .................................................. 144

14. Puh Sinom .................................................. 152

15. Puh Pangkur ................................................ 162 [ 9 ]Geguritan "RUSAK SASAK"1)


PUH DURMA


Om awignamastu nama sidi.


1. Durmanggala jagate alah
sapuhang,

antuk kerta susandi,

adil paprentahan ida,

sang mangwisesa,

sri Bagenda raja putri,

sat surya candra,

nggalangin maka gumi.


2. Sawawengkon ring tanah
India Nederlan,

kawasa nyakra warti,

panyungsungan jagat,

raja diraja tama,

tan kaginggang tan kagingsir,

babawas ida,

sepat bener mamargi.


3. Mangardiang ngamet rahayu
ring jagat,

pitulung ring ne sakit,

matutang ne darma,

ngayubin sane panas,

mamindanda nene sisip,

manut babuatan,

ngiring ucapan aji.


4. Buat agama sastra kutara
manawa,


Diceritakan negara telah
kalah disapu rata,

oleh kebijaksanaan sang raja,

pemerintahannya sangat adil,

yang berkuasa,

Sri Baginda raja Putri,

bagaikan bulan dan matahari,

yang menyinari dunia.


Semua daerah Hindia
Belanda,

berkuasa memerintah,

menjadi junjungan rakyat,

raja besar,

tidak pernah ditentang dan

tidak pernah ditolak,

perintah beliau,

salah atau benar semua harus
dilaksanakan.


Menciptakan kesejahteraan
rakyat,

memberikan pertolongan

kepada yang kesakitan,

menegakkan kebenaran,

memberikan perlindungan
kepada yang kepanasan,

menghukum yang salah,

menurut besar kecilnya
kesalahan,

sesuai dengan ajaran.


Mengenai ajaran keagamaan
yang disebut Kutara dan


1) Dari naskah yang tersimpan di Pustaka Lontar, Fakultas Sastra Universitas Udayana, dengan ciri, Kropak no. 164 Lontar No. 357. [ 10 ]sasana sara sreti,

jejer kamanggehang,

dening hyang masasira,

asta bratane tan mari,

pratama bratan,

hyang Indra kamarginin.


5. Sukirtine punika prasida ujan,

malimbahin jagat sami,

tis trepti suka,

ping ro yama brata,

nigtig midanda ne sisip,

corah satata,

ngura harayang gumi.


6. Kaping tiga surya brata
kajejerang,

mangisep we tan mari,

tan katenger bingbang,

babawos pukul rata,

asat tur saka ring aris,

luih wiweka,

guna tama nggalangin.


7. Kaping empat sasi brata
ngawe suka.

ngliangin jagat sami.

luir tiben amerta,

sasmeta ulat ulat,

ajur ajer kaduk manis,

asing pandita,

ne patut kaormatin.


Manawa,

dan tata susila,

ditegakkan dan dilaksanakan,

oleh sang raja,

begitu pula yang disebut
Asta Brata,

yang pertama,

Barata dewa Indra
dilaksanakan.


Jasanya bagaikan hujan,
membasahi seluruh negeri,

sejuk tentram dan bahagia,

yang kedua yang disebut
Yama Brata,

menyiksa dan menghukum
yang salah,

yang bersifat jahat,

membuat huru hara di dalam
negeri.


Yang ketiga juga

melaksanakan yang disebut
Surya Brata,

menghisap air sampai habis,

tidak ragu-ragu,

bicaranya tegas,

datar dan manis,

sangat pandai,

menarik dan jelas.


Keempat yang disebut sasi

(bulan) Brata yang membuat
senang,

menyenangkan semua rakyat,

bagaikan kejatuhan amerta
(air kehidupan).

selalu tersenyum,

ramah tamah dan sopan,

terutama terhadap para [ 11 ]8. Kaping lima bayu brata nyidra solah,

manah jagate sami,

rasa gunandika,

ngan tenang nene suksma,

ne kari ring jeroning ati,

kawaspadayang,

dibya caksu manyelir.


9. Ring kaping nem kuwera brata keswarya,

enak mukti sakapti,

nging tan ngatelebang,

babuktian muah inuman,

yadin ngangge nene lewih,

tan kareketan,

sampun ngelug alaris.


10. Kaping pitu pasa brata hyang Baruna,

masabda ta mahingid,

krura naga pasa,

nalinin idurjana ne pangpang ngletuhin gumi,

wisyane mawak hukum gantung nibenin.


11. Kaping wulu ageni brata tuara pegat,


pendeta,

yang patut dihormati.


Kelima yang disebut Bayu (angin) Brata,

berbuat seolah-olah baik,

pikiran rakyat semua,

merasa tertarik,

melihat kebaikannya,

tetapi yang ada di dalam hati,

sangat dirahasiakan,

bagaikan orang yang berpandangan tembus.


Yang keenam Kuwera Brata sang raja,

puas menikmati segala yang dikehendaki,

tetapi tidak terlalu memikirkan,

makanan dan minuman,

juga pakaian yang mewah-mewah,

tidak terikat,

sudah dianggap hal yang biasa.


Ketujuh yang disebut Pasa

Brata dari dewa Baruna,

berkata dengan tegas,

ganas bagaikan naga,

mengikat si jahat,

yang berani mengacau negara,

yang nafsu (jahatnya) telah mendarah daging,

dikenakan hukum gantung.


Kedelapan yang disebut Ageni Brata, [ 12 ]ngeseng i satru bresih,

asing parag rebah,

tuara bani matangah,

galake prasida api,

murub dumilah,

sura dira ngupinin.


12. Reh walung hyang mapupul ring anggan ida,

sri maharaja putri,

dwaning kabinawa,

luih tan patandingan,

anut ring warni kadi ratih,

waluya sanghyang,

Girindraputri.


13. mangleganin ambek jagate satata,

luir tirta merta suci,

nirmala malilang,

karatone utama,

mange bekin gumi langit,

yen teka parna,

tuna budi ning kawi.


14. Mangkin ucap numer satu bawah raja,

saksat byang Wisnu murti,

ida sri paduka,

tuan besar Gupernur Jendral,

raja Batawi gantianin,


tidak putus-putusnya

menghancurkan musuhnya sampai bersih,

setiap yang menentang hancur,

tidak berani berkutik lagi,

keberaniannya bagaikan api,

menyala menjilat-jilat,

lagi pula perwira dan berani.


Karena kekuatan dewa

terkumpul dalam badan beliau,

Paduka Raja Putri,

karenanya sangat termasyhur,

tidak ada tandingannya,

jika diumpamakan rupanya

bagaikan Dewi Ratih,

seperti Sang Hyang Girindraputri.


Selalu menyenangkan hati rakyat,

bagaikan air amerta (penghidupan) yang suci,

jernih berkilauan,

istana beliau sangat mulia,

di seluruh dunia,

jika dicari kiasannya,

kehabisan inspirasi sang penyair (untuk melukiskannya).


Sekarang diceritakan orang pertama di bawah raja,

bagaikan penjelmaan dewa Wisnu,

beliau Sri Paduka,

Tuan Besar Gubernur Jendral, [ 13 ]buat kahormatan,

mrentah sabawah angin.


15. Praja yan ririh wiweka jana nuraga,

purusa luih misti,

tan kahanan obah,

tetap wantah ngaryanang,

kamelahan jagat sami,

ne mambek darma,

tan maren kasukanin.


16. Mapramanca tuas tustus tis wiragotra,

sinelir ngadipati,

bilang pulo desa,

ne sampun kawinaya,

mancarang pangrawos radin,

ne mahawinan kreta salami-lami.


17. Mangaranayang gemuh landuh suka wirya,

sakuwum.prentah sami,

wibuh tan katunan,

brana sarwa mulia,

reh ngasasih sa. beh ringgit,

saking paican,

sri maharaja putri.


18. Duaning jejer kagungane kastawa,

tong ada ngipik-ipik,

yen akudang desa,

nagarane kacaya,

tan open praratu Bali,


mengganti raja di Betawi,

sebagai kehormatan,

memerintah Indonesia.


Sangat bijaksana dan pandai

serta dihormati rakyat,

berani dan banyak siasat,

tidak pernah berubah,

tetap mengerjakan,

kebaikan negeri,

yang berkebajikan,

selalu disenangi.


Dengan para manca yang berhati jujur dan berani,

didampingi para adipati,

di setiap pulau dan daerah,

yang telah ditaklukkan,

disertai pembicaraan yang menarik,

itu yang menyebabkan

tenteram selama-lamanya.


Hal ini pula menyebabkan makmur dan bahagia,

segala perintah,

diturut tidak ada kurangnya,

harta benda yang serba mulia,

karena setiap bulan.

kebanjiran uang,

pemberian raja putri.


Pemerintahannya kuat dan dijunjung rakyat,

tidak ada yang mengganggu gugat,

sudah beberapa daerah,

dan negara yang ditaklukkan, [ 14 ]nurut prentah,

ring Lombok minakadi.


19. Kene reke purwa kandanya dartayang,

makerana bebas laris,

jagate di Sasak,

kaambil antuk ida,

sri bagenda raja putri,

buka dadakang,

painganane lempir.


20. Ida Anak Agung Gede Ngurah Karangasem,

ngwisesa sami,

ne ring jagat Sasak,

miwah di Bali Karangasem,

paprentahan tunggul,

punggawa ida,

watek wagmi mangabih.


21. Mawinan sida kreta sarwa mudah,

gemuh landuh sing alih,

wiakti wantah ida,

pageh pisan ngaryanang,

mangde treptining nagari,

dwaning tan pegat,

mawangun yajnya kirti.


22. Tur tan maren nyalanang bawa laksana,

darma subrata gening,

darana santosa,

arep ring pahasihan,

ring sri raja ring Batawi,


tidak ketinggalan raja Bali,

menurut perintah,

seperti yang terjadi di Lombok.


Beginilah asal mula kejadian diceritakan,

yang menyebabkan ditaklukkan kerajaan di Lombok (Sasak),

dikuasai oleh beliau,

Sri Baginda Raja Putri,

seperti mendadak,

dan akhirnya terus dikuasai.


Tersebutlah Anak Agung Gede Ngurah Karangasem,

memerintah semuanya,

di Lombok,

dan di Karangasem Bali,

pemerintahannya tunggal,

para punggawa beliau,

semua orang bijaksana.


Karenanya negara tenteram dan segalanya serba murah,

segalanya subur makmur,

sungguh beliau,

tekun memerintah,

supaya negara tenteram,

maka tiada putus-putusnya,

membangun kesejahteraan rakyat.


Dan tidak henti-hentinya berbuat kebajikan,

kewajiban yang suci,

tertib dan sentosa,

terhadap negara sahabat,

dengan penguasa di Betawi [ 15 ]tetep ngawenang,

babawos tresna asih.


23. Wireh wenten panamaya

munggwing kontrak,

terang magurit wesi,

solah makasihan,

apang tuara da obah,

nurut saprahe lan sami,

abot pwaranya,

yan tuara mamitindih.


24. Nging kabatek antuk yugane
ngasorang,

Anake Agung Lingsir,

kirang panyupeksa,

teka wekas parcaya,

ring babawos i anak wiakti,

sane duhuran,

nanging wetune nawing.


25. Ne maparab Anak Agung
Made Karangasem,

kanggo ngarawosin,

ne di jagat Sasak,

muputang saperahe lan ala
ayun jagat sami,

ngikut sobaya,

rawuhe ka Betawi.


26. Ne pangajeng Anak Agung
Ketut Karangasem,

marupa mari wiakti,

kedeng titah,


(Jakarta) tetap
hormat-menghormati.


Karena telah ada perjanjian
dalam kontrak,

jelas tertulis dengan besi,

tata tertib persekutuan,

supaya tetap setia,

menurut keadaan
masing-masing,

berat akibatnya,

kalau tidak saling membantu.


Tetapi karena masa

pertentangan yang
mengalahkan,

Raja yang tua,

kurang waspada,

terlalu mempercayai,

perkataan anaknya,

yang lebih tua,

yang lahir dari istri yang
bukan permaisuri.


Anak beliau itu bernama

Anak Agung Made
Karangasem,

orang terkemuka,

di daerah Lombok (Sasak)

memberikan keputusan

terhadap semua masalah,

tentang baik buruknya
negara,

menurut perjanjian,

datang ke Betawi.


Yang terkemuka Anak Agung
Ketut Karangasem seperti

tidak menyetujui,

rupanya telah takdir, [ 16 ]pangerawos wetu akas,

Sura Amblapura dadi,

ngebusin jagat,

rawose lintang pidik.


27. Painganan kali yuga ne
mamerat,

ento kerana dadi sasorohan
Selam,

murka idep mamandal,

desa Paraya murwanin,

ngugal mukatang,

congah ring raja Bali.


28. Duk ring dina Sukra Pwon
wara Prangbakat,

tanggal ping tiga sasih Karo,

manuju rah tiga,

tur tenggek tunggal,

Isakanya sia bangsit,

nanggu telulas,

semeng bau endag ai.


29. Kawit katur ka nagara yai
Praya,

sikepny ane di margi,

dawuh puyung ngentas,

pacang manincap desa,

Sukarara ditu raris,

Sura Amlapura,

egar age mapamit.


30. Ring i aji pacang mendak
antuk yuda,

kulkule mangumbutin,

bilang desa banjar,

punggawa marantaban,


kata-katanya kasar,

sehingga Sura Amlapura,

merepotkan negara,

kata-katanya sangat tajam.


Rupanya saat perpecahan

(kali yuga) telah tiba,

itulah yang menyebabkan,

golongan Islam,

marah dan membangkang
(memberontak),

daerah Peraya sebagai yang
pertama,

memutuskan,

menentang raja Bali.


Pada hari Jumat,

Pon Prangbakat,

pada bulan terbit ketiga,

bulan kedua (kato),

rah tiga,

tahun isaka 1800,

lebih tiga belas (1813),

pagi-pagi matahari baru terbit.


Telah sampai beritanya di
istana tentang maksud Peraya,

Pasukannya di jalan,

di daerah sepi dilalui,

melewati desa,

disebutkan di Sukarara,

Sura Amlapura segera mohon
diri.


Kepada ayahnya akan
menyongsong pasukan

Peraya masuk berperang,

kentongan telah dipukul,

di setiap desa dan kampung, [ 17 ]sregep ngangge sarwa becik,

soring bancingah,

mamoho srenceng titib.


31. Tumbak bedil

masoroh-sorohan napak,

sikepe ring nagari,

ngenah pada bungah,

sasebeng pada egar,

buka tuara bisa biid,

matatakeran,

matumbak tebek gisi.


32. Sura Amlapura kodal ka
bancingah,

panganggene mangendih,

wiakti raja putra,

tus-tus purusa ring perang,

ngesengin punggawa sami,

ne ngiring mangkat,

sampun puput pineling.


33. Pakayunan ida pacang

mangga manggam belang,

desa Kadiri wiakti,

sampun kadauhan,

papucuke mamarga,

wenten kelod wenten kangin,

sane manginang,

Pringgarasa kukuhin.


para punggawa siap sedia,

berpakaian serba indah,

di luar halaman istana,

berbaris pasukan dengan
tertib.


Tombak senapan berbaris

berkelompok-kelompok,

pasukan kerajaan,

semua kelihatan mewah,

wajahnya berseri-seri,

bagaikan tidak pernah
terkalahkan,

dalam peperangan,

saling tembak,

saling tusuk dan saling
pegang.


Sura Amlapura keluar ke
halaman istana,

pakaiannya menyala,

benar-benar sesuai sebagai
seorang putra raja,

keturunan perwira dalam
peperangan,

memanggil punggawa semua,

yang akan ikut berperang,

telah selesai diperiksa.


Maksud beliau akan

mempertahankan desa
Kediri,

setelah dipanggil,

tiap-tiap pimpinan berjalan,

ada yang ke selatan dan

ada yang ke timur,

yang ke timur daerah

Peringgarasa yang
dipertahankan. [ 19 ]34. Sura Amlapura munggah

munggwing dampa,

mapayung kertas kuning,

mamase ngiringang,

bungah mapontang mas,

pamargine pada gelis,

tambur matimbal,

munyine mangempengin.


35. Kebiar-kebiar lalonteke
maparada,

murub masawang tatit,

surake matimbal,

kadi sagara ngencali,

pagere deg salantang margi,

sikep laksaan,

ginting pada babecik.


36. Tan caritan di margi
sampun manapak,

munggwing desa Kadiri,

ada mangaturang,

musuhe suba teka,

di Jalantik wiakti titib,

buka ketogang,

saporaya mam riukin.


37. Ne madan Bangkolmahil
paguruan,


Sura Amlapura naik tandu
peperangan,

dengan payung kertas
kuning,

diantar oleh pasukan
tombak,

mewah bertatah emas,

perjalanan sangat cepat,

tambur bersaut-sautan,

suaranya memekakkan
telinga.


Bersinar lelontek

(alat-upacara) yang
bertatahkan perada,

gemerlapan bagaikan
halilintar,

sorak sorai sambung-menyambung,

bagaikan ombak lautan.

yang memecah,

gemuruh sepanjang jalan,

pasukan yang berjumlah
puluhan ribu,

semua siap dan tertib.


Tidak diceritakan dalam

perjalanan kini telah sampai,

di desa Kediri,

ada yang mengatakan,

musuh telah datang,

di desa Jelantik dengan
tertibnya,

bagaikan disurahkan,

semua penduduk Peraya maju
berperang.


Ada disebutkan sebuah
perguruan Bangkolmail, [ 20 ]watek alime sami,
di desa Peraya,
saat pada meutang,
congah nyane ka nagari,
Sura Amlapura,
gangsuh ngandika gelis.

38. Mangutusang baudanda
kaparcaya,
mamendak musuhe raris,
rantaban majalan,
buntasang dangin tukad,
Pakukeling kawastanin,
ditu kapendak,
satrune-mangrihinin.

39.Galak ngamuk sikepe saking
nagara,
wenten rusak len kanin,
kasepan matingkah,
makiles dauh tukad,
ditu ngalih tadah becik,
gelis mandabdab,
ngam biarang sikep tarik.

40.Kalih ida Sura Amlapura
menggah,
antuke kaabanin,
ban musuh Paraya,
raris ida ngandika,
ngarepang bedil pangawin,
musuhe ucap,
menglintang tukad gelis.

41Saksat banteng ambaran
kucup ngarepang,


perkumpulan para alim
ulama,
di desa Peraya,
tidak mau tunduk,
dia memusuhi kerajaan,
disebutkan Sura Amlapura,
segera berkata dengan tegas.

Memerintahkan patih yang
terpercaya,
menyongsong musuh,
lalu segera berjalan
menyeberangi sungai ke
timur,
sampai ke Pakukeling,
di sana bertemu musuh
mendahului.

Dengan garang pasukan
kerajaan mengamuk,
ada yang hancur dan ada
yang kena (luka),
terlambat berkelit bergeser
ke seberang barat sungai,
di sana mengambil posisi
yang baik,
lalu bersiap-siap,
semua pasukan terpencar.

Beliau Sura Amlapura sangat
marah,
karena didahului oleh
pasukan Peraya,
lalu beliau berkata,
membidikkan senapan,
diceritakan pasukan musuh,
sudah menyeberangi sungai.

Bagaikan banteng yang luka
menyeruduk menyerang ke


20 [ 21 ]sikep nagara kadi,
singa sedeng galak,
ginting pada ngarepang,
kiwa tengen mambedilin,
kalih pangawak,
sikepe ring nagari.

42. Surak sinurak kadi ombak
matimbalan,
ancute kelod,
dadi lilih mageliuran,
dening soroh Selam,
Kadiri Presa ngampadin,
buka nyapiayang,
belit tan sakeng jerih.

43.Ento kerana baudanda ditu
rusak,
pragusti maninggalin,
pangamuk Paraya,
rencange milu buntas,
katawurag pada belit,
gustine kutang,
mabela kalih siki.

44.I Paraya malih nguntasang
ka tengah,
Bangkolmail nyujukin,
mangaduang rencang,
sikep daléme mapag,


depan,
pasukan kerajaan,
seperti singa yang galak,
siap siaga maju ke depan,
yang di kiri dan kanan
menembaki,
serta pasukan induk,
dari tentara kerajaan.

Sorak menyoraki bagaikan
deburan ombak silih
berganti,

yang di ujung selatan kalah,
sehingga pasukan kacau balan,
dikalahkan oleh pasukan
Islam,
Kediri dan Presa (Presak)
yang terakhir,
sangat tangguh,
kuat dan tidak kenal
menyerah.

Itu menyebabkan para
pimpinan di sana hancur,
para satria meninggalkan
peperangan,
akibat serangan Peraya,
anak buahnya ikut lari,
musuh semua kuat,
akhirnya pimpinannya
ditinggalkan,
hanya ada satu dua yang
membela.

Pasukan Peraya terus maju
ke tengah-tengah,
Bangkolmail berdiri,
mengadu anak buahnya,
disambut oleh pasukan

21 [ 22 ]soroh jarmane ngamahin,
maseriak gantas,
musuhe akeh mati.

Len matatu
masurung-surungan nabrang,
malaib nekep ejit,

I bangkol madandan,
karebeng baan rencang,
lengene kena mimis,
sikep nagara,
nguberin mamedilin.

Tan carita wireh-ida sang
hyang Surya,
sampun manunggang giri,
buka many apihang,
yudane raris ida,
Sura Amlapura,
gelis mangranjing,
kuta Kadiri kajagerahin.

Reh kabawos cicitan ipun
sampun ginggang,
baktine ka nagari,
kalih I Paresa,
sampun sakongkol manah,
ninutin I Bangkolmail,
ayatan benjang,
ngangkatin Praya desi.

Mangde puceh bongkolnyane
abriakan,
pilih boya ngurisik,


kerajaan yang di
tengah-tengah,
senapan Jerman menghujani,
seketika rebah,
musuh banyak yang mati.

Yang luka-luka saling dorong
menyeberangi sungai,
lari menutup pantat
(ketakutan);
Bangkolmail dituntun,
dikerumuni oleh anak
buahnya,
tangannya kena peluru,
pasukan kerajaan,
terus mengejar sambil
menembaki.

Tidak diceritakan lagi karena
matahari,
telah melewati gunung,
bagaikan sengaja memisah,
peperangan,
lalu beliau Sura Amlapura,
segera memasuki.

kota Kediri digeledahinya.
Karend dikatakan rakyatnya
sudah ingkar,
kesetiaannya pada kerajaan,
dan Presa (Peresak) telah
bersekongkol,
menuruti Bangkolmail,
besok paginya,
akan memerangi desa Peraya.

Pusat kekuatannya dulu
dihancurkan,
supaya jangan ada yang


22 [ 23 ]carange ne katah,
tong bani manggobayang,
siat marek ka nagari,
aketo pragat,
pangerawos sedek wengi.

49.Pra punggawa mamatut
bawos ida,
sang makd senapati,
apan wagmi maya,
tan kurang pawiweka,
heneng tan kocap ring wengi,
bu tatas lemah,
tambure ngawangsitin.

50.Pra punggawa sampun napak
mangambiarang,
rencang mapalias becik,
murub yan iribang,
kadi geni sahalas,
pacang ngeseng Praya desi,
Sura Amlapura,
gantas kodale gelis.

51.Pamargine gagangsaran laris
buntas,
ring desa Pujang raris,
pamating nagara,
nguntasang mangarista,
dusun-dusun Praya sami,
sahelor kuluan,
telas kageseng radin.


bangkit lagi,
cabang-cabangnya
(sekutu-sekutunya) yang
banyak itu,
tidak akan berani bergerak,
perang dekat kerajaan sekian
selesai,
musyawarah pada waktu
malam.

Para punggawa menyetujui
perintah beliau,
karena beliau sebagai
panglima perang,
dan sangat bijaksana,
dan tidak kurang daya upaya,
tidak diceritakan malam itu,
tersebutlah malam telah
menjelang pagi,
bunyi tambur memberi
isyarat.

Para punggawa telah bangkit
berjejer,
pasukan berbaris rapi,
sangat gagah,
bagaikan api seluas hutan,
yang akan membakar daerah
Peraya,
Sura Amlapura,
segera keluar.

Perjalanan sangat cepat,
disebutkan di desa Puyung.
pasukan kerajaan,
terus maju menyerang semua
kampung di Peraya,
bagian barat dan utara,
semua dibakar musnah.

23 [ 24 ]52. Wireh sida pangaristane
sinarengan,
ring sane ngamarginin,
desa Pringgarasa,
punggawa saseliran,
tatiga many opati,
sami lagawa,
tuara mangetang rimbit.

53. Saisining dusun Praya
katunuan,
wenten malaku urip,
wenten anabrang alas,
nyuun mamikul barang,
nyingal panak pakaruit,
ipapua kutang,
ngeling managih anti.

54.Jempiah jempuh pajalane
matruyudan,
manyum bari-ban,
bah manjugegag,
tengkejut kasurakan,
pangelocokane melengketik,
masasambatan,
brembe bake gendit.

55.Kapo gelis sang hyang surya
sampun ngandap,
meh pacang nampi wengi,
gelis mangilesang,
sikepe ngungsi desa,
Buyung kapicager bakti,


Karena berhasil serangan
bersama,
dengan yang bertugas,
di desa Peringgarasa,
para punggawa pilihan,
tiga orang yang menjadi
pimpinan perang,
semua hebat,
tidak ada memikirkan
kesulitan.

Seisi desa Peraya
dihanguskan,
ada yang memohon hidup,
ada yang lari ke hutan,
menjunjung dan memikul
barang-barang,
menggendong anak yang
menangis,
yang menderita ditinggal,
menangis minta ditunggu.

Terhuyung-huyung jalannya,
dengan barang junjungan
yang berat,
akhirnya jatuh terjungkal,
sangat terkejut karena
disoraki,
sehingga pengelocokannya
(lesung sirih) terpental sam bil
berkata,
bagaimana saya terjatuh.

Syukur juga matahari hampir
terbenam,
hari menjelang malam,
segera bergerak,
pasukan menuju desa,
tetapi ternyata desa kosong,


24 [ 25 ]kapalan desa,
I Raden Wirabakti.

56. Sura Amlapura sampun
masanggrahan,
benjang ucapen malih,
bau mupu kembang,
tambure manggagiras,
ngatag pamatinge mijil,
puput mangambiar,
ring kuta Buyung kangin.

57. Raden Wirabakti mangkin
manyilinayang,
baktine ka nagani,
apan sampun bebas,
kalugraha pucukang,
mangerista Praya desi,
tur sampun napak,
tencange pada ginting.

58. Abriukan pamargine
apisanan,
surak saling timbalin,
tambure mangarkar,
buka marasa oyag,
gumine salantang margi,
ban garedegan,
pamating akeh ngiring.

59. Lewih saking desa dusun
tarik teka,
sorohan dangin juring,
delod dangin Praya,
Pujut Katara miwah,
Panujalan Batujai,


jajahan nateng,
kepala desanya bernama
I Raden Wirabakti.

Sura Amlapura sudah
istirahat,
diceritakan keesokan
harinya,

baru mekarnya bunga,
bunyi tambur
membangkitkan,
serentak pasukan keluar
selesai berbaris,
di desa Puyung.

Sekarang Raden Wirabakti
menyatakan,
tunduk pada raja Bali,
karena telah bebas,
dianugrahi sebagai pimpinan,
menyerang desa Peraya,
dikisahkan telah sampai,
prajurit semua siap sedia.

Bergerak sekalian berjalan,
sambil bersorak-sorak,
bunyi tambur bertalu-talu,
bagaikan bergoyang,
bumi yang dilalui sepanjang
jalan,
karena gerakan,
pasukan yang banyak
mengikuti.

Dari segala penjuru desa dan
kampung datang,
juga yang dari seberang
timur,
dari sebelah tenggara Peraya,
Pujut dan Katara,
serta Penujalan,


25 [ 26 ]mangkung telas mangiring.

60. Pada ngalih gusti gelah
manyihnayang,
takut katarka juti,
karepe mamandal,
sakongkol ka Praya,
apan parembuge pasti,
ngadiani congah,
ring ida raja Bali.

61. Dening tuara I Praya
manyidayang,
ngisi desa Kadiri,
ento makerana,
hnur makira-kira,
tan ucapan ne di margi,
akudang laksa,
pamating Selam Bali.

62. Dauh pisan kangin napak
kaideran,
kuta Paraya desi,
I Puyung magebras,
narejaK ngawug desa,
I Praya matanggal kincit,
bantas satusan,
becek matatu mati.

63.Kocap ento soroh Menak
nya di desa,


Batuaji,
semua daerah jajahan raja,
ikut menyertai.

Masing-masing mencari
pimpinan sendiri,
untuk membuktikan diri,
takut disangka
memberontak,
semula maksudnya
menentang,

karena telah bersekutu ke
Peraya,
dan pembicaraan sudah pasti.
karena merasa tidak senang,
dengan raja Bali.

Tetapi Peraya tidak
berhasil,
mempertiliunkan desa Kediri,
itulah sebabnya,
bubar mencari jalan.
sendiri-sendiri,
diceritakan sekarang yang
di jalan,
entah berapa puluh ribu,
pasukan Islam dan Bali.

Kira-kira jam delapan pagi
pasukan telah sampai dan
mengurung,
kota Peraya,
pasukan Puyung bergerak,
maju menyerbu,
pasukan Peraya kalah (lari),
kira-kira seratus orang,
hancur luka dan mati.

Disebutkan sekarang para
Menak di desa itu,


26 [ 27 ]ajahan pada belit,
ngalih tongos sengka,
kumpul suba magenah,
di Parapen kakukuhin,
ditu dangkanya,
i guru Bangkolmail.

64. Pada nengil apa anti
mapuputan,
dangka cungkube bresih,
katunu kajarah,
soroh ubuhan pretak,
tan ucapen soroh padi,
lan sarwa barang,
tuara pegat kakatir.

65. Dadi katur ring Ida Sura
Amlapura,
mungguh manyenapati,
di Parapen kocap,
I Bangkolmail kaya,
sugih liu ngelah padi,
mas salaka,
pipis makoti-koti.

66.Tan ucapen lalewesan
sawarnanya,
awanan kaperamangkin,
ny alanang utusan,
keni sampun ngarusak,
gubug Parapene wiakti,
dening ortanya,
ageng I Bangkolmail.

67. Miwah soroh kebo banteng
panyiuan,
kerana makayun wiakti,
nahar keni sida,


sekejap mata sudah mundur,
mencari tempat yang aman,
mereka tinggal berkumpul,
di Parapen dipertahankan,
di sana pemimpinnya,

si Bangkolmail.

Semua diam untuk apa
perang habis-habisan,
para pimpinan dan
pemukanya telah bersih,
semua hancur dibakar dan
dirampas,
seperti ternak-termak,
begitu pula padi,
dan barang-barang lainnya,
tiada putus-putusnya
diangkuti.

Akhirnya sampai pada beliau
Sura Amlapura,
yang akan menjadi Senapati
(panglima perang) di Perapen
yaitu Bangkolmail,
yang terkenal kaya,
banyak punya padi,
emas perak,
dan uang berjuta-juta.

Tidak diceritakan dalam
perjalanan,
sehingga mendadak,
mengirim utusan,
supaya jangan sampai rusak,
desa Perapen,
karena banyaknya jumlah
arta Bangkolmail.

Lagi pula sapi kerbau
jumlahnya ribuan,
karenanya mempunyai
maksud,

27 [ 28 ]musuhe onya kalah,
gubug Parapene kari,
tuara da rusak,
beranan ipun keni.

68. Mangde katur seken Sura
Amlapura,
I Raden Wirabakti,
pramangkin ngilesang,
rencange sedeng mangap,
ento kerana tuara laris,
desane rusak,
iloba mangukuhin.

69. Mula titih dadi wetu para
campah,
kakedeng ban daging,
pidike mamerat,
sayan manggap patanggal,
tur layu buin bantinin,
kancane congah,
kasinomanya ngeranjing.

agar tercapai musuh semua
kalah,
desa Perapen tetap utuh,
tidak ada rusak arta
bendanya.

Hendaknya diserahkan
kepada Sura Amlapura,
Raden Wirabakti,
seketika mengerahkan,
prajurit yang sudah siap,
itu menyebabkan tidak
lancar,
desanya rusak,
si tamak yang
mempertahankan.

Sudah takdir dia menganggap
enteng,
karena merasa diri kaya,
tetapi kikir,
makin banyak anak buahnya
meninggalkan,

dan Jesu disuruh terus
berperang,
akhirnya rakyatnya makin
benci,
diganti pupuh dengan sinom.


PUH SINOM

70. Sura Amlapura budal,
mangojog ka Puyung raris,
Mapangrawos ring punggawa,
solah paparane mani,
sampun kadauh sami,
ne nyandang maka papucuk,
ngampidin kari kanan,
heneng tan kocap ring wengi,


Sura Amlapura pulang,
lalu menuju Ke Puyung,
musyawarah dengan para
punggawa,
rencana untuk esok harinya,
setelah dipanggil semua yang
patut menjadi pasukan inti
(terdepan) dan yang menjadi


28 [ 29 ]tatas lemah,
munyin tambure mangatag.

71. Matimbalan tuara pegat,
pamatinge tarik mijil,
kalih Sura Amlapura,
sampun malinggil ring joli,
maperada bunga hgendih,
akul nyanding payung agung,
pantes tuara kirigan,
satekan musuh timpalin,
lun katuduh,
majalan masasurakan.

72. Pamatinge yan sayangang,
kadi sagara mapalih,
magulungan tuara pegat,
buka gununge magatik,
surake mangembutin,
kadi camara macengung,
panedeng di katiga,
geredegan batise kadi,
ketug lindur,
rasa boya wangde jaya.


sayap kiri dan kanan,
tidak diceritakan lagi malam
itu,
waktu subuh,
bunyi tambur bertalu-talu.

Sahut-menyahut tiada
hentinya,
pasukan semua keluar,
dan Sura Amlapura,
sudah duduk di atas Joli
(tandu),
bertatahkan perada mewah
menyala,
diapit dengan payung
kebesaran,
pantas tidak pernah mundur,
setiap musuh yang datang
dihadapi,
prajurit beriringan,
sambil berjalan
bersorak-sorak.

Pasukan (prajurit) itu jika
diumpamakan,
bagaikan alun gelombang
lautan,
menggulung-gulung tiada
putusnya,
bagaikan gunung beradu,
diiringi sorak sorai,
seperti suara pohon cemara
ditiup angin mendengung,
pada bulan ketiga,
derap kaki pasukan,
seperti gempa yang
menggoncangkan dunia,
seperti tidak akan pernah
kalah.


29 [ 30 ]73. Sura Amlapura ida,
egar kayune mangaksi.
solah pamatinge ngambyar.
majalan kadi ring tulis,
wenten ne mangokok titir,
mangigel sambil madangkrak,
wenten ngejerang tumbak,
manganggar kalewang
nengkik,
reh katarka,
satrune sayan ngincitang.

74. Tan kacarita di jalan,
rauhe di Praya gelis,
mangiter ia I Bangkol,
mangujanin baan mimis,
masundul-sundul tarik,
munyin meriem kadi kerug,
dulurin baan surak,
sara mengungang langit,
nging I Bangkol,
ngkong ngelah pasangidan.

75. Makelid di basang tukad,
ajak rencangnyane sami,
atut ada mangadayang,
pamating asiki Kalih,
pamating ring nagari,
geger ngiring sapituduh,
kewala buka gebrag,
mangujanin baan mimis,
keni tileh sida Parapene,
jemak.


Beliau Sura Amlapura,
sangat gembira hatinya
melihat tingkah laku para
prajurit yang terpencar,
berjalan seperti dalam cerita,
ada yang mengkokok keras
menari berjingkrak-jingkrak,
ada yang menggerak-
gcrakkan tombak,
mengangkat pedang dan
membentak,
karena menurut dugaan
mereka,
musuh sudah semakin takut.

Tidak diceritakan dalam
perjalanan,
segera tiba di Peraya,
lalu mengurung Bangkolmail,
dihujani dengan peluru,
saling desak dengan Keras,
bunyi meriam seperti petir,
diikuti dengan sorak,
bagaikan memecahkan langit,
tetapi Si Bangkol,
dia mempunyai tempat
berlindung.

Menghindar di tengah sungai,
dengan anak buahnya semua,
tinggal beberapa orang,
beberapa orang prajurit,
prajurit kerajaan,
serentak menuruti segala
perintah,
seperti diterkejutkan,
menghujani dengan peluru,
sehingga utuh berhasil
Perapen dikuasai.


30 [ 31 ]76. Musuhe onyangan rusak,
ne bani mangamuk mijil,
kalih yan nya mangarasa,
takut mati nunas urip,
rawos anggo nibanin,
dadi kudang dina sampun,
tuara kadidan kalah,
I Bangkol katungkul
ngenjing,
Sura Amlapura,
mangkin maminehang.

77. Ajerih ring i aji menggah,
ban yudane alal kalih,
i aji sering ngutusang,
mangda makanten ring gelis,
kawon I Bangkoimail,
Sura Amlapura ditu,
menggah tuara pilihan,
mangampros mawarna jengis.
asing solah,
pamatinge dadi salah.

78. Bane tonden manyidayang,
kalilih | Bangkolmail,
makadi side karusak,
kalih wenten kajar jati,
ento I Bangkolmail,
mencab makenkenan nyunut,
rauh ka desa-desa,
mangatepang raos kadi,
dukne sampun,
makarepna ngilis congah.


Musuh semua hancur,
yang berani mengamuk
keluar,
tetapi mereka yang merasa,
takut mati mohon
pengampunan (hidup),
dengan bicara langsung,
diceritakan telah berlalu
beberapa hari,
juga belum dapat
mengalahkan,
si Bangkol karena hari telah
menjelang pagi,
Sura Amlapura,
sekarang berpikir-pikir.

Takut dimarahi oleh ayahnya,
karena peperangan sangat
terlambat,
telah beberapa kali ayahnya
mengirim utusan,
supaya dengan segera,
kalahkan si Bangkolmail,
saat itu Sura Amlapura,
sangat marah,
mendengus dengan wajah
malu campur marah,
segala perbuatan,
prajuritnya semua disalahkan.

Karena belum berhasil,
mengalahkan Bangkolmail,
apalagi sampai
menghancurkan,
dan ada berita pasti,
bahwa Bangkolmail,
pergi berusaha,
menyelusup ke desa-desa,
mengikat perjanjian seperti
dahulu,


31 [ 32 ]79. I Prakangga desa-desa,
pateh pasaure sami,
kari matindih pangerawos,
ring sangketane ne rihin,
congah ring raja Bali,
nanging tahar ugi dumun,
mangda polih mupakat,
manganyarin rawos malih,
ring Kapala,
desane nyandang kendelang.

80. Ne bani matatakeran,
masiat ring raja Bali,
mangkin sakewala ada,
awuran pada makikil,
ngantinin Bangkolmail,
mangukuhang gelar dumun,
apang tuara kasidan,
raja Bali mangranjingin,
di Parapen ento kerana dadi
sengka.

81. Siate makulalehan,
ping kuda nyaatang wiakti,
soroh Selam mangaregah,
tuara ada maminglakin,
apan mataji kalih,
karep ipun dini ditu,
Sura Amlapura ida,
muah pakayunan runtik,
mamawosang,


maksudnya supaya semua
mem berontak.

Para pemimpin desa,
mempunyai jawaban yang
sama,
masih tetap setia dengan
perjanjian,
dalam hal persengketaan
dahulu,
menentang raja Bali,

tetapi masih memohon
waktu,
supaya dengan musyawarah,
memperbaharui perjanjian,
dengan kepala desa,
patut dibanggakan.

Yang berani berperang,
dengan raja Bali,
asal ada urunan (prajurit)
masing-masing beberapa
orang,
menemani Bangkolmail,
mempertahankan benteng,
supaya tidak bisa,
raja Bali masuk,
di Perapen itu yang
menyebabkan kesulitan.

Perang kembali berkobar,
berkali-kali makin berat saja,
golongan Islam telah naik,
tidak ada yang menghalangi,
karena bersenjata dua,
pikirannya ada di kedua
pihak,
beliau Sura Amlapura,
pikirannya sangat rumit,


32 [ 33 ]ragane kacampolenang.


82. Janten pacang kabantenang,
to kerana dadi salit,
pakayunane makebros,
ngimur-imur menggah sai,
pamating alah tigtig,
belas ring pamekel ipun,
anak Sejenga duang soroh,
kadi kaperasisip,
ne mangaku,
durus rusak kabantenang.

83. Kapa anak saseliran,
watek tan ajerihing pati,
brahmana ksatria katong,
tusning Daha Majapahit,
ajakan malaibin,
anake Agung kaduung,
basa ulat nyelselang,
yen enyen manunden mati,
mula tepu,
managih kaden purusa.

84. Gangsarang sambat
satuayang.
pangeregahe wanti-wanti,
tuara mamelutin kelor,
galake mabudi mulih,
bas asing bikase pelih,
enggalan makeneh ngambul,
rupa saling pegokang,
panjake tekening gusti,


mengatakan dirinya kena
ditipu.

Jelas akan menjadi korban,
itu yang menyebabkan dia
berkecil hati,
pikirannya bingung,
sering menjadi marah,
prajuritnya banyak yang
hancur terpukul,
bercerai berai berpisah
dengan pimpinannya,
anak Sejenga yang dua
macam,
bagaikan kena tipuan,
yang mengadu akhirnya
menjadi korban.

Anak yang lahir dari scorang
selir,
yang memang tidak pernah
takut mati,
keturunan brahmana ksatria,
dari Daha Majapahit,
diajak lari,
raja sangat marah,
sangat menyesal,
siapa menyuruh mati,
memang sulit,
menganggap diri perwira.

Kita cepatkan menccritakan,
pendakian (benteng)
susul-menyusul,
tetapi semua sia-sia,
semua ingin pulang,
karena perbuatan disalahkan,
akhirnya semua putus asa,
Tupanya saling bertentangan,
antara rakyat dan junjungan,

33 [ 34 ]anak Agung,
nyabran menggah ring
punggawa.

85. Sayan sue sayan rusak,
ngetih pagamele ganjih,
mabiayuhan samben iyong,
wara-will gangsar-gingsir,
nene kabawos sisip,
katuduh makuta kurung,
di petenge mangelegar,
tong kanti atugel selid,
paren musuh,
malaib ngutang takilan.

86. Dadi katur ka nagara,
sasolahe ring i aji,
i aji gelis ngutusang,
uruju Amlanagari,
rauh ka Puyung wiakti,
mangantinin yuda ditu,
masih tuara ada kasidan,
kadung kakentane pelih,
manah ipun,
i kawula sami sagsag.

87. Baane kedeng tumbukang,
saduk pangeregahe kawit,
kalih soroh jajarahan,
matudtud makejang kambil,
Sura Amlapura ngambil,


sang raja,
makin sering memarahi
punggawa.

Makin lama makin kacau,
pertahanan makin lemah,
kacau dicekam perasaan
kecewa,
ke sana ke mari tiada
menentu,
yang dituduh bersalah,
dituduh tidak setia (bermuka
dua),
pada waktu malam bersifat
terbuka,
tidak berapa lama,
kedatangan musuh,
mereka lari sampai
meninggalkan perbekalan.

Hal itu disampaikan ke istana,
tentang tingkah laku prajurit
dilaporkan kepada ayah
beliau,
lalu ayahnya segera mengutus,
putra bungsu raja
Karangasem,
untuk datang ke Puyung,
menggantikan prajurit yang
berperang di sana,
tetapi tidak berhasil juga,
terlanjur salah,
dalam pikirannya,
takyat masih setia.

Karena merasa didorong,
waktu masuknya permulaan,
lagi pula barang-barang
rampasan,
semua diambil oleh Sura


34 [ 35 ]sane kawikanang katur,
punika ne makerana,
kaling ke ne mula ganjih,
manah ipun,
subaktine ka nagara.


88. Makejang nyakit di manah,
nanging tonden kajalanin,
manyilnayang idep congan,
rarasane durung pasti,
wireh buin makalin,
pangerawos [ Bangkol
ngagum,
tonden kasidan asat,
tumbe kari ri durung gelis,
Sura Amlapura,
gelis magunita.

89. Kairing antuk punggawa,
makadi ida iari,
Sura Amlapura ida,
mah bahang pangeraos becik,
pakayunane mangkin,
mamarakang daya saru,
ngesengin i prakanggo,
saking pangutus i aji,
mangda rauh,
mitedun ka nagara.

90. Manyihnayang kasusrusan,
ring Anake Agung Lingsir,
pacang dauh pawacana,
pangemane tuara malih,
wireh sakadi mangkin,
I Paraya lintang dudu,
mahambek pang pang momo,
banggayang newek ngemasin,


Amlapura,
segala yang dikehendaki
harus diserahkan,
itu yang menyebabkan,
jangankan yang pikirannya
memang lemah,
kesetiaannya kepada kerajaan.

Semua sakit hati,
tetapi belum dicetuskan,
memperlihatkan pikiran
tidak senang.
musyawarahnya belum pasti,
karena mulai lagi
pembicaraan dengan
Bangkolmail,
belum mencapai kesepakatan,
masih kabur belum jelas,
Sura Amlapura segera
menghadap.

Diikuti para punggawa,
seperti asiknya,
Sura Amlapura,
menceritakan dengan baik,
maksudnya sekarang,
menjalankan tipu muslihat,
memanggil pemuka (Peraya),
atas panggilan raja,
supaya datang,
menghadap ke istana.

Untuk menunjukkan
keperwiraan,
di hadapan raja tua,
yang ingin bicara,
baik-baik,
karena seperti saat ini,
Peraya sangat buruk,
sangat serakah,


35 [ 36 ]Anak Agung,
Ngurah kalintang sueca.

91. Pakayunan ngawulayang,
ring rayate sane bakti,
mangda nulus kaurian,
ganti gumanti mangiring,
Anake Agung wiakti,
mamuponin jagat landuh,
nanging riinang pisan,
kabare aturang sami,
pilih kengin,
wenten suecan batara.

92. Pangrawose manyidayang,
puseh tabunane gelis,
I Bangkolmail Paraya,
enggal pangerista kingin,
ne mangkin mangerihinin,
ne di Batukliyang tedun,
prakanggo sampun tua,
rereh ipun ugi mangkin,
ne iriki,
pidartain pangandika.

93. Untat Amlapura ida,
kalih baudanda sami,
mamatut rawese bebas,
utusan sampun mamargi,
ngesengin paramangkin,
prakanggo tua wus katur,
ring ajeng Sura Amlapura,
maputusan gelis,
mandauhang,
kadi pehing pakayunan.

94. I tua tan akeh manah,
papolosan teka ngiring,
ngajak pianak ne cerikan,
adiri sampun mamargi,


biar sendiri mati,
raja tua sangat setuju.

Maksudnya memerintah,
rakyat yang masih setia,
supaya terus demikian,
bergantian mengikuti,
sesungguhnya sang raja,
menciptakan rakyat makmur,
tetapi dahulukan,
ceritakan keadaan semuanya,
mudah-mudahan,
Tuhan memperkenankan.

Segala pembicaraan berhasil,
pasukan segera berkumpul,
I Bangkolmail di Peraya,
cepat maju tetapi yang lebih
dahulu datang,
yang di Batukliang,
tokoh yang sudah tua,
dicari sekarang,
diberitahu maksud raja.

Pemimpin Amlapura,
bersama para paiih,
telah sepakat,
utusan telah berjalan,
seketika memanggil,
tokoh tua sudah dipanggil
menghadap Sura Amlapura,
segera datang yang diutus
memaneggil,
seperti yang dikehendaki.

Si tua tidak banyak
berpikir,
dengan hati jujur datang
menghadap,


36 [ 37 ]utusan mamarengin,
nampi pawacana puput,
pacang katur ring ida,
Anak Agung Ngurah Lingsir,
gelis rauh,
ring nagara sampun bebas.

95. Sapiwekas-wekas ida,
Sura Amlapura raris,
i prakanggo Batukliyang,
kapreksa matahan raris,
wireh kaatur jati,
sakongkol ka Praya tinut,
nanging kari majantos,
mangantenang manah ruci,
ambek punggung,
congah teken
panyungsungan.

96. Kocap reke duke lawas,
kawitan ipun sawiakti,
nuhur raja Bali ngrista,
Sasake mawanan keni,
I Batukliyang tunggil,
ring Peraya tereh ipun,
turunan banjar Getas,
duaning pinih kajagerahin,
mangkin kocap,
i prakanggo ne di Kopang.

97. Celang madaya upaya,
saksat patih di Madain,


dengan putranya yang lebih
kecil,
bersama-sama telah berjalan,
disertai utusan,
yang menerima kata-kata
yang sudah pasti,
akan disampaikan pada
beliau,
raja tua,
segera sampai,

di istana sudah siap.


Akhirnya beliau,
Sura Amlapura,
tokoh tua dari Batukliang,
diperiksa dan ditahan,
karena dituduh bersekongkol
dan turut dengan Peraya,
tetapi masih menunggu,
melihat pikirannya yang
kacau,
membangkang,
berniat jahat terhadap
junjungan.

Tersebutlah dahulu,
asal-mulanya,
waktu raja Bali datang,
yang menyebabkan Sasak
dapat dikuasai,
I Batukliang seorang,
di Peraya asalnya,
keturunan dari banjar
(kampung) Getas,
dia yang paling dipercayai
sekarang diceritakan tokoh
yang ada di Kopang.

Sangat pintar berdaya-upaya,
bagaikan Patih di Madain,


37 [ 38 ]kocap ring lontar kawitan,
patih Baktak ngocet sami,
rawose penter sangid,
tuara suud ngadu-adu,
kerana jagat rundah,
i prakanggo Kopang wiakti,
mulan ipun,
katahan saking rihinan.

98. Ring nagara sisipteman,
tuara rajin.smangwilangin,
manuduk arta hasilan,
ring rencange alit sami,
akudang masa kingin,
utange sampun macucul,
pileh tong nawang umah,
jani maan daya becik,
males ngukum,
ka nagara pacang congah.

99. I prakanggo Batukliyang,
ortayang ka dangin juring,
matine baan sanjata,
bau teka kakembann,
mangajak panak mati,
prakanggo Kopang sampun,
sida mabahan daya,
lolose ka dangin juring,


seperti yang disebutkan
dalam lontar,
diceritakan Patih Baktak
yang mengatur semua,
pandai dan pintar dalam
pembicaraan,
tiada hentinya mengadu
domba,
sehingga,
rakyat jadi gelisah,
demikian juga pimpinan di
Kopang,
memang demikian
permulaannya,

sejak dahulu.

Dalam negeri kacau,
tidak rajin,
menghitung hasil dari
pungutan (pajak),
kepada rakyat yang kecil,
telah berlalu beberapa masa,
akhirnya menjadi utang yang
bertumpuk,
berkeliling tidak pernah
tinggal di rumah,
sekarang mendapatkan akal
yang baik,
malas menghukum,
ke istana juga merasa malu.

Tokoh dari Batukliang,
diberitakan ke daerah timur,
mati karena kena senjata,
baru datang telah direbut,
ikut anaknya meninggal,
pimpinan dari Kopang telah
berhasil,
mencari upaya,
lari ke daerah timur,


38 [ 39 ]teka nglaut,
ka Batukliyang nyarita.

100. Miwah teken I kepala,
desa corah dangin juring,
apang kaprejani pisan,
mabriuk congah reh jati,
ne kanggo ngapalain,
di Batukliyang ya sampun,
rusak mangajak panak,
keto baannya nartain,
teka cumut i prakanggo
ne makejang.

101. Manggugonin pisan kruna,
ne ngadayang nene tosing,
pragat rarasanya suba,
sakongkol ring Bangkolmail,
pacang nyihnayang mangkin,
mangerista tatindih malu,
sorohan gama tirta,
ne manongos dangin juring,
wiakti sampun,
kagebug makejang buntas.

102. Sakakaren bani rusak,
mangalas ngalih nagari,
eluh muani cenik tua,
pakareak bilang margi,
ada nyingal manyunggi,
len ada negen manyuun,
lemeng lemah majalan,
kocapang di Puyung mangkin,


lalu dilanjutkan,
ceritanya ke Batukliang.

Dan terhadap kepala desa,
yang jahat di dacrah timur,
supaya segera,
bersamaan memberontak,
karena sebenarnya yang
dapat memimpin,

ialah tokoh dari Batukliang,
tetapi telah hancur bersama
anaknya,
demikian caranya menghasut,
jadi dipercayai oleh tokoh
pimpinan semua.

Percaya sepenuhnya dengan
berita itu,
walaupun mengada-ada,
jadi sudah semua percaya dan
setuju,
bersekutu dengan
Bangkolmail,
untuk menunjukkan,
mencari pembelaan lebih
dahulu,
golongan agama Hindu,
yang tinggal di Dangin
Juring,
semua sudah diserang,
dan lari semua.

Yang masih tinggal berani
hancur,
menyusup dalam hutan,
laki perempuan tua muda
dan anak-anak,
berteriak-teriak dalam
perjalanan,
ada menggendong ada yang


39 [ 40 ]suba katur,
ka desa-desane congah.

103. dangin juring makejang,
sadelod Paraya ninutin,
Ida Sura Amlapura,
mababawos ring i ari,
kalih punggawa sami,
pakayunan mangkin tedun,
ngaturang pangawikan,
ring Anake Agung Lingsir,
Sura Amlapura,
pacang mangamelang.

104. Pringgarasane irika,
nyandang pisan pikukuhin,
i ari taler patutan,
ring Kadiri mikukuhin,
puput babaos becik,
kocapang ne mangkin
sampun,
Puyunge kabudalan,
Sura Amlapura gelis,
napak rawuh,
ring kuta Cakra ngaturang.

105. Ring i aji sapratingkah,
kapalane congah sami,
dangin juring delod Peraya,
kanggek Anake Agung
Lingsir,
raris ngandika aris,
utah ugi wastan ipun,
tatak samenggah ida, -


menjunjung (barang),
siang malam berjalan,
disebutkan sekarang di
daerah Puyung,
sudah disampaikan desa-desa
yang menentang.

Daerah bagian timur semua,
daerah sebelah selatan Peraya
ikut,
beliau Sura Amlapura,
berbicara dengan adiknya,
dan semua punggawa,
bermaksud sekarang turun
(ke istana) untuk
menyampaikan maksudnya,
kepada raja tua,
Sura Amlapura akan
memegang semua.

Musyawarah di sana,
memutuskan tetap bertahan,
adiknya dibenarkan,
mempertahankan daerah
Kadiri,
setelah selesai pembicaraan,
diceritakan sekarang,
pasukan di Puyung pulang,
segera Sura Amlapura,
telah sampai di Cakra
memberi laporan.

Kepada ayah beliau,
tentang perbuatan kepala
desa yang memberontak
semua,
di daerah timur dan di
selatan Peraya,
terkejut raja tua,
lalu beliau berkata pelan,

40 [ 41 ]batara hyang Prama Kawi,
ala ayu,
wantah ida mapaica.

106. Nanging butuse pamitang,
patute ugi marginin,
berata kasatyane kawot,
pageh matalang ring jurit,
i anak lintang ngiring,
babawos kalintang patut,
raris mapamit budal,
pacang pamargine mangkin,
Sura Amlapura,
ngamel Pringgarata.

107. Punika sampet nagara,
makadin ipun Kadiri,
tan carita sampun napak,
pagamele maka kalihy
kocapang ring nagari,
Anak Agung Lingsir kewuh,
antuk kaatur terang,
kapale Ampenan Sahid,
mambek bijug,
kingin pamusungan congah.

108. Ngentungin raos makejang,
saprakanggo Selam sami,
nurut mapan reke ia,
I Sahid junjunga wiakti,
kocap mabangsa tinggi,


ini namanya sudah kodrat,
barangkali Tuhan Yang Maha
Esa telah marah,
baik dan buruk memang
semua di tangan Tuhan.

Tetapi janganlah berbuat
tidak benar,
berjalanlah di atas jalan yang
benar,
kewajiban ksatria hendaknya
dipegang teguh,

tetap setia dalam
peperangan,
si anak sangat menurut,
petuah yang sangat baik,
lalu mohon diri pulang,
dan akan segera pergi,
Sura Amlapura,
memegang daerah
Pringgarata.

Itu pintu masuk ke kerajaan,
seperti juga Kediri,
diceritakan sudah sampai,
pegangannya dua daerah,
tersebutlah di istana,
raja tua kesusahan,
karena menerima laporan
yang pasti,
pimpinan Ampenan yang
bernama Sahid,
berbuat tidak baik,
ingin menentang kerajaan.

Telah menghasut semua,
pemuka Islam semuanya
menurut,
karena Sahid sangat dikagumi,
dari keluarga yang terhormat,


41 [ 42 ]kapungkur mangdadi agung,
yan sampun manyidayang,
kawon ida raja Bali,
tuara santul,
idep Selame mamanjak.

109. Ida Anak Agung Ngurah,
bebes babawose raris,
ngutus soroh batu bata,
mambasta i bangsa Said,
kaatur ka nagari,
ngajak panak dadua sampun,
kapreksa kapuputan,
kailangang ring nagari,
kalih ento,
i prakanggo Batukliyang.

110. Karusak bareng lan panak,
dening katur ka nagan,
panaknya ne ne di tengah,
menurut I Bangkolmail,
mawinan bebas wiakti,
pakayunan Anak Agung,
ngarusak i prakanggo,
Batukliyang mangda gilis,
ne ring tengah,
satrune pungkur legehang.


yang akhirnya menjadi
bangsawan (raja),
jika dapat,
menyalahkan raja Bali,
tidak ragu-ragu lagi,
Islam mengabdi.

Beliau Anak Agung Ngurah,
berkata tegas, mengutus para
prajurit,
membasmi keluarga Sahid,
disuruh ke istana,
datang dengan dua orang
anaknya,
diperiksa dan dibunuh,
dibunuh di istana,
bersama pemuka dari
Batukliang.

Dihancurkan bersama
anak-anaknya,
yang ikut ke istana,
anaknya yang di tengah,
mengikuti Bangkolmail,
makanya bebas,
pikiran raja,
menghancurkan para
pemuka,
Batukliang,
supaya jelas yang berdiri di
tengah-tengah musuh itu
kemudian dihancurkan.


PUH PANGKUR

111. Heneng tan kocap di Cakra,
mangkin cerita,
sorohan dangin juring,
sampun bebas puput magum,


Sepi tidak diceritakan di
Cakra,
sekarang diceritakan,
mereka yang di Dangin


42 [ 43 ]tingkah ngarepin yuda,
Batukliyang Kopang Rarang
kantin ipun,
desa kaler kangin telas,
Pringgarata kaharepin.

112. Praya Panujalan Sakra,
miwah soroh desane kelod
kangin,
mametel rauh ka Tanjung,
kampung Mandar Bagedab,
tan ucapen,
soroh desa kelod kauh,
manurut teked ka Presa,
Kadiri ne kaharepin.

113. Mabriuk bangun Sagara,
meh ketian rencange
manyarengin,
saha preret balaganjur,
matandak sowang-sowang,
panggagiras,
rencange masurak ngelur,
kadenya mambahan mirah,
upahe dadi pamating.

114. Tuara buung mandapatang,
batun bedil paican raja Bali,
kocapang di Kopang sampun,
makadi Batukliyang,
kalih Rarang,
sasorohan kantin ipun,


Juring,
telah selesai musyawarah,
tata cara menghadapi
peperangan,
Batukliang,
Kopang dan Rarang
bersekutu,
desa-desa di timur laut
semua,
yang dihadapi Pringgarata.

Peraya, Panujalan dan Sakra,
dan desa-desa di tenggara,
tembus sampai ke Tanjung,
kampung Mandar Pagedab,
dan desa-desa di barat daya,
sampai ke Presa,
menghadapi Kadiri.

Bergerak serentak desa segera,
ada kurang lebih seribu anak
buahnya yang menyertai,
dengan terompet dan
tabuh-tabuhan,
masing-masing bernyanyi,
sebagai pembangkit
semangat,
prajurit bersorak berteriak,
dikiranya berlimpah-limpah
permata,
upah seorang prajurit.

Tidak urung hanya akan
mendapatkan,
batu senapan (peluru),
hadiah raja Bali,
diceritakan sekarang yang
di Kopang,


43 [ 44 ]mandesekin Pringgarata,
rencange mangelah titib.

115. Kadi embah gunung teka,
mangarudug tatabuhane
tarik,
di jeroning alas dalikur,
Pringgarata tan pegat,
mamedilin,
Sura Amlapura kewuh,
mamawosang kuciwa tadah,
mawinan paramangkin.

116. Mamudalin Pringgarata,
nanging wenten pragusti tos
babecik,
kadauhan kari ditu,
manggamel Pringgarata,
mairingan wenten angan
tingang atus,
pageh tuara ajerih rusak,
nimpalin i dangin juring.

117. Sura Amlapura gentas,
ring Narmaga genah pacang
mabuatin,
wireh sidawu ne sampun,
ngeranjing ka Batukliyang,
tan kocapa,
Narmadane mangkin ditu,
Kadirine caritayang,
pageh ke talikur sai.


juga di Batukliang dan
Rarang,
dan sekutunya,
mendesak ke Pringgarata,
prajurit sangat tertib.

Bagaikan gunung yang
berjalan,
gemuruh bunyi gamelan di
dalam hutan dari segala
penjuru,

Peringgarata tiada
putus-putusnya menembaki,
Sura Amlapura kewalahan,
mengatakan merasa kecewa,
sehingga mendadak.

Meninggalkan Peringgarata,
tetapi ada satria yang sangat
baik,
disuruh tetap bertahan di
sana,
mempertahankan
Peringgarata,
dengan pasukan kurang lebih
300 orang,
teguh tidak mau kalah,
menghadapi pasukan Dangin
Juring.

Sura Amlapura diganti,
di Narmada tempatnya
bertahan,
karena yang sudah-sudah,
masuk ke Batukliang,
tidak diceritakan lagi,
tentang yang di Narmada,
diceritakan sekarang Kadiri,
tetap bertahan walaupun
sering dikurung.

44 [ 45 ]118. Ban musuh Praya Sakra,
saha kanti mangotog antuk
bedil,
uruju Amla nagantun,
madeg kasuran ida,
tuara ginggang tuara gingsir
nehen kewuh,
satekan musuh kasidan,
kapendek ngaduk kawanin.

119. Antuke bas kaliunan,
musuh Selam mangarepin
Kadiri,
Jagaraga Lilinrincung,
sorohan gama tirta,
delod Bahak,
sami buntas muani eluh,
pada ngalih kauripan,
ka nagara matur bakti.

120. Musuhe sampun ngamelang,
kadi dauh Kadiri telas sami,
Galogor lan Bilatepung,
Baleka kalih Ruma,
tan ucapen padusun soroh
ditu,
ne di Cakra caritayang,
Anak Agung Neurah Lingsir.

121. Sasanja ta sampun napak,
bata batu soroh masikep
bedil,


Oleh musuh dari Peraya dan
Sakra,
dan sekutunya menyerang
dengan senapan,
putra bungsu Karangasem,
memang satria sejati,
tidak menyerah dan tidak
pemah mundur walaupun
dalam kesulitan,
setiap musuh yang datang
dihadapi,
dilawan mengadu keberanian.

Tetapi karena terlalu banyak,
musuh dari golongan Islam
menyerang Kadiri,
Jagaraga,
Lilinrincung,
golongan agama Hindu,
di Selatan Bahak,
semua mengungsi laki
perempuan,
masing-masing mencari
hidup,
ke istana menyembah.

Musuh telah menguasai,
di sebelah barat Kadiri semua
dikuasai,
Gelogor dan Bila hancur,
Beleka serta Ruma,
tiada diceritakan lagi
daerah-daerah di sana,
diccritakan sekarang yang di
Cakra,
Anak Agung Ngurah yang tua.

Sore hari sudah datang,
prajurit yang bersenjatakan
senapan,


45 [ 46 ]sewos ne nyambut babaru,
watek wargi bukpadan,
Anak Agung len punggawa
lingsir gupuh,
ngetog titihang makejang,
sadaging kota mangiring.

122. Wenten sikep tigang atak,
tuting jada tedun masingset
ginting,
brahmana sulinggih milu,
wenten ngemit bancingah,
manureksa pakemit kotane
nyatur,
Anak Agung Negurah ida,
mamargi mawanan juli.

123. Ngendih murub ban parada,
payung agung anut sampun
mangapit,
tunggule marorod murub,
barak selem maparada,
mapapindan anuman
gambaranipun,
tulen naga basuki galak,
laonteke mambarangin.

124. Mapinda garuda nglayang,
ngaresresin gobane angker
wiak ti,


lain lagi yang memegang
babaru (nama sejenis
senjata),
semua rakyat di bawah
kekuasaan raja,
Taja dan para punggawa
sangat sibuk,
mengumpulkan semua,
semua penduduk kota
menuruti.

Ada pasukan 600 orang,
sampai yang tua turut terjun
dengan kain yang dililitkan,
brahmana pendeta juga ikut,
ada yang menjaga istana,
mengawas pertahanan kota
dari empat penjuru,

Anak Agung Ngurah berjalan
dengan joli (tandu).
Menyala dan megah
bertatahkan perada,
diapit dengan payung
kebesaran,
bendera-bendera panjang
berbaris,
ada yang merah dan hitam
dilukisi dengan perada,
dengan lukisan berbentuk
anoman (nama tokoh
pewayangan),
seperti naga basuki yang
galak,
disertai dengan Jelontek
(sejenis bendera).

Yang berlukiskan burung
garuda menakutkan rupanya
sangat angker,


46 [ 47 ]keto cirin nyeneng prabu,
kala ngarepin yuda,
tan kocapa,
pamargine gelis rawuh,
bawu mincap tukad Babak,
musuhe di Ruma raris.

125. Mangangkabang saha
surak,
mamedilin sikep saking
nagari,
Anak Agung Ngurah ditu,
kanten saksat dewata,
warnan ida suteja kadi
andaru,
socan makutane ngeranyab,
soroh winten mule sami.

126. Anut ring kawaca barak,
mapadu kawinten pakranyah
ngendih,
nyungklit mahorangka
murub,
anut matogog emas,
Anak Agung mawacana
lawan amuk,
ulahang musuhe trejak,
timpalin di manyarigin.

127. Sikep nagarane nguntas,
ngalintang tukad ditu
mabriuk sami,
masurak mamedil ngamuk
muuk mangregah gelar,


demikianlah cirinya sebagai
seorang raja,
yang akan menghadapi
peperangan,
tidak diceritakan,
perjalanan segera tiba,
baru melewati sungai Babak,
lalu segera musuh yang di
Ruma.

Bangkit diiringi sorak,
menembaki pasukan
kerajaan,
saat itu Anak Agung Ngurah,
kelihatan seperti dewa,
rupanya bersinar seperti
bulan,
permata mahkotanya
gemerlapan,
jenis intan yang mulia semua.

Sesuai dengan bajunya yang
merah,
berpadu dengan intan yang
gemerlapan,
dengan keris yang bersarung
mewah,
tangkai keris bertatahkan
emas,
Anak Agung berkata,
Jawan dan amuk,
usir musuh dan serbu,
lawan dan jangan mundur.

Pasukan kerajaan maju,
menyeberangi sungai di sana
menyerbu serentak,
semua bersorak sambil
menembak,
mengamuk mendesak


47 [ 48 ]buka ada suecan Widi lunas
lanus,
sikep nagarane bebas,
ka desa Kuma mangranjing.

128. Musuhe laksaan buntas,
mausungan matatu kalih
mati,
kapalan Rumane sampun,
manunas kauripan,
Anak Agung Neurah
mawacana alus,
bebas ica kauripan,
ditu masanggrahan raris.

129. Benjang bau mupu kembang,
mangembutih suaran
tambure titir,
napak punggawane sampun,
ring pasar saha rencang,
Anak Agung Ngurah kodal
bebes sampun,
mamargi malih muntasang,
satru nene wenten kari.

130. Delod Ruma sajajahan,
dusun-dusun manampekin
Kadiri,
manungked rauh ka Gerung,
saksat silapin kilap,
pretak tiding lawat ipun
tuara kantun,
teked ka gunung Karamban,
musuhe mangdiding nerit.


menaiki benteng
(pertahanan),
bagaikan takdir Tuhan,
lancar pasukan kerajaan
berhasil memasuki desa
Ruma.

Musuh puluhan ribu lari,
tunggang langgang banyak
yang luka dan mati,
tersebut pimpinan Ruma,
mohon hidup,
Anak Agung Ngurah berkata
halus,
diberi pengampunan,
lalu di sana beristirahat.

Keesokan harinya pagi-pagi
benar,
diawali dengan bunyi tambur
bertalu-talu,
para punggawa telah hadir,
di pasar bersama prajurit,
Anak Agung Ngurah keluar
sudah siap siaga,
pergi menghalau musuh,
yang masih tertinggal.

Daerah jajahan di selatan
desa Ruma,
desa-desa yang berdekatan
dengan Kadiri,
sampai ke Gerung,
bersih bagaikan disambar
petir,
satu pun bayangan musuh
lidak tersisa,
sampai ke gunung Karamban,
musuh lari menjerityerit.


48 [ 49 ]131. Tan kocapan ne di Ruma,
mangkin kocap i Batukliang
sami,
sakantine saat ngebug,
I Pringgarata desa,
wireh ida Sura Amlapura
sampun,
mamudalin Pringgarata,
di Narmada genah ngenjing.

132. Kalih soroh gama Islam,
mula daging Pringgaratane
wiakti,
karep ipun sampun biluk,
saneh sampun maroang,
ring i Kopang Batukliyang
krana laju,
mangeregah i Pringgarata,
bau nampi baak kangin.

133. Munyin bedil saha surak,
mendesekin kutane saking
kangin,
sang yogia irika kukuh,
pageh mataker yuda,
mambecekang pamating
tengahe ditu,
yen akudang dasa nylempang,
tuara kilesan kabedil.

134. Dening tuara pegat-pegat,
soroh Selam pamating dangin


Tidak diceritakan yang
di Ruma,
sekarang diceritakan yang di
Batukliang semua,
bersama sekutunya
sangat sulit menyerang,
desa Peringgarata karena
beliau Sura Amlapura,
kembali ke Peringgarata,
di Narmada hanya pagi
harinya.

Lagi pula golongan Islam,
yang memang tinggal di
Peringgarata,
maksudnya sudah kemibali
(sadar),
sebagian ada yang memihak,
pada Kopang,
Batukliang,
akhirnya dengan segera,
naik (menyerang)
Peringgarata,
pada waktu pagi-pagi sekali.

Suara bedil (senapan) dan
sorak,
mendekati kota dari arah
timur,
yang bertahan di sana,
kuat menghadapi
peperangan,
menghancurkan,
pasukan tengah di sana,
entah berapa puluh orang,
terjungkal kena peluru.
senapan.

Tiada putus-putusnya,
orang-orang Islam pasukan


49 [ 50 ]juring,
ngeloh kadi tukad gentuh,
sasih ka wulu saksat,
tekan ipun saking Rarangan
Nyalikur,
Nyingse mangeranjing ka
desa,
ngeraris munggah ka Masigit.

135. Seyos bilang gubuk nyanggra,
mangarepin pasanggrahan
mamedil,
pamating nagari biyur,
tangkejut kakibuian,
akeh rusak,
maka miwah nandang tatu,
belit pada ngungsi tukad,
babak kaler dauh Crikit,

136. I Gusti sang kayogia ya,
durus rusak irika
kakawonin,
purun matanggal ring satru,
mamagehang sasana tuas,
tustusning tereh witing
Majalangu,
ucapang ne di Narmada,
Sura Amlapura kingin.

137. Tuara tindih pangandika,
duk subane dawege
mamudalin,
desa Pringgarata ditu,


Dangin Juring,
deras datang seperti sungai
yang banjir di bulan
kedeiapan,
yang datang dari Rarang,
Nyalikur,
Nyingse,
masuk ke desa,
lalu naik ke Masigit (masjid).

Lain lagi yang menjaga di
gubug-gubug,
menshadap ke pesanggrahan
dan menembaki,
prajurit kerajaan buyar,
sangat terkeiut dibokong
(diserang dar belakang)
banyak yang hancur,
dan menderita luka-luka.
menghindar masing-masing
menuju sungai,
tembus ke utara sebelah
barat Cerikit,

Satria yang dipercayakan
memimpin di sana,
dikalahkan di sana dan
dihancurkan,
tidak mau meninggalkan
musuh,
kuat dengan imannya,
satria turunan asli dari
Majalangu (Majapahit),
disebutkan yang di Narmada
yaitu Sura Amlapura.

Tidak setia dengan
perjanjian,
waktu beliau meninggalkan,
desa Peringgarata,


50 [ 51 ]maputang pangandika,

ring sang yogia nyenapati
kaping turut,

ring Pringgarata yan teka,

musuhe tan rewed wiakti.


138 . Sura Amlapura wantah,

age rawuh matulung yuda
ginting,

dadi tuara kapintuhu,

ento makerana bebas,

Pringgarata,

aselid sida kagawuk ,

antuk Batukliang Kopang,

kudang desa manyarengin.


139. Bebas laris mangauhang,

Sintung Renyem tanah
beyane kambil,

jadman ipun wireh caluh,

tan ucap Puspalaya,

ring Pidada pigendang wireh
macucuh,

ring i desa Pringgarata,

suraknyane udeh gumintir.


140. Ring Ruma mangkin
kocapang,

Anak Agung menggah
mawanan gelis ,

babawose sampun puput,

ring Kadiri sarengan,

pacang ngerista Peraya Sakra
kocap ipun,


waktu itu membuat
perjanjian,

kepada pimpinan perang di
Peringgarata,

bekerja sama,

jika di Peringgarata,

datang untuk,

tidak akan menyulitkan.


Sebab Sura Am1apura,

bersedia datang untuk
membantu,

tetapi janji tidak ditepati
itu1ah sebabnyajatuh ,

desa Peringgarata,

hanya dalam waktu setengah
hari dapat dikuasai musuh,

yaitu o1eh Batukliang,

Kopang disertai be berapa
desa.


Terus ke barat ditaklukkan,

desa Sintung,

Renyem, Tanak,

Bayak,

diambil orang-orangnya,

tidak diceritakan Puspalaya,

di Pidada dan Pigendang
karena bersekutu,

dengan desa Peringgarata,


Diceritakan sekarang yang di
Ruma,

Anak Agung sangat marah,

perjanjian telah pasti,

bersama-sama di Kadiri,

untuk menyerang,

Peraya dan Sakra,

bertahan di Batukliang,

51 [ 52 ]ring Pakukeling magelar,

Sampojane kakukuhin.


141. Dauh pisan sampun napak,

sikep saking desa Ruma Kadiri ,

ring Nyiurgading kacunduk ,

teken i Peraya Sakra,

tui ipun i Sakra kurnandel
ngadu,

paguruane rnawasta,

i Haji Ali kasub kalis.


142. Kalih bisa ngawe sirnat,

apang tuara bisa kena ban
mimis,

rowange teka manggugu,

kerana bani pucukang,

tuara santul buka kebone
mangamuk,

pada kucup mangarepang,

tuara manolih ka samping.


143. Sikep nagarane mendak,

bedil jarman kaangge
mangujanin,

karep wenten tigang atus,

musuhe akeh rusak,

len madiding ngaba tatu
manjarungkung,

mangranjing ka jeroning gelar,

dangin tukad kakukuhin.


52


daerah sampoya
dipertahankan.


Kurang lebih jam 7.00 sudah
sampai,

pasukan dari Ruma dan
Kadiri,

di Nyiurgading bertemu,

dengan pasukan Peraya dan
Sakra,

walaupun Sakra yakin dalam
peperangan,

untuk mengadu perguruan
yang bernama Haji Ali,

yang terkenal gesit.


Di sarnping itu juga terkenal
pandai membuat jimat,

supaya kebal dengan peluru ,

kawan-kawannya
mempercayai,

karenanya sangat diandalkan,

tidak ragu-ragu seperti seekor
kerbau yang mengamuk ,

dengan menyeruduk ke depan tidak melihat ke
samping.


Pasukan kerajaan
menghadapi,

dihujani dengan peluru
senapan Jerman,

kurang lebih tiga ratus ,

musuh banyak yang hancur,

sebagian lari dengan
luka-lukanya,

masuk ke dalam benteng,

di sebelah timur sungai
dipertahankan. [ 53 ]144. Sikep nagarane ngulah,

saking kelod kampide
manyampingin ,

dening tos babecik ditu,

penter ngaduang rencang,

tui sampun mangelintang
tukad rnacunduk,

satrune makejang buntas,

lilih pada nekep ejit.


145. Haji Ali Sakra mendak,

manegakin jaran maules
kuning,

soroh Bugis Mandar ditu,

masikep ban bandrangan,

miwah bedil ada tigang atus
mucuk,

i Haji Ali ngaduang,

surak sinurak kalih.


146. Sikep nagarane nrejak,

mamedilin labuh mimise
kadi,

panedeng sasih kapitu,

i Bugis Mandar buntas,

mangecagang bangke ada
pitung ukud,

i Haji Ali tan kilesan,

ngajak sanak tuah adiri.


147. Akresekan manyugegag,

Haji Ali kena mimis


Pasukan kerajaan terus
mengejar,

dari selatan pasukan
sayapkanan menyerang,

memang satria yang utama,

pandai mengatur prajurit,

diceritakan telah sampai
melewati sungai menyerang,

musuh semua lari,

mundur sambil menutup
pantat (sangat takut).


Haji Ali dari pasukan Sakra
datang menyongsong,

naik kuda berbulu agak
kuning,

orang-orang bugis dan
Mandar ikut di sana,

bersenjata bandrangan (nama senjata) dan senapan kurang lebih sebanyak tiga ratus orang dipimpin oleh Haji Ali,

saling sorak menyoraki
keduanya.


Pasukan kerajaan menerjang,

menembaki menghujani
dengan peluru bagaikan
hujan pada bulan ke tujuh,

orang-orang Bugis dan
Mandar lari,

meninggalkan mayat
kawannya,

kurang Jebih tujuh orang,

Haji Ali tak dapat
menghindar,

dengan anaknya seorang.


Segera terjungkal,

Haji Ali kena peluru

53 [ 54 ]manyumprit,

mirib masimbayang ditu,

dening awake kocap tilah,

tuara ngantampak magatra
tatu,

panaknyane ditu bela,

mati kena baan mimis.


148. Nanging enggal kapalaibang,

bangkennyane i Haji Ali,

raris sikep Peraya sampun,

sakrasa kanti telas,

mangudiding i Sampaja
maserah ukum,

bebas kicen kahuripan,

ida Anak Agung Lingsir.


149. Malih ngulah mangerista,

Tanah Beya adawuh bebas
radin,

cungkubnyane telas puun,

akudang kebo jaran,

miwah banteng kajarah yan
kudang atus,

jadmannyane pada ilang,

sasesaning bani mati.


150. Lolos ngungsi desa tengah,

Anak Agung tulak ka Ruma
malih,

miwah Kadiri sampun,

sama pageh ngamelang,

kacarita i Sakra kari
ngarantun,

pajalane dening katah,

ngerembat ne matatu mati.


151. Kalih bangkennya i tua,


terjungkir,

bagaikan orang
bersembahyang,

tetapi badannya utuh tidak
ada kelihatan luka,

anaknya bangkit membela,

juga mati kena peluru.


Tapi segera dibawa lari,

mayat Haji Ali,

lalu pasukan Peraya,

sudah merasa sekutunya
hancur,

mereka lari,

Sempaya menyerahkan diri,

dibebaskan tidak dibunuh,

oleh raja.


Lagi mereka mengusir maju,

Tamak Beak sudah bebas,

pertahanannya dibakar
hangus,

beberapa kerbau dan kuda,

dan sapi baratus-ratus.

diambil,

orang-orangnya lari,

selain dari yang berani mati.


Lari menuju daerah tengah,

Anak Agung kembali ke
Ruma lagi,

dan Kadiri,

semua bertahan dengan baik,

diceritakan Sakra masih
di belakang,

perjalanannya banyak

hambatan karena luka-luka
dan mati.


Dan mayat si tua Haji Ali, [ 55 ]Haji Ali malih kawangun urip,

kapugeh kagisi kukuh,

negak di tundun jaran,

tui ja ti sengguhanga jati
hidup,

dening wastu purwa pisan ,

bangkene tan wenten kanin.


152. Kalih santukane lumrah,

Haji Ali walya aputus
mangaji,

sadaging jurang mintuhu,

saduke kari lapang,

belang desa manekayang
murid liu,

heneng tan kocap di jalan,

soroh Selam tan weruh sami.


153. Satekannyane di desa Sakra,

laut soroh alime tarik,

paserotsot pada ngeruncung,

nyemak bangke masalam,

tui kaku limane tuara
mabayu,

Haji Ali sengguha ,

ngawe-awe awak mati.


154 . Dening ia mawisesa,

kocap bisa milih masolah
mati,

medem angan maka telun,

tuah ento kakendelang,

ban wang Sakra kerana
tonden pati laju,


dibangunkan seperti hidup,

diikat dan dipegang erat-erat,

didudukkan di atas punggung
kuda,

jika dilihat seperti orang
hidup saja,

karena dari permulaannya,

mayatnya tak ada kena
(luka).


Juga sudah umum,

Haji Ali orang yang sudah
sempurna,

dalam ilmu,

terutama di daerah timur
waktu masih aman,

hampir dari tiap-tiap desa
banyak muridnya,

tenang tidak dikisahkan di
jalan,

orang-orang Islam tidak
semua mengetahui.


Sesampainya di desa Sakra,

lalu para alim semua,

dengan segera mengerumuni,

mengambil mayat-mayat dan
bersalaman,

sungguh kaku tangannya
tidak bertenaga,

dikiranya Haji Ali,

berpura-pura mati.


Karena dia terkenal sakti,

konon bisa membuat diri
mati,

tidur sampai tiga hari,

itu yang dibanggakan,

oleh orang-orang di Sakra,

karenanya tidak segera


55 [ 56 ]kakubur pacang nanemang,

kateherang tigang wengi.


155. Bangkene kagebeg nyabran,

kadi solah pamedemnyane
riin,

bawu tigang dina ditu,

bangkene kapedasang,

mamesehin ebone banges
matekug,

ditu laut sasepenan,

katanem ka kubur gelis.


156. Kocap keto pakabaran,

kudiang antuk pacang
nekepin angin,

tuduh tan kocap ne di
Sakra,

Anak Agung Ngurah
mabawos,

puput ring Anak Agung
Ketut,

Karangasem ring Kadiri.


157. Pacang mengerista i Peresa,

sane benjang mangda kasidan
keni,

kadung pamargine rurus,

satrune mapelpelan,

manganginang nyandang tut
buri trembunuh,

apanga sumangkin gewar,

manggih durmanggala malaib.


dibawa ke kuburan untuk
dikubur,

ditahan sampai tiga malam.


Mayatnya setiap hari digosok,

seperti diwaktu dia tidur
dulu,

setelah tiga hari,

mayatnya diperhatikan,

kelihatan bengkak baunya
membusuk,

lalu dengan segera,

dikubur ke kuburan.


Demikian menurut berita
(waktu itu),

bagaimana bisa menutup
angin,

diceritakan yang di Sakra,

Anak Agung Ngurah telah
selesai bermusyawarat

dengan Anak Agung Ketut,

Karangasem di Kadiri.


Akan menyerbu ke Peresa,

besok supaya berhasil,

kebetulan jalan satu arah,

musuh telah terdesak,

ke arah timur patut diikuti

dari belakang dan dibunuh,

supaya lebih panik,

dan lari semua.


PUH DURMA.


158. Bahak kangin munyin

tambure mangarkar,

ring Ruma muah Kadiri,


Fajar menyingsing bunyi.

tambur bertalu-talu,

di Ruma dan Kadiri, [ 57 ]wiakti mangde giras,

pamatinge madabdab,

bungah mijil nganggo becik,

ring pasar ngambyar,

saha pengenter ngilib


159. Baudanda sami kawot
sampun nepak,

mabaris surak titir,

warna sami egar,

dening mawuwuh rencang,

sotaning jaya ring jurit,

gelis ka jaba,

anake Agung kalih.


160. Ne ring Ruma Kadiri sampun
mahingga,

ring dampa tur kaabih,

antuk para menak,

tuas tustus kula gotra,

Brahmana Ksatria kalih,

watek pandita,

Siwa Buda mangiring.


161. Ne mucukin ida punggawa
Brahmana,

Wala sweca papasih,

miwah untat sweca,

rwa sanak pada wira,

luwih lagawa, logas ngarepin
jurit.


162. Saking gelis jani baan
nyaritayang,


supaya dengan segera,

pasukan bersiap-siap,

dengan gagah ke luar
berpakaian bagus,

tersebar di pasar,

dengan komando yang
mengatur.


Para patih yang kuat sudah
tampak,

berbaris sambil bersorak
gemuruh,

wajahnya semua gembira,

karena bertambah
pasukannya,

semua yang menang dalam
peperangan,

lalu keluar,

Anak Agung berdua.


Yang di Ruma dan Kadiri
sudah duduk,

di singgasana dan disandingi,

oleh para menak (bangsawan)
dan semua keluarga,

Brahmana dan Kesatria dan
semua pendeta,

Siwa dan Buda ikut.


Yang menjadi pimpinan

beliau punggawa Brahmana,

Patih Wala Sweca,

dan adiknya Untat Sweca,

dua bersaudara sama-sama
satria,

sangat kuat dan tangkas.

menghadapi peperangan.


Segera diceritakan,

perjalanan beliau berdua, [ 58 ]pamargin ida kalih,

mapanggih ring marga,

ring dauh desa Presa,

manampekin kuta gelis,

ngangkabang surak,

medii kabedil tltir.


163. Dadi ngalah sikepe saking
nagara,

kuciwa kaabanin,

ne didauh tukad,

ngalgal pisan ngaregah,

becek matatu len mati,

apan kutanya,

i Presa ditu rimbit.


164. Nanging suba ada
pananggrahan ida,

Anake Agung kalih,

kampide di kiwa,

ngulah tuara kilesan,

saking kaler mandesekin,

sasepen nrejak,

mangregah kuta radin.


165. Dening ditu kaampahang
bani Presa,

kewala ada ngisi,

dadi mabiayuhan,

kasep ngedengang rowang,

mati kabedilin sami,

atut mabahan,

malaib siki kalih.


166. Dadi gewar sikepnyane ne di
tengah,


58


lalu bertemu di jalan,

di sebelah barat desa Presa
(Presak) dengan segera
mendekat ke kota,

mulai bersorak,

saling tombak dengan
hebatnya.


Tetapi kalah pasukan
kerajaan,

kecewa karena didahului,

yang di barat sungai,

payah sekali mendaki (naik),

banyak yang hancur,

luka dan mati,

karena sulit memasuki kota
Presa.


Tetapi sudah ada pembela
beliau,

Anak Agung keduanya,

pasukan sayap kiri,

menyerang dengan gigihnya,

dari utara mendesak,

sebentar telah diterjang,

lalu masuk ke kota.


Karena di sana (bagian utara)
serigaja dianggap enteng oleh
Presa,

hanya sekedar ada yang
menjaga,

jadi panik,

terlambat menarik kawan,

mati ditembaki semua,

serentak rebah,

satu dua ada yang lari.


Jadi panik pasukan yang
di tengah, [ 59 ]buka pekene untit,

paksa mangulehang,

asing nonjok manyempang,

dening kagelaran kingin,

malih punika,

sikep saking nagari.


167 . Saking tengan ngulah sahasa
nareja,

gelar ipun ring hiting,

tukad masih sengka,

ring bongkol gunung Sasak,

taler pasakitang kingin,

mangalintang tukad,

i Presa mananggalin.


168. Nanging kidik rowang ipun
paspas,

matumbak pada bani,

medil kabedilan,

ajahan raris buntas,

sakakaren bani mati,

sikep nagara ,

ngetut buri mamedilin.


169. Dadi cakup teken kampide
di kiwa,

di pasare kagisi,

dening suba buntas ,

pangawak sikep Presane,

ngaresin raja Bali,

reh kasampingan,

ngiwa tengen nembakin.


170. Tui suba pada nongos dangin
pasar,


bagaikan pasar yang
dirobohkan,

berusaha mencari
(perlindungan),

setiap yang kena sodok
terjungkal,

karena persiapannya,

pasukan kerajaan.


Dari kanan mendesak dan
menerjang dengan hebat,

bentengnya seberang sungai,

masih sulit,

di kaki gunung Sasak,

juga menjadi halangan,

menyeberang sungai,

Presa mulai mundur.


Tetapi sedikit temannya
hancur kena tombak,

sama-sama berani ,

menembak dan ditembak,

segera mundur,

yang tinggal berani mati,

pasukan kerajaan mengikuti
dari belakang dan
menembaki.


Pasukan bersatu dengan
pasukan sayap kiri,

di pasar dikuasai,

karena sudah lari,

pasukan inti Presa,

takut pada raja Bali,

karena didampingi,

dari kiri dan kanan ditembaki.


Semua sudah menempati
sebelah timur pasar,

59 [ 60 ]i Presa ditu malih ,

karepnya matanggal,

sikep saking nagara,

tuara bekat mangujanin,

ban mimis jarman,

masriak-sriak titir.


171. Meh laksayan musuhe ngenah
manabrang,

malaib beneh kangin,

mangelintang di tukad,

tuara ada nolih apa,

umahnyane pretak bresih,

masedut bebas,

tuara ada ngalangin.


172. Mangkin radin sasorohan
dauh Presa,

Anake Agung kalih ,

sampun sami budal,

ka Kadiri irika heneng,

tan kocap ring wengi,

benjang carita,

ne kangge ngapalain .


173. Batujai Widyadare kalih
Ungga,

rauh ngaturang bakti,

ature pranamya ,

ratu Dewa Agung titiang,

kalintang-lintanging sisip,

purun prasangga,

pacang sakadi mangkin .


174. Kadi pongah manyarengin
Peraya,


60


disebutkan lagi pasukan
Presa,

maksudnya lari,

pasukan kerajaan,

tiada hentinya menghujani
dengan peluru senapan
Jerman ,

bersuitan suaranya dcngan
gencar.


Ada puluhan ribu musuh
menyeberang,

lari menuju ke timur,

menyeberangi sungai,

tidak ada yang menoleh,

rumahnya hancur disapu rata ,

kesempatan bcbas,

tidak ada yang menghalangi.


Sekarang aman yang di barat
Presa,

Anak Agung keduanya sudah
pulang,

ke Kediri di sana diam ,

tidak diceritakan malam
harinya,

disebutkan keesokan harinya,

yang akan memimpin.


Batuja i Widyadara dan Ungga,

datang menyerahkan diri,

perkataannya sopan "Tuanku
Dewa Agung sangat besar
dosa hamba,

datang menghadap,

saat ini.


Dengan tidak merasa malu
mengikuti Peraya, [ 61 ]inggih Dewagung wiakti,

munggwing manah titiang,

ping sapta yan manjadma,

mangda kaula ugi,

cokor i dewa,

suun titiang kalih.


175. Mahawinan titiang kadi
kanten congah,

kabuatan boya kengin,

ratu antuk titiang,

matanggal ka Paraya,

kantin ipun akeh wiakti,

desa Padasan,

sorohan dangin juring.


176. Meh keti yan janman ipun
manarekas,

titiang upami kadi,

daune salembar,

aking munggah ring jurang,

angin ribut mangerauhin,

boya wangdenan,

labuh manepen gitgit.


177. Kadi mangkin yan i satru
janten pisan,

ring desan ipun sami ,

pacang kakukuhang,

boyan dugi mamendak,

cokor i dewa ring margi,

titiang nawegang,

manuur ugi mangkin.


sesungguhnya tuanku Dewa
Agung,

adapun pikiran hamba,

jika tujuh kali hamba
menjelma (lahir) ke dunia,

supaya tetap menjadi abdi,

tuanku,

tuan berdua akan hamba
junjung.


Sebabnya hamba ikut
menentang (meniberontak),

karena terpaksa sekali,

tuanku,

hamba memihak ke Peraya,

karena banyak sekutunya,

desa Padasan,

dan semua daerah Dangin
Juring.


Barangkali jutaan
orang-orangnya yang
memihak,

umpamakan hamba,

selembar daun,

yang kering naik ke atas
jurang,

datang angin ribut,

tidak dapat dihindari ,

jatuh mastik jurang.


Seperti sekarang musuh
telah jelas,

semua berada di desanya ,

yang dipertahankannya,

biarlah hamba menyongsong,

tuanku tinggal di jalan,

maafkan hamba,

ingin mendahului,

61 [ 62 ]178. Mangglinganin i kawula
sinamian,

sapohos titiang bakti,

banggayang pucukang,

yan ngenken pakayunan,

desane pacang rauhin,

adoh tan sida,

kageseng paramangkin.


179. Mangda ipun i Panuja 1intang
cangkah,

jadma kamulan kibir,

mangkin ngumandelang,

i Bangkol ring Paraya,

kene pacang polih,

matatakeran,

mayuda ka nagari,


180. Pet dija amana ipun
manyidayang,

ngendon kendonan malih,

yan ring tegal sawah,

yaning magunung sawa,

masagara antuk getih,

maledog banyoh,

titiang ugi mangiring.


181. Titiang mindah pacang
mamanjak ring Selam,

reh saking riin-riin ,

ratu taman titiang,

cerita kawitan titiang,

Lomboke puniki wiakti,

wantah kawawa,

antuk nagara Bali.


62


Memanggil rakyat semua,

golongan hamba semua
tunduk,

biarlah hamba ditempatkan
di depan,

bagaimana pikiran tuan,

desa itu akan didatangi,

walaupun jauh,

dibakar seketika.


Supaya si Panuja sangat
malu ,

memang manusia jahat,

sekarang hanya
mengandalkan,

Bangkolmail di Peraya,

begini hasilnya,

berke1ahi,

berperang dengan kerajaan.


Andaikata di manapun dia
sempat,

mendatangi apalagi didatangi,

jika di tegalan atau sawah,

sekalipun bergunung mayat,

bersamudra darah ,

digelimangi air mayat,

hamba bersedia.


Hamba tidak mau mengabdi
pada Islam,

karena dari dahulu,

tuanku junjungan hamba,

cerita dari leluhur hamba,

sebenamya pulau Lombok
ini ,

memang dipegang,

oleh kerajaan Bali". [ 63 ]182. Anak Agung Ngurah ida
mawacana,

nah wake suba tampi,

ida manugetang,

nganggo sekel di manah,

wake ajak idup mati,

besik kenehang,

swecaning Sang Hyang Widi.


183. Tambet ida pacang mapaica
ambah,

tong duga kalepiahin,

ne mangulah salah,

nepukin jagat kerta,

pet tekedang kaping uri,

tong duga siwah,

munyin awake jani.


184. Lamun banya tui beneh
mapajalan,

makadi nerus ka hati,

bisa mapaingan,

manganggo titah dewa,

pageh yadin mati urip,

masa buungan,

tan swecanan antuk Widi.


185. Kalih sampun para punggawa
makejang,

kadauhan ne mani,

pakayunan ida,

Anak Agung mamarga,

ka Unggadare manyimpangin,

saking irika,

i Panuja siatin.


Anak Agung Ngurah beliau
menjawab,

"Saya terima kamu,

jangan terlalu risau,

dan menyesali dirirnu,

kau ikut aku sehidup semati,

hendaknya satu kau pikirkan,

anugrah Sang Hyang Widi.


Kalau perbuatan buruk
beliau (Tuhan) akan memberi
jalan,

tidak bisa kita tentukan,

yang berbuat salah bisa
mendapatkan dunia tentram,

tetapi jika dilanjutkan
sampai ke belakang,

tidak bisa dibagi,

perkataanku sekarang.


Kalau kamu benar-benar di
jalan yang benar,

dan sampai ke dalam hatimu,

bisa mengukur,

menurut petunjuk Tuhan
tetapi setia hidup sampai
mati,

masakan tidak diberkahi oleh
Tuhan yang Maha Esa".


Para punggawa sudah semua,

disuruh menghadap esok
harinya,

keinginan beliau,

Anak Agung akan berjalan,

mampir ke Unggadara,

dari sana,

Panuja (Penujak) diperangi.

63 [ 64 ]186. I prakanggo tiga sampun
pamit budal,

tan kocapan ring wengi,

benjang caritayang,

Anak Agung marnarga,

rawuhe ring Ungga gelis ,

ditu mararian,

i Ungga mandagingin.


187. Sapisuguh pamatinge suba
ada,

rayunan kaping kalih,

maenak-enakan,

bumara minggek surya,

desa Darene paranin,

laris nganginang,

irika kararianin .


188 . Sane benjang baak kangin
sampun mangkat ,

Anake Agung kalih ,

mangrista Panuja,

bu dauh k alih bebas,

sa trune makejang lilih,

ngungsi Paraya,

desanya kaenj utin.


189 . I prakanggo Batujai mangkin
egar,

napak masila radin,

ring ajengan ida,

Anake Agung Ngurah,

ature dewagung mangkin,

nunas rarisang,

gamel panjake bakti .


64


Ketiga pimpinan sudah
mohon diri pulang,

tidak diceritakan malam
harinya,

disebutkan keesokan harinya,

Anak Agung berjalan,

segera sampai di Ungga,

di sana istirahat ,

di Ungga mengisi perut.


Segala suguhan untuk
prajurit telah tersedia,

makanan serba enak,

menjelang matahari condong
ke barat ,

desa Daren didatangi,

terus ke timur di sana
istirahat.


Keesokan harinya waktu
fajar menyingsing semua
berangkat,

Anak Agung keduanya
menuju Panuja (Penujak) ,

kira-kira jam 9 pagi telah
dibebaskan,

musuh semua mundur,

menuju ke Peraya desanya
dibakar.


Pimpinan Batujai sangat
gembira,

menghadap duduk bersila
tertib,

di hadapan beliau,

Anak Agung Ngurah,

berkata " Dewa Agung,

sekarang silahkan pegang
rakyat yang setia ini." [ 65 ]190. Anak Agung Ngurah kalih
ring anakda,

ring Batujai malinggih,

tan ucap irika,

sami udrawi,

arayun ane becik-becik,

rata makejang,

pisuguh Batujai.


191. Ring Narmada mangkin
kocap mireng abar,

Anake Agung Linggsir,

anakda ngiringang,

sampun bebas malingga,

ring Batujai ngukuhin,

ento makerana,

kayune buka piri.


192 . Anak Agung Made
Karangasem ida,

matangkil suba titib,

punggawa pramenak,

Anak Agung ngandika,

kenken rarasane mangkin ,

wireh i bapa,

sida sampun malinggih.


193. Manampekin ento musuhe di
Praya,

idep titiang ne mangkin,

masih mangilabang,

sikep ka delod Babak,

apang da rupa mangencing,

dadi katarka,

mawedi teken pati.


Anak Agung Ngurah bersama
anaknda,

tinggal di Batujai,

disebutkan saat itu,

semua makan dan minum ,

segala yang baik,

semua itu,

disuguhkan o1eh Batujai.


Disebutkan sekarang di
Narmada mendengar berita
Anak Agung Lingsir (raja
tua),

diantar o1eh anak beliau
sudah dapat membebaskan
dan menduduki,

di Batujai bertahan,

itu sebabnya pikiran be1iau
iri hati.


Beliau Anak Agung Made
Karang,

dihadap dengan tertib,

para punggawa dan menak
(bangsawan),

Anak Agung berkata,

"Bagaimana keadaannya
sekarang,

karena ayah,

sudah berhasil menduduki.


Mendekati musuh di Peraya,

menurut saya sekarang,

juga mengerahkan,

pasukan ke selatan Babak,

supaya jangan seperti takut,

jadi dikira takut mati.

65 [ 66 ]194. Ne di Sintung ditu alih
pakedapa,

munyinnya enu bakti,

mangkin apang sinah,

mani ambiarin kema,

punggawa pramenak sami,

bebas ngiringang ,

babawos lintang becik.


195 . Saking gelis jani baan
nyaritayang,

bu nampi galang kangin,

sikep di Narmada,

suba napak di pasar,

Anak Agung Made mijil,

wama dumilah,

manganggo sarwa becik.


196. Baudanda sampun nampi
pangandika ,

sane yogia mucukin ,

kampid keri kanan,

watek purusa ring perang,

mamargi atap mabaris,

wantah waluya,

solah kadi ring tulis.


197. Anak Agung Made
Karangasem yatna,

watek babecik ngabih,

sewos maha dwija,

tan ucapen di jalan,

rauhe di Sintung gelis,

tuara da apa,

i Sintung katampekin.


66


Yang di Sintung kita lihat
di sana situasinya,

menurut kata-katanya
mereka tetap setia (takluk) ,

sekarang supaya jelas,

besok kita datangi ke sana" ,

punggawa dan para menak
(bangsawan) semua,

bersedia mengikuti,

pembicaraan sangat lancar.


Dengan segera kita ceritakan,

fajar baru menyingsing,

pasukan di Narmada,

sudah sampai di pasar,

Anak Agung Made keluar,

wajahnya berwibawa
(cemerlang),

dengan pakaian serba indah.


Para patih sudah menerima
perintah,

yang patut di depan sayap
kiri dan kanan,

semua sa tria yang berperang,

berjalan rapat dan berbaris
rap1,

kelihatan,

perbuatannya seperti dalam
lukisan cerita.


Anak Agung Made
Karangasem waspada,

pengawal setia mendampingi,

lain lagi para pendeta,

tidak diceritakan dalam
peijalanan,

segera sampai di Sintung,

tidak ada apa-apa,

desa Sintung didekati. [ 67 ]198. Apan eling teken aturnya
ne suba,

menggah kari subakti,

Sura Amlapura ,

ida bebas mamarga,

manampekin kubon sripit,

tuara nyerigehang,

musuhe manengkelepin.


199. Gelis ngamuk ada angan
kalih dasa,

sikepnya pada mingid,

nyepeg ban kalewang,

mancangin sikep mamas,

mageliuran tangkejut sami,

pating kurepak,

makelid nepen iding.


200. Apan kocap sikep Selam
Rarang iya,

mula nyadiaang gati,

idep angarusak,

ida Sura Amlapura,

pakatotot teka dadi,

maduk adukan,

nyepeg kasepeg titir.


201. Mausungan saget musuh
kaden rowang,

akeh matatu mati,

apan tuara pegat,

sikep Selame teka,


Karena teringat dengan
pembicaraannya yang
sudah-sudah,

tetap masih setia,

Sura Amlapura,

beliau dengan bebas beijalan,

mendekati kebun seripit
(sejenis tumbuhan
kacang-kacangan),

kurang waspada musuh
sedang mengintip.


Segera mengamuk kurang
lebih dua puluh orang,

pasukannya sangat berani,

merabas dengan pedang,

menyergap pasukan mamas
(nama perlengkapan perang),

berhamburan semua terkejut,

kacau,

yang menghindar jatuh
ke jurang.


Karena pasukan Islam di
Rarang,

memang sudah
merencanakan,

untuk menghancurkan,

beliau Sura Amlapura,

sehingga susul menyusul
mereka datang,

bercampur aduk,

sating babat dengan
hebatnya.


Bercampur musuh dikira
kawan,

banyak yang luka dan mati,

karena tiada putusnya,

pasukan Islam datang,

67 [ 68 ]manempongin
manyampingin,

sikep nagara,

kabet matanggal jurit.


202. Dadi teka sikep Rarang di
ajengan,

Sura Amlapura raris,

kaamuk katumbak,

ada nganggar kulewang,

nyepeg bubat abit titir,

Sura Amlapura,

kasep nyarnbut pangawin.


203. Milih kena nanging tuara bisa
binglak,

i anak manyarengin ,

Gede Putu parab,

katungseh ban galewang,

sami kalis maka kalih,

buka dadakang,

ada ngandong malaib.


204. Nto kerana juli kembal pada
kecag,

tuting payung ngulintik,

ne mangaba rusak,

kerana Rarange nyarah,

isin kembal momot sami,

sanora-nora,

aji petang keti.


205. Anak Agung Made
Karangasem buntas,


68


menyerbu dari sarnping,

pasukan kerajaan.


Seketika datang pasukan
Rarang di hadapan beliau,

lalu Sura Amlapura,

diamuk ditombaki,

ada yang mengangkat
pedang,

membabat ke sana ke mari,

dengan hebat,

Sura Amlapura terlambat
mengambil senjata.


Beliau kena karena tidak bisa
mengelak,

anaknya ikut,

bernama Gede Putu,

ditusuk dengan pedang,

kemudian dengan mendadak
ada yang menggendong
membawa lari.


ltulah sebabnya juli kembal
(tandu) semuanya tertinggal,

dengan payung kebesaran
tergeletak,

yang membawanya telah
hancur,

dirampas oleh pasukan
Rarang,

tandu barang-barang berharga
semua,

setidaknya,

seharga empat ribu.


Anak Agung Made
Karangasem minggat, [ 69 ]ka Narmada mangararis,

sapamating bebas,

tuara manolih rowang,

ne rusak ditu kalahin,

akudang dasa,

bangke layon ngulintik.


206. Bau rauh di purian raris ida,

Sura Amlapura eling,

ring juline kecag,

makadi pacanangan,

mangampros ngutusang raris ,

nudtud bunggalang,

dija pacang alih.


207 . Ne kautus tuwi emeng

ngamanahang,

sakewala mamargi,

budal ring Ayunan,

gelis malih matulak ,

ngaturang tan wenten keni,

Sura Amlapura,

meneng mawama nangis.


208 . Dadi katur ortane tuara da kirang,

ring Anak Agung Lingsir,

ida ne malingga,

di Batujai menggah,

kalih antuk ipun wiakti,

i desa Jonggat,

Bunprina tuara bakti.


209. Anak Agung Ngurah ngutus
anakda,

Ketut Karangasem gelis,

mangerista i Jonggat,


menuju ke Narmada,

semua pasukan ikut,

tidak melihat kawan,

yang hancur ditinggalkan,

berpuluh-puluh mayat
bergelimpangan.


Baru tiba di istana,

Sura Amlapura teringat ,

julinya tertinggal ,

seperti tempat sirih,

lalu mengutus orang lagi,

mencari,

di mana dicari lagt.


Yang diutus sangat berat
memikirkan,

tetapi berjalan juga,

setelah sampai di Ayunan,

segera kembali lagi,

mengatakan tidak ada
ditemukan kembali ,

Sura Amlapura,

diam berwajah sedih.


Lalu disampaikan berita itu
tidak ada kurangnya,

kepada Anak Agung Lingsir
(raja tua),

yang tinggal,

di Batujai sangat marah,

karena beliau itu,

desa Jonggat,

Bunperina,

tidak mau tunduk.


Anak Agung Ngurah

mengutus anaknya Ketut

Karangasem supaya segera,

menyerang Jonggat ,

69 [ 70 ]Bunperina keni bebas,

uruju Amlanagari,

saat ngiringang,

kalih raine raris.


210. I Bunperina rniwah Jonggat
bebas kalah,

mangkin ucapang malih,

ne di Bali rajya,

i anak kalih pawikan,

Selame telas mangalik ,

di desa Tengah,

maharap ka nagari.


211. Suputra wos kairing ban
baudanda,

mamatut pisan mangkin,

ida ne alitan,

Wirya Jalaja mangkat,

rauhe ka Sasak gelis,

saha sanjata,

tan kirang tigang tali.


212. Sasundulan apang tuara
pegat-pegat,

saking gelising pangawi,

ne mangkin ucapang,

Wirya Jalaja ida,

rauhe ring Sasak radin,

akudang desa,

perahu jukung nguncalin.


213. Bau napak rauhe ring kota
Cakra,

daging nagara sarni,

makadi pandita,


70


Bunperina supaya takluk,

putra bungsu Amlapura,

supaya mengikuti,

diceritakan dua hari.


Bunperina dan Jonggat
dikalahkan,

sekarang d'iceritakan lagi ,

yang di kerajaan Bali,

dua anak yang sangat
bijaksana,

orang-qrang Islam telah
kembali (setia),

di desa Tengah,

kepada kerajaan.


Putra yang baik diikuti para
pembesar,

sangat cocok sekali,

beliau yang lebih kecil Wirya
Jalaja berangkat,

segera sampai di Sasak
(Lombok),

dengan senjata,

dan pasukan tidak kurang
dari tiga ribu orang.


Susul menyusul tidak
putus-putusnya,

kita cepatkan cerita,

disebutkan sekarang Wirya
Jalaja telah sampai,

di Sasak dengan selamat,

perahu dan sampan berlabuh.


Baru sampai di kota Cakra,

seisi kota semua,

seperti para pendeta,

datang menghadap beliau, [ 71 ]rauh nangkil ida,

pranamya atur becik,

ratu geng rena,

atur titiang puniki.


214. Titiang saksat trena aking
kapanasan ,

cokor idewa kadi,

merta sabeh kapat,

ngurip i kayu ragas,

boya iwang kadi m angkin,

i satru bebas,

kawon boya ngudih.


215. Anak Agung saure dumadak
sida,

wenten suecan hyang Widi,

jejer ngamanggehang,

linggih ida i bapa,

jaya ring satru wiakti ,

antuk kagengan ,

kertine manglimbahin.


216. Tan carita sasolahe ring
nagara,

sampun ka tur wiakti ,

ring palinggih ida,

Anake Agung Ngurah,

anak dane saking Bali ,

rauh ring Cakra,

lin tang enake kingin.


217. Raris ida maputusan ka
nagara,

mangda anakda gelis,

rauh mangamelang,

ring Sukarara desa,

jadman ipun lintang bakti ,


sangat hormat,

menyembah ,

"Paduka mohon maafkan ,

sembah hamba ini.


Hamba bagaikan daun kering
kepanasan ,

paduka seperti air penghidupan
hujan di buulan keempat ,

yang menghidupkan,

pohon kayu yang hampir mati,

keadaan seperti sekaran,

musuh bebas,

kalah dengan tidak melawan.


Anak Agung berkata
mudah-mudahan berhasil,

ada rahmat dari Sang Hyang
Widi,

dapat mempertahankan,

kedudukan ayah,

dan menang terhadap musuh,

karena kebesaran jasa beliau
yang menyebabkan.


Tidak diceritakan tingkah
laku orang-orang di kerajaan,

sudah disampaikan,

ke hadapan beliau,

Anak Agung Ngurah,

putra beliau dari Bali,

sudah sampai di Cakra,

raja sangat senang.


Lalu beliau mengutus orang
ke istana ,

supaya anakda segera,

da tang memegang dae rah
Sukarara.

orang-orang desa di sana

71 [ 72 ]mangkin ucapang,

anakda saking Bali.


218. Napak rauh mikukuhin Sukarara,

saking irika wiakti,

rauh matangkilan,

ka Batujai desa,

Anak Agung Ngurah raris,

bebas sapisan,

micayangraossanti.


219 . Ring anakda sane saking Bali rajya,

puput raose radin,

mangkin malih ucap,

desa Pujut mangarasa,

desa Kaduung nyarengin,

I Bangkol Praya,

raris sasepen gelis.


220. Kapalanya sedek ring palinggih ida,

Anake Agung Lingsir,

nunas geng ampura,

ping kalih manawegang,

mangda wehten ngalingganin,

ring Pujut desa,

puput babawos becik.


221. Anak Agung Ketut Karangasem ida,

irika mikukuhin,

sasanjata bebas,

i Pujut kagamelang,

yan akudang dina gelis,

irika ida,

uruju Amlapuri.


72


sangat setia,

sekarang diceritakan putra raja dari Bali.


Sudah sampai untuk mempertahankan Sukarara,

dari sana,

datang menghadap ke desa Batujai,

lalu Anak Agung Ngurah,

dengan bebas,

mengadakan pembicaraan.


Kepada anakda dari kerajaan Bali,

selesai pembicaraan sekarang diceritakan lagi,

desa Pujut sudah merasa,

diikuti oleh desa Kaduung,

I Bangkol Peraya,

pergi dengan tergesa-gesa.


Pimpinannya sedang di tempat be1iau,

Anak Agung Lingsir,

memohon maaf,

dan memohon,

supaya ada mempertahankan,

di desa Pujut,

pembicaraan sudah selesai.


Anak Agung Ketut Karangasem,

beliau di sana mempertahankan,

lengkap dengan persenjataan,

desa Pujut yang dipertahankan,

entah sudah berapa hari, [ 73 ]222. Mangawonang desa Marong
Analikan,

mangkin ucapang malih,

Anak Agung Ngurah,

puput babawos ida,

ring anakda saking Bali,

nyaatang ngerista,

i Praya satru mawit.


223. Baak kangin kulkul tambure
matimbal,

ring Batujai kalih,

Sukarara desa,

pamating sami bungah,

ne di Sukarara becik,

solah mangambiar,

mairing gunung sari.


224. Sikep tumbak
masoroh-sorohan ngranyab ,

ada mahoncor putih,

ada moncor barak,

ada maoncor jenar,

sanjata dalem makadi,

murub maprada,

garit rnacakra raspati.


225 . Musus emas makalung
maoncor ngeranyab,

ikuh merake pakrining,

soroh ne kaucap,

babaruka muleyang,


Anak Agung Ketut
Karangasem berada di sana.


Mengalahkan desa Marong,

dan Analikan,

sekarang disebutkan lagi,

Anak Agung Ngurah,

sudah selesai pembicaraannya,

dengan putranya dari Bali,

berusaha untuk
menghancurkan,

Peraya asalnya musuh.


Menjelang pagi bunyi
kentongan dan tambur
bersautan,

di Batujai,

dan di desa Sukarara,

Pasukan semua dengan
gagahnya,

yang di Sukarara sangat baik,

terpencar,

diikuti pasukan gunung sari
(nama pasukan).


Pasukan tombak
berkelompok-kelompok
berkilauan,

ada yang bertangkai putih,

ada juga merah,

dan ada yang kuning,

seperti senjata dalam,

gemerlapan berperada,

tombak cakra sangat indah.


Dengan pangkal emas
berkalung dan tangkainya
gemerlapan,

memakai bulu ekor merak
yang indah,

73 [ 74 ]kasub gunapangan mandi,

ne manyikepang,

sorohan teguh kalis.


226. Anak Agung kalih sampun
sami kodal,

mamargi pada gelis,

rauh ring Paraya,

musuhe ditu mendak,

ajahan makiles raris,

i satru Peraya,

jeroning kuta nanggalin.


227. Ngumandelang gelar kukuh
mambal-ambal,

Anake Agung kalih,

ngutus angulahang,

sikep saking nagara,

tuara pegat pegat medil,

menekin gelar,

tuara mangitung mati.


228. Kadi gajah muani bejit
sedeng galak,

mabinder ngusak-asik ,

saha sumbar-sumbar,

ngigel mokpokin sipah ,

tuara takut kabedilin,

tui ngendelang,

babadong sami becik.


74


segala yang disebutkan,

mulia ,

terkenal baik dan ampuh,

yang memakai senjata,

golongan orang-orang yang
kebal dan gesit (dalam
peperangan).


Raja berdua sudah keluar,

berjalan dengan cepat,

se telah sampai di Peraya,

musuh yang di sana
menyongsong,

sebentar terjadi peperangan ,

musuh di Peraya,

yang di dalam kota mundur .


Mengandalkan pertahanan
yang kuat berlapis-lapis,

Anak Agung keduanya,

memerintahkan untuk terus
mengejar,

pasukan istana,

tidak putus-putusnya
menembak,

menaiki benteng,

tidak memikirkan mati.


Bagaikan gajah jantan yang
nakal dan galak,

berputar-putar mengacau,

sambil berkata bersumbar,

menari-nari sambil menepuk
dada,

tidak merasa takut
di tembaki.

sungguh bangga,

dengan perhiasan leher yang baik. [ 75 ]229. I Paraya sing matanggal
manyugegag,

kudang dasa ngulintik ,

siyat maosogan,

nyidra kacidra galak ,

sing kacidra bah mapugling,

tuara kilesan,

silih takehan getih.


230. Saget enot kapalan perang
di nagara,

punggawa tos babecik,

ida Wala Sweca,

ne suba tan kataman ,

ban soroh sanjata sami,

irika rusak ,

kena ban mimis sandi.


231. Yadin ke to sikep nagarane
ngulah,

ne rejak mangamuk medil,

bawu kalih ambal,

gelar musuhe berasta,

kubun-kubun ipun beresih,

geseng katunuan,

dadi kalangan wengi,


232. Anak Agung kalih sami
sampun budal,

mangkin ucapang malih,

untat Amlapura,

taler sampun mebasang,

desa Pajanggi kabasmi,

di dangin Peraya,

saking Pujut maranin .


Pasukan Percaya setiap yang
keluar terjerembab,

berpuluh-puluh jatuh
tersungkur,

peperangan sangat ramai,

nafsu saling membunuh,

sama-sama galak,

yang kena j atuh tersungkur,

tidak dapat dihindarkan ,

sating mengadu keberanian.


Tiba-tiba terlihat pemimpin
pasukan di kota,

seorang punggawa keturunan,

utama beliau Wala Sweca,

yang sudah-sudah tak
terkalahkan,

oleh segala macam senjata,

sekarang hancur,

kena peluru sakti.


Walaupun demikian pasukan
kerajaan terus mengusir,

menerjang mengamuk dan
menembaki baru dua lapis,

pertahanan musuh hancur,

kubu-kubunya dibersihkan,
hancur terbakar,

hari telah menjelang malam.


Anak Agung berdua sudah
pulang,

sekarang diceritakan lagi,

Anak Agung Ketut
Amlapura,

juga telah membebaskan,

desa Pejenggi dibasmi,

di sebelah timur Peraya,

didatangi dari Pujut.

75 [ 76 ]233. Tuwi ngesnges musuhe
dangin Paraya,

Kopang Madapa kalih,

Darmaji punika,

Mujur sami mutusan,

rauhe ka Pujut gelis ,

matur basaja,

nawegang nunas urip.


234. Mangda ida uruju
Amlanagara,

mangamel salih tunggil,

durung kamarginan,

saget nadakang ada,

kaatur ka Batujai,

ne di Narmada,

kape matanggal jurit.


235. Tanah Tepong delod Taman
suba bebas,

musuhe mangenjutin,

turing ne di Selat,

dajan Narmada telas,

geseng ban musuh nyiatin,

pilih dasdasan,

Narmada kalintangin.


236. lda Anak Agung Ngurah
menggah pisan,

awinan para mangkin,

mamudalin desa.

Batujai irika,

Wirya Jalaja ngantianin,

ne kalih desa,

Suka Rara tindih.


237. Tuwi wenten pra putra ditu
malingga,


76

Sungguh payah musuh yang
di timur Peraya,

desa Kopang dan Madapa,

Darmaji dan Mujur,

semua mengirim utusan,

segera sampai di Pujut ,

menyampaikan permohonan,

memohon agar diberi hidup.


Supaya beliau Anak Agung
Ketut Karangasem,

memegang salah satu,

belum dilaksanakan,

tiba-tiba ada berita,

disuruh ke Batujai,

yang di Narmada,

terdesak meninggalkan
peperangan.


Tanah Tepong di selatan
Taman sudah bebas,

musuh membakar,

sampai yang di Selat,

di utara Narmada habis,

hancur terbakar diperangi
musuh,

hampir-hampir lewat ke
Narmada.


Beliau Anak Agung Ngurah
sangat marah,

karenanya mendadak,

meninggalkan desa,

di sana di Batujai,

digantikan oleh Wirya Jalaja,

yang dua desa Suka dan Rara
membela.


Sungguhpun ada para putra
di sana, [ 77 ]untat Jalaja nami,

tusning puri punggawa,

Mataram linggih ida,

kocap Anak Agung Lingsir,

gageson pisan,

rauhe ka nagari.


238. Mangararis ka Narmada
gagelisan,

yan kudang dina wiakti,

malih ida nguntas,

satrune delod Babak,

Sintung Renyem kaping kalih,

mingked ka Pringga,

Rasa makejang lilih.


239. Salingkenya soroh dangin
Narmada,

musuhe onya belit,

ngungsi desa Tengah,

di Kopang Batukliang,

ditu tongos angukuhin,

sikep nagara,

tan maren mangulahin.


240. Batukliang Kopang Rara lan
Babuwa,

Rendang arasa malih,

ka Siksikur telas,

yan kudang dina brasta,

kayudan pada belit,

ngungsi nganginang,

desanya katunuin.


241. Maawinan sida bebas nepak
desa,


bemama Ketut Jalaja,

keturunan istana di timur,

di Mataram tempat beliau,

diceritakan Anak Agung

Lingsir (raja tua) ,

dengan cepat-cepat,

sampai di istana.


Lalu dengan segera ke
Narmada,

entah berapa hari,

kembali beliau menyerang,

musuh yang di selatan Babak,

juga ke Sintung,

Renyem ,

sampai ke Pringgarasa semua
mundur.


Apalagi yang di timur
Narmada,

musuh semua mundur,

menuju desa Tengah,

di Kopang dan Batukeling,

di sana tempatnya bertahan,

pasukan kerajaan,

tidak henti-hentinya
mengusir (menyerang).


Batukeliang, Kopang,

rara dan Babuwa,

Rendang dan Arasa,

sampai ke Sikur habis,

entah dalam berapa hari
hancur,

diperangi semua mundur,

menuju ke timur,

desanya dibakari.


Adapun sebabnya bebas
sampai di desa,

77 [ 78 ]di Kutaraja wiakti,

kapalanya atwang,

manyunjung ka nagara,

ucapang di Pujut mangkin,

taler nyaatang,

Mujure sampun keni.


242. Miwah soroh desa-desa
badanginan,

ganti Sangkrange lilih,

rauh ka Baleka,

nabrang matinggal desa,

kageseng kajarah sami,

soroh barana,

patikiwen kakirik.


243. Anak Agung Ngurah taler
mangulahang,

Rendang Nangkane keni,

kagamel irika,

saking irika nguntas,

Pringgasela kayudanin,

Pringgajurang,

sami kageseng radin.


244. Nanging kari iya Masbage
matanggal,

durung kasidan keni ,

Anak Agung Ngurah,

kari nyataang pisan,

kapos saking titah Widi,

kadi nyaranta,

yudane marep kangin.


78


di Kotaraja,

pimpinannya sudah takluk,

kembali tunduk pada
kerajaan,

diceritakan sekarang di desa
Pujut,

juga sangat terdesak,

dan Mayura sudah kena.


Dan desa~esa yang ada di
timumya,

gilirannya desa Sangkrang
jatuh,

sampai ke Balaka,

Jari meninggalkan desa,

dibakar dan dirampas semua,

segala harta benda,

dan barang-barang berharga
(patikiwen kakirik).


Anak Agung Ngurah juga
terus mengejar,

desa Rendang dan Nangka
(Lendang Nangka) sudah
kena,

lalu dikuasai di sana,

dari sana diteruskan,

memerangi Pringgasela,

dan Pringgajurang semua
dibakar dengan lancar.


Hanya masih desa Masbagik
bertahan,

belum dapat ditaklukkan,

Anak Agung Ngurah,

sangat mengharapkan,

mungkin sudah takdir Sang
Hyang Widi,

seperti disengaja, [ 79 ]245. Apan iya soroh Selam
Sekarbela,

delod Mataram dadi,

kena kakilitan,

congahe ka nagara,

Kadirine mamarengin,

ngadayang siat,

luget mamati-mati.


246. Ento kerana buka ngelah
kunyanyengan ,

sikepe wara wiri,

musuh rowang pada,

magingsir-gingsir genah,

saget kawuh saget kangin,

saget ka tengah ,

kaja kelod magisi.


247. Kapuputan Sekarbela bebas
kalah,

kalingke i Kadiri ,

buka amah temah,

gerubug mising mambabar,

tuara telag ne awai,

dasa-dasaan,

ngajangan bangke sai.


248. I Pamating Dangin Juring
sane nyagra,

kalih daging Kadiri,

tuara pegat-pegat ,

kakubur ngae bangbang,

kerana bebas mangalahin,


peperangan menghadap
ke timur.


Karena mereka orang-orang
Islam Sekarbela,

di selatan Mataram,

kena pengaruh,

menentang kerajaan,

bersama-sama Kadiri,

mengadakan peperangan,

kuat mati-matian.


ltu yang menyebabkan
seperti ragu-ragu,

pasukan ke sana ke mari,

tidak jelas antara musuh dan
kawan,

karena berpindah-pindah
tempat sewaktu-waktu ke
barat dan kemudian ke
timur,

begitu pula ke tengah-tengah,

utara dan selatan semua
dipegang (ditempati).


Akhirnya Sekarbela kalah,

apalagi Kadiri,

seperti kena kutuk,

diserang wabah mising,

tidak putus-putusnya dalam
sehari,

berpuluh-puluh mayat,

setiap saat diangkut.


Pasukan Dangin Juring yang
menjaga.

dan orang-orang Kadiri,

tidak henti-hentinya,

ke kuburan membuat lobang
kubur,

79 [ 80 ]Kadiri desa,

aukud tuara kari.


249. Anak Agung Ngurah kantun
mamawosang,

pacang paparan malih,

mangun Sagarayang,

mangerista dusun desa,

sane tonden matur bakti,

kari ngan tusang,

ngantos dewasa becik.


250. Tan carita pari polah bilang
desa,

gugamel raja Bali,

prabekel punggawa,

sami mangipuk rencang,

kudang kebo bantcng mati,

malalawaran,

tiniba banci.


251. Sapakeneh pada ngae
dademenan,

arak berem matindih,

brendi limunada,

tatabuhan tan pegat,

gandrunge masolah sai,

buka dadakang,

tamiu koko ngerauhin.


252. Tuan residen Danambarah


80


itulah sebabnya bebas
meninggalkan,

desa Kadiri,

karena seorang pun tidak ada
yang tinggal.


Anak Agung Ngurah masih
membicarakan,

akan didatangi lagi,

membangun Sagarayang,

menghancurkan desa dan
kampung,

yang belum mau tunduk,

tinggal menunggu hari yang
baik.


Tidak diceritakan
tindak-tanduk orang di
tiap-tiap desa,

wilayah kekuasaan raja Bali,

perbekel dan punggawa,

semua mengatur rakyat,

tidak terhitung kerbau dan
sapi mati dipotong,

yang dimasak.


Sekehendak hatinya semua
membuat yang disenanginya,

arak dan berem (minuman
khas Bali) berlimpah-limpah
brendi dan limunada,

bunyi gamelan tidak
putus-putusnya,

tarian gandrung setiap saat
dipergelarkan,

seperti mendadak,

ada tamu mendatangi.


Tuan Residen Danambarah [ 81 ]ne kawasa,

ring Singaraja ndiri,

miwah tuan jendral,

Batawi ring Sumarang,

warna sarni becik-becik,

akudang kapal,

suradadu mangiring.


253. Puput seregep sapakakas ring
paperangan,

Letnan Du Brus ngenterin,

kapten lan kumendan,

mapoos-poos napak,

tedun ring Ampenan titib,

wiakti sawangang,

kadi alun ngaresresin.


254. Pangerawuhe misadia pacang
nyapsapang,

yudane marep kangin,

makadi yan tulak,

i Dangin Juring bebas,

sri paduka mangantinin,

Anak Agung Ngurah,

ngerejek i Dangin Juring.


255. Mahawinan i pamekel ring
Ampenan,

iya Sari Dulatip,

tiga i Kretanah,

sampun puput nyambrama,

Sri paduka residen kalih,

i tuan jendral,



(Danambarg) yang berkuasa
di Singaraja,

dan tuan jendral Batawi di
Semarang,

wajahnya semua bagus,

entah berapa kapal serdadu
yang mengikuti.


Sudah siap dengan segala
perlengkapan peperangan,

Letnan Du Brus yang
memimpin,

kapten dan para komendan,

terbagi-bagi dalam
pendaratan,

telah mendarat dengan tertib
di Ampenan,

jika diumpamakan,

seperti gelombang yang
menakutkan.


Kedatangannya memang
hendak membersihkan
peperangan menghadap ke
timur,

jika akan ditolak ,

Dangin Juring akan bebas,

Sri Paduka akan
menggantikan,

Anak Agung Ngurah,

menyerang desa Dangin
Juring.


Itulah sebabnya pimpinan
desa di Ampenan,

Sri Dulatip,

dan yang I Kretanah,

telah mengadakan
penyambutan,

Sri Paduka Residen ,

81 [ 82 ]kadi solahe nguni.


256. Sri Paduka tuan residen
mamuputang,

piwekas mangda gelis,

Anak Agung Ngurah,

matemu mamuputang,

rawose kalin tang becik,

pamekel tiga,

saka ngaris manampi.


257. Gelis tulak mangaturang ka
nagara,

tan seos ne katangkil,

ida ne maparab ,

anakda Sura Amlapura ,

kapidarta sami,

rawos i tuan,

rauhe saking radin.


258. Naang ida Sura Amlapura,

maminehang,

tong duga pacang radin,

rauhe i tuan ,

dening ne sampun lin tang,

tuara taen kadagingin,

raos sang kuasa,

marentah ring Batawi.


259. Ngamargiang sipat benar
manapakang,

daging kontrake sami,

nganutang pasihan,

nak Agung Made ida,

akeh kaangge nyangkitin,


82

dan Tuan Jendral,

seperti keadaannya dahulu.


Sri Paduka Tuan Jendral
lalu memutuskan,

maksudnya supaya segera,

Anak Agung Ngurah
bertemu,

untuk membicarakan,

perka taannya sangat manis,

para perbekel ketiganya,

dengan jelas dapat menerima.


Lalu segera pergi ke
istana,

tidak lain yang dihadap,

beliau yang bemama,

Anakda Sura Amlapura,

diceritakan semuanya,

perkataan Belanda,

kedatangannya dengan
maksud baik-baik.


Berat beliau Sura Amlapura
memikirkan,

tidak mungkin bermaksud
baik,

kedatangan Belanda itu,

karena yang sudah-sudah,

tidak pemah dituruti,

maksud yang berkuasa,

yang memerintah di Betawi.


Menjalankan dan
menerapkan patokan yang
benar,

menurut isi perjanjian,

menurut rasa
persahabatan, [ 83 ]rawos ring kontrak,

mangda kanten mandiri.


260. Kerajaane ring Sasak
ento karana,

sandeya tan sinipi,

pakayunan ida,

nak Agung Made Karang,

mawosang ragane rimbit,

napi puaranya,

pungkur pacang
tandingin.


PUH PANGKUR

261 . Anak Agung Made Karang,

mangkin ginting nauhin
roban sami,

kalih juru yuda sampun,

yatra ngamel sanjata,

kudang tali di Mataram,
matatunggu,


kalih ida kairingang,

mangamel kutane titib.


262. Sokne kangin kalonggarang,

prayan ida yan wantah pinda
jati,


i tuan Residen araju,

pacang nincap nagara,

mairingan suradadu ditu laut,

ida pacang mapuputan,


beliau Anak Agung Made,

banyak dipakai alasan,

menurut pembicaraan dalam
kontrak (perjanjian),

supaya masih tetap berdiri
sendiri.


Kerajaan yang di Sasak,

itu yang menyebabkan
sangat ragu-ragu(khawatir),

pikiran beliau,

Anak Agung Made,

Karang,

mengatakan diri beliau sulit,

apa yang akan terjadi,

kemudian akan dihadapi.


Anak Agung Made Karang,

sudah siap memanggil
pasukan semua,

juga sudah memanggil juru
perang (prajurit),

siap memegang senjata,

beribu-ribu di Mataram
menunggu,

dan beliau juga diikuti,

menjaga kota dengan tertib.


Yang bagian timur
dilonggarkan,

maksud beliau jika
benar-benar,

Tuan Residen 'menyerang,

akan melewati kerajaan,

dengan diikuti serdadu
(prajurit),

waktu itu beliau akan mulai,

mengadakan puputan (perang
habis-habisan),

seisi kerajaan akan ikut serta.

83 [ 84 ]263 . Reh rauhe sri paduka,

tuan Residen baosang ida
sisip,

tan manut keramaning
dangu,

jog tedune manaram,

mairingan suradadu kudang
iyu,

meh ta lin tang ring laksayan,

mangde sangahing nagari .


264. Nanging ida Sura Amla,

lintang tanruh ring kayun
paduka Sri,

Tuan Gupernur Jendral tuhu,

darma ngetisin jagat,

mahawinan maputusan gelis
rauh,

ka Sasak pacang ngasatang,

mangde kertaning nagari.


265. Anak Agung Made
Karang-,

asem mangkin kengin
siwah panampi,

sandehan kayune tuut,

nanging ta sri paduka,

tuan Residen tan marobah
sita dangu,

jejer ngantos panugraha,

pangrawuhe ka nagari.


266. Apan jatine kapinta,

pakayune tuan Residen .


84


Karena kedatangan Sri
Paduka,

Tuan Residen dikatakan oleh
beliau tidak benar,

tidak sesuai dengan
perjanjian dahulu,

karena tiba-tiba saja datang,

diikuti oleh prajurit
beribu-ribu,

mungkin lebih dari puluhan
ribu,

hendaknya kerajaan waspada.


Tetapi beliau Sura Amlapura,

sangat tidak mengerti dengan
maksud Sri Paduka,

Gubernur Jendral,

seperti membawa kebajikan
yang memerciki negara,

mukanya mengambil
keputusan,

datang ke Sasak (Lombok)
untuk mendamaikan,

supaya negara jadi tentram .


Anak Agung Made
Karangasem,

kini merasa salah terima,

keragu-raguan hatinya
dituruti,

tetapi Sri Paduka,

Tuan Residen,

tidak merobah perjanjian
yang dulu,

hanya menunggu perkenan
(izin),

datang ke istana.


Karena sesungguhnya yang
diminta, [ 85 ]mangda keni,

Sura Amla mangda katur,

ka Jawi ring ajeng ida,

Sri paduka Tuan Gupemur
Jendral kayun,

nyakolahang Sura Amla,

ring Bogor tanah Batawi.


267. Keni ida Sura Arnla,

manyengehang solahe ngamel
bumi,

dening idajati katur,

ka Jawi mangarusak,

paperentahan ring Sasak
jadmane rauh,

saksat kakebusan surya,

tengai tepete sai.


268. Tur mawanan maka bidang,

jadma Selam di Dangin
Juring ginting,

congah ring Anake Agung,

Lingsir
kalintang darma,

nging kapawaban
mangelumbar,

putra tuhu,

reh sotaning raja tua,


269. Tur geng tresna ring ianak,

maawinan sadawege ne


maksud Tuan Residen,

supaya Sura Amlapura,

dikirim ke Jawa,

menghadap Sri Paduka,

Tuan Gubernur Jendral,

beliau bermaksud
menyekolahkan Sura
Amlapura,

di Bogor daerah Betawi.


Adapun beliau Sura
Amlapura,

waspada untuk memegang
pem erintahan,

oleh karena beliau disuruh
ke Jawa,

untuk merusak pemerintahan
di Sasak,

orang-orangnya (Belanda)
datang,

bagaikan kepanasan dengan
sinar matahari,

pada tengah hari.


Dan itu menyebabkan
seluruhnya,

orang-orang Islam di Dangin
Juring bersiap-siap,

marah dengan Anak Agung
Lingsir,

karena terlalu berkebajlkan,

karena takut mengizinkan
anaknya,
karena memang pembawaan
raja yang sudah tua,

lupa dengan keadilan.


Di samping itu karena besar
cintanya kepada anakda,

85 [ 86 ]ngawit,

Tuan Residen polih rauh ,

ka Sasak duk ming tengah,

payudane ka Dangin Juring
to ditu,

saking mamuat wacanan,

Sri paduka ring Batawi.


270. Ring Anake Agung Ngurah,

pacang minta rawose mangda
radin,

Sura Amla mangda katur,

ka Jawi masakolah,

benjang besuk malih tulak
kadi sampun,

yan sampun biasa ring solah,

ati titi ning sang niri.


271. Anak Agung Ngurah ida,

teke sendet tan wen ten
managingin,

babawos ida sang nulus,

darma catra ning jagat,

sri paduka tuan Gupernur
Jendral tuhu,

raja diraja kawasa,

marentah ring bawahan agin.


272. Saking gelis ban nyarita,

Sura Amla sampun puput
angardi,

surate pamiming atur,

ring aji mapidarta,


86

makanya sejak permulaan,

Tuan Residen datang,

ke Sasak waktu datang dalam
pertengahan peperangan ke
Dangin Juring,

waktu itu karena percaya
dengan pembicaraan Sri
Paduka di Be tawi.


Terhadap Anak Agung
Ngurah,

akan meminta dan
pembicaraan sudah lancar,

Sura Amlapura supaya
diserahkan,

bersekolah ke Jawa,

nantinya akan kembali lagi
sepe rti yang sudah-sudah,

kalau sudah bisa (pandai)
dalam bertingkah laku,

percaya dan mampu pada diri
sendiri.


Beliau Anak Agung Ngurah,

dengan tegas tidak
mengizinkan,

pem bicaraan dengan tulus,

menjalankan kewajiban
melindungi rakyat,

Sri Paduka,

Tuan Gubernur Jendral,

benar-benar raja diraja,

berkuasa memerintah
Nusantara.


Dipercepat menceritakan,

Sura Amlapura sudah selesai,

membuat surat
pemberitahuan,

menceritakan kepada [ 87 ]sapamargin Sri Paduka
Residen rauh ,

utusan sarnpun majalan,

mahawanan kuda gelis.


273. Tan kocapang di nagara,

i utusan mambedal kuda
ngijik,

aselid kasidan rauh,

ring desa ku taraja,

manarojog parek ring Anake
Agung,

surate sarnpun kambilan,

map awos sadaging sam.


274. Kalih sarnpun kapaica,

ring i anak untat Amlanagari,

miwah baudanda puput,

sawatra sami wikan,

Anak Agung Ngurah
mawacana arum,

pacang tedun ka nagara,

benjang wawu endag ai.


275. Untat Amla mangiringang,

sane kari irika nyona pati,

Kasatriya wiyosing ratu,

kaparcaya tur mula,

mangamelang de sa ku ta raja
sampun,

puput nampi pawacana,

ida Anak Agung Lingsir.


ayahnya,

tentang kedatangan Tuan
Residen,

utusan sudah berjalan,

dengan mengendarai kuda.


Tidak diceritakan di kota
kerajaan,

utusan memacu kuda
dengan cepatnya,

setengah hari sudah sampai,

di kotaraja,

langsung menghadap Anak
Agung,

surat telah diterima,

telah dibaca semua isinya.


Juga telah diberikan,

kepada anakda Anak Agung
Ketut Karangasem,

dan semua para baudanda
sudah semua mengetahui,

Anak Agung Ngurah
berkata,

bahwa akan datang ke
kotaraja,

besok pagi waktu matahari
terbit.


Diikuti oleh Anak Agung
Ketut Amlapura,

yang masih di sana sebagai
senapati,

seorang ksatria turunan raja,

orang yang dipercaya,

dan memang sejak dulu
memegang kotaraja,

setelah selesai pembicaraan,

dari beliau Anak Agung
Lingsir.

87 [ 88 ]276 Benjang bau tatas lemah,

batu bata parekan napak
sami,

Anak Agung kalih sampun,

sami munggah dampatan,

caritan di marga rauhe
ngerantun,

ring nagara kota Cakra,

mangraris ngaranjing ka puri.


277. Tan panganti dina lian,

Anak Agung Ngurah
ngutusang gelis,

awinan kuda Jaju,

mangesengin i anak,

sane saking Bali ne mangkin
malungguh,

ring Katara lon Paraya,

irika genah ngukuhin.


278. Utusan sampun mamarga,

tan ucapen lemeng lemahe
raris ,

caritane mangkin sampun,

Wirya Jalaja napak,

ring nagara kota Cakra kalih
sampun,

i aji puput wacana,

mitelas raose sami.


279. Ring p alinggih ida i anak,

Anak Agung Gede Jelantik,

i ari kalih saturut,

untat Amla nagara,

Sura Amla miwah baudanda


88


Keesokan harinya pagi-pagi
benar,

rakyat dan pelayan sudah
datang,

semua,

Anak Agung keduanya,

sudah naik di kereta,

diceritakan di jalan,

kedatangannya beruntun,

di kota Cakranegara,

lalu dengan segera masuk
ke istana.


Tidak menunggu hari yang
lain lagi,

Anak Agung Ngurah segera
mengutus,

makanya segera beliau,

memanggil anakda,

yang dari Bali,

yang sekarang tinggal,

di Katara (Terara) dan Peraya,

di sana tempat beliau
bertahan.


Utusan sudah berjalan,

entah sudah berapa hari,

diceritakan sekarang,

Wira Jalaja tiba,

di kota Cakranegara berdua,

ayahda telah selesai
memberitahukan,

segalanya sudah diberitahu.


T entang kedudukan anakda,

Anak Agung Gede Jelantik;

dan adiknya keduanya,

bersama Anak Agung Ketut
Amlapura, [ 89 ]puput,

tan piwal ngiring wacanan,

ida Anak Agung Lingsir.


280. Tur kadauh ring nagara,

Anak Agung Gede Jelantik
mangkin,

ring Sasak maka panurut,

ring bawah karajaan,

makadinya ngarepin rawose
kauh,

ring Kumpeni raja tama,

adiapin mamanggih wisti.


281. Gangsaran ban nyatuayang,

buka dadak sengkala agung
kapanggih,

denda Nawang Sasih matur,

ring Anak Agung Ngurah,

antuk ida raja putri pernah
putu ,

taruni jati kaputra,

antuk dewatane rihin.


282. Ring maispati punika,

Anak Agung putune
ngangken sisip,

gamya matemu salulut,

ring ida Sura Amla,

Anak Agung Ngurah
kalintanging kewuh,

puput sampun kapareksa,

babaose sinah gelis.


Sura Amla dan baudanda
semua,

tidak ada yang menolak
semua menurut perintah,

beliau Anak Agung Lingsir.


Lalu dipanggil ke istana,

Anak Agung Gede Jelantik,

yang di Sasak supaya menurut,

di bawah kerajaan,

untuk menghadapi yang
disebutkan di barat yaitu
raja Kumpeni yang mashur,

walaupun menghadapi
bahaya.


Dengan segera diceritakan,

seperti mendadak datangnya
mara bahaya,

beliau Nawang Sasih berkata,

kepada Anak Agung Ngurah,

karena beliau raja putri
pernah cucu dari raja seorang
putri kerajaan,

yang disahkan oleh leluhur
beliau dahulu.


Pada saat itu,
Anak Agung cucu baginda
mengaku berbuat kesalahan,

melakukan perbuatan
gamya (bersetubuh dengan orang yang tidak patut diajak bersetubuh) dan sama-sama
jatuh cinta,

dengan beliau Sura Amla,

Anak Agung Ngurah sangat
susah,

setelah diperiksa,

89 [ 90 ]283. Anak Agung Made Karang,

kalih ida Anake Agung istri,

ne sisip karusak sampun,

gelis dadi kalumbrah,

ka Ampenan ortane katur
laju,

ring palinggih Sri Paduka,

Tuan Residen ngu tus raris.


284. Tuan Kontlir kaparcaya,

sampun biasa rauh ke
Sasak nguni.

mahawanan kuda laju.

pamargine ka Cakra.

pacang mreksa layon ida.

Sura Amla sisip gamya.

tan carita ne margi .


285. Gelis rauhe ring Cakra,

tur kapendak layone bawu
mijil,

ring pampatan margi agung,

irika kapuriksa,

sampun sinah I Tuan Kontlir
mintuhu.

Anak Agung Made Karang,

rusake mawanan ke ris.


90


akhirnya ucapannya itu
ternyata benar.


Anak Agung Made Karang,

dan Anak Agung Putri
(putri raja),

yang berbuat salah,

mereka sudah dibunuh,

segera berita tersebar,

sampai ke Ampenan berita
itu santer di tempat
kedudukan Sri Paduka
Residen ,

lalu Residen segera mengutus
orang.


Tuan Kontrolir yang
terpercaya,

yang sudah biasa datang ke
Sasak ,

dengun mengendarai kuda,

dengun cepat perjalanannya
ke Cakra .

untuk memeriksa mayat
beliau .

Sura Amla ya ng melakukan
kesalahan bcebuat gamya,

tidak diceritakan dalam
perjalanannya.


Segera sampai di Cakra.

dan berpapasan dengan
mayat yang baru keluar (dari
istana),

di perempatan jalan besar,

di sana diperiksa,

setelah jelas Tuan Kontrolir
mengetahui, [ 91 ]286. Layone raris karembat,

ka segara kabuang maka
kalih,

Anak Agung istri kakung,

masih tutug angucap,

di jero Agung tangise
mawantun-wantun,

kadi ombak matimbalan ,

tan sowang paraning wisti.


287. Ambek rena katandruhan,

rupa kadi kaurugan ban
langit,

parem brahma saksat rauh,

matindih-tindih teka,

kakobetan sanagara sampun
luyu ,

tigang tiban tan rerenan,

payudane marep kangin.


288. Heneng polah katandruhan,

Anak Agung Gede Jelantik,

mangkin kocapan sampun,

marembuk ring untat
Amlapura,

tur i aji Anak Agung
Ngurah matut,

gelis ngutus ka Ampenan,

ring i Tuan Residen keni .


meninggal karena (tusukan)
keris.


Mayat beliau terus diantar,

dibuang ke laut,

keduanya yaitu dengan
mayat Anak Agung Putri
yang masih muda,

dan diceritakan,

di istana semua menangis
sejadi-jadinya,

seperti ombak lautan yang
sambung-menyambung,

tidak seorang pun mengira
datangnya bencana ini.


Ke tahuan sifat prajurit yang
lesu ,

seperti di serang pcnyakit
malas ,

seperti kena param api,

yang terus menerus datang,

susah orang-orang senegara
sudah merasa lesu,

tiga tahun tidak
henti-hentinya,

pepcrangan menghadapi
daerah tirnur.


Tidak diceritakan keadaan
itu,

Anak Agung Gde Jelantik
diceritakan,

sudah bermusyawarah,

dengan Anak Agung Ketut
Amlapura,

ayah beliau Anak Agung
Ngurah juga membenarkan,

segera mengirim utusan ke

91 [ 92 ]289. Age rauh ka nagara,

gong baris pangormatan raja
Bali,

sampun mamargi ngarudug,

kendange matimbalan,

tui anut prabekel nyinahin
ditu,

tan kocapang ne di marga,

sambutang satwane mangkin.


290. Tuan Residen sampun napak,

kalih Jendral ring kota Cakra
sami,

mairingan suradadu,

mangojog pasanggrahan,

puri agung ring kauhan natar
alus,

bau sore raris bebas,

tuan-tuan mamaranin.


291. Ring anake Agung Ngurah,

sak kewala polih matemu
aksi,

daging raos durung metu,

dening i tuan wikan ,

Anak Agung Ngurah ida
sampun sepuh,

raris sami maluaran,

ne benjang kocapang malih.


92

Ampenan,

kepada Tuan Residen


Supaya datang ke istana,

gamelan berbaris sebagai
penyambutan raja Bali,

mereka berjalan,

bunyi gendang
bersahut-sahutan,

sungguh sangat pantas para
perbekel hadir di sana,

tidak diceritakan yang
di jalan,

kita alihkan cerita pada
yang lain.


Tuan Residen sudah sampai,

bersama Jendral di
Cakranegara,

diikuti oleh serdadunya,

menuju tempat
peristirahatan,

di istana besar (puri Agung)
bagian barat yang
halamannya bersih,

setelah sore hari baru
diperkenankan,

tuan Residen menghadap.


Pada Anak Agung Ngurah,

tetapi hanya dapat bertemu
pandang,

sedangkan pembicaraan
belum dilakukan,

tetapi Belanda cukup
mengetahui,

Anak Agung Ngurah sudah
tua,

lalu semua bubar,

diceritakan keesokan harinya. [ 93 ]292. Anakda Wirya Jalaja,

kalih ida untat Amlanagari,

nampi rawos daging ipun,

Sri Paduka Tuan Besar,

Gupernur Jendral ringBatawi,

jagra nulus,

asih kumasih masihan ,

ka Sasak tan wenten malih.


293. Reh ne mangkin ling ida,

raja Bali ring Sasak mangguh
rimbit,

Selam Dangin Juring ipun,

maberiuk purun Pangpang,

ka nagara yudane
mataun-taun ,

mahalang-halangan rusak,

durung kanten kaon polih.


294. Pakayunan Sri Paduka,

Tuan Besar Gupernur Jendral
manyapih,

mangdene malih rahayu,

ring wengkon Selaparang,

nanging keni raja Bali
mapitulus,

ngamedalang ongkos kapal,

kalih suradadu sami.


295. Tigang keti bungkulannya,

ringgit ipun tan wenten malih,

rawos tuan Residen sampun,


Anak beliau Wirya Jalaja,

bersama Ketut Amlapura,

menerima pembicaraan
(perundingan) yang isinya,

Sri Paduka Tuan Besar,

Gubernur Jendral di Betawi,

benar-benar dari hati ke hati,

saling kasih-mengasihi dan
saling menghormati dalam
persahabatan,

pada Sasak tidak usah
diragukan .


Karena saat ini menurut
perkataan beliau,

raja Bali yang di Sasak
menghadapi kesulitan,

karena Islam dari Dangin
Juring,

serentak memberontak
bersama Pangpang,

peperangan sudah bertahun-tahun bertambah-tambah
kerusakan ,

belum juga jelas yang kalah dan menang.


Maksud Sri Paduka,

Tuan Besar Gubernur Jendral
mendamaikan,

supaya kembali baik-baik,

di seluruh daerah Selaparang,

tetapi hendaknya raja Bali
mau mengeluarkan ongkos
kapal,

dan serdadu semua .


Jumlahnya tiga ribu ringgit,

tidak lebih,

dan lagi perkataan Tuan

93 [ 94 ]kapineh antuk ida,

Anak Agung ne saking Bali
mamatut,

dening rawos ida panjang,

saking rare kasu b ririh.


296. Anak Agung Ketut Karang,

teka conol pakayunane
ginting,

mangiring i raka sampun,

sukserah raga sapisan,

ala ayu irika pacang kain tu,

mangkin katur kapurian,

ring anake Agung Lingsir.


297. Babaose ring i tuan,

Anak Agung Ngurah lintang
misinggih,

sampun kapiuning puput,

ring linggih ari Paduka,

tuan Residen dahating enak
ring kayun,

cihnaning luget masihan,

rauh kapingu ring gilis.


PUH SINOM

298. Sinoman ring nagara,

sapramenak kadang haji,

maka miwah juru raos,

prabekel punggawa sami,

pada mangrasa urip,

ban raose sida rurus,

arepe ring i tuan,


94


Residen,

sudah dipikirkan oleh beliau,

Anak Agung yang dari Bali
membenarkan,

tetapi pembicaraan beliau
agak panjang,

sejak kecil beliau terkenal
pandai.


Anak Agung Ketut Karang,

dengan polos pikiran beliau
sudah siap,

mengikuti kakaknya,

terserah pada raja,

baik-buruknya akan diterima,

sekarang disampaikan ke
istana,

ke hadapan Anak Agung
Lingsir.


Pembicaraan dengan Belanda,

Anak Agung Ngurah sangat
menghormati,

setelah disampaikan semua,

ke hadapan Sri Paduka ,

Tuan Residen sangat senang
dalam hatinya,

cirinya kesetiaan dalam
persahabatan,

lalu dijamu dengan segera.


Para petugas negara,

para bangsawan dan pendeta,

dan juru bicara,

perbekel dan punggawa,

merasa hidup kembali,

karena pembicaraan berjalan
lancar, [ 95 ]yan teka mangdadi kali,

tuara buwung,

nagarane pacang rusak.


299. Ne mangkin gangsarang ucap,

Ida Anak Agung Lingsir,

sampun ngamedalang ongkos,

ringgit mawadah kalampi,

akudang pikul kengin,

katur ring i tuan sampun,

nanging durung manapak,

maka tigang keti ringgit,

Sri Paduka tuan Residen
mangkin kocap.


300. Puput sampun mamawosang,

ring i tuan Jendral kalih,

Batawi miwah Semarang,

mangutus ka Dangin Juring,

Suradadu magelik,

yen kudang poos sampun,

mahenter baan kumendam,

makadi tebrus musungin,

kapten-kapten mamargi sami
ngasatang.


dengan Belanda,

jika sampai terjadi
pertentangan lagi,

tidak bisa dihindari,

negara akan hancur.


Sekarang agak cepat
diceritakan,

beliau raja tua (anak Agung Lingsir) ,

sudah mengeluarkan ongkos,

uang ringgit bertempat dalam
kantong-kantong besar,

entah berapa kilogram
beratnya,

sudah diserahkan pada
Belanda,

tetapi belum genap,

mencapai jumlah tiga ribu
ringgit,

diceritakan sekarang Tuan
Residen.


Setelah selesai membicarakan,

dengan Tuan Jendral
keduanya,

yang di Batawi dan di
Semarang,

lalu memerintahkan ke
Dangin Juring,

serdadu yang banyak,

entah sudah berapa peleton,

dipimpin oleh para
komandannya,

seperti Tuan Ubrus sebagai
panglimanya,

pada kapten sudah berjalan
dengan tertib.


Pemegang kekuasaan di
tiap-tiap desa,

95 [ 96 ]maka miwah ring Paraya,

makadi saking nagari,

raja putrane sami,

napak kaparanin samrun,

ngusanang nangun yuda,

dening rawos sampun pasti,

Tuan Residen,

sareng rajane ring Cakra.


302. Pagamele sami budal,

sadaging nagara ngiring,

babawos ane kuasa,

ring kota Cakra makadi,

i tuan ne mandiri,

ring Singaraja kautus,

antuk palinggih ida,

Sri Paduka ring Batawi,

kaling Selam,

pacang bani mambek piwal.


303: Mangkin kocap ring nagara,

Anak Agung Ngurah kengin,

maminehang ortane,

bas makeh mijil,

wantah panitah widi,

karatone pacang surud,

ringgite paalad medal,

pangep pongkose kengin,

makulehan,

yan akudang dina gayang.


96


orang-orang Dangin Juring,

dan yang di Peraya,

seperti yang dari kerajaan
(istana),

semua raja putra,

sudah didatangi,

menghentikan peperangan,

karena pembicaraan sudah
pasti,

antara Tuan Residen dan raja
di Cakra.


Pemegang kekuasaan semua
pulang,

semua orang istana mengikuti ,

pembicaraan raja,

di kota Cakra,

Tuan yang berkuasa,

di Singaraja sudah diutus
oleh beliau,

Sri Paduka di Batawi,

apalagi Islam ,

tidak mungkin berani
menolak (melanggar).


Sekarang diceritakan di
istana,

beliau Anak Agung Ngurah
memikirkan uangnya,

terlalu banyak ke luar,

mungkin sudah takdir Ida
Sang Hyang Widi,

istana akan merosot,

uang ringgit mengalir keluar,

untuk melunaskan
perongkosan,

beliau terns berusaha
(mencari uang),

entah berapa hari beliau
berusaha. [ 97 ]304. Babawose kari mugal,

anakda ne saking Bali,

sampun sering manunguang,

ring Anake Agung Lingsir,

taler crengking matepid,

kudu ada ringgit pesu,

sok adanya magoba,

utusane warawiri,

yena akuda,

rekanya kari kirang.


305. Ongkose ne durung medal,

mangkin kocap sedek wengi,

tuan Residen mirengang,

obar pacang kaamuk ne
mangkin,

antuk watek babecik,

ring nagara doning laju,

i tuan mapu tusan,

manguninga raja Bali,

Anak Agung masaur tan
wenten pisan.


306. Mangda sampun Sri Paduka,

tuan Residen mangeganin,

suaran jadma kapunyahan,

ngae biyur di nagari,

soroh ne dangkal-dangkil,

tuara ada mangitung kewuh ,


(mencari uang),

entah berapa hari beliau
berusaha.


Pem bicaraannya sering tidak
kompak,

putra beliau yang dari Bali ,
sudah sering

memperingatkan,

pada Anak Agung Lingsir,

tetapi tidak diperhatikan ,

mentang-mentang ada uang
yang dikeluarkan,

tetapi tidak karuan-karuan ,

utusan bingung,

entah berapa,

kekurangannya.


Ongkos yang belum
dikeluarkan,

Sekarang diceritakan pada
waktu malam hari,

Tuan Residen mendengar,

bahwa akan diserang,

oleh para satria,

di istana dan berita itu sudah
gencar,

Belanda memutuskan,

untuk memberitahukan raja
Bali,

tetapi Anak Agung
mengatakan ,

itu tidak benar.


Hendaknya Sri Paduka,

Residen jangan percaya,

itu cuma suara orang-orang
yang mabuk,

membuat kacau di istana,

itu suara manusia yang

97 [ 98 ]apang sida mabaan,

manjalana ambek dekil,

manyarundup,

nyingse nyang barang-barang.


307. Ulat kadi kapegokang,

kabawos nak Agung Lingsir,

tuara tindih ring pangrawos,

rah i tuan ngayat gelis,

budale saking raden,

tan carita mangkin nyaluk,

wengi ne ba das lemah,

wang Bali teka medilin,

suradadu,

ne mamondok dangin pasar.


308. Delod puri kuta Cakra,

jaban meru agung titib,

tangkejut bangun ngurepak,

paselur manyemak bedil,

miwah kalewang tarik,

pareret matimbal nyalung,

gagupekan tan pegat,

narungtung ngempengin
kuping,

maka wangsit,

ngatepukin durmanggala.


98


luntang-lantung,

tidak pernah memikirkan
kesusahan,

hanya untuk mendapatkan
hasil,

menjalankan mulut busuk,

menyelundup,

menyiksa dan merampas
barang-barang.


Seperti sengaja pembicaraan
dialihkan (difitnah),

dikatakan Anak Agung
Lingsir,

tidak setia dengan
pembicaraan (perjanjian),

Belanda sudah menuduh,

lalu segera pulang,

tidak diceritakan malam
harinya,

diceritakan telah menjelang
pagi,

orang-orang Bali datang
menembaki,

serdadu yang tinggal di
sebelah timur pasar.


Di selatan istana Cakra,

di bagian luar meru besar
(nama bangunan tempat
persembahyangan orang
Hindu) dengan tertibnya,

terkejut bangun bergerak,

berteriak-teriak sambil
mengambil senjata,

dan mengambil pedang,

diselingi dengan bunyi
terompet,

bunyi tambur tidak
putus-putusnya, [ 99 ]PUH DURMA


309. Sri Paduka tuan Residen
kalih Jendral,

sairingane sami,

makadi punggawa,

ring Singaraja ida,

untat leju sami ginting,

mudalin pura,

kawuhan rauh gelis.


310. Dangin pasar suradadu
sampun napak,

sami mangagem bedil,

raris katuduhang,

mangwales ban senapang,

pada mangarepin puri,

masriyak gangsar,

i suradadu medilin.


311. Wang nagara ne tan wereh
bangun ngurepak,

manyemak tumbak bedil,

ada kapupungan,

bangune pati gabag,

marebut lempot ring rabi,

sauh kedengan bendang
daleme keni.


bertalu-talu memekakkan
telinga,

sebagai ciri,

akan menghadapi bahaya.


Sri Paduka Tuan Residen dan
Jendral,

dengan semua pengikutnya,

seperti para punggawa,

yang dari Singaraja Ketut
Bagus (untat reja) semua siap
sedia,

keluar istana di barat dan
segera da tang.


Di timur pasar serdadu sudah
tiba,

semua memegang senapan,

lalu diperin tahkan,

membalas dengan tembakan,
senjata,

semua menghadapi istana,

serentak bersama-sama,

serdadu menembaki.


Orang-orang kerajaan
(Lombok) yang tidak
mengetahui bangun terkejut,

mengambil tombak dan
senjata api,

ada bangun mendadak
dengan tidak sadar
berebut-rebutan selimut
dengan istrinya,

tetapi salah tarik,

akhirnya kena alat rahasianya.

99 [ 100 ]DARI JAUH KELIHATAN SERDADU BELANDA LENGKAP DENGAN SENJATA. [ 101 ]312. Kulkul tarik bilang banjar
saha suryak,
gelis nampekin puri,
soroh batu bata,
parekan kalih roban,
mangranjing ka puri sami,
mapencar genah,
nepih panyengker titib.

313. Kalih ento manugur ngemit pura,
rupa sengeh mangelonin,
tuara ada buungan,
pacang mawangun yuda,
kaharepe ka kumpeni,
makerana napak,
temboke kacrongcongin.

314, Ne manepih margi agung
nanging samar,
kalih wenten negehin,
raren wawangunan,
nak Agung Bagus karsa,
putran Anak Agung Lingsir,
bau taruna,
wijiling sakeng panawing.

315. Uli ditu gagamele di jero pura,
gangsar mangwales medil
medil kabedilan,
i suradadu suba,
kakabeletang kainderin,
tuara kilesan,

Bunyi kentongan bertalu-talu disertai sorak di masing-masing banjar
(kampung),
segera mereka mendekati istana,
semua prajurit,
para pelayan dan rakyat,
mereka memasuki puri (istana),
tempatnya berpencar,
menempel di sepanjang tembok istana.

Dan yang bertugas menjaga istana,
dengan hati-hati bertahan,
tidak dapat dihindarkan lagi,
akan timbul peperangan menghadapi Kumpeni,
karena kelihatan,
tembok istana dicorong.

Yang menjaga jalan besar menyamar,
ada pula yang di atas,
di sebelah bangunan.
Anak Agung Bagus Karsa,
putra raja tua,
baru meningkat pemuda,
lahir dari seorang selir.

Dari sana pertahanan dalam istana,
dengan cepat balas
menembak,
saling tembaki,
serdadu,
sudah terdesak dan dikurung, [ 102 ]gagupekannya titir.


316. Long linongan musuh rowang pajulempang, ada manandang kanin, padasa dasayan, kena apisanan, munyin bedil sawangkadi, kerug macanda, kilape lintang titir.


317. Ban seledetan obat bedile tan pegat, rasa nguugang langit, perang pada raja, pada tuara kirigan, née mangkin ucapang malih,
ida anakda, Ketut Karangasem gelis.


318. Sampun mantuk ka Mataram makalingga, mangriinin medilin, ne di jebag Pajang, akudang tali kocap, i suradadu mondokin, saking ba teka, Kumpeni ka nagari.


319. Suradadu mangwales tuara kelesan, medil kabedil titir, jrenat matimbalan, rasanya buka kaoyag, gumine ban munyin bedil,


tidak bisa bergerak, bunyi gendrangnya keras.


Tidak terhitung musuh dan teman bergelimpangan, ada yang menderita luka, berpuluh-puluh, yang kena peluru seketika mati, bunyi senapan ramai, seperti petir bermain-main, dengan kilatnya yang sambar-menyambar.


Karena kilatan mesiu yang tidak putus-putusnya, seperti hendak menghancurkan langit perang sesama raja, tidak ada yang mundur, sekarang diceritakan lagi, beliau Anak Agung, Ketut Karangasem.


Sudah kembali ke Mataram dengan pasukannya, mendahului menembak, yang di pintu desa Pajang beribu-ribu di sana, serdadu Belanda mondok, dari sejak Kumpeni baru datang, ke kerajaan Lombok.


Serdadu membalas tidak mau bergeser, saling tembak menembak, disusul dengan serangan granat, rasanya seperti digoyangkan,


102 [ 103 ]mimis macanda,

pada saleng pisilih.


320. Wantah jahan payudane sami
wira,

tuara mangitung mati,

ne mangkin kaucap,

Wirya Jalaja budal,

tan pamit ninggal nagari,

saha kaula,

pramenak ida sami.


321. Sasorohan Karangasem sami
gentos,

mangungsi gunung Sari,

taman nepih alas,

mameteng bilang marga,

tumbak bedile magatik,

sotaning gangsar,

pajalane manyigcig.


322. Wantah janten karaos tuara
buungan,

Cakra Mataram kalih ,

desa Pagesangan,

Pagu tan pacang rusak,

kayudain ban Kumpeni,

tong duga lintang,

kalih rahina bersih.


323. Tan inucap anakda Wirya
Jalaja,

mangkin caritan malih,


dunia ini oleh bunyi senapan,

peluru seperti bermain-main,

saling lewati silih berganti.


Pertempuran hanya sebentar
karena sama-sama berani,

tidak memikirkan mati,

sekarang diceritakan,

Wirya Jalaja pulang,

dengan tidak mohon diri
meninggalkan istana,

dengan rakyatnya serta para
bangsawan.


Seturunan Karangasem
semua minggat,

menuju Gunung Sari,

sebuah taman di pinggiran
hutan,

tidak pernah memakai lampu
di jalan,

dengan membawa tombak
dan senapan,

dengan cepat,

perjalanan tidak ada
halangan.


Hanya jelas yang di bicarakan,

tidak bisa dihindari,

Cakra Mataram dan desa
Pagesangan,

serta Pagutan akan hancur,

diperangi oleh Kumpeni ,

tidak akan lebih ,

dalam dua hari akan
dibersihkan.


Tidak diceritakan anakda
Wirya Jalaja ,

sekarang diceritakan lagi,

103 [ 104 ]yudane ring Cakra,

Mataram manindihang,

kudang suradadu mati,

makadi letnan,

Kapten U Brus melain.


324. Mausungan i suradadu
kemengan,

keri kanan medilin.

pungkur arep ngotag,

mimise buka ujan,

sotaning sikep nagari,

nyuciwen tadah,

jroning kikis medilin.


325. Kalih ento tuan Jendral ring
Semarang.

msak kena ban mimis ,

wireh tan kilesan ,

mangadu kapurusan,

ring Cakra kalintang tindih,

tosning prawira,

tan wena jerih ngemasin .


326. Bau nampi galang kangin
ditu ngerasa,

i suradadu sami ,

ne di dangin pasar Cakra,

mangelah daya maidan,

ka meru raris mangandik,

dwara jero,

mangku mangudiding.


104


peperangan di Cakra,

dibantu oleh Mataram,

entah berapa orang serdadu
mati,

seperti letnan,

kapten Ubroos yang
membela.


Panik serdadu serba
terkurung,

dari kiri dan kanan ada
yang menembaki ,

muka dan belakang juga
menggempur,

peluru seperti air hujan,

karena pasukan kerajaan
menang tempat,

dari dalam tembok
menembaki.


Dan tuan Jendral dari
Semarang,

hancur kena peluru,

karena tidak bisa bergerak,

mengadu keperwiraan ,

dengan Cakra yang sangat
setia,

karena keturunan satria.

tidak pernah mundur
walaupun hams mati.


Baru menjelang subuh,

saat itu merasa ,

serdadu semua,

yang di timur pasar Cakra,

mempunyai daya upaya ,

lalu menuju meru dan
menghancurkan dengan
kapak,

pintu dalarnnya, [ 105 ]327. Pabelesat wenten kanin sep
makaad,

tong mampuh mananggalin,

antuk kakincitan,

mangemit ruma dewa,

wenten petang dasa diri,

akehan wreda,

tindake sampun ngilgil.


328. Tur kabesbes kaentungin ban
jarenat,

mairib buah manggis,

ne mangkin kocapang,

yudane ne di Pajang,

i suradadu kalindih,

sesaning rusak,

makiles kelod kangin.


329. Ngungsi ksetra di cungkube
masangidan,

to ditu liu nengil,

ada ngararis buntas,

kauh ngungsi Ampenan,

pamatung Mataram raris,

ngogen manyarah,

barang-barang Kumpeni.


330. Macem-macem soroh
pakakasing maperang,

kalewang miwah bedil ,


para mangku (petugas/penghulu tempat persembahyangan) lari tunggang langgang.


Lari bercerai berai,

yang terlambat lari ada yang
kena dikapak,

karena tidak kuat lari,

karena kesetiaannya ,

menjaga tempat
persem bahyangan,

ada empat puluh orang,

kebanyakan sudah tua,

gerakannya sudah
sempoyongan.


Dirobek-robek dan dilempar
dengan granat,

yang bentuknya seperti buah
manggis,

sekarang diceritakan
peperangan di Pajang,

serdadu Belanda dipukul
mundur,

sisa yang mati,

mengungsi ke tenggara.


Menuju ke Setra berlindung
di tempat ketinggian,

di sana banyak tinggal ,

ada yang langsung pergi,

ke barat menuju Ampenan,

pasukan Mataram lalu dengan
bebas merampas,

barang-barang Kumpeni.


Bermacam-macam barang
peralatan perang,

pedang dan senapan,

105 [ 106 ]ringgit matongtongan,

yudane buka malang,

kewala saling temangin,

sikep nagara,

pageh mangiter titib.


331. Lemang lemah

masundul-sundulan nyanggra,

mangkin kocapang wengi,

saget nadak teka,

i suradadu pecak,

ka Paraya mamaranin,

ring Kalapa Nguda,

kutane kelod kaungsi.


332. Pilih dinya suba tatas ningeh orta,

siate di nagari,

kerana bau nincap,

jebag kalintang tangar,

mider manyeriuk nemangin,

ban bedil gangsar,

meriemnyane rengin


333. Tui ngesngesan sadesane ditu mendak,

awanan bebas laris,

pajalannya teka,

di dajan Pranaraga,

munyin preretnya ngembutin,

pilih ngwangsitang,

ngajakin ka kakisik.


uang ringgit berpeti-peti,

peperangan seperti reda,

hanya saling awasi,

pasukan istana,

tetap mengadakan kurungan.


Siang malam saling serang

dan saling jaga,

diceritakan pada malam hari,

tiba-tiba datang,

serdadu Belanda,

ke Peraya,

di Kelapa Nguda,

kota yang di selatan dituju.


Apalagi sudah jelas mendengar berita,

peperangan di istana,

itulah sebabnya begitu

melewati pintu gerbang,

sangat waspada,

berkeliling mengawasi dan menjaga,
dengan tembakan yang gencar,

disertai dengan tembakan meriam.


Sungguh menakutkan semua

penduduk desa menyongsong,

akhirnya dengan mudah

dibebaskan perjalanan sudah sampai,

di sebelah utara Peranaraga,

bunyi terompet mendahului,

dengan maksud memberitahukan,

mengajak ke Kakisik. [ 107 ]334. Sa Kumpeni sane kari jeroning Cakra,

karang Jangkong samalih,

wiakti sanagara,

sakidul kulwan pura,

pada ngekes luyu sami,

tuara nyagrayang,

sapamargin Kumpeni.


335. Benjang bau napak nampi
dauh tiga,

ucapang i Kumpeni,

ne pecak mamarga,

ka desa Batukliang,

rauh pacang ka nagari,

kutane purwa,

irika kamarginin.


336. Ne di Sweta tui suba
kasanggraha,

antuk watek babecik,

praputra malingga,

nak Agung Bagus Karsa,

tembok sampun
kacerongcongin,

salantang marga,

punggawa mangenterin.


337. Bau napak i Kumpeni
jeroning kuta,

kariinan kabedil,

saking jeroning karang,

i suradadu buyar,

tangkejut akeh malaib,

ada nganginang,

ada ngauhang crinit.


Seluruh Kumpeni yang ada
di dalam kota Cakra,

dan Karang Jangkong,

sungguh di seluruh kerajaan,

di sebelah selatan dan barat
istana,

semua terdesak dan payah,

tidak dapat diharapkan
perjalanan Kumpeni.


Keesokan harinya menjelang
jam tiga,

diceritakan Kumpeni,

yang berjalan,

ke desa Batukliang,

akan datang ke kota,

kota di bagian timur,

itu yang dilalui.


Yang di Sweta sudah diatur,

oleh orang-orang utama,

para putra yang memimpin,

Anak Agung Bagus Karsa,

tembok pagar sudah
ditempati oleh prajurit,

sepanjang jalan,

dipimpin oleh punggawa.


Baru kelihatan Kumpeni
dalam kota,

didahului ditembak,

dari halaman rumah,

serdadu Belanda buyar (cerai
berai),

karena terkejut dan banyak
yang lari,

ada yang menuju ke timur,

dan ada pula yang ke barat. [ 108 ]338. Reh tan meha suba siat di
nagara,

ada ne bani mati,

mataker musungan,

manglawan jeroning karang,

keri kanan mame dilin,

sikep nagara,

bedile mangamahin.


339. Akeh mati i suradadu
kemengan,

sambeh buyar makinkin,

mangwales mangerusak,

sing tingkah kahabanan

wenten praya mangunggahin,

kikis enggalan,

katumbak kakelewangin.


340. Kabinawa siate kadi ring
surat,

i suradadu kengin,

mangrasa kaciwa,

ada gelis nyengehang,

karang suung sisin margi,

ditu maseriak,

i suradadu ngaranjing.


341. Tui yatna sikep nagarane
enggal,

mangiter tuara piid,

jagra kaenterang,

sing ganjeh kasangkreban,


Karena tidak menduga telah

terjadi pertempuran di kota,

ada yang berani mati,

bertanding dan
berhadap-hadapan,

melawan yang ada dalam
pekarangan,

kiri kanan menembaki,

prajurit kerajaan,

senapannya mematikan.


Banyak serdadu yang mati

tidak sempat bergerak,

lari bercerai-berai bubar
pasukannya,

ada yang membalas
menghancurkan,

seperti sikapnya orang yang
didahului,

ada yang hendak memanjat
tembok,

didahului dikikis,

habis,

ditombak dan dipedang.


Pertempuran sangat seru

seperti dalam cerita,

adapun serdadu Belanda,

merasa kalah (kecewa),

ada yang melihat,

tanah kosong di pinggir jalan,

serentak serdadu,

masuk ke sana semua.


Sangat waspada pasukan
kerajaan,

segera mengurung dengan
ketatnya,

siap diperintah, [ 109 ]dening sada wenten kari,

pilihka utusan,

i suradadu nengil.


342. Jeroning karang katenangin
tuara pegat,

pada saling bedilin,

ngadu kaprawiran,

pinehan surup surya,

pangitere tuara piid,

bedil len tumbak,

pamatung ring nagari.


343. Benjang cerita Anak
Agung ne di Cakra,

Mataram manauhin,

nelokin medasang,

Kumpeni kalih pasal,

ne di Meru Cakra kalih,

di Kesetran,

Karang Jangkonge suba sepi.


344. Sami buntas pengungsine ka
Ampenan,

ring Swetra ucap malih,

tuan kapten suba,

nunas kauripan,

miwah suradadu sami,

maserah gegawan,

kaatur para mangkin.


345. Ring Anake Agung Ngurah
lintang sweca,

kahormatin mangraris,


setiap bagian yang lemah

ditambah prajuritnya,

tetapi rupanya ada tertinggal,

seperti utusan,

serdadu Belanda tetap diam.


Di pekarangan rumah

diserang tidak
putus-putusnya,

saling tembak menembaki,

mengadu keberanian,

matahari telah terbenam,

yang mengurung tidak juga
mundur,

dengan senapan dan tombak,

prajurit kerajaan.


Keesokan harinya

diceritakan Anak Agung yang
di Cakra,

Mataram memanggil,

untuk melihat dan
menegaskan Kumpeni,

di dua tempat,

yang di Meru dan Cakra,

di Kesetran dan Karang
Jangkong sudah sepi.


Semua pergi menuju
Ampenan,

diceritakan yang di Sweta,

Tuan Kapten sudah
memohon pengampunan,

dan serdadu semua,

menyerahkan senjata,

bersamaan semua diserahkan.


Kepada Anak Agung

Ngurah dan beliau
memperkenankan, [ 110 ]pisuguh tan kirang,

saha inum-inuman,

ring yasa kambang

mangraris kapisandekang,

pramadani cumawis.


346. Tan ucapan soroh ane
majajarah,

barang-barang Kumpeni,

sapakakas yuda,

parabot mapelag,

mangkin Anak Agung
Lingsir,

malih ucapang,

katangkil sedek wengi.


347. Pra punggawa sampun
natap ring ajengan,

Anake Agung raris,

renteh pangandika,

ring para baudanda,

makayun mane sakeng aris,

pacang mangelebang,

i suradadu keni.


348. Wasananya rwa pacang
kasangkula,

pulih madana urip,

makada yan ada,

sweca ida batara,

sa Kumpeni kaencelin,

kaican rasa,

nyapih yudane dadi.


lalu mereka dihormati,
diberi suguhan,

serta minum-minuman,

ditempatkan di balai Yasa
Kambang,

disuruh beristirahat,

tempatnya dibentangi
permadani.


Tidak disebutkan mereka
yang merampas,

barang-barang Kumpeni,

semua alat-alat perang,

bermacam-macam peralatan,

sekarang Anak Agung Lingsir
diceritakan,

dihadap pada malam hari.


Para punggawa sudah duduk
di hadapan beliau,

lalu Anak Agung,

mulai pembicaraan,

kepada para baudanda,

berpikir dengan hati yang
tulus,

akan melepaskan

(membebaskan) serdadu
yang tertawan.


Maksudnya kedua pihak akan
didamaikan,

kembalikan dengan memberi
pengampunan (hidup),

apabila ada,

rahmat dewa-dewa,

seluruh Kumpeni dihubungi,

ditawari maksud baik,

untuk mendamaikan peperangan. [ 111 ]349. Wireh ada maka cirine
katulak,

cihnaning tuara gati,

arep mangadayang,

kaline ring pasihan,

punggawa mamatut sami,

mangda ngilisang,

marep ka Dangin Juring.


350. Anak Agung mangandika nah
lautang,

ne mani paruputin,

lehang apang melah,

reh tuara ada palar,

i Kumpeni enu dini,

masih dartayang,

darman raose jati.


351. Reh sotaning pacengile ring
pasihan,

melah puan melah mani,

punggawa ngiringang,

Nak Agung sampun budal,

ne benjang kocapang gelis,

Kumpeni kabudal,

manguduh sane kanin.


352. Ada kepek ada perot
kasakitan,

marebeng-rebeng kalih,

ada mamih-mihan,

kategen ban rantean,

heneng pari polah sami,


Karena ada sebagai ciri
ditolak,

tandanya tidak
sungguh-sungguh,

maksudnya mengad kan,

peperangan dengan sahabat
(sekutu),

para punggawa
membenarkan,

supaya jelas hanya
menghadapi Dangin Juring.


Anak Agung berkata

"Baiklah kita mulai besok
kita selesai,

kita lepaskan dengan
baik-baik,

karena tidak ada ketentuan,

Kumpeni tinggal di sini",

juga diceritakan maksud
yang sebenarnya


Karena segala tindakan,

terhadap sesama kawan,

bisa baik-baik sekarang atau
lagi dua hari,

punggawa mengikuti,

Anak Agung sudah keluar,

keesokan harinya
diceritakan,

Kumpeni pulang,

dengan membawa yang
luka-luka.


Ada yang cacad ada yang
pincang,

kesakitan,

ada yang dituntun oleh dua
orang,

ada yang hampir mati, [ 112 ]di kota Cakra,

Mataram pada nyepi.

353. Nging tan maren kayun
manahe marangbang,

bas wekas gede tampi,

menggahang batara,

kaping ro tiga lara,

pacang sapunika panggih,

sampun mangucap,

puspiteng dalem puri.


dipikul dengan tandu,

kita biarkan mereka itu,

di kota Cakra keadaannya
sepi.


Tetapi tidak luput perasaan

masih tetap terngiang-ngiang,

karena terlalu besar yang
sudah diterima,

seolah-olah marah para leluhur,

dua tiga kali menderita,

demikian yang akan ditemui,

sudah diceritakan

penghormatan di istana.


PUH SINOM


354. Pamuputing geng sandeha,

osek kayun kaprihatin,

bingareng warna anguwah,

saksat sekar leseh
munggwing,

gelung ya ayu kapingit,

tan wangde mapuara kusut,

aketo pangupama,

kayun manahe di puri,

raja putri,

miwang rabi papingitan.


355. Yan tan saking swecan dewa,

boya luput tekeng pati,

yan tulus tong dadi asat,

paharepe ring Kumpeni,

Cakra Mataram kadi,

paksi buncit manah magut,

kasakten winateya,

kawibuhan ring Batawi,

antuk rayat,

makadi sarwa sanjata.


Akhirnya sangat risau.

(khawatir),

pikiran susah dan perihatin,

wajah yang segar berubah,

bagaikan putik kembang,

yang dipingit,

akhirnya akan layu,

demikian perumpamaannya,

pikiran dan perasaan di puri,

yaitu putri raja dan istri
yang dipingit.


Kalau tidak karena takdir

ITuhan tidak bisa terhindar
kematian,

jika tidak bisa dihindarkan,

berhadapan dengan
Kumpeni,

Cakra dan Mataram,

burung kecil hendak

mematuk burung garuda
yang sakti, [ 113 ]356. Samalih ko sawahana,

sampun mangabehin sami.

kapineh tan wenten iwang,

kayun Tuan Residen kadi,

genine kaumpanin,

dumilah sumingkin murub,

menggahe tan sapira,

parepe ring raja Bali,

apan sampun,

yudane malong-alongan.


357. Tui tuara anak barang,

ne rusak di Cakra wiakti,

tuan Jendral ring Sumarang,

yan akuda mamelahin,

kapalan perang ngulintik,

ne tigang paos kadurus,

yudane matakeran,

sampun mangucapang malih,

matin ipun,

ne tuara mangelah pangkat.


358. Yan akudang dina suba,

payudane ring Kumpeni,

buka nadah saget teka,

sikep musuh Dangin Juring,

kelod kangin desekin,

Anak Agung Ngurah
sampun,

ngutus punggawa mendak,

saharep katimpalin,


kehebatannya Betawi,

dengan rakyat,

serta segala senjata.


Lagi pula kapal-kapalnya,

sudah berlebihan,

dipikir tidak ada salahnya,

maksud Tuan Residen,

bagaikan api yang diberi
umpan,

menyala-nyala makin besar,

berkobar-kobar.

kemarahannya belum
seberapa,

terhadap raja Bali,

karena peperangan sudah
lama.


Sungguh tidak ada
barang-barang,

yang rusak di Cakra.

Tuan Jendral di Semarang,

sudah banyak memperbaiki,

kapal-kapal perang yang
tergeletak,

yang tiga rombongan dikirim,

perang berhadap-hadapan,

tak usah disebutkan,

kematian mereka yang tidak
berpangkat.


Entah berapa hari sudah
berlalu,

peperangan dengan Kumpeni,

dengan mendadak muncul,

pasukan musuh dari Dangin
Juring,

di tenggara didesak,

Anak Agung Ngurah,

sudah mengutus punggawa [ 114 ]pet maamuk,

sikep Cakra tan kilesan.


359. Dadi buka masangka,

tatekane i Dangin Juring,

teken pengotag di kapal,

jerenate titir nibain,

kuta Mataram wiakti,

sadaging nagara kewuh,

tan wenten ngelah rawos,

lemeng lemah wara wiri,

pati kelid,

mesambenang jeroning gelar.


360. Yan paksa pacang terejak,

yan dija musuhe alih,

ada ne kaliput tresna,

ring santana kalih rabi,

polose mangeriinin,

mangungsi ka Cakra takut,

rusak mati kasawang,

nanging taler ular-ulir,

ka Mataram,

reh Anake Agung ida.


361. Ketut Karangasem tiaga,

ring Mataram ngalingganin,

sampun mamuputang rawos,

ring para punggawa sami,


untuk menghadapi,

sekehendak musuh dilayani,

jika mengamuk,

pasukan Cakra tidak akan
mundur.


Seperti sengaja dipakai
alasan,

kedatangan musuh dari
Dangin Juring,

serangan Kumpeni dari kapal,

dengan gencar menghujani
dengan granat,

kota Mataram,

seisi istana merasa berat,

tidak dapat berkata-kata,

siang malam panik,

mencari perlindungan dengan

susah bertahan di dalam
pertahanan (benteng).


Jika dipaksa diamuk,

di mana musuh itu dicari,

ada pula yang merasa terlalu
sayang,

dengan anak dan istrinya,

dengan jujur mereka
mendahului,

mengungsi ke Cakra karena
takut,

membayangkan diri dikejar
kehancuran,

tetapi juga pulang pergi,

ke Mataram karena beliau
Anak Agung.


Ketut Karangasem waspada,

mempertahankan Mataram,

sudah memutuskan
pembicaraan, [ 115 ]yan Kumpeni nedunin,

ring Ampenan ditu amuk,

saatang apang onya,

kudang lemeng lemah kengin,
suradadu,

sampun tedun ring Ampenan.


362. Mangraris mapapondokan,

makadi sampun ngambiarin,

sering mangelantang kapitan,

mawastu tan wenten gelik,

rawose ring nagai,

rewed pacang mijil ngamuk,

dadi saling pegokang,

ne suba masanggup ginting,

payu marma bane tuara
katimpalan.


363. Ne mangkin tindakang ucap,

payudane di nagari,

anakda Wirya Jalaja,

sampun reke mamudalin,

taman ring gunung Sari,

sairingan napak sampun,

ring baler gunung ngantos,

awanan mantuk ka Bali,

kalih sampun,

i aji wenten ngutusang.


dengan para punggawa,

jika Kumpeni turun
menyerang,

di Ampenan saat itu akan
mengamuk,

usahakan supaya semua,

setelah beberapa hari,

serdadu Belanda sudah
mendarat di Ampenan.


Lalu mereka membuat
kubu-kubu pertahanan,

dan sudah menyebar,

memanjang mengapit jalan,

sehingga tidak ada tempat
terluang,

pembicaraan di istana,

mengatakan sulit untuk
keluar mengamuk,

akhirnya saling tuduh yang

sudah sanggup dan siap
tempur,

merasa kecewa karena tidak
mendapat lawan.


Sekarang diceritakan,

peperangan di istana,

Anakda Wirya Jalaja,

diceritakan sudah kembali
pulang,

dari Taman Gunung Sari,

sudah sampai disertai
pengikutnya,

menunggu di sebelah utara
gunung,

adapun sebabnya pulang ke
Bali,

lagi pula,

ayahnda telah
memerintahkan. [ 116 ]364. Miserengang pisan i anak,

keni tulak ka nagari,

Wirya Jalaja mangampros,

sawure kanggonya jani,

tandangin suba dini,

musuh uli kangin kauh,

bara yan pacang lawan,

antuk i bapa ngeganin,

raos bajang ne tua dadi
mariang.


365. Pangandikane i anak,

Anak Agung Ngurah raris,

ngandika nah baya titah,

pamenggah Widi tandangin,

besik tapak pang gilis,

berata ksatriane adu,

gangsarang nyambut satru,

Anak Agung Gde Jelantik,

mangkin sampun,

mamudalin jagat Sasak.


366. Nanging keh ngalolosang,

kamulan di Sasak ngiring,

tuting peranda Siwa Buda,

saha anak putu rabi,

punika maka ciri,

nagarane pacang lebur,

kalih patungkas rawos,

purggawa tong taen ngilis,

durmanggalan, Cakra Mataran
sinah.


Memohon dengan sangat agar
anakda,

kembali ke istana,

Wirya Jalaja berkata kecewa,

perkataannya,

"Terserahlah sekarang,

hadapi saja sendiri,

musuh datang dari barat dan
timur,

berat kalau itu dilawan,

inilah akibatnya,

ayah terlalu percaya,

perkataan orang muda,

yang tua diabaikan"


Perkataan anakda,

Anak Agung Ngurah lalu
berkata,

"Rupanya sudah takdir,

kemarahan hyang Widi,

kita hadapi saja satu-satu
hadapi supaya pasti,

sifat kesatria diadu,

mari segera kita songsong
musuh",

Anak Agung Gede Jelantik,

sekarang,

sudah kembali dari Sasak.


Tetapi banyak yang lolos,

yang dulunya ikut di Sasak,

sampai-sampai para pendeta
Siwa dan Buda,

dengan anak cucu dan
istrinya,

itu sebagai tanda,

negara akan hancur,

dan saling bertentangan
pendapat,

para punggawa tak pernah [ 117 ]satu pendapat,

kehancuran Cakra dan

Mataram sudah diambang pintu.


PUH DURMA


367. Tuan Residen kalih Jendral
mangkin ucap,

rawos sandi mamargi,

ngajug soroh Selam,

dauh kuta Mataram,

baler tukad Jangkuk radin,

kaling punika,

i Sekarbela ngilis.


368. Ajajahan kelod kawuh baler
Babak,

manungked ka pasisi,

congah ka nagara,

manunas kauripan,

ring i tuan Residen kalih,

i tuan Jendral,

sueca pisan nagingin.


369. Delod Babak tui suba sikep
tengah,

mamuntut mamentetin,

marep ka nagara,

yadin Narmada nungked,

kapunitan gilis,

mabriuk congah,

ngarepin raja Bali.


Diceritakan sekarang Tuan
Residen dan Jendral,

mulai menjalankan tipu
muslihat,

mengadu golongan Islam

yang bertempat di barat kota
Mataram,

di utara sungai Jangkuk,

apalagi,

Sekarbela,

sudah pasti pendiriannya.


Daerah jajahan di barat daya

di sebelah utara Babak,

sampai ke pesisir,

semua menentang kerajaan
Bali,

lalu mohon bantuan,

kepada Tuan Residen berdua,

dengan Tuan Jendral,

yang dengan senang hati
menerima.


Di selatan Babak sudah siap
pasukan tengah,

mengejar dan menembaki,

menghadapi kerajaan,

juga sampai ke Narmada,

dengan segera terpengaruh,

serentak menentang terhadap
raja Bali. [ 118 ]370. Ento karana i suradadu
mungkatang,

Pagutan kaambiarin,

ada dauh pisan,

kangin makejang buntas,

sadaging desane ngungsi,

nagara Cakra,

ditu praya nanggalin.


371. Saking gelis jani baan
nyaritayang,

Kumpeni mamondokin,

di Ksetran Mataram,

kauh tui maadan,

Padasan agung mangeraris,

Kumpeni ngatag,

antuk jarenat titir.


372. Matarame kasakitan peteng
lemah,

muwuh mabiuran kadi,

tawan sahing giha,

pada mangungsi Cakra,

ada ka Padasan nengil,

lor wetan Cakra,

nging tampek ka nagari.


373. Tuwi ada mangalon-lonin
maniwita,

ring Kumpeni tur laris,

watek baudanda,

ada mangsi tengah,

ka dangin Juring mangraris,

telas karusak,


Itulah sebabnya serdadu
Belanda menjatuhkan

(menaklukkan) desa Pagutan
sudah diduduki,

kira jam 8.30 pagi,

yang di timur semua bebas,

seluruh penduduk desa
mengungsi,

ke Cakra di sana akan
bertahan.


Dipercepat menceritakan,

Kumpeni sudah menempati,

desa Ksetran Mataram,

arah ke barat mereka
bergerak,

menyerbu Padasan Agung
(Dasan Agung),

Kumpeni menyerang,

dengan granat sangat gencar.


Mataram sangat menderita
siang malam,

tambah panik lagi,

seperti tawon keluar goa,

semua menuju ke Cakra,

ada yang lari ke Padasan dan
diam di sana,

di sebelah utara dan barat
kota Cakra,

tetapi masih dekat dengan
kota (istana).


Tetapi ada pula yang
mengelu-elukan dan
menyerahkan diri,

pada Kumpeni yang dengan

senang menerima para
baudanda,

yang berdiri di tengah-tengah, [ 119 ]mangkin kocapan malih.


374. Sri Paduka Tuan Residen
kalih Jendral,

mapapara mangambil,

desa Pagesangan,

delod kuta Mataram,

praputra ditu malinggih,

lumra masarab,

Wirya putra kaceliring.


375. Pemah putu antuk Anak
Agung Ngurah,

matanggal sami ginting,

sairingan ida,

kalih nak Agung Ngurah,

rauh mapitulung gipih,

sangkan mosogan,

siate buka tulis.


376. Reh mayatan Anak Agung
Ngurah ida,

mamireng kabar jati,

pamargin i tuan,

rauhe mangarista,

Pagesangan antuk kincit,

doning rantaban,

daging Cakrane ngiring.


377. Saking purwa tingkah pasiate

kandayang,

bu mara baak kangin,

suradadu napak ngambiarin


lalu ke Dangin Juring,

sudah habis dirusak,

sekarang diceritakan lagi.


Sri Paduka Tuan Residen dan
Jendral,

membagi tugas,

desa Pagesangan,

di selatan kota Mataram,

yang dipertahankan oleh para
putra raja,

tersebar siap menyerang

Wirya putra sangat berani.


Pernah cucu dari Anak
Agung Ngurah,

bertahan dan siap bertempur,

dengan pengikut-pengikut
beliau,

dan Anak Agung Ngurah,

datang memberi bantuan,

makanya peperangan seru,

saling berdesakan seperti

peperangan dalam cerita.


Karena sudah pasti Anak
Agung Ngurah,

mendengar kabar,

perjalanan Kumpeni,

datang untuk
menghancurkan,

Pagesangan dengan
secepatnya,

oleh karena itu serentak,

rakyat Cakra ikut serta.


Dari timur jalannya

peperangan diceritakan,

ketika fajar menyingsing,

serdadu telah muncul, [ 120 ]Pagesangan,

saking kelod kauh titib,

genah laksana,

bungah pada matupi.


378. Baan Selam macudamani
ngaranyab,

putih apitung kuning,

baju papatuhan,

jaler pada mangebah,

antuk lakene maaji,

soroh kumendan,

murub matanda kuning.


379. Kapten Ubrus sorohne

manganggo bintang,

makadi ne kakalih,

Residen rawuh jendral,

pangangge kabinawa,

tupine bungah
mangendih,

malengker mas,

papatrayane rawit.


380. Tur maciri payung agung
mangaranyab,

masajur mangendih,

murub kadi suria,

lalontek ring ayunan,

warna tiga wantah becik,

selem lah barak,

putih tanda maniri.


menduduki Pagesangan,

dari arah barat daya dengan

tertib di tempatnya,

puluhan ribu,

sangat gagah semua memakai
topi.


Pasukan Islam bertopi
mengkilap,

warna putih diapit kuning,

bajunya seragam,

celananya baru,

semua,

komandannya gagah dengan

tanda pengenal warna
kuning.


Kapten Ubrus dan

kelompok pimpinan yang

memakai bintang seperti
yang dua orang,

yaitu Residen dan Jendral,

pakaiannya sangat gagah,

topinya bagus menyala,

dilingkari dengan emas,

dengan hiasan yang indah.


Dan dengan ciri payung

kebesaran yang gemilang.

bertatahkan emas menyala,

bercahaya seperti matahari,

lelontek (bendera panjang)
di depan,

dengan warna tiga yang
menjadi kebanggaannya,

hitam (biru) dan merah,

putih sebagai tanda
keagungannya. [ 121 ]381. Tuwi suba pragat makanda
makejang,

pangenter manegakin,

jaran mangulahang,

suradadu ngarepang,

gupekannyane titir,

preret tan pegat,

matimbal mangempengin.


382. Anak Agung Gde Putu
mangkin ucap,

penter ngedum ngukuhin,

ngamel jeroning kuta,

bedil mapoos atap,

tumbake titib mongkolin,

yaning karegah,

tumbak anggon manyabit.


383. Tehes amuk apang tuara
da kilesan,

i suradadu raris,

kucup mangarepang,

mamedil tuara pegat,

pendete ngebekin langit,

sikep nagara,

manguales mamedilin.


384. Saking cerongcong gelare
maambal-ambal,

becek matatu mati,


Setelah selesai
bermusyawarah semua,

komandannya menunggang
kuda,

memberi aba-aba,

serdadu maju ke depan,

bunyi gendrang bertalu-talu,

bunyi terompet tidak
putus-putusnya,

bergantian memekakkan
telinga.


Diceritakan sekarang Anak
Agung Gede Putu,

pandai membagi tugas dalam
bertahan,

mempertahankan dalam kota,

senapan berkelompok dengan
tertib,

di belakangnya pasukan
tombak,

jika musuh sampai memasuki
benteng,

akan dilayani (ditusuk) oleh
pasukan tombak.


Didesak dan diamuk supaya
tidak ada kesempatan
bergerak,

lalu serdadu maju bergabung
ke depan,

tidak putus-putusnya
menembaki,

sinar mesiu memenuhi langit,

pasukan istana,

membalas menembaki.


Dari benteng pertahanan

yang berlapis-lapis itu,

hancur banyak yang luka dan [ 122 ]masurung-surungan,

i suradadu buka,

butane mangenot daging,

tuara kilesan,

sing nonjol manyungkling.


385. Saking kelod saking kauh
magulungan,

buka tawon ababin,

tuara nolih rowang,

sing ebah tulus gayal,

i rantean ditu gipih,

gangsar manyemak,

asing matatu mati.


386. Meh sataka tuara mundur
mangulahang,

i suradadu medil,

ngembatang sinapang,

marieme manyelag,

titir munyinya ngempengin,

ngebekin byoma,

jernate sawang kadi.


387. Kilap asab sing katempuh
remuk gimbal,

akudang dasa mati,

kena kapisanan,

pamating jeroning kuta,


mati,

saling dorong,

serdadu Belanda,

seperti buta kala (mahluk
halus yang jahat) melihat

daging (makanan) tidak mau
mundur,

setiap yang maju menombak,

rebah terjungkal.


Dari selatan dan barat
menyerbu,

seperti tawon sedang
beterbangan,

tidak menoleh kawan yang

rebah langsung ditinggal,

yang membawa tandu yang
sibuk,

segera mengambil yang luka
dan mati.


Ada kira-kira dua ratus orang

tidak mau mundur terus
mendesak,

serdadu Belanda terus

menembaki dan memencar
senapan,

diselingi dengan tembakan
meriam,

dengan keras suaranya

memekakkan telinga,

suaranya memenuhi angkasa

dan sayup-sayup terdengar
bunyi granat.


Berkilatan peluru meriam

segala yang dikenai hancur,

luluh,

berpuluh-puluh prajurit
gugur, [ 123 ]mabiuran akeh maniding,

ngalih alingan,

ada mataker medil.


388. Anak Agung Gede Putu
mangulahang,

saha parekan ginting,

malih maosogan,

siat saling pakamah,

liu mapat ambah mati,

musuh len rowang,

sotaning wira kalih.


389. Sri Paduka tuan Jendral
lintang menggah,

mangutus Ubrus kalih,

kapten mangulahang,

nganggar makta kalewang,

rupane sami ngeres-resin,

kumisnya lebat,

lingker mairib arit.


390. Mua baag laliate asereng
galak,

jenggote ngawir-awir,

mawangsit ngulahang,

medingang baan kalewang,

suradadu buka tigtig,

kucup ngarepang,

mabriuk pada medil.


sekali kena terus mati,

pasukan istana,

bubar dan banyak yang lari,

mencari tempat berlindung,

ada pula yang melawan
menembak.


Anak Agung Gde Putu terus
mendesak,

dengan pengikutnya semua
sudah siap,

lagi bergumul,

perkelahian saling tikam,

banyak yang menjadi korban,

musuh dan kawan,

prajurit dari kedua belah
pihak.


Sri Paduka Tuan Jendral
sangat marah,

memerintahkan kepada
Kapten Ubrus,

untuk terus mendesak,

mengangkat pedang,

rupanya semua menakutkan,

dengan kumis yang lebat

melingkar seperti sabit.


Muka merah pandangan

matanya tajam dan galak,

janggutnya berjurai,

memberi tanda untuk
menyerbu,

menunjuk dengan pedang,

serdadu Belanda,

seperti dicambuk,

terus maju,

serentak mereka menembaki. [ 124 ]391. Magulungan buka embah

tuara pegat,

mimise sawang kadi,

ujan makecegan,

mimbuh tuara da pegat,

jernate titir nyepolin,

sikep nagara,

along matatu mati.


392. Kalih suba ne sikauh onya
buntas.

katurut kabedilin,

mabalik matanggal,

di dangin pasar melah medil,

saking jeroning kikis,

dari marenan,

Kumpenine ngulahin.


393. Ditu isis pagisine delod pasar,

kiwa tengen jaganin,

buntas manganginang,

katuuk mabiayuhan,

becek matatu len mati,

Wirya potraka,

irika nandang kanin.


394. Mameh-mehan kagosong ka
Jangin pasar,

mangkin ucapang malih,

Anak Agung Ngurah,

ngutusang batu bata,

soroh ne nyambut pangawin,

makadi mamas,


Bergerombol-gerombol

bagaikan aliran sungai tidak
putus-putusnya,

peluru bersuitan,

seperti hujan lebat,

juga tidak pernah terputus,

lemparan geranat dengan
hebatnya,

pasukan kerajaan,

banyak yang luka dan mati.


Yang di barat sudah mundur
semua,

terus diikuti dan ditembaki,

kembali bertahan,

di timur pasar tempat yang

strategis untuk menembak,

yang dari dalam istana juga
sudah habis,

akhirnya bertambah galak

Kumpeni mengejar.


Pertahanan di selatan pasar

juga mundur (kosong),

di kiri dan kanan dijagai,

semua mundur ke timur,

diserbu panik semuanya,

hancur banyak yang luka dan
mati,

Anakda Wirya Jalaja,

di sana kena tembak.


Dengan susah payah

digendong dibawa ke

sebelah timur pasar,

sekarang diceritakan,

Anak Agung Ngurah

memerintahkan para prajurit

yang memegang tombak, [ 125 ]babaru mananggalin.


395. Sriak-sriak munyin becil
matimbalan,

pineh lingsir hyang rawi,

tuara da rerenan,

siate pada dira,

tuan Jendral mangkin malih,

ngutus ngulahang,

i suradadu medil.


396. Tur kaenter baan soroh
mategakan,

jaran masikep bedil,

karo ring kalewang,

Ubrus kapten pagedab,

letnan kumendan padengkik,

gongsor ngarepang,

tuara mangitung mati.


397. Mausungan ada laju nesek
jebag,

katumbak manyangkiling,

ada jajotongan,

ngulah negakin jaran,

nesekin nikis mamedil,

ada ngurepak,

mapasang ejan gipih.


398. Titir medil tuara takut teken
tumbak,


serta pembawa senapan dan

babaru (nama senjata) untuk
maju ke medan perang.


Berdentuman bunyi senapan
bergantian,

kira-kira matahari sudah
condong ke barat,

tidak ada yang mengalah,

peperangan sangat hebat,

Tuan Jendral memerintahkan,

serdadu Belanda,

untuk terus mengepung.


Dikomando oleh mereka,

yang menunggang kuda dan
bersenjata senapan,

dan bersenjata pedang,

Kapten Ubrus sangat sibuk,

para komandan yang

berpangkat letnan terdengar
membentak-bentak,

pasukan maju ke depan,

tidak ada yang takut mati.


Saling mendahului dengan

cepat sudah sampai di muka
pintu gerbang,

lalu ditombak kena
terjungkir balik,

ada yang langsung,

mengusir musuh dengan
mengendarai kuda,

mendekati tembok sambil
menembak,

ada yang sibuk,

untuk memasang tangga.


Terus menembaki tidak
merasa takut dengan [ 126 ]ada menekin kikis,

nyabat ban jarenat,

makeplag sambeh buyar,

sikep nagarane dadi,

samben mabiuran,

akeh matatu mati.


399. Ada ngamuk di pasare
mabioyongan,

babaru mamas malih,

sikepe gebogan,

sing pesu tuara tulak,

panglingsir ditu ngemasin,

untat purusa,

tuhu sura ring jurit.


400. Tur rusake sida mamuputang
lekas,

nganggo darma kapatin,

warahing pandita,

dane mula masastra,

mapeningan sai-sai,

peped nyuaka,

ring paranda wibuh aji.


401. Mangkin ngahngah galak

sikepe di desa,

kapo ban celang ririh,


tombak,

ada yang menaiki tembok
pagar,

sambil melempar dengan
granat,

granat meledak,

berhamburan,

pasukan kerajaan,

panik dan kesal,

banyak yang luka dan mati


Ada yang mengamuk di pasar
dengan sengitnya,

dengan senjata tombak dan
senapan,

pasukan gabungan,

setiap yang keluar ikut
berperang,

banyak yang tua-tua

meninggal di sana,

prajurit yang terakhir,

sungguh sangat berani dalam
peperangan.


Kehancurannya telah berhasil
melakukan kewajiban,

sesuai dengan dharma

(kewajiban) kematian,

menurut ajaran para pendeta,

yang memang melaksanakan

ajaran sastra (ilmu
pengetahuan dharma),

sering-sering menyucikan diri.

setiap saat bergaul,

dengan para pendeta yang
ahli dalam ilmu pengetahuan.


Diceritakan yang di desa

sangat marah dan galak,

syukur ada yang waspada [ 127 ]ne mangabih ida,

Anak Agung Ngurah enggal,

juru pikule wangsitin,

enggal ngilesang,

Anake Agung Lingsir.


402. Ditu briuk sikepe belit
nganginang,

ka Cakra ngungsi,

tan kocap di jalan,

i Tuan Residen ucap,

kalih Jendral sampun pasti,

wenten ngutusang,

suradadu ngenahin


403. Pagesangan tur kaenter ban kapala,

makudang poos tindih,

ngiring pakayunan,

sotaning jati wira,

wet bet purusa ring jurit,

wredeng paparangan,

tuara nolih kawi.


PUH PANGKUR

404. Ne mangkin malih carita,

baler gunung Tanjung

Mamenanggipih,

gama Tirta wenten ditu,


dan pandai,

yang mendampingi beliau,

Anak Agung Ngurah,

dengan segera yang memikul
beliau diberitahu,

supaya dengan segera
memindahkan Anak Agung
Lingsir (raja tua).


Akhirnya serentak pasukan
mundur ke timur,

menuju ke Cakra,

tidak diceritakan di jalan,

diceritakan Tuan Residen,

dan Jendral,

dengan pasti akan mengutus
orang,

untuk mendatangi.


Pagesangan,

dan mereka dipimpin oleh
komandan,

beberapa peleton masih setia,

menuruti rajanya,

karena benar-benar kelahiran
satria,

dan sangat berani dalam
peperangan,

memang sudah tua
pengalaman dalam
peperangan ,

tidak menoleh ke belakang
lagi.


Sekarang diceritakan lagi,

di utara gunung Tanjung dan
Mamenang (Pamenang)
sangat panik,

127 [ 128 ]nging kincit pawilangan,

yaning taksir wenten angan
tigang atus,

lanang istri lingsir nuara,

ne kalih desa ngenanin.


405. Bali Wesia para sanghyang,

minakadi Brahmana ring
sulinggih,

mabiuran kaotag antuk,

jarenat saking kapal,

pehning kayun,

sri paduka tuan ngutus,

maawinan laris bebas,

Mamenang Tanjonge lilih.


406. Gubug-gubug geseng pretak,

dadi awu silapin jernat sakti,

ludin soroh Selam sampun,

karepe bani congah,

ka nagara doning

punggawane ditu,

kairing lolos mangalas,

lemeng lemah ne mamargi.


407. Menggel gunung bukit tegal,

pagarenok ada manyuun
nyangkil,

ada negen kabit kikuk,

mapoot negen orta,

ada nyingal ada nyunggi
panak cucu,

pakareak bilang jalan,

ngeling pada nagih nasi.


di sana ada penganut Hindu,

tetapi jumlahnya sedikit,

diperkirakan ada sekitar tiga
ratus orang,

laki perempuan,

tua dan muda,

kedua desa ini.


Golongan Wesia dan

sanghyang seperti Brahmana
dan pendeta,

panik diserbu,

dilempari granat dari kapal,

atas perintah Sri Paduka
Tuan,

akhirnya ditaklukkan

Mamenang dan Tanjung.


Pondok-pondok-hancur
terbakar,

menjadi abu dibasmi dengan
granat,

ditambah lagi dari golongan
Islam,

memang maksudnya mereka

berani menentang ke istana
(kerajaan),

punggawa yang di sana,

telah lari masuk hutan,

sering malam berjalan.


Melalui bukit-bukit dan

gunung serta tegalan
bergayutan,

ada yang menjunjung dan

sambil mengepit
barang-barangnya,

ada yang memikul dengan
sempoyongan,

dengan susah payah memikul [ 129 ]408. Meme bapane kalintang,

kaki dadong mameragatang
ban sedih,

nanging wenten toyan ebun,

kanggen manungkulang,

cening-cening nging basange
kari kebus,

bane tuara maan ngamah,

cendetang satwane mangkin.


409. Sampun napak ring nagara,

tur kaatur ring Anak Agung
Lingsir,

mawuwuh kobet ring kayun,

janten soroh Padasan,

delod Kusuk,

manyarengin baler gunung,

ka nagara jati pangpang,

ne mangkin ucapang malih.


410. Sasorohan musuh Selam,

Dangin Juring tan maren
mangambiarin,

kelod kangin lintang kukuh,

sikepe ring nagara,

tur mawanan desa Bengkele


harta bendanya,

ada yang menggendong anak
cucunya,

bertangisan di sepanjang jalan,

menangis minta nasi.


Ibu ayah kakek dan

neneknya hanya menimang

dengan penuh kesedihan,

hanya ada air yang keluar

dari potongan pohon-pohon
yang merambat,

hanya itu yang diberikan.

untuk menenangkan
anak-anak,

tetapi perut mereka,

semua merasa panas,

karena belum dapat makan,

kita hentikan cerita tentang
kesedihan mereka ini.


Setelah sampai di istana,

dan sudah disampaikan ke
hadapan Anak Agung Lingsir,

bertambah-tambah susah
hatinya,

sudah jelas desa Padasan,

di selatan Kusuk (Pusuk),

ikut pula yang di utara
gunung,

tidak masih setia kepada
kerajaan,

sekarang cerita dilanjutkan.


Musuh dari golongan Islam,

dari Dangin Juring,

tidak henti-hentinya
menyerang,

di tenggara sangat kuat,

pasukan kerajaan, [ 130 ]kasedut,

Bagemanis kalih Daha,

reh tinut ka Dangin Juring.


411. Ne mangkin jagjagang
anyerita,

kuta Cakra Mataram kaiderin,

antuk satru sami ngucur,

yaning sorohan Selam,

sacitanya sikep nagarane
magut,

diapin keti-ketian,

saling penet katimpalin.


412. Saling intuk saling cakcak,

pet winduan tong duga
pacang nguncir,

ngendon kaendonin pupuk,

Anak Agung nyadiayang,

sacitanya baboyongan
mambek bijug,

prasida tangkebin langit.


413. Pet magegas aterajangan,

bu matahar nyalemeh pedas
ngencing,

yan paksa bani mangamuk,

tuting tulange enyag,

upamanya buka emeng
pangkah magut,

kasakten i buron singa,

aciplakan pretak seling.


makanya desa Bengkel
diserang,

Bagemanis dan Daha,

karena mereka memihak
Dangin Juring.


Segera diceritakan,

kota Cakra dan Mataram
sudah dikurung,

oleh musuh yang semua
sudah maju,

kalau hanya musuh dari
golongan Islam,

sekehendak hati pasukan

kerajaan bisa mendesak,

walaupun berpuluh-puluh,
ribu,

saling desak akan dilayani.


Saling tumbuk saling pukul,

sekalipun sampai delapan
tahun (berperang) tidak akan
mau mundur,

saling serbu,

Anak Agung mengharapkan

sekehendaknya supaya semua
tunduk,

berhasil menaklukkan
sebawah langit.


Akhirnya bergegas menerjang,

baru muncul tiba-tiba jatuh

dan tentu akan lari,

jika dipaksa mengamuk,

sampai tulang-tulangnya
hancur,

jika diumpamakan seperti

seekor kucing terlalu berani
menerkam, [ 131 ]414. Gangsarang nyambutang satua,

di Mataram mangkin malih wawanin,

Untat Amlapura gupuh,

lemeng lemah kujanan,

ban jarenat saking kelod
dauh ngencur,

matimbalan tuara pegat,

pagamel i tuan kalih.


415. Dasanagung Pagesangan,

manyakitin Mataram alah tigtig,

surake akeh mangelung,

sigar antuk jarenat,

raga dewek makadi

ngango bang kayun,

bale-bale akeh rugrag,

rebah rubiuh katibanin.


416. Jarenat kadi kuskusan,

kalih wenten mangobor kadi geni,

mangeseng ring puri agung,

samalih ring jabaan,

karang-karang desane
sumangkin sampun,

pertengahan kari nyangga,

Mataram mangukuhin.


binatang singa,

dikunyah sekali sudah hancur.


Dipercepat menceritakan,

kembali diceritakan di
Mataram,

Anak Agung Ketut Amlapura

sangat sibuk (panik),

siang malam terus dihujani,

dengan granat dari arah barat
daya diserang,

sambung-menyambung tidak
putus-putusnya,

dari pihak Belanda.


Desa Dasanagung dan
Pagesangan,

menyakiti Mataram seperti
dipukuli,

sorak sorai memecahkan
bunyi granat,

orang-orang sangat takut,

rumah-rumah banyak yang
hancur,

roboh dan hancur kena
granat.


Granat seperti kerucut,

ada lagi yang keluar api,

membakar istana,

dan di luar,

pekarangan rumah di
desa-desa semakin sepi,

hanya separoh yang masih,

mempertahankan Mataram.


PUH DURMA.


417. Durmitaning Mataram
mangkin karegah,


Diceritakan sekarang benteng
Mataram sudah dinaiki, [ 132 ]suradadu ngujanin,

ban mimis sinapang,

saking kelod narejak,

magulungan sawang kadi,

gulem ngeranayang,

sabeh ngalodogang gumi.


418. Pamatinge ring Mataram

sampun mendak,

yatna manguales medil,

saking jeroning kuta,

kujanan tuara pegat,

suradadu akeh mati,

wire kabanan,

manampi ujan mimis.


419. Mageliuran

masundul-sundulan nrejak,

asing madongsok mati,

apan ditu sengka,

gelar ngarepin tukad,

ne mangkin ucapang malih,

nak Agung Ngurah,

gongsor rauhe gelis.


420. Ka Mataram saha sanjata
mangap,

ring pampatan manggeh,

pamating mangambiar,

kadi sekar saalas,

sing kateteh pacang kampih,

ida anakda,

untat Amla nagari.


serdadu Belanda menghujani,

dengan peluru senapan,

dari selatan menyerbu,

berduyun-duyun,

seperti mendung,

yang menyebabkan hujan

membecekkan dunia.


Pasukan Mataram
menyongsong,

dengan hati-hati membalas
menembak,

dari dalam istana (kota),

dihujani dengan peluru
terus-menerus,

banyak serdadu Belanda yang
mati,

panik disebabkan,

dihujani peluru.


Pasukan berhamburan saling

desak dan saling serang,

setiap yang didesak mati

karena medan di sana agak

sulit benteng yang
menghadap ke sungai,

sekarang diceritakan,

Anak Agung Ngurah,

dengan segera datang.


Ke Mataram dengan senjata
siap di tangan,

lalu bertemu di perempatan
jalan,

pasukan yang menyebar

bagaikan bunga-bunga

bertebaran di hutan,

yang kena didesak semua
minggir, [ 133 ]421. Tuara jenek malinggih saat ngaduang,

pamating mamedilin,

Kumpeni sing ulah,

kalih punggawa suba,

kadauhan pada ginting,

mangadu rencang,

kelod kauh kukuhin.


422. Tur ne kauh Anak Agung
jenek malingga,

Ketut Jelantik papasih,

tosning puri purwa,

Mataram linggih ida,

kerana pasiate dadi,

luget mosogan,

saking bu endag ai.


423. Pineh sampun sang

hyang suria benah munggah,

ping kuda wali-wali,

Kumpeni nyaatang,

ngeregah kiduling pura,

meh satakan kanin mati,

tuara kasidan,

nesek gelare rimbit.


424. Pet kaotog ban meriem tuara pegat,

uli kauh ngujanin,

dadi buka ampah,

sikepe di nagara,

bucu kelod kauh timbis,


beliau Anak Agung Ketut
Karangasem.

Tidak betah duduk repot

memberi komando,

pasukan menembaki,

untuk mengusir Kumpeni,

para punggawa,

sudah dipanggil dan siap,

mengadu anak buah,

di barat daya dipertahankan.


Yang di barat dipertahankan,

oleh Anak Agung Ketut
Jelantik,

kelahiran dari istana di timur,

Mataram tempat beliau,

makanya peperangan menjadi
sangat hebat,

saling serbu,

mulai dari matahari baru
terbit.


Ketika matahari telah tinggi,

sudah berulang-ulang,

Kumpeni mendesak,

menaiki di selatan istana,

barangkali ada dua ratus

orang yang kena dan mati,

tetapi tidak berhasil,

sulit untuk mendekati
benteng kerajaan.


Akhirnya diserbu dengan

tembakan meriam tidak
putus-putusnya,

dihujani dari barat,

pasukan kerajaan agak lengah, [ 134 ]tuara nyengehang,

suradadu ngalolosin.


425. Saking taman Pudaksari
teka nrejak,

ngisi gelar mamedil,

briuk ada domas,

papucuknyane ngenah,

ne mongkolin kudang tali,

ditu malingga,

i tuan Residen kalih.


426. Tuan Jendral sami ngutus
mangulahang,

sikep nagara kengin,

sambeh mabiayuhan,

akudang dasa nyempang,

sih tileh erinit malaib,

mambeh kaja,

ngubug tuara manolih.


427. Kataurag sikepe sane di tengah,

ne marep kauh ngilis,

tuting linggih ida,

untat Jalaja nabrang,

katurut kujanin mimis,

becek ngecagang,

bangke kalahin nerit.


sudut yang di barat daya tembus,

tidak dilihat,

serdadu Belanda lolos masuk.


Dari taman Pudaksari (bunga pudak),

datang menyerbu,

menguasai benteng dan terus menembak,

ada sekitar delapan ratus orang,

pasukan penyerang yang
menampakkan diri,

di belakangnya (pasukan
induk) ada beribu-ribu orang,

di sana ikut,

Tuan Residen berdua.


Dengan Tuan Jendral semua
memerintahkan maju,

adapun pasukan kerajaan,

bercerai-berai dan panik,

berpuluh-puluh orang terguling,

yang selamat (tidak kena)

lari tunggang langgang,

lewat ke utara,

lari dengan tidak berani menoleh.


Diserbu pasukan yang di
tengah-tengah,

yang menghadap ke barat,

dengan pimpinannya,

Ketut Jalaja lari
menyeberang,

dikejar dan dihujani peluru,

hancur banyak mayat yang [ 135 ]428. Suradadu sampun

mangaranjing gelar,

ada ngarepin kangin,

ada beneh kaja,

nyaluksuk jeroning karang,

Ubrus kapten mangenterin,

mingked ka marga,

agung marep kangin.


429. Malih sane delod dauh
Bogor suba,

mamedil manyampingin,

pamating nagara,

ne marep kelod gewar,

tan winilang akeh mati,

ne sura dira,

ditu mangamuk gipih.


430. Long hinongan suradadu
miwah rowang,

kumendam ditu mati,

untat Amlapura,

irika maka lingga,

mangadu sikep nagai,

nadakang ada,

gipih matur piuning.


431. Antuk satru suradadu
sampun bebas,

kuta kauh kagisi,


ditinggalkan,

lari terbirit-birit.


Serdadu Belanda sudah
memasuki benteng,

ada yang menghadap ke
timur,

ada yang menghadap utara,

menyelusup ke dalam
halaman rumah,

dikomando oleh Kapten
Ubrus,

sampai ke jalan besar yang
menghadap ke timur.


Dan yang di barat daya

di desa Bogor,

menembaki dari samping,

pasukan kerajaan,

yang menghadap ke selatan,

panik tidak terhitung banyak
yang mati,

yang benar-benar satria,

di sana mengamuk dengan
hebatnya.


Kacau antara serdadu dengan
kawan,

di sana komandan ada yang
mati,

Ketut Amlapura,

di sana memimpin,

mengadu pasukan kerajaan,

mendadak ada,

orang yang memberitahukan.


Bahwa musuh serdadu
Belanda sudah dapat

membebaskan kota di barat [ 136 ]ditu raris ida,

budale gagangsaran,

pakayunan marebutin,

di Karanglebah,

tongos maamukgisi.


432. Apan ento nepi kauh

jeroning kuta,

bu rauhe di puri,

raris mangutusang,

sikepe saking Cakra,

mamendak ne kauh kengin,

sranta majalan,

ne kelod ucap malih.


433. Suradadu tuara

pegat-pegat nerejak,

akudang ipun mati,

sikep di nagara,

mangkin kuciwa tadah,

saking kelod kauh medil,

Kumpeni ngulah,

nyehceh tuara gigisin.


434. Kalih suba pamatinge pada
ngahngah,

galake onya sami,

kalud ne ngenterang,

punggawa onya budal,

yan dija genah mandesil,

ngalih alingan,

rowange onya belit.


sudah dikuasai,

di sana beliau,

pulang dengan segera,

maksudnya hendak merebut

kembali di Karanglebak,

tempat mengamuk itu yang
dikuasai (dipegang).


Karena desa itu pinggiran

barat batas kota,

baru sampai di istana,

lalu memerintahkan,

pasukan yang dari Cakra,

untuk menyongsong musuh
yang di barat.

lalu segera mereka berjalan,

sekarang diceritakan yang di
selatan.


Serdadu Belanda tidak
henti-hentinya menyerang,

entah sudah berapa orang
yang mati,

pasukan kerajaan,

sekarang kalah dalam
peperangan,

dari selatan dan barat terus
menembaki,

Kumpeni terus mengusir,

menyerbu dengan tidak
memberi ampun.


Lagi pula pasukan kerajaan

udah kendor semangatnya,

semua,

dengan yang memimpin,

para punggawa semua pulang,

entah di mana mereka

menyembunyikan diri,

mencari perlindungan, [ 137 ]435. Maluluhan mangarudug buka
ombak,

sasisanyane mati,

ngubug pati trejak,

ngurepak negen tumbak,

ada nadtad bedil cerinit.

ngaja kanginang,

ka Cakra telas ngungsi.


436. Suradadu sampun bebas
mangkin ngambiar,

Karang Madain keni,

nungked dangin marga,

tuara sentosa ngulah,

kakendanganya magending,

mangkin kaucap,

Anake Agung Lingsir.


437. Sampun wikan bau satrune
kalih ngulah,

gelis raris nauhin,

sikep saking Cakra,

ngulahang manerejak,

musuhe ne maka kalih,

mangelintang gelar,

lawan maamuk gisi.


438. Bau mara sikep Cakrane
majalan,


teman-temannya semua.

berkelit (mundur).


Berduyun-duyun

bergelombang seperti ombak,

sisa daripada yang mati lari
tunggang langgang,

berdetakan bunyinya.

memikul tombak,

ada pula yang menjinjing
senapan,

menuju ke timur laut,

semua mengungsi ke Cakra.


Serdadu Belanda sudah dapat

membebaskan dan mereka
terpencar,

Karang Madain juga sudah
ditaklukkan,

sampai ke timur, jalan,

tidak puas-puasnya terus
mengusir,

gendrangnya terus
berdendang (berbunyi),

sekarang diceritakan Anak
Agung Lingsir (raja tua).


Sudah mengetahui musuh
terus menyerbu,

lalu segera beliau

memerintahkan pasukan dari
Cakra,

untuk menghadapi dan
menyerbu,

musuh keduanya,

melewati benteng,

lawan dan amuk.


Baru pasukan Cakra berjalan,

sudah bersiap-siap hendak [ 138 ]peraya mangamuk di ginting,

dadi linggih ida,

Anak Agung Ngurah enggal,

kapikul mungkurang gelis,

dadi mabiuran,

sikepe tulak sami.


439. Tur kaulah antuk Kumpeni
mangalawat,

akeh matatu mati,

sikep saking Cakra,

bulus nguntas ngajanang,

tuara kaping tulih malih,

ucapang ida,

untat Amlanagara.


440. Anak Agung mula tosning
wilatikta,

sura dira ring jurit,

pilih paragayan,

dewa nurun ring ida,

awanan tuara da gingsir,

kahyu sampurna,

ring Mataram mamuatin.


441. Kalih sampun sang hyang
jiwa katunggalang,

ring deha suda hening,

bresih tan kawaran,

tresnaneng anak-anak,

warnane dumilah kadi,

sang hyang baskara,

waluya mara murti.


mengamuk,

tiba-tiba pimpinannya,

beliau Anak Agung Ngurah,

dipikul dan dibawa ke
belakang dengan segera,

akhirnya bubar,

pasukan semua kembali.


Terus dikejar dan diusir oleh
pasukan Kumpeni,

banyak yang luka dan mati,

pasukan dari Cakra,

lari langsung menuju ke
utara,

tidak menoleh ke belakang
lagi,

diceritakan beliau Anak
Agung Ketut Karangasem.


Beliau memang keturunan
darah satria,

sangat perwira dalam
peperangan,

walaupun sendiri,

seperti dewa menyelusup
dalam tubuh beliau,

itulah sebabnya beliau

setapak pun tidak mundur,

sangat sempurna,

di Mataram beliau ikut
berperang.


Dan beliau sudah bertekad
bulat,

dengan hati penuh kesucian,

bersih tidak sedikit pun
ada rasa ragu,

kecintaan terhadap
anak-anak (sudah dihilangkan), [ 139 ]442. Tan kaginggang tan kagingsir
katerejak,

kacakup ban Kumpeni,

medil tuara pegat,

di perampatan marigi,

puri Agung wiakti kadi,

ngungang wiat,

munyin bedile titir.


443. Untat Amla ida kari
mairingan,

parekan dasa siki,

akijapan telas,

mati makadi rusak,

Untat Amla tuara biin,

ditu moksangga,

Mataram kaon raris.


444. Tuan Residen kalih Jendral
sami enak,

ring Mataram malinggih,

wireh sampun bebas,

tigang desa kajaya,

mangkin kocap sedek wengi,

nak Agung Ngurah,

katangkil sampun titib.


445. Para menak,

baudanda ring ayunan,

Anake Agung raris,

dauh pangandika,


wajahnya berapi-api,

seperti dewa matahari,

yang baru menjelma.


Tidak mau mundur dan tidak

bergeser ketika diserbu,

direbut oleh pasukan
Kumpeni,

yang menembak tidak

putus-putusnya,

di perempatan jalan,

di istana,

seperti hendak
menghancurkan dunia,

bunyi senapan berdentuman.


Anak Agung Ketut
Karangasem masih punya

pengikut sepuluh orang,

sekejap mata hancur semua,

mati dan rusak,

demikian juga Anak Agung
Ketut Karangasem,

di sana gugur,

Mataram akhirnya jatuh.


Tuan Residen dan Jendral
sangat senang,

menduduki Mataram,

karena sudah ditaklukkan,

tiga desa sudah dikuasai,

sekarang diceritakan pada
suatu malam,

Anak Agung Ngurah dihadap
dengan tertibnya.


Para bangsawan dan
baudanda di depan,

Anak Agung segera,

memulai pembicaraan [ 140 ]jani pada kenehang,

paharepe ka Kumpeni,

dening macihna,

kapes pasiate jati.


446. Cai pada siksikang pisan
pascatang,

rawose nene jani,

yan di hidep bapa,

pacang ngadayang surat,

ring para asihan sami,

watek kapalan,

Kumpeni sane dini.


447. Mangda dane sami eling
maasihan,

nyapih kaline jani,

nene suba subayang,

tingkahing dadi tukar,

nging abesik pikukuhing,

madan mamanjak,

ala ayu ucaping bumi.


448. Kalih dane apang gelis
nguningayang,

rawose ka Batawi,

bapa suka pisan,

matindih pasobaya,

buka kontrake ne nguni,

keto kenehang,

sekalang enu becik.


sekarang hendaknya
dipikirkan,

dalam menghadapi Kumpeni,

karena sudah jelas,

kita terdesak.


Kamu sekalian pikirkan
baik-baik dan pastikan,

pembicaraan kita sekarang,

kalau menurut pikiran saya,

akan mengirim surat,

dengan semua kawan,

komandan Kumpeni yang
ada di sini.


Supaya mereka ingat dengan
persahabatan,

untuk mendamaikan
peperangan ini,

yang sudah biarlah sudah
(berlalu),

semasih bisa ditukar,

satu yang hendaknya
dipertahankan,

supaya jangan dipakai budak,

baik dan buruk itu kodratnya
dunia.


Lagi pula supaya segera
mereka menyampaikan,

pembicaraan kita ke Batawi,

sungguh saya merasa senang,

membela perjanjian,

seperti perjanjian (kontrak)
yang dahulu,

itu hendaknya kalian pikirkan,

mumpung keadaan masih
agak baik. [ 141 ]449. Ne di Cakra apang ada
milu rusak,

desan caine dini,

pramenak punggawa,

kemper sama mawosang,

wacanane durung ngilis,

rupa tan bebas,

i tuan managingin.


450. Saur manuk ature kengin
nyendetang,

ratu Dewa Agung inggih,

titiang manyuunang,

titah Ida Batara,

reh boya dados iwangin,

suba asuba,

karmine sane riin.


451. Anak Agung Ngurah malih
mawacana,

nah keto suba pasti,

idep cai pada,

bapa suba nuutang,

ala ayu baan cai,

nak Agung budal,

mangkin ucapang malih.


Yang di Cakra supaya jangan
ikut rusak,

daerahmu ini",

para bangsawan dan
punggawa,

sulit semua membicarakan,

karena pembicaraan belum
pasti,

rupanya tidak mungkin,

Belanda menyetujui.


Serentak mereka menjawab
menyetujui,

"Ratu Dewa Agung,

hamba junjung,

titah tuanku,

oleh karena tidak bisa
dihindari,

baik dan buruk,

perbuatan kita terdahulu.


Anak Agung Ngurah lagi
berkata,

"Ya kalau demikian sudah
pasti,

maksudmu,

sekalian,

saya juga menuruti,

baik maupun buruk karena
kamu,"

lalu raja ke istana,

sekarang lain diceritakan lagi.


PUH SINOM.


452. Puspitaning dalem pura,

mangkin muwuh semang
nangis,

raja putri para rangda,

pidacang-pacangan sami,


Keadaan dalam istana,

makin susah bertambah
sedih,

raja putri dan janda-janda,

dan para selir, [ 142 ]miwah soroh kapingit,

tangise umung mangelur,

masawang munyin ombak,

panedeng angine aris,

tuara sewos mangdadi
paraning semang.


453. Anak Agung Ketut
Karang,

sang lina moksa ring jurit,

reh mandadi sekar panon,

samalih punika wiakti,

wirya potraka ugi,

putunda dewata sampun,

ngawanin kanin rahat,

prakosa mangadu jurit,

duk kajaya,

desane ring Pagesangan.


454. Sang kalih maka karanan,

tangise tuara maganti,

jeroning pura mangkin iyong,

laling raga nandang kingking,

wiakti rahina wengi,

lupteng boga tan paturu,

mangdadi kayun manah,

napi puharannya mangkin,

reh tan urung,

Cakrane pacang karegah.


455. Ne benjang malih carita,

suradadu manibenin,


dan putri-putri yang dipingit,

semua bertangisan
sejadi-jadinya,

bagaikan deburannya ombak,

di waktu angin berembus
kencang,

tidak ada lain yang
menyebabkan kesedihan itu.


Yaitu Anak Agung Ketut
Karang,

yang gugur dalam
pertempuran,

karena beliau sangat dibayang,

dan lagi pula,

beliau itu putra mahkota,

cucu daripada raja yang
sudah mangkat,

mengalami kehancuran,

dengan perkasa maju ke
medan perang,

waktu dimenangkan,

di desa Pagesangan.


Beliau berdua itulah yang
menyebabkan,

tangis di istana tiada
putusnya,

di istana sangat berduka,

lupa diri menanggung
kesedihan,

siang dan malam,

lupa makan dan lupa tidur,

menjadi pemikiran semua,

apa akan jadinya sekarang,

karena tidak bisa dihindari,

Cakra akan diserbu.


Keesokan harinya
diceritakan, [ 143 ]kota Cakra ban jarenat,

saking Pagesangan kalih,

Mataram lintang titir,

rata kaujanin sampun,

akudang dina suba,

lemeng lemah tan paganti,

kota Cakra,

saksat mamusuh ring kilap.


456. Mabiayuhan jeroning gelar,

ada mati sedek wengi,

ada mati sedek nyakan,

tan ucap mati di margi,

akudang umah nyumprit,

len puun tong dadi tulung,

di puri makadinya,

yan akudang umah bresih,

tuting gedong,

pasimpenan obat bebas.


457. Duk puune kabinawa,

rasa manguugang gumi,

makeplag dadi ambara,

apine saksatang kadi,

parem brahma ngaresresin,

munyin ngengengane liu,

nyambatang dewa sweca,

durus ngamel raja Bali,

nyen ta ngugu soroh munyin
kapalingan.


serdadu Belanda menghujani,

kota Cakra dengan granat,

dari Pagesangan dan Mataram
sangat hebatnya,

merata dihujani,

setelah beberapa hari,

siang dan malam tidak
henti-hentinya,

kota Cakra seperti

bermusuhan dengan halilintar.


Panik di dalam benteng,

ada yang mati pada waktu
malam hari,

ada yang mati sedang
menanak nasi,

tidak terhitung yang mati
di jalanan,

entah berapa rumah.

terjungkir (roboh),

yang lain terbakar tak dapat
ditolong,

seperti yang di istana,

entah berapa bangunan rata
dengan tanah,

sampai gedung,

penyimpanan obat habis
dihancurkan.


Waktu terjadi kebakaran
sangat mengerikan,

seperti hendak

menghancurkan dunia,

berdentuman di angkasa,

timbul api seperti,

param api besar sangat
menakutkan,

terdengar sesambat,

menyebut "Dewa
lindungilah", [ 144 ]458. Wang kranda di jero pura,

akeh lolos tarik ngungsi,

pakadangan meme bapa,

ka desa dusun manyingid,

ada ka dangin Juring,

ring delod Babak dajan
gunung,

nak Agung Ngurah ida,

tuara ngelah rawos kingin,

maka cihnan,

karatone durmanganggala.


raja Bali,"

siapa memperhatikan

kata-kata orang bingung.


Para pelayan istana,

banyak yang lolos semua
mengungsi,

dengan ayah ibunya,

ke desa-desa bersembunyi,

ada pula yang lari ke Dangin
Juring,

di selatan Babak sebelah
utara gunung,

beliau Anak Agung Ngurah,

tidak bisa berbuat apa-apa,

sebagai tanda,

keraton menjelang
kehancuran.


PUH DURMA.


459. Mangkin ucap Sri Paduka
Tuan Jendral,

tuan Residen makadi,

sampun sami wikan,

pangrawose ring Cakra,

rupanya ia ginting sami,

saat matanggal,

parepe ring Kumpeni.


460. Miwah watek baudanda
daging Cakra,

kalih Mataram sami,

miwah linggih ida,

nak Agung ne maparab,

Untat Jalaja murwanin,

tresna ring raga,

ajerih pacang ngemasin.


Diceritakan Sri Paduka Tuan
Jendral,

dan Tuan Residen,

sudah semua mengetahui,

pembicaraan di Cakra,

rupanya sudah siap semua,

berat melawan,

menghadapi Kumpeni.


Dan para baudanda di
seluruh Cakra,

dan Mataram semua,

dan beliau,

Anak Agung,

yang bernama Ketut Jalaja
mendahului,

sayang pada dirinya,

takut akan mati. [ 145 ]461. Mahawinan galang kangin
sampun napak,

suradadu nemangin,

ne di kota Cakra,

ancute kaja ucap,

lod Tohpati kajaegin,

madan Rigrigan,

Sindune kaarepin.


462. Saking kelod Tunggakbelane
katemang,

ne kauh wantah radin,

banjar Pande bebas,

suba lolos nganginang,

kocapang mangkin di puri,

nak Agung wikan,

kodale kaler gilis.


463. Mairingan batu bata ring
parekan,

pramenak akeh ngabih,

makadi punika,

ne mula mangamelang,

i batu bata caliring,

rosning purusa;

pragusti kadang aji.


464. Yan ne suba tuara gingsir
tuara ginggang,

ngarepin satru kangin,

dening ngumandelang,

sanjata paling mangap,


Itulah sebabnya ketika fajar

menyingsing sudah sampai,

serdadu menghalangi,

di kota Cakra,

di ujung utara diceritakan,

di selatan Tohpati ditinjau,

bernama Rigrigan,

desa Sindu yang dihadapi.


Dari selatan desa Tunggakbela
diserang,

yang dari barat sudah aman,

Banjar Pande sudah
dibebaskan,

sudah lolos ke timur,

diceritakan sekarang di puri,

Anak Agung sudah
mengetahui,

lalu segera keluar ke utara.


Diikuti oleh prajurit dan

para pelayan banyak para
bangsawan yang
mendampingi,

oleh karena orang-orang itu,

yang selalu mendampingi
(memegang),

para pengawal sangat
waspada,

memang keturunan
pemberani,

disertai oleh para satria dan
brahmana.


Yang sudah-sudah tidak
pernah mundur dan
menyerah,

menghadapi musuh,

karena mengandalkan, [ 146 ]ne mangkin ucapang gelis,

sampun manapak,

kaler kauh ngukuhin.


465. Anak Agung Ketut Jelantik
mangkin kocap,

ring Tohpati malinggih,

ngeger sairingan,

wireh sampun macihna,

mabandera putih,

makerana bebas,

Kumpeni mamungkurin.


466. Yadin nelos asorohan prana
raga,

rawose sampun gilik,

ne kadajan Ancar,

Tohpatine kairingang,

linggih Anak Agung ngilis,

takut newata,

arepe ka Kumpeni.


467. Tan inucap ida watek raja
putra,

ne anom-anom kari,

anak putun ida,

Anake Agung Ngurah,

tan arenga ban pamating,

asing kedengang,

sikepe ngaliwesin.


468. Praya mapag Kumpenine sing

mangulah,


senjata yang paling tajam,

sekarang diceritakan,

sudah sampai,
di barat laut bertahan.


Diceritakan Anak Agung
Ketut Jelantik,

tinggal di Tohpati,

lengkap dengan para
pengikutnya,

karena sudah memasang
tanda,

menaikkan bendera putih

itulah sebabnya beliau bebas,

Kumpeni membelakangi.


Walaupun ikhlas para prajurit
yang setia,

pembicaraannya sudah pasti,

yang ke utara Ancar,

mengikuti desa Tohpati,

kedudukan Anak Agung
sudah jelas,

takut mati,

maksudnya memihak
Kumpeni.


Tidak diucapkan beliau par
raja putra,

masih yang muda-muda,

anak cucu beliau,

Anak Agung Ngurah,

tidak diperhatikan (diturut)
oleh prajurit,

setiap yang diperintah,

pasukan selalu menghindar.


Maksudnya hendak

menyongsong Kumpeni yang [ 147 ]orongane kakalih,

banjar Pande miwah,

Tunggak belane babas,

nungked kamantri
mangencing,

di jeroning karang,
mangkin ucapang malih.


469. Payudane kaler kauh
maosogan,

medil kabedil kalih,

mahalong-alongan,

ngelah kuciwa tadah,

i suradadu ngarepin,

kalih orongan,

sidane mamedilin.


470. Tuwi ada berahmana
punggawa wira,

irika mangukuhin,

gria kaliliran,

matanggal tan kilesan,

jyesta enak yan papasih
buka di gambar,

siate ngares-resin.


471. Munyin bedil tuara pegat
matimbalan,

buka nguugang langit,

pendet malimunan,

ngebekin biomantara,

mirib gulem menawengin,

tejaning surya,

maujan baan mimis.


menyerbu,

dengan kedua sekutunya,

Banjar Pande,

dan Tunggakbela lari,

sampai para mantri ikut lari,

di halaman,

sekarang diceritakan lagi.


Peperangan di barat laut
sangat hebat,

saling tembak,

berkejar-kejaran,

agak kecewa,

serdadu Belanda menghadapi,

Banjar Pande dan
Tunggakbela,

berhasil menembaki.


Walaupun ada punggawa
brahmana yang berani,

di sana bertahan,

rumah brahmana (geria)
hancur,

mengadu keberanian tidak
mau mundur,

sungguh hebat jika dilukiskan,

seperti dalam lukisan

peperangan sangat
mengerikan.


Bunyi senapan tidak
putus-putusnya saling
sambung,

seperti memecahkan langit,

pasukan berhamburan,

seperti memenuhi angkasa,

seperti mendung yang
menghalangi,

sinar matahari, [ 148 ]472. Tan winilang musuh rowang
kanin rusak,

mangkin ucapang malih,

Kumpeni mangulah,

ne saking Tunggakbela,

bau napak dangin Mantri,

di Karang Sweca,

ditu sangkel akidik.


473. Bani ngamuk wenten sareng
kalih dasa,

amenit bebas sami,

malih mangulahang,

suradadu manganginang,

di marga agung mangeraris,

yatna mangambiar,

di Bunut book radin.


474. Malih ucap ne kauh bebas
majalan,

ngegubug rauhe gelis,

manincap di karang,

singa sari adanya dauh,

puri kuluan radin,

tuara da apa,

gubuge sampun sepi.


475. Suradadu pacang ngulah
manganginang,

preretnyane ngembutin,

dadi kasengehang,


yang dihujani dengan hujan
peluru.


Tidak terhitung musuh dan
kawan yang mati dan luka,

sekarang diceritakan lagi,

Kumpeni terus mengejar
yang dari Tunggakbela,

baru sampai di sebelah timur
Mantri,

di Karangsweca di sana ada
kesulitan.


Ada dua puluh orang yang
dengan beraninya
mengamuk,

dalam satu menit semua
dapat dibebaskan
(dibereskan),

lalu terus mengejar,

serdadu Belanda ke timur,

di jalan besar,

hati-hati menyebar,

di Bunutbok dengan siap
siaga.


Diceritakan lagi yang di barat

dengan bebas berjalan,

sampai di pondok-pondok,

menginjakkan kaki di
halaman,

di balai singasari di barat,

istana di barat kosong,

tidak ada apa-apa,

rumah-rumah sepi.


Serdadu hendak mengejar
terus ke timur,

bunyi terompet terdengar
nyaring, [ 149 ]ban sikepe ngiringang,

Anak Agung Ngurah
malinggih,

di Pakarangan,

kaler dauhing puri.


476. Kancit ngenah i suradadu
mangambiar,

di Bunut book titib,

sampun kaaturang,

ring Anak Agung Ngurah,

gelis makiles gangsar,

ring bancingah,

ngukuhin.


477. Dadi isine ring kaler kauh
gantas,

sikepe pada belit,

nabrang manganginang,

tuara manolih,

pura ngalih kauripan,

sami nak Agung,

kutang kincit kari
mangiring.


478. Suradadu ne sikelod pada
napak,

ya sakambang kagisi,

jeroning puran dewa,

len ada ngisi marga,

ne sikauh sampun ngambil,

puri kauhan,

mangkin cerita malih.


479. Suradadu ne ngambahin di
Ligrigan,

ngulah kelod len kangin,


akhirnya didengar,

oleh pasukan yang mengikuti,

Anak Agung Ngurah,

duduk di pekarangan utara

sebelah barat istana.


Akhirnya kelihatan serdadu
menyebar,

dengan tertib di Bunutbok,

sudah disampaikan,

ke hadapan Anak Agung
Ngurah,

lalu segera bergerak,

di halaman istana bertahan.


Jadi kosong seisi istana di
barat laut,

pasukan semua menghindar,

menyeberang ke timur,

tidak menoleh istana,

mencari hidup,

semua keluarga raja ditinggal.


Serdadu yang di selatan
sudah muncul,

setiap tempat yang kosong
dijaga,

di dalam pura,

ada pula yang menjaga jalan
besar,

yang di barat sudah
menguasai,

istana di barat,

sekarang diceritakan lagi.


Serdadu yang melalui
Rigrigan,

menghalau ke selatan dan [ 150 ]ne kangin kocapang,

luget kali masiat,

Sindune pageh nanggalin,

pasalung lamat,

ngujan kujanin mimis.


480. Pineh sampun sang hyang
rawi beneh munggah,

i suradadu mangkin,

saat mangulahang,

Ubrus kumendam puncab,

manganggar kalewang gipih,

ngulahang rowang,

narejak pada medil.


481. Tuwi becek sikep Sindune
asing ulah,

lenjernat manyakitin,

buka sander kilap,

sing kena magareak,

sewos jernat apititir,

muunang umah,

sikepe akeh belit.


482. Nanging ida jyesta enak lewih
dira,

purusa mananggalin,

sareng sanak miwah,

ming siki sami rusak,

akudang layon ngulintik,

sareng ring rencang,

mangkin ucapang malih.


ke timur,

diceritakan yang di timur,

kuat masih berperang,

Sindu sangat kuat bertahan,

saling serang,

saling menghujani dengan
peluru.


Kira-kira matahari telah
menanjak,

sekarang serdadu Belanda,

berat menghalau dan
menyerang,

komandannya Kapten
Ubrus bergerak,

dengan sigap mengangkat
pedang,

memerintahkan temannya,

menyerbu sambil menembak.


Sungguh hancur pasukan
Sindu setiap yang diserbu,

dengan senjata granat yang
menyakitkan,

seperti disambar petir,

setiap yang kena terjungkal,

lain lagi granat yang
mengeluarkan api,

membakar rumah,

pasukan kerajaan banyak
yang lari.


Tetapi raja memang satria
utama,

dengan jantannya.

menghadapi bersama
keluarganya,

biarlah sekalian hancur
bersama,

entah sudah berapa mayat [ 151 ]483. Suradadu sami nenas ngiter
pura,

ngujanin baan mimis,

ada mengulahang,

ngaregak di bancingah,

medil kabedilin titir,

saling becekang,

musuh rowange mati.


484. Malih ucap desa delod dangin Cakra,

banjar-banjaran sami,

ngekes jeroning karang,

makerana nanggilisang,

i suradadu ngarepin,

di puri Cakra,

kapos mangadu jurit.


485. Anak Agung Ngurah belit
kapurian,

ring tranggana malinggih,

para istri ngayap,

sampun nyikiang genah,

yan punapi antos malih,

pacang newata,

sareng sadaging puri.


486. Suradadu sampun ngeranjing
patandakan,

praya kaukir Kawi,



tergeletak bersama-sama.

mayat para prajurit,

sekarang diceritakan lagi.


Serdadu sudah berhasil
mengurung istana,

menghujani dengan peluru,

ada yang menghalau,

baik di halaman istana,

saling tembak dengan
gencarnya,

saling menghancurkan,

banyak kawan dan lawan
yang mati.


Diceritakan lagi desa di
tenggara Cakra,

semuanya anggota banjar
(kampung),

bertahan di masing-masing
halaman rumah,

dan makin jelas,

serdadu menghadapi,

di istana Cakra,

dengan sengit mengadu
keberanian.


Anak Agung Ngurah
menghindar ke dalam istana,

di balai bintang duduk,

para permaisuri mengikuti,

sudah duduk berkumpul
jadi satu,

apa yang ditunggu lagi,

akan mati bersama-sama seisi
istana.


Serdadu sudah masuk di balai
penghadapan,

untuk dilukiskan oleh [ 152 ]ditu labuh umpan,

nak Agung mangutusang,

mangamuk mangubat-abit,

Kumpeni gayal,

becek matatu mati.


487. Apan rupet tongose pacang
matadah,

maduk siate dadi,

Kumpeni ngobetang,

pacang ngembat sinapang,

pestole arepang gelis,

kalih kalewang,

Ubrus kapten nanggalin.


488. Ring kumendam létnan
ngadu kalagawan,

saling cahcah pagenti,

mati kamatiang,

matindih mambal-ambal,

bangke layone mangulintik,

nakadang ida,

sang hyang Suria manyapih.


pengarang (kawi),

di sana kena pancingan,

Anak Agung sudah
memerintahkan,

untuk mengamuk
menghancurkan,

Kumpeni panik,

banyak yang hancur luka
dan mati.


Karena sempitnya medan
pertempuran,

jadi peperangan bercampur
baur,

Kumpeni bergerak hendak
membidikkan senapan,

pistol segera dicabut
ke depan dan pedang,

kapten Ubrus ikut terjun
ke medan perang.


Dengan para letnan
komandan mengadu
keberanian,

saling babat bergantian,

bunuh membunuh,

bertahan,

bertumpuk-tumpuk mayat
raja dan prajurit tergeletak,

mendadak matahari
terbenam mendamaikan
peperangan.


PUH SINOM


489. Suradadu sampun bebas,

ring meru malih
mangeranjing,

mangelingin pecakenggon,


Serdadu Belanda sudah bebas,

lalu masuk ke dalam meru,

melihat balai pecakenggon
(nama balai), [ 153 ]wenten ring kauhan ngilis,

irika taler polih,

i tuan malinggih sampun,

saduke mababawos,

pamatute marep kangin,

raja Bali mayuda ring gama
Selam.


490. Benjang bau tatas lemah,

Sri Paduka Tuan kalih,

Residen Jendral sampun,

wikan ring Anake Agung,

lingsir sadaging pura,

ngiring kewuh raket,

karaku kresna,

ring weka putu lan rabi,

kerana tinggal,

sura darmaning ksatria.


491. I tuan raris ngutusang,

suradadune nyarahin,

ringgite nongos di gedong,

len jinar akudang peti,

emas learan malih,

sangku bokor kudang ipun,

sarwa busana kawot,

ne masoca muka sami,

sanistana soroh aji telung
juta.


yang berada di barat dilihat
dengan jelas,

di sana pernah,

Belanda duduk pada waktu
musyawarah,

menjadi penengah duduk
menghadap ke timur,

waktu raja Bali berperang

melawan orang-orang Islam.


Keesokan harinya pagi-pagi
sekali,

Sri Paduka keduanya,

Tuan Residen dan Jendral,

sudah mengetahui tentang
raja tua (Anak Agung
Lingsir),

diikuti oleh seisi istana,

sangat susah dan tak dapat
berpisah,

karena sangat cinta,

dengan anak cucu dan istri,

makanya beliau
meninggalkan (melanggar),

keberanian sebagai
kewajiban seorang satria.


Belanda lalu mengirim
utusan,

serdadu untuk merampas,

uang ringgit yang
tersimpan,

dalam gedung,

dan dinar (mata uang emas)
berpeti-peti,

serta emas yang banyak
(beribu-ribu),

sangku,

bokor (nama alat-alat
upacara keagamaan yang [ 154 ]492. Ring puri kangin gantas,

Kumpeni ditu ngukuhin,

gedong Mayura kapuak,

Selam Bali manyarahin,

akudang bara pipis,

mategen masuun-suun,

watara telung dina,

lemeng lemah kaunjalin,

mangkin kocap,

sadaging desane bebas.


493. Banjar-banjaran makejang,

pramenak punggawa malih,

sulinggih masiwa Buda,

atap sami nunas urip,

ring paduka sang kalih,

Residen Jendral sueca,

nulus wacana madu,

membah ngangga sekel ati,

ban masiat,

wireh ngiring pakayunan.


terbuat dari emas dan perak)

jumlahnya tidak bisa
dihitung,

dengan segala macam

pakaian yang mahal,

yang memakai permata yang
utama,

paling sedikit seharga tiga
juta.


Di istana timur sudah bersih,

di sana Kumpeni bertahan,

gedung Mayura diserbu,

orang-orang Bali yang

beragama Islam yang
merampas,

berpeti-peti uang,

dipikul disusun-susun
(ditumpuk),

kurang lebih tiga hari,

siang malam didatangi dan

diambil diceritakan sekarang,

seluruh desa sudah bebas.


Seluruh banjar (kampung),

para menak (bangsawan) dan
punggawa,

para pendeta Siwa dan Buda,

semua menyerah mohon
hidup,

kepada Sri Paduka keduanya,

Residen dan Jendral,

beliau berkenan,

berkata dengan lemah lembut,

"Janganlah disesalkan,

peperangan ini,

karena menuruti perintah
raja. [ 155 ]494. Sang manitah dadi raja,

kita terima suba jani,

ida gusti ring padanda,

miwah ring jadmane cerik,

pada manunas urip,

ne mangkin kocapang
sampun,

i tuan mamuputang,

pangrawos kalintang sandi,

ring ne kocap,

maparab Untat Jalaja.


495. Anak Agung ne malingga,

di Tohpati suba ngiring,

pakayunan sri paduka,

rauh ka Seksari gelis,

ngaturang pamiuning,

ring nak Agung Ngurah tuhu,

yan kayun panjang yusa,

kalih putra putri sami,

sane kari,

Kumpeni lintang tarima.


496. Sampun ngantos sima lian,

keni suradadu sami,

bebas polih mangaturang,

brasalam cihnaning asih,

ring Anak Agung sami,

putra putu mangda nulus,

linggih ida makejang,

sambutang satwane mangkin,

sampun napak,

sami rauh ring Seksekar.


Yang memerintah menjadi
raja,

kita hanya menerima saja,

para satria dan para pendeta,

dan pada anak-anak semua
mohon hidup,

diceritakan sekarang,

Belanda memutuskan,

pembicaraan yang sangat
lihai,

kepada beliau yang
disebutkan,

bernama Ketut Jalaja.


Anak Agung yang bertempat,

di Tohpati,

sudah menerima,

maksud Sri Paduka (Belanda),

supaya datang dengan
segera ke Saksari,

untuk memberitahukan,

kepada Anak Agung Ngurah,

jika ingin hidup lebih lama,

bersama anak cucu,

yang masih tinggal,

Kumpeni bersedia menerima.


Sudah sampai hari
berikutnya,

serdadu Belanda semua,

dapat bebas menyampaikan,

salam (bersalaman) sebagai
tanda perdamaian,

kepada keluarga raja semua,

kita alihkan cerita sekarang,

sudah tiba,

semua datang di Saksari. [ 156 ]497. Untat Jalaja ngariinang,

ring pekakda matur bakti,

mangaturang daging rawos,

i tuan Jendral makadi,

Residen tan wenten malih,

yanak Agung Ngurah kayun,

manyeneng sareng samian,

linggihe tan wenten gingsir,

mangda mangkin,

kodale matemu salam.


498. Suradadu sampun napak,

ring jaba mangantos sami,

kalih watek polih pangkat,

makadi nyane kakalih,

Residen Jendral kairing,

Anak Agung Ngurah sampun,

bebas masinggih pisan,

atur putune mangeraris,

gelis kodal,

mapikul tuara sandeha.


499. Putra putu mangiringang,

papat sami rawingalit,

nanging sane lanang-lanang,

lalina pitungan sami,

rawing sane maranin,

bu napak ring jaba sampun,

kumendam akeh mendak,


Anak Agung Ketut Jalaja ke
depan,

menghormat kepada
kakeknda,

menyampaikan isi
pembicaraan,

dengan Tuan Jendral dan
Residen,

jika Anak Agung Ngurah
masih menginginkan,

hidup semua,

dengan kedudukan tetap
sebagai raja,

supaya sekarang,

keluar,

untuk bertemu dan
bersalaman.


Serdadu Belanda sudah tiba,

semua menunggu di luar

bersama mereka yang
berpangkat (pembesar),

seperti yang dua,

Residen dan Jendral ikut
serta,

Anak Agung Ngurah,

sudah bebas menerima,

yang disampaikan oleh
cucunya,

lalu segera keluar,

dipikul dengan tandu tanpa
ada rasa curiga.


Diikuti oleh anak serta
cucu-cucu beliau,

empat semuanya sampai yang
kecil,

tetapi yang laki-laki,

menjadi lima,

dengan yang menjemput, [ 157 ]sami kahancang tan keris,

tut iringan,

tuara mangadayang apa.


500. Sakatahe wenten roras,

punika ne bakti ngiring,

Anak Agung lingsir reko,

i ranteyan sampun ngambil,

mamikul keni gelis,

saking pakayunan uduh,

i tuan Residen Jendral,

makta Anak Agung mangkin,

ke Ampenan sawenten sane
irika.


501. Ngiring Anak Agung Ngurah,

dadi bengong sareng sami,

tuara ada ngelah rawos,

kaseh-seh pada mamargi,

kalisat pada jengis,

ada ngembeng toyan dulu,

kangen ring panak somah,

pada ngerumum jeroning ati,

kene ko,

rasaning baboyongan.


baru sampai di luar banyak
komandan menyongsong,

semua dengan sigap dan
sopan,

serta para pengikutnya,

tidak berbuat apa-apa.


Jumlahnya ada dua belas
orang,

itu yang setia mengikuti,

adapun Anak Agung Lingsir,

sudah dipikul,

oleh tukang pikul (tandu),

sudah merupakan takdir
Tuhan,

Tuan Residen dan Jendral,

sekarang membawa Anak
Agung,

ke Ampenan dengan semua
pengikutnya.


Yang mengikuti Anak Agung
Ngurah,

akhirnya tercengang semua,

tidak ada yang bisa
berbicara,

dengan menunduk semua
berjalan,

susah semua merasa sedih,

ada yang berlinang-linang
air matanya,

merasa kangen dengan anak
istrinya,

semua mengumpat dalam
hatinya,

ah begini,

rasanya sebagai orang
tawanan. [ 158 ]502. Tan carita ne di jalan,

i tuan malih malinggih,

di Cakra ditu henengan,

wireh sampun nampi wengi,

ne mangkin ucap malih,

raja putri putu sampun,

ne kantun ring Seksekar,

polih pakabaran jati,

Anak Agung,

Ngurah sampun kabebasang.


503. Katedunang ka Ampenan,

sareng putra putu sami,

ne mangiring kodal ngayat,

mamuputang rawos becik,

malih matemu asih,

ring pasihan kadi dangu,

mawastu kena daya,

sami ngaduhung tan sepi,

matimbalan,

tangise tuara da pegat.


504. Kadi camarane osah,

siak-siok tempuh angin,

raja putri para rangda,

pinacang pacangan malih,

papingitan makadi rabi,

sami marasa kantu,

maguyang-guyang atap,

ada di natah ngulintik,

nene tua,

ngengese tuara linguang.


Tidak diceritakan lagi yang
di jalan,

dan Belanda yang tinggal di
Cakra,

karena hari telah menjelang
malam,

sekarang diceritakan lagi,

permaisuri dan para putri

serta cucu raja,

yang tinggal di Seksekar,

sudah mendengar berita,

Anak Agung Ngurah,

sudah ditawan.


Dibawa ke Ampenan,

bersama putra dan cucu
semua,

yang mengikuti beliau keluar
menghadiri,

untuk memutuskan
pembicaraan,

tentang berdamai kembali,

dan saling menghormati

seperti dahulu,

akhirnya kena tipu muslihat,

semua menyesalkan,

saling sahuti suara tangis
tidak putus-putusnya.


Bagaikan pohon cemara yang
gelisah,

bergerak-gerak ditiup angin,

raja putri dan para janda,

dan permaisuri,

semua merasa lesu,

semua bergulingan,

ada yang tergeletak di
halaman,

yang tua, [ 159 ]505. Nanging ada kari dadua,

Anak Agung ngalanangin,

ne asiki ida ento,

nandang sungkan sampun
lami,

tuara dados mamargi,

sungkan rumpuh wastan
ipun,

ida sane maparab,

Nengah Karang wijil saking,

puri purwa,

Mataram jati kaputra.


506. Antuk dewata maparab,

Ketut Karangasem riin,

pernah raka antuk ida,

Anak Agung Ngurah
mangkin,

malih sane asiki,

putran ida Anak Agung,

Made Karang sang lina,

sisip gamia manimpalin,

pernah weka ne wau ugi
karusak.


507. Ento ida maka dadua,

mamungu raka ring bibi,

keni sampun
manyungsutang,

linggih Anak Agung lingsir,

rai anak makadi,


sampai tidak sempat

memperhatikan ingusnya
yang keluar.


Tetapi masih ada dua orang

keturunan raja laki-laki,

beliau yang seorang,

menderita sakit sejak lama,

tidak bisa berjalan,

yang disebutkan sakit
lumpuh,

beliau bernama,

Ngurah Karang yang lahir,

di istana timur,

yaitu putra kelahiran
Mataram.


Dari almarhum yang
bernama,

Ketut Karangasem,

pernah kakak oleh beliau,

Anak Agung Ngurah yang
sekarang,

dan yang seorang lagi,

putra dari beliau Anak
Agung Made Karang yang
sudah meninggal,

karena menyalahi aturan

mengambil (bertemu)
perempuan (gamya),

pernah anaknya yang sudah
diceritakan meninggal
keduanya.


Kedua beliau itu,

menyadarkan kakak-kakak
(saudara-saudara) dan
bibinya,

supaya jangan terlalu
menyedihkan, [ 160 ]ne sampun newata wau,

siki mangkin sadiayang,

keni rusak sareng sami,

pany ampunan,

klesane sane ring raga.


508. Raja putri para rangda,

rabi papacangan sami,

mangkin eling ring kajaten,

uripe mantuk kapati,

awinan sampun gilik,

manggeh tan kayun
manungkul,

mangkin malih kocapang,

sri paduka tuan kalih,

Residen Jendral,

sampun puput pakayunan.


509. Pacang managingin pisan,

ka Seksari ngayudain,

sing makayun mapuputan,

mangda gentos saking gelis,

nyambut satuane mangkin,

benjang tatas lemah sampun,

suradadune napak,

mangiter gria Seksari,

Anak Agung istri kakung
raris medal.


510. Kalih watek para rangda,


tentang Anak Agung Lingsir,

adik,

anak-anak dan lain-lainnya,

sudah meninggal seorang,

sekarang kita bersedia hancur
semua,

untuk mengakhiri,

kesedihan (kotoran) yang
berada dalam tubuh.


Raja putri dan para janda,

para istri dan selir semua,

sekarang sadar dengan
keadaan sebenarnya,

bahwa hidup itu akhirnya.

menemui kematian,

makanya sudah pasti,

akan melakukan perang tidak
mau tunduk,

diceritakan lagi,

Sri Paduka Tuan keduanya,

Residen dan Jendral,

sudah mempunyai rencana
pasti.


Akan menyetujui,

untuk berperang ke Seksari,

bagi yang ingin melakukan

perang puputan (perang
habis-habisan),

supaya lebih cepat selesai,

lanjutkan cerita sekarang,

keesokan harinya pagi-pagi,

serdadu Belanda sudah tiba,

mengurung istana Seksari,

Anak Agung Istri (putri)

yang muda-muda segera
keluar.

Bersama para janda, [ 161 ]rabi papacangan malih,

papingitan sairingan,

wenten angan satus siki,

ne istri lanang muani,

brahmana makadi wiku,

adauh bebas telas,

bangke layone matindih,

tuting cenik,

ditu ada milu rusak.


511. Wiakti buka pituduhang,

ne asiki durus licin,

Anak Agung Nengah Karang,

sairingan ida kari,

mangantos kaler hening,

suradadu tuara tau,

reh Anak Agung ida,

mabelat tukad malinggih,

karena luput,

mangkin manggisiran genah.


512. Ka Tohpati sairingan,

manggeh pakayunan ginting,

sairingan keni rusak,

i tuan misti nagingin,

mahelet wengi raris,

suradadu sampun rauh,

ka Tohpati mangambiar,

Anak Agung ngamijilin,

nging masurung,

baan kursi kalinggihang.


para istri dan para selir,

diikuti oleh gadis-gadis yang
dipingit,

kira-kira ada seratus orang,
laki perempuan,

para brahmana dan pendeta,

semua hancur,

mayat-mayat bangsawan dan

rakyat bertumpuk-tumpuk,

sampai pada yang anak-anak,

di sana ikut hancur.


Seperti sudah takdir,

yang seorang selamat,

yaitu Anak Agung Nengah
Karang,

dengan para pengikutnya,

menunggu di utara sungai,

serdadu Belanda tidak
mengetahui,

karena tempat beliau (Anak
Agung),

tinggal di seberang sungai,

itulah sebabnya beliau
selamat,

sekarang beliau berpindah
tempat.


Menuju ke Tohpati dengan
para pengikutnya,

sudah mengambil tekad pasti,

biar semua hancur,

serdadu juga melayani,

terhalang karena malam telah
tiba,

serdadu sudah datang,

menyebar ke Tohpati,

Anak Agung keluar,

tetapi dengan kereta dorong, [ 162 ]513. Di margine ditu bebas,

i suradadu medilin,

sairingan telas rusak,

wenten kalih dasa siki,

i tuan sampun ngilis,

makayunan usan lesu,

gupuh mamosang yuda,

kalih Anak Agung lingsir,

sairingan,

putra putu sampun tinggal.


514. Saking jagate ring Sasak,

kaaturang ka Batawi,

mahawinan antuk kapal,

utusan ririh nyarengin,

sampun puput manampi,

surat mapaindik patut,

atur i tuan Jendral,

tuan Residen dahat ririh,

mamanggehang,

wet darmaning ngamel jagat.


dengan kursi beliau duduk
di atasnya.


Di jalan beliau dihancurkan,

oleh serdadu Belanda yang
terus menembaki,

dengan para pengikutnya
semua hancur,

ada kira-kira dua puluh orang,

Belanda sudah pasti hendak

menghentikan peperangan
karena payah,

sibuk membicarakan tentang
peperangan,

dan Anak Agung Lingsir,

bersama-sama anak dan cucu
sudah dipindah.


Dari daerah Sasak.

dikirim ke Batawi,

diangkut dengan kapal,

diantar oleh utusan yang
pandai,

setelah selesai serah terima,
dengan surat resmi,

perkataan Tuan Jendral,

dan Tuan Residen sangat
pandai,

akan menegakkan kewajiban
memerintah.


PUH PANGKUR


515. Mangkin bebas gilik asat,

gama Tirta ring wengkon
Sasak sami,

kalih Selam tepah
nyunjung,

pamerentah sri paduka,

tuan Residen kalih Jendral


Sekarang sudah semua
takluk,

agama Hindu di wilayah.

Sasak (Lombok),

dan Islam sudah tunduk,

di bawah perintah Sri Paduka,

Tuan Residen dan Jendral [ 163 ]tuara surud,

sareng namdam kayun
manah,

ida dane ipun sami.


516. Kalih pranda Siwa Buda,

sami agar mawosang nenten
malih,

pakayunan sweca nulus,

mangurip manyejerang,

tuting bangsa-sapratingkah
buka malu,

pet ada jati kaobah,

mangde kertaning nagari.


517. Ditu raris sri paduka,

tuan Jendral budale saking
aris,

mantuk ka Batawi sampun,

di Sasak kabaosang,

tuara ada bani pangpang
miwal kayun,

kaling sasorohan Selam,

pecak bawah perentah Bali.


518. Ring sampune mataunan,

caluh kerta ambek jagate
sami,

Selam gama Tirta
nyunjung,

adiling paperentahan,

ne ring Sasak tetep tigang


yang tidak jemu-jemunya,

bersama-sama mengambil
hati,

penduduk semula.


Pendeta Siwa dan Buda,

semua dengan senang hati
membicarakan,

dengan hati yang tulus,

untuk menghidupkan dan
menegakkan,

keadaan bangsa

(masyarakat) seperti yang
dahulu,

jika ada beberapa yang perlu
dirobah,

itu pun dengan maksud.

untuk kesejahteraan negara.


Kalau sudah demikian

keadaannya pada waktu itu
Sri Paduka,

Tuan Jendral akan segera
kembali,

pulang ke Batawi,

diceritakan di Sasak,

tidak ada yang berani

melanggar dan menentang,

jangankan golongan Islam,

yang sejak dulu memang

di bawah perintah raja Bali.


Setelah berjalan
bertahun-tahun,

sudah tentram dan makmur
negara,

didukung oleh agama Islam
dan Hindu,

adilnya pemerintahan, [ 164 ]desa mungguh,

i tuan ngamelang perentah,

wet bet wijiling welandi.


519. Ne ring labuhaji purwa,

munggwing Selong alas
kawangun desi,

luji pasanggrahan murub,

sampun macatur tanda,

pringgabaya Masbage Cakra
telu,

Larang patpat wetesang,

kauh distrik Labuhaji.


520. Kaping ro Peraya ucap,

linggih dane paduka tuan
Kontrolir,

munggwing desa malih
wangun,

pura ring Mataram,

luji agung sowang murub

taman-taman mangapitang,

ilen-ilen Jawi sami.


521. Kantor-kantor pakumpulan,

becik anut sami maminggir
margi,

natar jimbar hias alus,

kakayon punyan joar,

ring baingin padum carang
pada ngarembun,


di Sasak (Lombok) tetap

dibagi menjadi tiga daerah
(kabupaten),

Belanda yang memegang

pemerintahan yang semua
bersumber (pemerintahan)
dari negeri Belanda.


Yang di Labuhaji (Labuhan
Haji) di timur,

di hutan Selong dibangun
desa,

balai pesanggrahan yang
permai,

dengan empat
batas-batasnya,

Pringgabaya,

Masbagik dan Sakra itu
ketiganya,

dan Rarang batas yang
keempat,

yang di barat distrik Labuhaji.


Kedua disebutkan Praya,

tempat beliau Tuan
Kontrolir,

di daerah itu dibangun lagi,

istana di Mataram,

balai besar masing-masing
dengan taman-tamannya,

diapit oleh hiasan gaya Jawa
semua.


Kantor-kantor perkumpulan
(jawatan),

sangat indah dan cocok

semua di pinggir jalan,

halaman yang luas dengan
hiasan yang indah,

dengan pohon-pohon [ 165 ]pantas ungguhang digambar,

aweting ucaping kari.


522. Margi-margi becik asat,

kakayonan mangapit bilang
pinggir,

sami bungah nedeng menduh,

dokare tuara pegat,

mangalintang ada kangin ada
kauh,

ada kelod ada kaja,

rame mangelintang ring
margi.


523. Yan sawangang mirib
swargan,

dadi tuna manah ngiket di
gurit,

banakentan numur satu,

makejang ngenah bungah,

rum aruman tuting pasar
ngenah murub,

bale panjang tur malepa,

sapakayun wenten sami.


524. Sok mangelah ringgit katah,

makadi myapokoanyane
abesik,

di Ampenan lintang wibuh,

tedunan saking kapal,


pelindung kayu suar,

dan pohon beringin yang
cabang-cabangnya merata
dan rimbun,

pantas dipindahkan,

ke dalam lukisan karena

kalau dibicarakan ada saja
yang masih tertinggal.


Jalan-jalan yang baik dan
datar,

diapit oleh pepohonan di
pinggirnya,

semua kelihatan indah pada
waktu sedang tumbuh daun,

dokar (bendi) tidak
henti-hentinya,

lewat ke barat atau ke timur,

ada yang ke utara dan ke
selatan,

ramai lewat di jalanan.


Jika diambil perumpamaan

seperti di sorga sehingga

kehabisan bahan untuk
melukiskan dalam karangan,

sebab segalanya nomor satu,

semua kelihatan mewah,

harum-haruman sampai pasar
kelihatannya mewah,

dengan balai panjang yang
diberi perhiasan,

apa yang dikehendaki ada
semua.


Mentang-mentang punya uang (ringgit) yang banyak,

seperti anak satu-satunya,

di Ampenan sangat
berlebihan (mewah), [ 166 ]sarwa barang apa tuara ada
ditu,

ne mangkin sambut kocapang

watek baudanda sami.


525. Gama Tirta tus kaeman,

ida gusti wawengkon ring
nagari,

Mataram Cakra nagantun,

malih desa Pagutan,

solas siki tur mapoos-poos
sampun,

banjar-banjare gamelang,

ida gusti siki-siki.


526. I Gusti Patih
ngumpulang,

bawah perentah paduka tuan
Kontlir,

yaning parab becik nulus,

potraka Sraman ucap,

kicen lungguh ring Cakra
nagara wangun,

puri agung kasub melah,

saksat smara pura ngalih.


527. Alun-alune ngililan,

lepa putih mairib ngudan
langit,

mangarepin margi agung,

kantor ngimbuhin hias,

mupacara antuk tepas-tepas
liu,

makaling madaging sekar,

panedeng mabunga sami.


diturunkan dari kapal,

segala jenis barang ada di
sana,

sekarang diceritakan para
baudanda semua.


Agama Hindu dan Islam,

beliau gusti (pimpinan)
yang memegang daerah,

Mataram dan Cakra,

dan desa Pagutan,

sebelas banyaknya dan sudah

dikelompok-kelompokkan,

masing-masing banjar
dipegang,

oleh seorang satria
(pimpinan).


Dikumpulkan oleh Gusti
Patih,

di bawah perintah Paduka
Tuan Kontrolir,

beliau bernama,

Putra Sraman,

ditempatkan di Cakra,

di sana membangun rumah
besar terkenal bagus,

seperti sorga.


Dengan lapangan di depan,

bersinar putih seperti hujan
dari langit,

menghadap ke jalan besar,

ditambah bangunan kantor

menambah keindahannya,

dilengkapi dengan teras-teras
yang banyak,

di setiap tingkat ada pohon
bunganya,

yang sedang mekar bunganya. [ 167 ]528. I angsa kalewih bungah,

manutenggon ngilihin
kantor becik,

woh-wohan kamulan ditu,

mapoos jajar melah,

pahayuban di natahe jimbar
alus,

i camara mangapitang,

margine ngeranjing ka puri.


529. Siyok-siyok tuara pegat,

tempuh angin ulat buka
nyocapin,

matujuhang kori agung,

kembar mabajara lepa,

putih ngeranyab mirib tejan
surya mencur,

nyundarin ramianing pasar,

kalih ne ngalintang ring
margi.


530. Patemburan desan-desan,

desane ring Cakra nagari,

lintang becik pancirania,

sato ditu kembar ngarepin,

marga dauh kantor baingin
ngayubin,

anut masawangan,

pararian sang mandus masuci.


Burung hantu kelihatannya
sangat indah,

berenang mengelilingi gedung
kantor yang indah,

pohon buah-buahan juga
ditanam di sana,

berkelompok-kelompok
dengan baris yang rapi,

tempat berteduh di halaman
yang luas,

diapit oleh pohon cemara,

jalan masuk yang menuju
istana.


Bergerak-gerak tidak
henti-hentinya,

ditiup angin gerakannya
seperti menyapa,

menunjukkan tempat pintu

besar istana seperti menyapa
yang dibuat kembar dengan
perhiasan,

warna putih gemerlapan

seperti sinar matahari yang
memancar,

menyinari keramaiannya
pasar,

serta orang-orang yang lewat
di jalan.


Perkumpulan kampung-kampung desa di Cakra,

sangat indah dengan
pancurannya,

diapit oleh patung binatang
di depannya,

jalan di sebelah barat kantor

diteduhi oleh pohon beringin, [ 168 ]531. Parempatan margi jimbar,

kakayonan mangapit pinggir
margi,

dokare masih maselur,

sane ngimbuhin bungah,

ban pamargin watek
punggawane rauh,

ne manunas rawos nyabran,

mamarek I Gusti Patih.


532. Makadi padanda kerta,

mangertanin sagama Tirta
sami,

sareng nemnem kicen
lungguh,

lalima mangamelang,

brata Ciwa sridanta gening
manulus,

ne asiki Boda paksa,

sami wibuh tatwa aji.


533. Sababawos matapakan,

linging sastra loka dresti
makadi,

darma kapilug antuk,

arta pitumbuk jagat,

lewih linggih I Gusti Patih
kawuwus,


kelihatan sangat cocok,

sebagai tempat beristirahat

bagi orang yang hendak

mandi membersihkan diri.


Perempatan jalannya luas,

dengan pohon-pohonan
mengapit di pinggir jalan,

dokar (kereta kuda) lalu
lalang,

ikut menambah indahnya
kota.

karena perjalanan para
punggawa yang datang,

untuk meminta
petunjuk-petunjuk
sehari-hari,

kepada Gusti Patih.


Seperti pendeta,

yang memberi petunjuk
(ketentraman) kepada umat
Hindu semua,

enam orang yang diberi
kedudukan,

yang lima orang memegang,

sebagai pendeta Ciwa yang
suci,

yang seorang lagi sebagai
pendeta Buda,

semuanya ahli dalam filsafat
dan ilmu pengetahuan.


Semua pembicaraan,

berdasarkan ujar-ujar sastra

(ilmu pengetahuan) dan
menurut ajaran tata susila

yang disebut dharma yang

tidak dapat dipengaruhi oleh

harta (harta benda) sebagai [ 169 ]tan bimbang mawosin jagat,

pateh agung alit sami.


534. Reh wijiling Singaraja,

tustus agung

kapinang nyeneng patih,

di Sasak maraga ngempu,

gama Tirta makejang,

reh sotaning mangawit
nyiwita ratu,

tuas tustus tanah Jero,

pabangsa kalintanging tinggi.


535. I Gusti Patih kalintang
mawosin rawos adil,

dening mawiweka nulus,

darma wibuhing sastra,

rawos panjang
jagra ring wasana manut,

mangde kertaning nagara,

mangupet i corah dekil.


536. Yan upami tuara bina,

Sang Udawa inucap patih
lewih,

ring Dwarawati kasumbung,

makadi ning naya,

duaning ida sang Kresna
jejer ngawengku,


beban masyarakat,

kedudukan Gusti Patih yang
utama,

tidak ragu-ragu dalam
mengatur negeri,

sama bagi yang besar maupun
yang kecil.


Karena memang beliau lahir
di Singaraja,

keturunan bangsawan dipilih
menjadi Patih yang

memerintah di Sasak,

semua memeluk agama
Hindu,

karena semenjak diabdi
sebagai raja,

memang keturunan satria dan
bangsawan tinggi.


I Gusti Patih sangat waspada

dalam pembicaraan selalu
adil,

memang orangnya pintar,

bijaksana dan
berpengetahuan,

pandai berbicara menyadari

perbuatan-perbuatan yang
benar,

supaya tentram negara,

mengutuk yang jahat.


Jika diumpamakan tidak ada
bedanya,

dengan sang Udawa seorang
Patih yang termashur,

di Dwarawati terkenal,

dengan segala upaya yang
bijaksana, [ 170 ]pangabaning ratu darma,

watek detyane kahili.


537. Ambol to baan ngucapang,

gama Tirta sampun sumuyug
sami,

ngiring perentah sipat reju,

paduka tuan malingga,

ring Mataram

twi saksat dewata nurun,

mangre tayang jagat Sasak,

ne mangkin carita malih.


538. Bangsa Selam ne kaucap,

Dauh Juring neteg ka
Ampenan sami,

delod Babak baler gunung,

mangeranjing kaparentah,

antuk dane i tuan Kontlir
malungguh,

ring kota puri Mataram,

sampun magugwanan sami.


539. Kapalanya mangamelang.

baler gunung kakalih sami
rijin,

delod Babak asiki ditu,

di Gerung kapalanya,

Soroh Selam baler Babak
delod gunung,

Dauh Juring matelasan,


ditambah lagi kebijaksanaan

Prabu Kresna memerintah,

seorang raja yang
melaksanakan dharma
(kewajiban),

semua raksasa takut.


Demikian kalau diceritakan,

agama Hindu semua sudah
mendukung,

tunduk dengan perintah dan
peraturan yang baik,

Paduka Tuan bertempat
tinggal,

di Mataram tidak ubahnya

seperti dewa yang menjelma,

memakmurkan kerajaan
Sasak (Lombok),

sekarang diceritakan lagi.


Tentang orang-orang Islam.

yang di Dauh Juring sampai
ke Ampenan,

di selatan Babak di utara
gunung,

juga di bawah perintah.

beliau Tuan Kontrolir,

yang tinggal di istana kota
Ampenan,

sudah taat (tunduk) semua.


Yang memegang pimpinan,

di utara gunung keduanya
bersama-sama,

di selatan Babak seorang,

kepalanya di Gerung,

orang-orang Islam di utara

Babak di selatan gunung.

seluruhnya dengan Daur [ 171 ]mangked rauh ka pasisi.


540. Mekel Putu mangamelang,

wit Buleleng kasuecan
wireh ngiring,

i tuan kawite rauh,

ring Sasak tur mawinan,

ngembat yuda Mekel Putu
tuara surud,

pageh ngiring pakayunan,

awinan sakadi mangkin.


541. Kicen pangkat mangamelang.

bangsa Selam kalih genahe
becik,

ring Mataram sampun puput,

wawangunane asat,

bale-bale pakantoran wantah
anut,

tikas Jawine karepang,

sotanning ngabehin ringgit.


542. Yadin watek baudanda,

taki-taki mawangun puri
becik,

reh sadana sampun wibuh,

tetep nangken saulan,

nampi gajih ringgit saking
puri agung,

ngamadenin pranda kreta,

tatan ucap I Gusti Patih.


Juring,

sampai ke pesisir pantai.


Dipegang (diperintah) oleh
Mekel Putu,

yang berasal dari Buleleng,

diberi kepercayaan karena
setia,

mengikuti Belanda sejak
permulaan datang,

di Sasak,

karenanya Mekel Putu ikut

berperang dengan gigihnya,

setia menurut perintah,

makanya dapat kepercayaan
seperti sekarang.


Diberi pangkat (kedudukan)

untuk memegang
pemerintahan,

untuk orang-orang Islam dan
tempatnya sangat baik,

di Mataram,

sudah selesai dibuat
bangunan yang indah,

rumah-rumah serta kantor
sangat serasi,

bangunannya model Jawa

karena memang kebanyakan
uang.


Dan para baudanda,

semua bersiap membangun
istana,

karena penghasilan sudah
melebihi,

tetap menerima setiap bulan,

menerima gaji,

uang ringgit dari istana,

didampingi oleh pendeta [ 172 ]543. Patemburan ringgit banya,

numur satu paica saking puri,

malih sadanane rauh
paica mangaracak,

wing sawatek kapalan
pakaseh wibuh,

sedahane ring arep,

manampi paica ringgit.


544. Yadin watek sane pecak,

polih pangkat taler kasuecan
kidik,

ringgit pang siu wastan ipun,

malih paica mukia,

ring banjaran diri-diri nyacak
sampun,

ne beksaka icen sawah,

tuan sedahan mandagingin.


545. Suka trepti gilik asat,

gama Tirta manatak perentah
hakim,

banget siwah kadi dangu,

ne mangkin pari saksat,

jagat Sasak kaudanan merta
landung,

mangeranayang gemuh


yang bijaksana,

tidak diceritakan lagi I Gusti
Patih.


Pemasukan uang ringgit
sangat banyak,

yang pertama pemberian dari
istana,

dan pemasukan uang lainnya,

banyak pemberian,

dari para kepala subak
(pertanian) yang sangat
mewah,

dan yang terkemuka sedahan,

menerima pendapatan uang
ringgit.


Dan orang-orang yang
dahulu,

mendapat kedudukan dan
diberi sedikit,

ringgit (uang) pang siu
(seribu kali) namanya,

lagi persembahan para
pemuka,

di kampung-kampung,

sudah terdaftar
sendiri-sendiri,

yang miskin diberi sawah,

tuan sedahan mengizinkan.


Berbahagia dan tenteram dan
bersatu,

agama Hindu menerima
perintah para hakim,

jauh berbeda dengan dahulu,

sekarang bagaikan,

kerajaan Lombok kehujanan

amerta (air penghidupan), [ 173 ]nyabran,

saking darman sang siniwi.


546. Miwah saking mahalaban,

luwih stiti linggih I Gusti
Patih,

ngiring mangardiang landuh,

ambek jagate nyabran,

doning kangkat sapakaria
sida laju,

i pangayah manyambutang,

asing teman kaukumin.


547. Ne di Sasak yan ucapang,

sarin jagat bas kapona gria
alit,

nanging kembang taun
wibuh,

kaatur ringi tuan,

nangken kapat gentuh arta
kudang meliun,

pilih beya matandingan,

sajagate alit-alit.


548. Ring rasining gumi Sasak,

wantah nyandang sang watek
wibuh kirti,

ring Sasak jejer malungguh,

tekep ngamelang jagat,

wireh ida batara sweca
manulus,


menyebabkan senantiasa
makmur,

atas kebajikan yang diabdi
(yang memerintah).


Dan para pembantu,

yang menegakkan
kepemimpinan Gusti Patih,

semua beritikad untuk
menciptakan kemakmuran,

rakyat senantiasa,

itulah sebabnya semua
pekerjaan lancar,

rakyat menyambut gembira,

yang bersalah selalu
dihukum.


Yang di Sasak diceritakan

sarinya negara karena
kemakmurannya,

rumah kecil,

tetapi penuh dengan
kemewahan,

yang dipersembahkan,

kepada Belanda,

seperti bulan keempat

kebanjiran duit
bermilyar-milyar,

sangat jauh berbeda,

dengan kerajaan yang
kecil-kecil lainnya.


Di daerah Sasak ini,

tempat semua orang yang
penuh jasa,

di Sasak memegang
kekuasaan,

taat memerintah kerajaan,

karena Tuhan memberkati, [ 174 ]ambol to baan ngucapang,

wetu saking sradan ali.


549. Pangaksamane manggita,

anak tambet katunan sastra aji,

sok kewala pangkah ngapus,

mangiring pakayunan,

linggih dane i tuan sedahan agung,

nyeneng Kontlir di Mataram,

netepang manggurit kali.


550. Kerana bebas mangucapang,

raja-taja maka daging pangawi,

kalih sawentene mungguh,

teh sampun kanugraha,

widi aji mangkin

masakolah ngapus,

pasang pupuh sami rebah,

kecape pait makilit.

Iti kidung Rusak Sasak,

puput!


demikian kalau diceritakan,

yang keluar dari hati yang suci,


Permohonan maaf dari pengarang,

orang bodoh yang sangat

kurang dalam ilmu sastra,

hanya dengan

memberanikan diri ikut mengarang,

untuk menuruti perintah (permintaan),

beliau Tuan Sedahan Agung,

yang menjabat Kontrolir di Mataram,

menyuruh membuat karangan

tentang keadaan peperangan (kali) di Lombok.


Maka dengan bebas menceritakan,

tentang raja-raja dalam karangan ini,

dan yang disebutkan,

karena sudah mendapat persetujuan,

tentang pasang aksara masih belajar,

susunan pupuh (wirama) masih kacau,

rasanya kurang menyenangkan (mengenakkan).


Ini Kidung rusak Sasak,

selesai.